9.35 - Rahima
Argosari, 30 Juni 2005 - 06/09/2010
Lahir 24 Juli 1947 di Tiangmanglayang, Kalimantan Tengah.
Anak pertama dari tiga bersaudara. Rahima telah ditinggal mati oleh ayahnya
ketika ia berumur delapan tahun. Ibunya menikah kembali dengan seorang anggota
ABRI.
Karena ayah tirinya sering berpindah-pindah tempat tugas,
maka Rahima diasuh oleh neneknya. Dari perkawinan kedua ibunya ia memperoleh
tiga orang saudara tiri.
Pada saat terjadi peristiwa G 30 S Rahima masih duduk di
bangku SMP. Ia mendengar berita Peristiwa G 30 S melalui radio yang dimiliki
oleh neneknya.
Rahima sempat menikah dan memiliki seorang anak. Namun
karena perbedaan agama akhirnya ia bercerai. Ia sempat bekerja di dinas
kesehatan milik Rusia. Karena proyeknya selesai maka ia tidak lagi bekerja.
Suatu ketika ia berjalan-jalan ke Kamp Plengkung. Di kamp itu ia bertemua
dengan seorang tapol yang kemudian menjadi suaminya.
Pada 1977 ia dan suaminya
pindah ke Argosari yang pada saat itu masih berupa hutan yang sangat lebat.
Akses keluar masuk desa masih berupa jalan setapak yang selalu becek jika
terkena hujan. Awal tinggal di Argosari adalah masa yang paling berat bagi
hidup Rahima. Saat masih kerja di Balikpapan seminggu sekali ia pulang ke
Argosari.
Karena mempertimbangkan
pertumbuhan anak dari perkawinan keduanya, akhirnya ia memutuskan untuk keluar
dari perusahaan asuransi tempatnya bekerja.
Rahima harus merubah kultur hidupnya. Semula bekerja di
kantoran kini harus berjibaku dengan lumpur dan tanah. Memanggul belasan kilo
hasil bumi untuk ia jual. Kehidupannya begitu miskin sehingga ia harus menyambi
kerja pada sebuah warung. Rahima sempat terserang penyakit tipus yang hebat dan
memaksanya harus menjalani perwatan di rumah sakit. Semua biaya perawatan
ditanggung oleh keluarganya, sebab ia dan suaminya tidak memiliki uang untuk
membayar biaya rumah sakit.
Di Argosari Rahima tidak hanya bekerja di sawah atau
kebun, menebang pohon dengan diameter sebesar drum pun pernah ia lakoni bersama
dengan suaminya. Sering kali bagian tubuhnya diisap lintah.
Saat ini Argosari memang lebih maju dibandingkan pertama
kali dibuka. Pelayanan untuk lansia diadakan, ada fasilitas kesehatan berupa
puskesmas. Namun pada prakteknya fasilitas ini tidak dikelola secara baik.
Hanya perawat yang sering berkunjung ke puskesmas, sedangkan dokternya jarang
sekali datang.
Ibu Rahima berharap agar pemerntah dapat memberikan
kompensasi atas apa yang telah dialami oleh suaminya. Termasuk gaji yang belum
dibayarkan oleh instansi di mana suaminya pernah bekerja.
9.34 - Rudinah
Argosari,1 Juli 2005
Lahir pada salah satu daerah yang terdapat di Kabupaten
Grogot, Kalimantan Timur. Anak bungsu dari pasangan Tupek dan Sunah. Ayahnya
seorang petani. Ketika ia berusia sekitar 12 tahun orangtuanya bercerai, sebab
ibunya tidak mau jika ayahnya kawin lagi. Ia memilih untuk tinggal bersama
ibunya.
Rudinah sudah lupa tahun berapa ia menikah dengan Samin,
suaminya. Rudinah memiliki delapan orang anak, namun empat dari delapan anaknya
telah meninggal dunia. Ketika Rudinah akan melahirkan anak pertama ibunya
meninggal dunia.
Pada 1970 Rudinah diperintahkan untuk datang ke kantor
Camat Kuaro. Ia dipanggil karena namanya masuk dalam sebuah daftar. Setelah
menjalani pemeriksaan, ia dan beberapa orang lagi, laki-laki dan perempuan,
dibawa ke Balikpapan untuk kemudian ditahan. Ketika ditangkap Rudinah sedang
dalam kondisi hamil. Di tahanan ia melahirkan anak keempatnya. Ia melahirkan di
Rumah Sakit Umum Balikpapan dengan pengawalan ketat polisi.
