6.31 - I Made
Denpasar, 7 Januari 2001
I Made dilahirkan dari keluarga petani sekitar tahun 1935
di Kasiman, Bali. Ia beruntung bisa mengenyam pendidikan hingga SMA, sebab di
masa kecilnya sangat sulit untuk memperoleh kesempatan bersekolah, apalagi
hingga jenjang SMA. Pria yang memiliki hobi menari dan bermain sepak bola ini
sudah bercita-cita ingin memperjuangkan rakyat kecil sejak duduk di bangku
sekolah.
Pada Pemilu 1955 ia berperan sebagai panitia pemilu di
daerahnya. Ketika itu ia mulai aktif di PNI dan mendirikan Ranting Pemuda
Demokrat di Kasiman. Pasca dibubarkannya PSI oleh Soekarno, persaingan perebutan
massa terjadi sangat ketat antara PNI dengan PKI yang tidak jarang berakhir
pada bentrok fisik antara dua organisasi ini
Ketika aksi penumpasan PKI dilakukan di Bali, I Made yang
saat itu menjabat sebagai ketua hansip, ikut serta membantu RPKAD/TNI dalam
melakukan penumpasan. Perannya adalah menunjukkan tempat orang-orang yang masuk
dalam daftar pencarian RPKAD. Namun ia mengaku tidak tahu menahu seputar
penghilangan dan pembunuhan orang-orang PKI.
Setelah aksi pengganyangan PKI mereda, I Made diangkat oleh
Bupati menjadi Perbekel di Kesiman. Sebagai perbekel ia berusaha keras untuk
mempersatukan Kesiman yang terpecah belah setelah persitiwa G 30 S dan akhirnya
berhasil dengan menyatukan 30 Banjar. Tugasnya sebagai perbekel ia jalani
sampai tahun 1971.
Memasuki era ‘Golkarisasi’, I Made kerap menolak tawaran
untuk masuk Golkar. Akibatnya ia sempat ditahan, kemudian dipindahkan ke kantor
camat dan dinas Pariwisata. Tahun 1977, dengan alasan telah terpilih sebagai
anggota DPRD II Badung dari PDI, ia memilih mengundurkan diri sebagai pegawai
negeri.
6.22 - Chandra
Bali, 25 Agustus 200
Chandra berasal dari Sumbawa, Lombok, Nusa Tenggara
Barat. Karena hidup menumpang dengan kakak iparnya yang seorang tentara, maka
Chandra pun harus mengikuti ke mana sang kakak ditugaskan, seperti Jakarta,
Yogyakarta dan Bali. Tahun 1959 ia menamatkan pendidikan SLTA di Bali.
Kecintaannya pada seni rupa mengantarnya ke Yogyakarta
untuk belajar menulis. Pengagum Sudjojono dan Hendra Gunawan ini banyak bergaul
dengan seniman yang tergabung dalam Lekra di Yogya. Saat itu di Yogya sedang
berlangsung perdebatan tentang konsep seniman: seni hanya untuk berseni atau
seni yang berpolitik.
Bersama dengan seniman Lekra, Chandra kerap pergi ke
Jakarta, salah satunya adalah menjadi Panitia Negara yang akan membuat karya di
istana negara. Pasca G 30 S banyak seniman Lekra yang ditangkap, namun Chandra
terhindar dari gelombang penangkapan sampai tahun 1968. Namun pada akhirnya ia
tertangkap dan ditahan di kamp penahanan Tangerang selama satu tahun, lalu
pindah ke Salemba selama satu tahun sebelum akhirnya dibuang ke Pulau Buru
selama tujuh tahun.
Di Pulau Buru ia tinggal di unit 14 dan sempat bergaul
dengan banyak tokoh lain seperti Pramoedya Ananta Toer. Chandra kerap mengalami
perlakuan kasar selama menjalani pembuangan di Pulau Buru. Saat banyak tahanan
mengalami sakit, ia sering melakukan terobosan dengan memakan tumbuhan obat
seperti daun bluntas. Aktivitas lain yang ia lakukan adalah bersawah/ berladang
untuk memenuhi kebutuhan pangan unit dan melukis.
Selama di Pulau Buru ia juga sempat menyaksikan kunjungan
Amnesti Internasional. Baginya kunjungan lembaga ini sangat penting untuk
memberikan tekanan internasional kepada Indonesia atas perlakuan tidak
manusiawi terhadap para tapol.
Tahun 1979 ia dibebaskan dari Pulau Buru dan sempat
tinggal di lingkungan Gereja Katedral Jakarta. Kehidupannya banyak dibantu oleh
kalangan Katholik, salah satunya adalah Romo Suto.
