3.70 - Suyoso
Solo, 10 Januari 2001 - 06/09/2010
Suyoso adalah anggota DPR dari fraksi ABRI. Setelah
Peristiwa G 30 S Suyoso ditahan. Ia dituduh terkait dengan peristiwa itu. Ia
ditahan di Salemba dan Nusakambangan. Ia ditahan bersama dengan Ketua PWI
Malang yang dibon dan hilang entah ke mana. Ketika sedang menjalani masa
penahanan, keluarganya menganggap ia sudah meninggal. Ibunya sempat membuat upacara
selamatan.
Untuk membendung rasa rindu kadang ia bersenandung sebuah
lagu atau menyanyikan lagu Internasionale. Rasa rindu tidak hanya menyelimuti
hati dan fikiran Suyoso, anak-anaknyapun merasakan hal yang sama. Untuk
mengobati rindu dengan sang ayah yang sedang ditahan, keluarganya membuatkan
“makam” Suyoso. Seolah-olah Suyoso sudah meninggal. Anak-anaknya selalu
berziarah ke makam itu menjelang hari raya Idul Fitri.
Di Nusakambangan ada seorang tapol yang akan dieksekusi
menitipkan pesan untuk keluarganya. Ia berpesan agar anak-anaknya rajin belajar
dan jangan berharap ayahnya akan pulang. Tapol itu juga mengucapkan salam
perpisahan untuk selama-lamanya kepda tapol lain.
Dari petugas penjara yang pernah menyaksikan proses
eksekusi, Suyoso pernah memperoleh cerita bahwa ada tiga orang tapol yang
dieksekusi, satu diantaranya adalah seorang perempuan. Sebelum dieksekusi
perempuan itu bertanya, “Apa dosa saya. Kok saya sampai mau dihukum mati?”
Tapol itu tetap dieksekusi. Oleh tapol lain, tempat pemakamannya ditandai
dengan pohon pisang dan nanas.
Suyoso banyak memperoleh cerita tentang kehidupan para
tapol. Antara lain cerita seorang perwira ABRI yang lebih memilih pacaranya
yang seorang anggota PKI ketimbang mempertahankan pangkatnya. Ada juga cerita
tentang latihan militer yang dilakukan di Pandan Simping, Klaten. Peserta
latihan diminta melakukan latihan menusuk orang. Sedangkan yang dijadikan obyek
tusukan adalah manusia sungguhan, mereka adalah para tapol.
Suyoso juga menceritakan rumahnya yang dirampas oleh
militer. Padahal sebelum terjadi Peristiwa G 30 S anggota militer tersebut
menyewa sebagian dari rumah Suyoso, namun setelah Peristiwa G 30 S justru
keluarga Suyoso diusir oleh si penyewa tersebut.
3.69 - Triantoro
Solo, 27 Juni 2001
Triantoro lahir pada 3 Januari 1939 di desa kecil
Sudimanik, Grobogan, Jawa Tengah. Ayah dan kakeknya adalah seorang dalang.
Selain mendalang, ayahnya juga piawai memainkan tari topeng. Ayahnya sempat
menikah dengan seorang puteri Belanda. Triantoro mengenyam pendidikan hingga
SMA. Ia juga sempat mengajar salah satu SMA di Solo. Minimnya penghasilan
sebagai guru mendorongnya beralih profesi menjadi dalang.
Bakat mendalang yang mengalir dari kakek dan ayahnya
membuat Triantoro tidak menemui halangan berarti dalam menekuni profesi barunya
ini. Baginya, yang terpenting dalam wayang adalah misi dan pesan moral yang
inigin disampaikan lewat cerita atau lakon, bukan musik atau tarian.
Kepiawaiannya dalam mendalang membuatnya kerap diundang
pentas. Baik untuk acara pesta kawin, khitanan atau acara-acara lainnya.
Undangan tidak hanya datang dari dalam atau luar kota, namun juga dari Istana
Negara. Beberapa kali Triantoro pentas di Istana Negara dan disaksikan langsung
oleh Presiden Soekarno. Oleh Soekarno ia dinilai belum cukup bagus, dan
dianjurkan untuk belajar lebih banyak lagi.