Rudinah tidak tahu tuduhan apa yang dikenakan padanya. Jangan
lagi terlibat dalam organisasi kiri, yang namanya Gerwani atau PKI saja ia
tidak tahu sama sekali. Ia seorang yang buta huruf, sebab sejak kecil ia tidak
pernah bersekolah.
Selama menjalani proses persalinan ia tidak ditemani oleh
suaminya. Sebab saat itu suaminya juga berstatus sebagai tahanan politik. Tidak
ada ijin yang diberikan oleh penguasa kepada suaminya. Padahal jarak kamp
penahanan Rudinah dan suaminya hanya berseberangan. Selain Rudinah masih ada
dua perempuan lain yang juga melahirkan saat ditahan. Di kamp penahanan tidak
ada jatah makan khusus untuk anak, si ibu harus berbagi jatah makan dengan
anaknya.
Menu jatah makanan para tapol buruk sekali. Sementara
kiriman dari keluarga tak pernah datang. Berharap anak-anaknya membesuk tak
mungkin, sebab anak-anaknya masih kecil. Berharap pada sanak saudara juga
mustahil, sebab mereka semua takut mengalami hal yang sama dengan Rudinah.
Hanya sekali ia dibesuk oleh tetangganya, itupun hanya mengabari bahwa salah
seorang anaknya telah meninggal dunia.
Di kamp penahanan Rudinah mengalami depresi yang berat,
ia nyaris bunuh diri. Keinginan membesarkan anak yang lahir di kamp-lah yang
membuat dia harus tetap bertahan hidup. Anak ini juga yang menjadi penawar
rindunya terhadap anak-anaknya yang lain. Di kamp penahanan, jika satu orang
tapol melakukan kesalahan, maka hukumannya akan dikenakan kepada seluruh tapol.
Satu ketika para tahanan pernah dikunjungi oleh tamu asing. Untuk
mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan (oleh penguasa), petugas memindahkan
tapol yang menguasai bahasa Inggris dan tapol yang memiliki anak ke kamp
penahanan lain.
Setelah menjalani masa penahanan Rudinah kembali ke
kampung halamannya. Setibanya di sana ia dapati rumahnya sudah diambil alih dan
berganti dengan bangunan sekolah. Sementara kebun seluas 10 hektar warisan
orangtuanya juga dirampas dan telah menjadi perkebunan kelapa sawit milik
keluarga Soeharto.
Pada 1977 ia datang ke Argosari. Dengan menggunakan truk
ia didrop di Argosari. Pertama kali datang ia bersama dengan anak bungsunya,
suami dan anak-anaknya yang lain masih tinggal di kampung. Di Argosari ia
tinggal di barak, sebab rumah-rumah untuk para tapol belum dibangun. Sambil
menunggu rumah dibangun, ia menanam singkong dan padi. Ketika selesai dibangun,
rumah-rumah dibagikan secara lotre. Selain mendapat rumah, keluarga tapol juga
mendapatkan dua seperempat hektar tanah pekarangan.
Pada masa kampanye pemilihan umum presiden, eks tapol
yang ada di Argosari dimobilisasi oleh kelompok calon presiden Megawati. Mereka
diberi kaos dan uang. Rudinah kecewa, karena setiap pembagian sumbangan ia
merasa diperlakukan tidak adil.
Saat ini, untuk mengisi waktu, selain kegiatan yasinan
Rudinah juga aktif dalam kegiatan PKK dan arisan kampung. Hasil bumi merupakan
penghasilan utama bagi keluarga Rudinah. Sesekali anaknya membantu ekonomi
keluarga, baik berupa uang maupun bibit padi.
Fasilitas berupa puskesmas dan pelayanan bagi lansia baru
tahun-tahun belakangan ini saja ada di Argosari. Termasuk Balai Desa. Dahulu
jika ada warga Argosari yang sakit maka ia harus dibawa ke Kecamatan Semboja
untuk diobati. Sementara jarak Argosari ke Kecamatan Semboja belasan atau
puluhan kilometer jauhnya.
Harapan Rudinah sederhana saja, ia meminta ganti rugi
atas perampasan terhadap 10 hektar tanah warisan miliknya oleh keluarga
Soeharto. Sebab ia merasa tidak lagi memiliki harapan, harapannya sudah habis.
Anak yang tertua pun menderita penyakit lumpuh yang sangat sulit disembuhkan.