Tahun 1982 Chandra memutuskan pindah ke Lombok. Selama
tinggal di Lombok ia sempat bolak balik ke Bali. Awalnya ia berniat untuk
tinggal secara permanen di Bali, namun ijin tinggal selalu dipersulit, bahkan
sempat ditolak oleh lurah lantaran statusnya sebagai eks tapol. Pada era
reformasi pengawasan dan pembatasan terhadap Chandra mulai mengendur.
6.21 - Berdha dan
Dedi
Bali, 29 Agustus 2000
Berdha dilahirkan tahun 1924. Pada tahun 1940 ia menikah
dengan Sutedja, salah satu pejuang republik, baik pada periode melawan Jepang
maupun Belanda. Pada masa penjajahan Sutedja kerap keluar masuk penjara. Lalu
pada era kemerdekaan ia memperoleh pengakuan sebagai seorang veteran dari
pemerintah dengan nomor pokok veteran 282757 A.
Sutedja bekerja di birokrasi pemerintahan, ia menjadi
camat/raja. Saat Bali menjadi provinsi, oleh Presiden Soekarno Sutedja diangkat
menjadi Gubernur Bali. Sebagai gubernur, beliau ikut terlibat dalam mengurus
organisasi-organisasi di Bali antara lain BTI, SOBSI, Gerwani, dan Pemuda
Rakyat. Selama ia menjadi gubernur, Soekarno sering berkunjung ke Bali dan
menemui keluarga Sutedja.
Pascaperistiwa G 30 S, Sutedja ditugaskan ke Jakarta oleh
Soekarno. Untuk mengisi sementara posisi Sutedja yang kosong, Sugriwa diangkat
sebagai gubernur caretaker. Keluarga Sutedja kemudian menyusul ke Jakarta pada
28 Desember 1965. Di Jakarta, keluarga Sutedja tinggal di daerah Senayan dengan
fasilitas dan pengamanan yang cukup. Pada tanggal 29 Juli 1966, Sutedja
didatangi oleh orang yang mengaku bernama Kapten Tedy dan memintanya untuk
datang ke markas. Namun sejak kepergian itu, Sutedja tidak pernah kembali lagi.
Berdha berusaha mencarinya hingga ke Istana Bogor untuk menemui Soekarno, namun
ia tetap tidak memperoleh informasi keberadaan dan nasib suaminya.
Sementara itu, Benny, salah satu putra Sutedja yang juga
sukarelawan dalam merebut Irian Barat, kembali ke Jakarta setelah mendapat
informasi tentang ayahnya. Ia turut berupaya mencarinya, dan memperoleh
keterangan bahwa Kodim tidak mengeluarkan surat perintah pemanggilan untuk
ayahnya. Nomor kendaraan jeep Nissan yang dipakai menjemput Sutedja juga tidak
dikenal. Kemudian Benny melacak dan menanyakan ke Menteri Dalam Negeri,
Jenderal Basuki Rahmat, Jenderal Gatot Subroto (Kepala Skrining Nasional),
namun tetap tidak diketahui keberadaan Sutedja.
Tahun 1970 Berdha kembali ke Bali. Di Bali ia harus
memulai kehidupan dari awal lagi karena sekitar tahun 1967 rumahnya dirusak
oleh massa anti PKI. Dengan kesabarannya, ia dan anak-anaknya dapat bangkit
kembali. Sampai saat ini keluarganya masih terus berjuang untuk mengetahui
nasib dan keberadaan makam Sutedja jika memang sudah meninggal dunia. Upaya pencarian
terhadap Sutedja terus dilakukan hingga pemerintahan BJ. Habibie, Gus Dur, dan
Megawati. Komnas HAM pun dikirimi surat untuk melacak keberadaan Sutedja, namun
hasilnya tetap nihil. Keluarga berharap kebenaran dan keadilan bisa ditegakkan
di negeri ini.
6.19 - Nitik
Kapal, 24 Agustus 2000
Nitik sudah berusia 17 tahun ketika Proklamasi
kemerdekaan Indonesia dikumandangkan oleh Soekarno Hatta. Ketika itu ia tinggal
di Kapal, Bali. Ia terlibat aksi pelucutan terhadap tentara pendudukan Jepang
dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Ia kemudian menjadi menjadi guru
pada 1950.
Pada era 1950-an bermunculan organisasi massa dan
organisasi partai, antara lain PNI dan PSI. Nitik lebih memilih untuk menjadi
anggota PNI, karena partai ini mengusung semangat nasionalisme. Setelah PSI
dibekukan, muncul PKI. Untuk menarik simpati warga Bali, PKI mengusung isu
pembebasan ekonomi dari para “pencoleng”. Aksi ini cukup berhasil untuk menarik
massa meskipun kerap memunculkan ketegangan diantara partai-partai. Persaingan
lewat programpun terjadi, misalnya ketika PKI melatih ketangkasan kepada para
pemuda, PNI pun melakukan hal serupa.
