1.39 - Zakaria
Jakarta, 14 Desember 2000 - 06/09/2010
Zakaria dilahirkan di Buton pada tahun 1937. Ia merupakan
putera dari seorang pejuang. Pada masa pendudukan Jepang ayahnya sempat ditahan
Jepang. Setelah kemerdekaan ayahnya menjadi camat di Buton.
Ia bersekolah di Ujung Pandang hingga jenjang perguruan
tinggi. Baginya pendidikan adalah modal dasar untuk membangun SDM yang
berkualitas untuk mengembangkan potensi Buton. Oleh sebab itu, bersama Bupati,
dan individu lainnya mendirikan Universitas Sulawesi Tenggara dan IKIP.
Sekitar tahun 1960, di Buton partai-partai juga sudah
berkembang, yang cukup besar adalah PNI dan NU. PKI sudah mulai ada tetapi ia
mengaku tidak suka dengan cara perekrutan anggota yang dilakukan PKI. Maka,
saat ia bekerja di suatu perusahaan ia membentuk SOKSI yang merupakan tandingan
dari SOBSI.
Saat meletus G30S, ia masih di Makasar. Dan datanglah
pengganyangan massa PKI. Ia ikut terlibat pengganyangan tersebut karena terkait
juga dengan ketidaksetujuan dengan gerak PKI. Tahun 1966, ia kembali ke Buton
dan menjadi pejabat pembantu bupati. Di Buton, sejak tahun 1965, sudah
berdatangan unsur militer yang menunjukkan gejala akan menguasai banyak bidang
kehidupan. Gejala itu semakin jelas pada tahun 1969, Zakaria dan bupati
ditangkap tentara. Ia dan bupati dituduh menyembunyikan senjata PKI, suatu
tuduhan yang mengada-ada. Ia ditahan berpindah-pindah, diinterogasi dan
menyaksikan penyiksaan terhadap tanahan lain. Selama lima bulan ia tidak boleh
dijenguk keluarga. Rumahnya digeledah, semua perhiasan diambil dan tidak pernah
dikembalikan.
Setelah menjalani tujuh bulan penahanan Zakaria
dibebaskan. Ia kembali ke keluarga, tetapi pekerjaan sudah digantikan oleh
militer. Warga sekitar tempat tinggalnya mencap Zakaria dan keluarga sebagai
orang PKI, orang yang jahat. Ia dan keluarga hijrah ke Jakarta. Usaha jasa
pengangkutan laut dia geluti sebagai sumber penghidupan keluarga.
Ia merasa harga dirinya telah dikorbankan oleh rezim Orde
Baru. Ia menuntut agar ada rehabilitasi dan kompensasi akibat perlakuan yang
telah ia alami.
1.36 - Yuarsa
Jakarta, 22 Februari 2001
Yuarsa dilahirkan di Kota Tegal, 10 Juli 1947.
Keluarganya adalah penganut Islam yang soleh. Ia merupakan salah satu anak
kembar dari pasangan duda beranak dua, dan janda beranak tiga. Ia memiliki lima
saudara kandung.
Saat kelas dua SD Yuarsa ikut pindah bersama keluarganya
ke Jakarta. Ia tinggal di sekitar Salemba. Ia bergaul dengan anak-anak muda
yang dikenal suka berkelahi. Oleh Soekarno, anak-anak muda ini kemudian
disalurkan menjadi anggota Marinir dan RPKAD. Sementara itu, Yuarsa tetap
bersekolah. Ia bergabung dengan IPI. Kegiatan-kegiatan IPI antara lain olah
raga, belajar bersama dan koor. Menurut pengakuannya, saat itu IPI ada
dua: IPI Pancasila dan IPI pimpinan Robby Sumelang. Pada saat itu ia tidak tahu
mana IPI yang beraliran kiri dan mana yang beraliran kanan.