Konsep adil menurut Rudinah adalah situasi aman, damai dan memiliki unsur
perikemanusiaan.
9.28 - Tiani
Argosari, 2 Juli 2005
Tiani tidak tahu secara persis kapan dia dilahirkan.
Menurut perkiraan, ia lahir sekitar tahun 20-an di Kendal, Semarang. Sebagai
patokannya adalah pada jaman pemerintahan Hindia Belanda ia telah memiliki satu
orang anak dan pada masa pendudukan Jepang ia memiliki dua orang anak. Pada
masa kecilnya, minat sekolah anak-anak di kampungnya sangat rendah, anak orang
kaya sekalipun. Ia sendiri baru bersekolah pada usia 12 tahun dan hanya sampai
kelas tiga SR.
Tiani adalah anak dari istri kedua ayahnya. Ia tiga bersaudara.
Dengan istri yang pertama ayahnya juga memiliki tiga orang anak. Dari enam
anak, hanya Tiani yang berkesempatan untuk bersekolah.
Pada masa sekolah seluruh alat tulis diberikan oleh
pemerintah. Biaya sekolah setiap anak dikenakan berbeda-beda. Untuk anak dari
keluarga miskin dikenakan 1 sen. Sedangkan anak orang kaya dikenakan 3 sen.
Tiani sendiri dikenakan bayaran 3 sen. Sebab ia dianggap anak orang kaya,
maklum bapaknya wakil lurah.
Selama hidupnya ia telah dua kali menikah. Di usianya
yang baru menginjak 17 tahun ia menikah dengan suami pertamanya. Pada periode
kekalahan Jepang dalam Perang Dunia Kedua suaminya meninggal dunia. Saat itu
mereka sudah memiliki dua orang anak. Pernikahan pertama ia langsungkan di
Semarang dengan laki-laki yang juga berasal dari Semarang.
Pada 1958 oleh kakaknya Tiani dibawa ke Balikpapan. Di
Balikpapan ia menikah kembali dengan suami kedua, seorang karyawan Pertamina.
Di kantornya, suami Tiani menjadi anggota Perbum (Persatuan Buruh Minyak).
Pascaperistiwa 65 suaminya dipecat dari pekerjaan.
Seseorang mendatangi rumah Tiani dan meminta suami Tiani menghadap camat.
Setelah menghadap camat suami Tiani tidak pulang. Suami Ngatinah ditahan.
Padahal pada saat itu mereka telah memiliki lma orang anak,
dan semuanya masih kecil-kecil. Penangkapan terhadap suaminya jelas berdampak
pada kehidupan keluarga dan pendidikan anak-anaknya. Hanya si bungsu yang dapat
mencapai pendidikan tingkat atas (PGA, Pendidikan Guru Agama), anak ketiga
berhenti di kelas dua STM, sisanya hanya tamat SD.
Periode kehidupan yang serba sulit mulai ia masuki. Untuk
bertahan hidup ia berjualan makanan. Sisa makanan yang tidak terjual mereka
makan. Satu ketika pernah hampir seluruh anaknya dan Ibu Tiani sendiri sakit.
Kehidupan jelas bertambah sulit, sebab tidak ada yang mencari makan, memasak
dan membesuk suaminya.
Dalam hidup yang penuh keterbatasan dan tekanan, setiap
hari mingu ia menyempatkan diri untuk membesuk suaminya dengan membawa rantang
makanan untuk suaminya. Dengan menumpang mobil kayu dan berjalan kaki sejauh
dua kilometer ia membesuk suaminya di tahanan. Untuk memenuhi kerinduan
suaminya, ia membawa serta kelima anaknya saat membesuk.
Di kamp penahanan, suaminya tidak hanya ditahan, namun
juga dipekerjakan. Tiani tidak tahu mengapa suaminya harus ditahan. Tiani juga
tidak tahu secara persis kapan suaminya dibebaskan. Dalam ingatannya yang mulai
kabur ia merasa suaminya bebas sekitar tahun ’72. Dan sekitar 1978 suaminya
mendaftarkan diri untuk mendapatkan rumah di Argosari.