Pada tanggal 30 September terjadi konsentrasi massa PKI
dengan bersenjata di Bali. Nitik mendapat informasi bahwa di Jakarta ada
gerakan menghadapi kup dari Dewan Jenderal. Massa PKI di Bali ikut siap siaga
dan menentang Dewan Jenderal. Beberapa waktu kemudian ada berita resmi dari
pengurus PNI dan aparat pemerintah bahwa PKI telah memaksakan kehendak dan
melenyapkan para Jenderal yang jadi penghalang, dan G 30 S didalangi oleh PKI.
Bulan Desember muncul kekacauan di Bali. Menurut Nitik,
anggota PKI daerah Kapal menuntut pengurusnya bertanggung jawab, karena telah
membohongi rakyat. Bahkan para pengurus partai banyak yang dibunuh oleh
anggotanya sendiri. Sementara itu di daerah lain sudah terjadi pembakaran dan
pembunuhan.
Di Kapal, pada bulan Maret 1966, bersama anggota PNI
lain, Nitik ikut melakukan pembersihan PKI secara “resmi” yang dikoordinir oleh
RPKAD. Di Kapal sempat ada eksekusi tembak mati terhadap sekitar 25 oarang
anggota PKI, di antaranya Puger. Tetapi ia mengaku, di Kapal tidak ada konsentrasi
tempat penahanan, semua yang terlibat PKI diseleksi dengan baik dan “diamankan”
secara rapi untuk kemudian diserahkan kepada aparat pemerintah.
Pada era pemerintahan Soeharto, Nitik aktif di Partai
Demokrasi Indonesia (PDI). Pada tahun 1971 ia sempat ditahan selama satu tahun
karena sebagai seorang guru ia dianggap menghalangi program Golkar. Tahun 1978,
karena tidak terbukti bersalah dan tidak terlibat G 30 S, ia direhabilitasi dan
bekerja kembali di Kantor Dinas Pengajaran Kabupaten. Sementara itu,
keaktifannya di PDI mengantarnya ke kursi DPR.
Sementara itu, dalam menanggapi kasus Tragedi 1965, dalam
rangka konsolidasi kembali di Bali, ia menyuarakan agar kasus tersebut kita
lupakan saja, dan berharap agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
6.18 - Barda
Kapal, 10 Januari 2001
Barda lahir tahun 1927 di Kapal, Bali. Ia sempat
mengenyam pendidikan Sekolah Rakyat sampai kelas lima. Orangtuanya bekerja
sebagai montir mobil pada tentara pendudukan Jepang dan Barda kerap diajak ke
bengkel mobil tempat ayahnya bekerja.
Pada era dibentuknya badan-badan perjuangan, ia bergabung
dengan TKR sebagai sopir dan montir. Pada masa itu ia sempat ditahan oleh
tentara pendudukan Jepang dan kemudian dibebaskan setelah ada tekanan dari
Jakarta.
Pada era kemerdekaan ia bekerja sebagai montir pada
bengkel milik ABRI di Denpasar. Lalu pada tahun 50-an, di Bali sedang marak pembentukan
organisasi massa dan organisasi politik yang berlomba-lomba menarik simpati
masyarakat agar menjadi anggotanya. Ketika itu Barda memutuskan untuk bergabung
dengan PKI.
Kegiatan-kegiatan yang sedang dijalankan PKI pada saat
itu adalah memperbaiki rumah warga, membuat rumah untuk warga miskin dan
menjalankan landreform.
Tahun 1965, setelah pecah Peristiwa G 30 S Barda ditahan
oleh CPM dan baru dibebaskan setelah menjalani 14 tahun masa penahanan di
berbagai tempat penahanan di Bali. Selama di tahanan, ia menyaksikan tahanan
yang dibon, dibunuh, disiksa, mati karena penyakit, stres, dan karena sebab
lain. Namun ia juga melakukan aktivitas lainny seperti membuat kerajianan ember
dan dandang dari drum bekas yang kemudian dijual istrinya saat berkunjung, dan
juga bekerja di bengkel CPM.
Saat ini ia akan memperjuangkan nasib dan sejarah
hidupnya dan korban lainnya untuk memperoleh keadilan dan kebenaran.
6.13 - Nyoman
Denpasar, 25 Agustus 2000
Pada tahun 1964, ketika Nyoman masih duduk di bangku SMP
di daerahnya terjadi konflik sosial sebagai efek dari pembentukan banjar.
Kelompok Banjar Pekambingan dengan Kelompok Banjar Catur Pance tidak dapat
bersatu.