Kakak tirinya adalah aktivis. Di sebelah rumahnya
dijadikan sekretariat tempat berkumpul anggota Pemuda Rakyat dan anggota PKI.
Sebetulnya pertemuan-pertemuan mereka biasa saja, dan banyak membicarakan
hal-hal yang baik bagi Indonesia. Namun, pasca G 30 S, pertemuan-pertemuan
tersebut justru dijadikan alasan untuk mengaitkan mereka yang pernah hadir
dalam pertemuan dengan G 30 S.
Saat itu Yuarsa masih duduk di kelas dua SMA. Karena
kondisi kacau, ia sempat pulang kampung. Namun oleh saudaranya ia diantar ke
kantor polisi.
Ia kemudian ditahan dan ditempatkan di kamp bersama
tahanan lain.
Dalam pemeriksaan ia selalu ditanyakan tentang
keterlibatannya dalam pembunuhan Jenderal di Lubang Buaya. Yuarsa kerap
mengalami penyiksaan. Ia kemudian mendekam di penjara selama empat tahun dengan
kondisi makanan dan kesehatan tak terjamin. Ia dapat bertahan karena terbantu
oleh kiriman sega aking (nasi kering) dari keluarganya. Setelah empat
tahun, ia kemudian dipindah ke Nusakambangan. Setelah beberapa bulan di
Nusakambangan, ia dibuang ke Pulau Buru. Di Pulau Buru ia ditempatkan di Unit
II Wanapura.
Selama penahanan itu, ia mengaku sempat putus asa dan
berpikir tak ada harapan untuk bebas. Namun ia punya pengalaman spiritualitas
yang kemudian dapat meneguhkan hatinya. Di Pulau Buru ia menjadi penganut
Kristen.
Setelah dibebaskan ia sempat pindah ke Yogyakarta untuk
mendalami akupunktur. Di sana ia berkenalan dengan seorang gadis beragama
Islam. Sang gadis meminta agar Yuarsa kembali ke Islam. Kemudian mereka menikah
secara Islam. Kendati pernikahan dilangsungkan secara Islam, namun pihak
keluarga istrinya sempat tidak merestui pernikahan tersebut, sebab ia seorang
tapol.
1.35 - Widarko
Jakarta, 27 Juli 2001
Widarko, seorang mahasiswa yang dikirim oleh pemerintah
Soekarno untuk belajar di salah satu institut di Moskow. Jurusan yang ia ambil
adalah metalurgi. Sebelum dikirim belajar ke Moskow ia sempat kuliah di
Universitas Gajah Mada.
Menurut Widarko, walaupun tempat tujuan belajar adalah
negara sosialis, namun tidak semua mahasiswa yang dikirim oleh pemerintah
Indonesia memiliki ideologi kiri. Mahasiswa yang tidak memiliki ideologi kiri
pun dikirim ke negara yang sama dengannya.
Widarko senang bersekolah di Moskow, sebab ia tidak perlu
lagi meminta uang bulanan kepada orang tuanya yang hanya pegawai biasa. Di
Moskow setiap mahasiswa memperoleh beasiswa dan hak berlibur. Hak libur selalu
digunakan oleh Widarko untuk mengunjungi Kuba.
Widarko juga sempat bekerja di pabrik yang memproduksi
logam di Moskow. Menurutnya, organisasi buruh dan pemuda sangat memiliki
perananan yang sangat berarti, baik untuk kesejahteraan buruh maupun untuk
kemajuan perusahaan.
Setelah terjadi peristiwa G 30 S di Jakarta, di Moskow
pun dibentuk organisasi Mahasiswa dan pelajar, seperti KAMI dan KAPI di
Indonesia. Tugas mereka pun sama, menangkapi mahasiswa yang disinyalir kiri.
Duta besar Indonesia untuk Moskow, Manai Sophian diganti. Mahasiswa harus
mendaftarkan/mencatatkan diri di kantor Kedutaan.