9.25 - Mutini
Argosari, 2 Juli 2005
Mutini berasal dari Ponorogo, Jawa Timur. Ia tidak tahu
kapan ia dilahirkan. Karena tidak ada dokumen yang mencatat dan tidak ada pula
orang yang memberitahukan waktu kelahirannya. Menurut cerita yang masih dia
ingat, ibunya meninggal dunia saat melahirkan Mutini. Semula ia dipelihara oleh
keluarga pamannya, namun karena sang bibi tidak mau mengurus maka Mutini kecil
kemudian diserahkan kepada seorang tukang becak di Surabaya. Ia kemudian
diajari berdagang makanan seperti pisang goreng, indil-indil, nasi kuning.
Mutini tidak pernah mengecap pendidikan sekolah. Tahun
’70, melalui sebuah proses perjodohan Ibu Mutini menikah dengan seorang anggota
Angkatan Laut. Baru satu minggu usia perkawinannya, suaminya meninggal dunia
dalam sebuah latihan terjuan payung. Tahun ’71 ia menikah kembali dengan
anggota polisi. Suaminya kali ini adalah orang yang sudah tua dan kaya raya.
Namun karena merasa tidak kuat, Ibu Mutini meminta cerai.
Lima bulan setelah perceraiannya, tahun ’75 ia menikah
kembali dengan seorang tentara yang telah ditinggal mati istrinya. Tahun ’86
suaminya meninggal dunia.
Pada 1990 ia menikah kembali dan mengikuti suaminya
tinggal di Argosari. Ia harus menjalani kehidupan yang begitu berat dalam
perkawinannya dengan suami yang sekarang. Bukan saja karena persoalan ekonomi,
anak-anak dari suaminya kerap mencerca dia dengan kata-kata kasar dan tidak
patut. Anak tirinya juga kerap meminta uang secara paksa kepada Ibu Mutini.
Bahkan bekas istri suaminya kini juga kerap meminta uang
pada Ibu Mutini sekaligus mencerca bahwa suami Ibu Mutinini PKI. Anak tirinya
seakan tidak lagi peduli dengan ayahnya. Sudah beberapa tahun mereka tidak
mengunjungi ayahnya. Anaknya seperti kecewa, sebab dengan menjadi anak tapol
mereka mengalami kesulitan untuk memperoleh pekerjaan.
Sebelum menikah dengan suami yang sekarang ia sempat
mengurus pensiun suaminya yang sudah meninggal, namun janji-janji dari para
petinggi militer lokal hanya sekedar janji. Ia dimintai sejumlah uang jika
ingin pensiun suaminya turun. Karena merasa lelah dan hanya dipermainkan, ia
memilih untuk tidak lagi mengurus pensiun suaminya.
Padahal suaminya
pernah mendapat penghargaan dari Jenderal Panggabean
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, saat ini Mutini
membuka praktek urut untuk berbagai jenis penyakit. Kadangkala ia memancing
ikan yang hasilnya ia jadikan lauk. Sebelum menikah dengan suami yang sekarang,
Ibu Mutini tidak tahu kalau suaminya adalah mantan tapol.
Namun walaupun ia baru tahu di kemudian hari, ia tidak
mengubah sikapnya terhadap sang suami. Mutini tidak tahu latar belakang politik
suaminya, ia juga tidak tahu latar belakang penangkapan dan penahanan suaminya.
Kepada suami ia hanya bertanya, “Pak, apakah kamu bekas
orang tahanan?” suaminya hanya mengiyakan tanpa penjelasan.
9.20 - Rajiah
Argosari, Kaltim, 1 Juli
2005
Rajiah tidak tahu kapan ia dilahirkan. Yang ia tahu
adalah ia dilahirkan di Kebumen, Jawa Tengah. Sekalipun tidak tahu kapan ia
dilahirkan, namun Rajiah yakin bahwa saat diwawancarai usianya telah mencapai
50 tahun. Sejak kecil Rajiah sudah tinggal bersama kakaknya. Ia ingat nama
ibunya adalah Kasmi sedangkan nama ayahnya adalah Mat Kholil, seorang petani
yang sangat sederhana. Kondisi ekonomi yang begitu sulit menyebabkan ia tidak
dapat menikmati bangku sekolah.
Awal tahun 60-an, ketika itu usianya baru sekitar 13 – 15
tahun, bersama dengan kakaknya Rajiah ikut program transmigrasi. Berangkat dari
Semarang dengan menggunakan kapal. Setelah berjalan selama dua hari dua malam
kapal tiba Kalimantan Timur. Saat itu ia merasa seperti orang buangan. Lokasi
transmigrasi masih berupa hutan, para transmigran ditempatkan di barak-barak.