Triantoro bergabung dengan organisasi Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra). Keterkaitanyya dengan organisasi inilah yang membuatnya
ditangkap dan ditahan di kantor polisi Purwodadi pada tanggal 5 November 1965
Dari kantor polisi Purwodadi Triantoro dibawa ke kamp penahanan Semarang,
kemudian dibawa ke Ambarawa dan Nusakambangan. Tahun 1970, dari Nusakambangan,
ia dan ratusan tapol lainnya dibuang ke Pulau Buru hingga 1979.
Di Pulau Buru, kemampuannya mendalang ia gunakan untuk
menghibur diri dan tapol-tapol lainnya. Awal masa pembebasan ia kaget dengan
dunia luar, ia pun merasa kesulitan untuk meleburkan diri ke dalam masyarakat.
Lebih-lebih banyak orang yang melakukan penolakan terhadap dirinya. Istri pun
sudah menikah dengan laki-laki lain.
Setelah melewati masa krisis kepercayaan diri, ia pun
dapat bergaul dengan masyarakat dan dalang-dalang yang cukup kondang. Seperti
Anom Suroto dan Manteb. Ia pun kembali menemui dunianya, dunia pedalangan.
3.67 - Haryono
Solo, 20 Juli 2000
Haryono lahir di Solo, 13 Agustus 1935. Ayah bekerja
sebagai kondektur, ibunya pembatik. Pendidikan terakhir SMA bagian ekonomi.
Perubahan politik dan pemerintahan membuat sekolahnya tersendat-sendat.
Sejak kecil ia sudah ikut berjuang membantu tentara
bergerilya. Menginjak dewasa, ia mulai bersimpati dengan organisasi Pemuda
Rakyat, Kepanduan Pemuda Indonesia. Menurutnya, pada masa itu kegiatan PKI
sangat merakyat: membantu petani atau keluarga miskin untuk memperoleh tanah,
memperjuangkan kenaikan upah kaum buruh, memperbaiki rumah warga yang roboh.
Pada 1963, ia menikah dengan seorang wanita yang juga
aktif dalam organisasi. Mereka bertemu dalam kegiatan koor yang selalu pentas
untuk perayaan-perayaan organisasi.
Pasaca peristiwa G 30 S istri Haryono ditangkap dan
ditahan. Namun tidak beberapa lama dibebaskan kembali. Karena khawatir
dikejar-kejar dan ditangkap oleh seorang anggota Pemuda Marhaen yang ingin
menikahinya, istri Haryono kemudian pergi keluar kota dan bekerja sebagai
pengasuh bayi.
Setelah beberapa kali lolos dalam upaya penangkapan,
Haryono akhirnya tertangkap juga. Pada masa itu penangkapan banyak dilakukan
oleh anggota PNI marhaenis dan HMI. Haryono ditahan di Polres Baron, Solo.
Pada 1966 Haryono dibebaskan. Oleh tetangga ia dilaporkan
sering membawa senjata api jika keluar rumah pada malam hari. Padahal, Haryono
hanya membawa alat pancing, sebab ia memang suka memancing ikan di sungai.
Haryono pun ditangkap dan ditahan lagi. Ia ditahan di Sasono Mulyo.
Kemudian ia dipindahkan ke kamp Balai Kota dan Penjara
Solo. Pada tahun 1969 ia dipindahkan ke Nusakambangan dan selanjutnya dibuang
ke Pulau Buru. Pada masa awal menjalani penahanan di Pulau Buru, para tapol
mendapat makanan bulgur dengan porsi yang sangat terbatas. Setelah jagung, padi
yang ditanami dan ternak yang dipelihara para tapol membuahkan hasil, barulah
para tapol dapat menyantap makanan yang lebih layak. Namun demikian, tapol
tidak dapat menikmati hasil jerih payahnya secara bebas. Semua dalam kendali
tentara penjaga unit. Selain bercocok tanam, karya tapol yang lainnya adalah
menebang pohon dan menjadikannya papan. Papan-papan inipun sepenuhnya dikuasai
oleh tentara.
Pada 1979, Suharyo dibebaskan. Saat berkumpul kembali
dengan keluarga ia baru tahu, kalau kakak pertamanya juga ditahan pada tahun
1965 dan hilang hingga saat ini.