Banyak mahasiswa yang tidak mendaftarkan diri, terutama
mereka yang menganut ideologi kiri.
Mereka kemudian masuk daftar cekal dan black list oleh
pihak kedutaan.
Mereka tidak boleh kembali/pulang ke Indonesia. Mereka yang
masuk daftar cekal atau black list bukan hanya mahasiswa yang
menganut aliran kiri, melainkan juga para mahasiswa pendukung Bung Karno.
Paspor mereka dicabut oleh pihak KBRI.
Ketika benar-benar tidak bisa kembali ke tanah air,
pemerintah Moskow memberikan dispensasi kepada Widarko dan mahasiswa lain untuk
dapat bekerja di Moskow. Kemudian Widarko lebih memilih bekerja dan melanjutkan
kembali studinya di Kuba.
1.33 - Axien
Jakarta, 16 Juni 2000, 16
Maret 2001
Kegiatan dalam bidang politik mulai ia tekuni ketika
masih tinggal di tempat kelahirannya, Pekalongan, Jawa Tengah. Ketika itu
usianya masih sangat belia.
Awalnya ia tertarik dengan Baperki, namun belakangan ia
lebih tertarik dengan PPI, organisasi pemuda bentukan Baperki yang lebih banyak
bergerak di bidang kesenian. Ia terlibat dalam kegiatan mencari kader-kader
organisasi di berbagai kota. Ia juga mendirikan lebih banyak lagi organisasi
PPI di berbagai kota. Kegiatannya inilah yang mengantarnya ke Jakarta pada
tahun 1963.
Di Jakarta ia juga banyak terlibat dengan organisasi lain
diantaranya yang disebutnya sebagai organisasi penganut aliran Kiri atau
pengikut ajaran Bung Karno. Kegiatannya di bidang kesenian juga mendekatkannya
kepada organisasi kesenian dan kepemudaan semacam Lekra dan Pemuda Rakyat.
Jabatannya sebagai fungsionaris Baperki dan PPI
membuatnya berhubungan lebih dekat dengan berbagai tokoh yang terkait dengan
organisasi PKI.
Pascaperistiwa G 30 S terjadi aksi penangkapan dan
pengejaran terhadap anggota dan pengurus PKI, termasuk anggota Baperki dan PPI.
Axien ditangkap di Tomang pada tanggal 6 Desember 1966 bersama dengan tokoh PKI
Sudisman dan Sukadi. Saat itu orang yang menangkapnya adalah Ketua Komisi
Verifikasi Komite Central PKI, dimana kedudukannya ini diangkat oleh Kongres
PKI. Ia datang bersama dengan beberapa orang anggota tentara.
Axien ditahan di Rutan Salemba, RTM Budi Utomo, Kodam,
Kodim Air Mancur. Sejak awal ditahan Axien meyakini bahwa ia menjadi tahanan
politik karena adanya perubahan situasi politik. Oleh karena itu ia sadar bahwa
untuk memperoleh kebebasan kembali mesti ada perubahan politik. Axien
mengetahui bagaimana proses pembuatan buku ‘Kritik Oto Kritik’ yang dirangkai
Sudisman dari diskusi anggota-anggota PKI yang tersisa sebelum akhirnya
ditangkap pada tahun 1966.
Ia dan tapol lainnya mengalami penyiksaan selama ditahan.
Jatah makan begitu minim dan buruk. Para tahanan dapat bertahan hidup dari
berbagai bentuk tindakan, solidaritas maupun perpecahan. Para tahananpun lebih
terbantu dengan kiriman makanan dari keluarga. Di dalam penjara, tapol
mengalami perpecahan. Mereka membuat kelompok, yaitu Komite Partai dan Gerakan
Pancasila.
Pengalaman pribadi yang unik dari Axien adalah bernyanyi
untuk mencari kekuatan sesaat setelah ia disiksa, sementara para tahanan lain
memalingkan muka karena ngeri melihat wajah Axien setelah menjalani penyiksaan.