Bagi yang masih memiliki sisa ongkos lebih memilih untuk
kembali ke Jawa. Sedangkan bagi yang sudah tidak memiliki apa-apa lagi maka
harus rela bertahan. Jatah pangan yang diberikan oleh negara hanya untuk
kebutuhan dua bulan saja, bulan berikutnya para transmigran harus mencari
sendiri. Rumah pun mereka harus membuatnya sendiri dengan bahan dan alat
seadanya. Untuk bertahan hidup Rajiah harus berdagang sayur mayur dengan cara
keliling keluar masuk kampung.
Rajiah tidak tahu secara persis kapan ia menikah dengan
suaminya. Saat suaminya ditahan Rajiah sedang mengandung anak ketiganya.
Sebelum ditangkap suaminya dikenakan wajib lapor. Setelah sekian kali lapor
tiba-tiba suaminya tidak diperbolehkan pulang, ia harus menjalani penahanan.
Anak ketiganya lahir ketika ayahnya masih menjalani penahanan.
Tanpa pernah menjalani proses peradilan suaminya harus
menjalani penahanan selama sepuluh tahun. Untuk menyambung hidup, Rajiah
terpaksa menjual isi rumah satu persatu hingga tak ada lagi barang yang dapat
ia jual. Usaha lain adalah dengan berjualan kecil-kecilan di depan rumah. Jika
memiliki sedikit uang ia menyempatkan diri membesuk suaminya di tahanan
Sumberejo
Pada tahun yang sudah tidak ia ingat lagi tiba-tiba
suaminya pulang dari tahanan. Tidak lama setelah pembebasan suaminya, Rajiah
mengikuti suaminya untuk tinggal di daerah yang masih berupa hutan dan kemudian
dikenal dengan nama Argosari. Suaminya bekerja keras untuk membuka hutan.
Argosari hanya memiliki sekolah dasar. Bagi warga yang
anaknya ingin melanjutkan ke SMP maka ia harus bersekolah di luar Argosari yang
harus ditempuh dengan berjalan kaki sepanjang lima kilometer. Untuk urusan
orang bersalin Argosari hanya memiliki seorang dukun beranak yang juga berasal
dari keluarga tapol.
9.13 - Hanif
Argosari, 4 Juli 2005
Hanif tidak tahu kapan ia dilahirkan. Namun ia mengaku
umurnya telah mencapai 70 tahun saat diwawancarai. Hanif berasal dari keluarga
miskin. Karena ketiadaan biaya, ia hanya dapat bersekolah sampai kelas tiga SR.
Dengan tidak bersekolah maka ia membantu pekerjaan orangtuanya di sawah.
Hanif berasal dari Karanganyar, Jawa Tengah. Pada 1957,
melalui program transmigrasi yang diadakan oleh pemerintah, ia tiba di
Kalimantan Timur selama tiga hari tiga malam menempuh perjalanan dengan
menggunakan kapal laut.
Di Kalimantan ia tinggal di Kecamatan Semboja. Ketika itu
rumah yang akan mereka tempati belum dibangun. Mereka tinggal dalam rumah
penampungan. Daerah yang akan mereka tempati bukan berupa sawah atau kebun yang
telah siap pakai, melainkan sebuah areal yang harus mereka olah terlebih dahulu
sebelum menjadikannya sebagai kebun atau sawah.
Hanif tidak ingat lagi kapan suaminya ditangkap. Yang
masih ada dalam ingatannya adalah pertama kali suaminya ditahan di sebuah
asrama di Gunung Malang selama 13 hari. Setelah dibebaskan dan menjalani wajib
lapor, beberapa tahun kemudian suaminya ditangkap dan ditahan lagi selama dua
tahun.
Penahanan terhadap suaminya berimbas pada perekonomian
keluarga. Hanif harus banting tulang menghidupi anak-anaknya yang masih kecil.
Anak-anaknya yang ketika itu masih duduk di bangku SD pun harus berhenti
sekolah demi membantu ibunya mencari nafkah keluarga. Dari kelima anaknya yang
kesemuanya perempuan hanya satu orang yang dapat lulus sekolah dasar,
selebihnya harus berhenti di kursi kelas empat SD.