Di Banjar Pekambingan kemudian dibentuk organisasi yang
berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, antara lain SOBSI dan BTI. Banyak
orang yang tertarik menjadi anggota organisasi ini karena mereka melihat kegiatan
organisasi ini sangat membantu kaum tani. Misalnya dalam pembasmian hama tikus
dan perjuangan untuk kaum buruh tani yang tidak memiliki tanah garapan.
Pasca Peristiwa G-30 S terjadi pengejaran dan pembunuhan
terhadap mereka yang dituduh PKI. Menurut Nyoman, konflik agraria yang terjadi
sebelum Peristiwa G 30 S memiliki pengaruh besar terhadap aksi pembantaian
orang-orang PKI. Dua orang kakak Nyoman yang aktif di CGMI dan Front Nasional
ikut terbunuh dalam aksi penumpasan PKI di banjarnya. Kakaknya dibunuh pada
tanggal 7 Desember 65 bersama dengan 10 orang aktivis lainnya. Pembunuhan
dilakukan oleh seorang tentara dengan disaksikan oleh banyak warga, termasuk
Nyoman sendiri.
Setelah Nyoman dewasa, ia aktif di kegiatan pemuda.
Karena keaktifannya di bidang kepemudaan, oleh warga yang terlibat pembunuhan
kakaknya ia sempat dicurigai akan melakukan balas dendam. Namun kecurigaan
tersebut mampu ia patahkan, apalagi setelah ia aktif dalam kegiatan keagamaan.
Lewat upacara Ngaben ia juga melakukan ritual bagi kakak-kakaknya yang sudah
meninggal. Ritual tersebut sebelumnya sempat ditentang para warga karena
kakak-kakaknya dianggap sebagai anggota PKI. Selain dua kakaknya, ayah mertua
Nyoman juga menjadi korban aksi penumpasan PKI di banjarnya. Ayah mertuanya
hilang setelah massa mengeluarkannya dari kamp penahanan.
6.4 - I. Wayan
Denpasar, 6 Januari 2001
Bapak I Wayan dilahirkan di Denpasar, Bali. Ia menempuh
pendidikan jenjang sarjana jurusan sejarah yang kemudian ia lanjutkan hingga
meraih gelar Doktor Honoris Causa di bidang Sosial Politik. Pengalaman ini
sangat disyukuri oleh I Wayan karena pada masa itu kesempatan bersekolah hingga
jenjang perguruan tinggi hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu.
Ia menjadi guru pada 1953, setelah tamat Sekolah Guru A
(SGA). Bersamaan itu pula ia mulai terjun di dunia politik. Ia memulai
aktivitas politiknya dengan memimpin pemuda di kampungnya hingga kemudian
menjadi ketua ranting PNI. Partai ini adalah partai nomor satu hasil Pemilu
1955 di Bali, disusul oleh PSI.
Sekitar tahun 1963, bersamaan dengan isu Ganyang Malaysia
dan reformasi agraria, dukungan terhadap PKI Bali mulai mengalir. Banyak aksi
sepihak dilakukan oleh PKI dan BTI. Isu “Setan Desa” dan “Setan Kota” mulai
gencar didengungkan. Isu ini menyebabkan ketersinggungan bagi kelompok-kelompok
di luar PKI.
Pasca meletusnya Peristiwa G 30 S, aksi penumpasan terhadap
PKI dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengannya mulai dilakukan. I
Wayan yang ketika itu sedang menjabat sebagai Bupati Badung ikut berpartisipasi
dalam penumpasan orang-orang PKI. Pada awal-awal setelah Peristiwa G 30 S, PKI
terlihat masih sangat solid dan terkonsentrasi. Ketika itu I Wayan dan
kelompoknya belum berani melakukan pembunuhan terhadap mereka yang dituduh PKI.
Keberanian untuk membunuh orang-orang PKI muncul setelah RPKAD yang dipimpin
oleh Mayor Yasmin datang di Bali dan memberikan dukungan terhadap penumpasan
orang-orang PKI. Pada saat itu RPKAD pun sangat brutal menumpas PKI.
Semasa menjadi Bupati, I Wayan mengaku pernah menjadi
saksi eksekusi yang dilakukan oleh RPKAD terhadap sekitar 50 orang anggota PKI
di desa Kapal. Aksi-aksi ini mulai mereda pada tahun 1967.
Pasca lengsernya Soeharto ia memilih aktif di PAN.
Ketertarikannya pada Amien Rais – yang menurut dia adalah seorang reformis –
menjadi pendorong keikutsertaannya di PAN.
Mengenai ide rekonsiliasi, ia berpendapat, rekonsiliasi
harus jelas inisiatornya, bagaimana konsepnya, siapa pemimpinya dan juga siapa
yang disebut korban dan siapa yang dikorbankan.
0 komentar:
Posting Komentar