Pengalaman menyanyi ini juga dilakukan Axien menjelang pelaksanaan eksekusi
Sudisman.
Selama menjalani penahanan, ia sempat dihadapkan ke
Mahmilub sebagai saksi untuk pengadilan Sudisman. Proses persidangan sempat
diikuti oleh Ben Anderson dan Yap Tiam Hien.
Menurutnya, situasi penjara mulai longgar ketika Jimmy
Carter terpilih sebagai presiden Amerika, sehingga Palang Merah Internasional
bisa mengunjungi para tapol di tahanan dan penjara. Tahun 1976 situasi penjara
mulai mengalami perbaikan, baik makanan, akses informasi seperti televisi dan
bahan bacaan, memelihara hewan ternak yang hasilnya untuk konsumsi para
tahanan.
Tanggal 8 Desember 1979 Axien dibebaskan. Setelah setahun
keluar dari penjara, ia kemudian menikah dengan seorang teman lamanya, seorang
gadis Tionghoa. Pernah bersekolah di Universitas Res Publika, aktif di CGMI dan
senang berkesenian.
Sebagai mantan tapol, tentu banyak hambatan yang ia dan
keluarga hadapi dalam bersosialisasi dengan masyarakat. PKK adalah salah satu
wadah bagi istri dan keluarganya untuk dapat bersosialisasi dengan masyarakat.
Saat ini Axien bergabung dengan salah satu organisasi perjuangan antidiskriminasi
rasial.
1.30 - Romo Tono
Jakarta, 10 Mei 2000
Romo Tono seorang rohaniawan Katholik yang ditugaskan
untuk memberikan pedampingan para tapol, baik yang ditahan di tempat-tempat
penahanan maupun di tempat pembuangan Pulau Buru. Pada tahun 1967 ia mulai
bertugas di Pulau Buru. Romo Tono bertugas selama tiga bulan.
Ia melihat bahwa pemahaman tantang ajaran komunisme di
Asia, khususnya Indonesia, tidak sekuat pemahaman komunisme di Eropa
Barat/Timur. Kalaupun banyak simpatisan atau kader PKI, bukan berarti pemahaman
komunisme mereka sudah merata. Banyak kader yang sebenarnya semata-mata karena
didorong oleh kebutuhan, terutama kebutuhan ekonomi.
Di Pulau Buru selain bergaul dengan para anggota Pleton
Pengawal, ia juga kerap berdiskusi dengan para tapol. Menurutnya, karena
perlakuan yang manusiawi dari rohaniawan Katholik, maka banyak terjadi
perpindahan agama dari non katholik menjadi Katholik. Bahkan, jika dibiarkan,
penganut Katholik dari kalangan tapol Pulau Buru bisa mencapai 80 peresen.
Fenomena ini membuat khawatir para petugas. Kemudian
dibikin mekanisme agar tapol tidak mudah melakukan perpindahan agama. Romo Tono
pun membuat aturan yang ekstra ketat bagi mereka yang ingin melakukan pindah
agama.
Beberapa tapol yang dieksekusi mati sempat disaksikan
oleh Romo Tono. Sebab sebelum dieksekusi biasanya para tapol/napol diberikan
bimbingan rohani oleh rohaniawan dari agamanya masing-masing.
Mengenai kekerasan di Pulau Buru, nampaknya Romo Tono
tidak mau terlalu terbuka. Ia menganggap bahwa perlakuan para petugas terhadap
para tahanan masih dalam tahap biasa/wajar. Bahkan Romo Tono beranggapan bahwa
jika dibandingkan dengan para transmigran, selayaknya para tapol berbahagia.
Karena mereka diberikan kebebasan untuk membangun dan mengembangkan unit-unit
yang digunakan untuk menahan mereka.
0 komentar:
Posting Komentar