Setelah suaminya dibebaskan, mereka memperoleh ‘jatah’
tempat tinggal di Argosari. Kondisi Argosari sama persis seperti pertama kali
ia datang di Semboja tahun 57. Semua masih berupa hutan, rumah yang dijanjikan
belum lagi berdiri, calon penghuni ditampung di barak. Jarak desa Argosari ke
jalan raya kurang lebih sekitar lima kilo, dan ketika itu semuanya harus
ditempuh dengan jalan kaki. Tahun-tahun belakangan ini agak lumayan, sebab
warga Argosari dapat menumpang truk pengangkut pasir dan batu bara yang keluar
masuk Argosari
Harapan Ibu Hanif saat ini adalah ada kemudahan dalam
mencari nafkah.
9.12 - Niken
4 Juli 2005
Lahir di Balikpapan pada 11 Juli 1940. Kedua orangtuanya
bekerja sebagai pedagang tahu dan sayuran. Orang tuanya memiliki 13 orang anak
termasuk Niken. Pada masa pendudukan Jepang ia berkali-kali dibawa pergi oleh
orangtuanya untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Sekitar tahun 59 ia menikah. Tahun 65 ia telah memiliki
tiga orang anak. Anak ketiga masih berumur delapan bulan. Pascaperistiwa 65
situasi mulai genting, mereka diinstruksikan tinggal di asrama. Ketika masih
mengandung anak kelima, suami Niken dipecat dari dinas Lembaga Pemasyarakatan,
tempatnya bekerja. Mereka pun terusir dari asrama Lembaga Pemasyarakatan.
Pada 1971 Suaminya dikenakan wajib lapor. Setelah sekian
lama menjalani wajib lapor tiba-tiba datang beberapa orang berpakaian hijau dan
meminta suaminya untuk ikut ke POM. Sejak saat itu suaminya tidak pulang lagi.
Ketika itu mereka telah memiliki lima orang anak dan anak bungsunya masih
berusia satu bulan. Setelah suaminya ditangkap anak-anaknya tidak diperbolehkan
sekolah lagi dengan alasan “anak PKI”. Ia datangi sekolah anak-anaknya untuk
meminta penjelasan. Dengan dalih keputusannya sudah sesuai dengan peraturan
yang ada, para guru tetap melarang anak Niken bersekolah.
Niken harus berjualan untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya. Kehidupan keluarganya begitu miskin. Bahkan mereka pernah hanya
makan singkong selama satu tahun, sebab mereka tak mampu untuk membeli beras.
Untuk nafkah keluarga, anak pertama dan kedua yang masih dalam usia sekolahpun
turun tangan. Selain berjualan sayuran mereka juga mencari kayu bakar untuk
kemudian menjualnya. Hasil penjualan kayu digunakan untuk membeli beras dan
gula.
Di tengah keterbatasan ia menyempatkan diri menjenguk
suaminya di tahanan. Untuk menjenguk suaminya ia harus berjalan puluhan
kilometer yang ia tempuh dengan berjalan kaki selama dua jam. Setiap menjenguk
suaminya ia harus mendapat ijin dari POM. Jika tidak dapat ijin maka ia tidak
dapat menjenguk suaminya. Kadang ia membawa lima orang anaknya saat menjenguk
suaminya. Baik ketika ditahan di POM, Kamp Plengkung maupun Sumberedjo.
Dalam tahun yang ia sudah lupa, suaminya dikirim ke
Argosari. Saat itu suaminya masih berstatus tahanan dan masih dalam pengawasan.
Suaminya dipekerjakan untuk membabat hutan Argosari yang pada saat itu dikenal
dengan nama Amburawang. Setelah rumah di Argosari berdiri Niken menyusul
suaminya untuk tinggal di Argosari.
Sumber penghidupan keluarganya dan keluarga tapol
Argosari pada umumnya berasal dari kebun dan sawah. Pada masa awal, fasilitas
umum dan fasilitas kesehatan Argosari sangat tidak memadai. Jika ada ibu melahirkan
hanya ditolong oleh dukun kampung yang juga keluarga tapol. Jika kondisinya
memprihatinkan maka ia akan digendong dengan karung ke jalan raya untuk
kemudian dibawa ke rumah sakit Gunung Sari.
Saat ini, selain dari hasil sawah dan kebun, sumber
penghidupan keluarga adalah ternak sapi, itik dan ayam. Anak-anak Niken yang
kini telah dewasa kadang memberinya uang dan beras. Jumlahnya memang tidak
terlalu banyak, namun cukup membantu untuk menutupi kebutuhan hidup mereka di
Argosari.
9.8 - Harmi
Argosari, 03 Juli 2005.
Harmi lahir pada 1945 di Sidareja. Sebuah desa kecil di
Cilacap, Jawa Tengah. Anak tunggal dari pasangan Madredja dan Laiyem. Dari
istri kedua ayahnya ia memperoleh seorang adik perempuan. Pada tahun 1957 ia
dan orang tuanya pergi ke Kalimantan Timur untuk program transmigrasi. Saat itu
usianya baru delapan tahun. Tiga hari tiga malam ia mengarungi lautan untuk
dapat tiba di Kalimantan Timur. Pertama kali tiba di Kalimantan Timur ia dan
orangtuanya tinggal di Kilometer 8 Kecamatan Semboja. Di Semboja ia hanya
sempat bersekolah sampai kelas dua SD. Setelah tidak bersekolah ia membantu
orangtuanya mencari nafkah keluarga.
Pulau impian ketika itu masih berupa hutan yang lebat.
Untuk kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya memperoleh jaminan dari
pemerintah berupa beras, ikan asin, minyak tanah, minyak goreng dan lampu
selama tiga tahun, dan dikirim per satu bulan sekali. Setelah itu orangtuanya
harus memenuhi kebutuhan hidup sendiri dengan modal dua hektar sawah pemberian
negara.
Pada 1962 ia menikah dengan seorang laki-laki atas arahan
bapaknya. Suaminya berasal dari Majenang, Jawa Tengah. Selain berdagang,
suaminya juga menyambi bekerja di sawah. Ketika usianya menginjak 17 tahun
Harmi melahirkan anak pertama, seorang perempuan, yang kemudian ia beri nama
Kartini. Kartini sebenarnya anak kedua, sebab Harmi pernah mengalami keguguran
ketika ia mengandung anak pertamanya.
Pada 1968, pada tengah malam suaminya ditangkap di rumah
oleh tentara berpakaian loreng. Seluruh isi rumah digeledah. Saat itu ia telah
memiliki 3 orang anak. Anak bungsunya baru berusia 18 hari. Harmi hanya
menangis menyaksikan suaminya dibawa oleh tentara. Saat itu suaminya dibawa ke
asrama tentara 612 Semboja. Harmi tidak tahu alasan penangkapan suaminya
ditahan. Yang ia tahu suaminya hanyalah seorang pedagang sayur keliling. Selama
suaminya ditahan ia ditampung oleh orang tuanya.
Ketika anak-anaknya tumbuh besar Harmi mulai belajar
menjahit untuk membiayai kebutuhan hidup keluarganya. Berkali-kali suami Harmi
mengalami pemindahan tempat penahanan, antara lain Kamp Plengkung-Balikpapan,
Sumberedjo, Manggar Besar, Manggar Babakan. Suami Harmi tidak hanya ditahan,
tenaganya pun dimanfaatkan untuk kepentingan militer.
Sekitar tahun 70-an Harmi pernah dipanggil oleh pihak
kepolisian. Di kantor polisi ia ditanyai beberapa hal terkait dengan Peristiwa
’65 dan dituduh menjadi sekretaris sebuah organisasi yang kemudian dilarang
pemerintah Orba. Dalam pemeriksaan ia juga diancam akan dimasukkan tahanan.
Karena takut dan tidak mengerti, ia hanya menangis selama menjalani
pemeriksaan.
Pada 1977 Suami Harmi bebas. Selama menanti suaminya
kembali dari tahanan banyak laki-laki yang datang menggangu Harmi. Harmi sempat
menceraikan suaminya dan berencana akan menikah kembali dengan laki-laki dari
Pekerjaan Umum. Namun rencana pernikahannya ini gagal. Ia pun memilih untuk
menunggu sampai suaminya pulang.
Pada 1978 suaminya mendapat ‘jatah’ tempat tinggal di
kawasan hutan yang kemudian bernama Argosari. Untuk mengubah dari hutan menjadi
areal pemukiman, para tapol harus bekerja keras membuka hutan. Sebelum
rumah-rumah berdiri, mereka ditempatkan pada suatu barak. Satu persatu rumah
dibuat oleh mereka sendiri secara gotong royong. Argosari begitu terpencil.
Jika ada warga yang sakit maka mereka akan membawanya ke
mantri kesehatan yang juga seorang tapol. Sedangkan untuk perempuan yang akan
melahirkan ditangani oleh Ibu Sinto, seorang dukun beranak yang juga istri
tapol. Untuk pasien dengan penyakit yang agak serius dibawa ke puskesmas di
luar Argosari atau ke Balikpapan yang jaraknya puluhan kilometer dari Argosari.
Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga Suami Ibu Harmi
bekerja sebagai petani dan mencari pekerjaan serabutan di luar Argosari.
Harapannya pada saat ini agar ia dan keturunannya tidak
lagi dikaitkan dengan Peristiwa G 30 S, sehingga anak cucunya dapat belajar dan
bekerja seperti anak-anak yang lain. Ia hanya berharap agar keturunannya kelak
tidak mengalami kesengsaraan yang pernah ia alami.
9.4 - Yati
Argosari, 5 Juli 2005
Yati bukan penduduk asli Balikpapan, namun ia dan
orangtuanya lahir di kota tersebut. Yati lahir pada 1952. Ia merupakan anak
pertama dari tiga bersaudara yang kesemuanya perempuan. Ketika ia dan
adik-adiknya masih kecil ayahnya menikah kembali. Ia dan adiknya kemudian
tinggal dengan ibu tiri. Ayahnya bekerja sebagai montir. Yati dan adik-adiknya
hanya dapat menamatkan SD. Sebenarnya keluarga Yati cukup mampu untuk
menyekolahkan dia dan adiknya ke jenjang yang lebih tinggi, namun karena merasa
tidak enak dengan ibu tirinya, ia memilih untuk tidak melanjutkan sekolah lagi
setamat SD. Selepas SD ia kemudian membuka usaha warung makan.
Ketika mereka masih kecil ibu tirinya aktif melaksanakan
program pemberantasan buta huruf. Murid-muridnya adalah kaum ibu. Yati tidak
tahu latar belakang politik atau organisasi ibu tiri dan bapaknya. Ia hanya
tahu bahwa ibunya memberi pelajaran baca tulis kepada ibu-ibu buta huruf.
Pascaperistiwa G 30 S ibunya dikenakan wajib lapor setiap
hari Senin dan Kamis. Ia tidak tahu mengapa ibunya harus wajib lapor. Sebab
jika ditanya ibunya hanya menjawab bahwa ia akan apel.
Sekitar tahun ’69 ia menikah lewat proses perjodohan.
Setelah menikah ia baru tahu bahwa ibunya adalah anggota Gerwani. Saat itu
suaminya pun menjalani wajib lapor. Setelah menjalani wajib lapor yang kesekian
kalinya, tiba-tiba suaminya tidak kembali. Padahal pada saat itu ia baru saja
melahirkan anak ketiganya.
Ia tidak tahu alasan penangkapan terhadap suaminya. Yati
juga tidak tahu aktifitas suaminya. Sebab suaminya berasal dari Jawa dan ia
tidak pernah mengenal sebelumnya. Oleh ayahnya ia diberitahu bahwa suaminya
ditahan di POM. Tidak lama setelah suaminya ditahan ayahnyapun ikut ditahan.
Untuk menghidupi keluarga ia menjual barang-barang yang
ada di rumah.
Anak ketiganya mengalami sakit seperti busung lapar.
Karena ketiadaan biaya anaknya meninggal sebelum mendapatkan perawatan medis.
Setelah barang-barang habis terjual ia bekerja sebagai buruh cuci dan setrika
pakaian.
Seminggu sekali Yati membesuk suaminya di kamp penahanan
Sumberedjo. Setiap membesuk ia harus memperoleh ijin dari POM yang sebelumnya
harus memperoleh surat pengantar terlebih dahulu dari ketua RT di mana ia
tinggal. Setiap menjenguk suaminya, makanan yang dibawa harus diperiksa oleh
petugas yang jaga.
Mereka memeriksa dengan cara mengaduk-aduk makanan yang
dibawa dengan pulpen, untuk memastikan bahwa tidak ada benda terlarang
disembunyikan dalam makanan yang dibawa keluarga tapol.
Jika suami Yati dipekerjakan di luar kamp, maka ia
gunakan untuk kembali ke rumah barang beberapa menit untuk melepas rindu pada
anak dan istrinya. Selama suaminya ditahan, dua kali ia mengalami keguguran.
Sekitar tahun 1979, setelah pembebasan suaminya, ia ikut
sang suami untuk tinggal di Argosari. Sebelum mereka berangkat, suaminya
memberi tahu bahwa jika mereka tinggal di Argosari akan diberikan rumah dan dua
hektar sawah. Setibanya di Argosari bukan rumah dan sawah yang ia dapati, tapi
hutan dengan pohon-pohon besar.
0 komentar:
Posting Komentar