3.66 - Legiman
Solo, 2000
Legiman lahir pada Oktober 1928 di Kampung Baturono,
Solo, Jawa Tengah. Pendidikan Sekolah Rakyat, lulus pada 1940. Sejak tamat SR
ia sudah aktif dalam seni karawitan. Perannya adalah penabuh gendang. Pada masa
pendudukan Jepang aktivitas karawitannya sempat terganggu.
Pada masa revolusi ia bergabung dengan Laskar Djawatan
Kereta Api (DKA), kemudian Laskar Rakyat, Batalyon XVII. Ia terlibat langsung
dalam pertempuran dengan tentara Belanda yang ingin menduduki Indonesia
kembali. Ia sempat ditahan oleh tentara Belanda. Selama menjalani masa
penahanan ia juga mengalami penyiksaan. Dari Penjara Kampung Baru Solo ia
dipindahkan ke Semarang. Selama ditahan di Semarang ia diperlakukan dengan
baik. Makanan yang disediakan oleh pihak Belanda juga sangat memenuhi nilai
gizi yang baik, seperti roti, susu, kacang hijau dan lain-lain.
Ketika Indonesia memiliki kedaulatan sebagai negara
merdeka, Legiman dibebaskan. Pada 1950 ia mengundurkan diri dari dinas
ketentaraan. Keluar dari dinas ketentaraan ia kembali menekuni seni karawitan.
Ia bergabung dengan Lekra Solo. Ia sering tampil pada acara-acara yang diadakan
Pemuda Rakyat dan Pemuda Demokrat.
Saat G 30 S terjadi, ia sedang di Surabaya. Beberapa
minggu ia tinggal di Surabaya. Ia sempat menyaksikan mayat-mayat mengapung di
sungai Brantas. Mereka adalah orang-orang yang dituduh PKI. Tidak lama setelah
kembali dari Surabaya, Legiman mendapat panggilan ke Balai Kota. Setiba di
Balai Kota ia tidak diperkenankan pulang. Lagiman ditahan. Ia kemudian
dipindahkan ke Penjara Kampung Baru Solo.
Ia menyaksikan banyak tapol yang mengalami penyiksaan.
Termasuk terhadap tapol perempuan. Tapol perempuan tidak hanya mengalami
siksaan fisik, mereka juga kerap mengalami pelecehan seksual. Pada 1967 ia
dipindahkan ke Nusakambangan. Di Nusakambangan ia menyaksikan banyak tapol
kurus kering karena kelaparan. Di antara mereka juga banyak yang meninggal
dunia.
Baginya berbeda sekali perlakuan yang ia terima ketika
menjadi tahanan tentara Belanda dan menjadi tahanan tentara Indonesia. Menjadi
tahanan tentara Indonesia sangat tidak manusiawi. Jatah makan minim dan tidak
layak makan. Beruntung ia mendapat tugas sebagai penggembala ternak, sehingga
dapat mencari ikan, kadal, kelapa dan kura-kura untuk dijadikan menu makan.
Di sela-sela waktu senggang, Legiman belajar pijat dan
terapi dari tapol lain. Di Nusakambangan para tapol saling belajar. Mulai
belajar bahasa Inggris sampai service TV dan Radio. Sekitar tahun 1976 ada
kunjungan dari perwakilan PBB. Secara sembunyi-sembunyi para tapol menceritakan
perlakuan tidak manusiawi yang mereka alami kepada perwakilan PBB. Efeknya,
setelah kunjungan tersebut para tapol mwndapat kiriman kasur, susu,
obat-obatan.
Pada 1978 Legiman dibebaskan dan kembali ke Solo. Pada
1981 ia menikah dan dikaruniai tiga orang anak laki-laki. Untuk nafkah
keluarga, ia manfaatkan pengetahuan pijat yang ia peroleh di Nusakambangan. Di
kampungnya ia dikenal sebagai ahli terapi pijat.
3.63 - Marnoto
Solo
Marnoto lahir di Kampung Samaan, Solo, 10 Juni 1947.
Ayahnya sudah meninggal dunia sejak ia kecil. Marnoto hidup bersama ibu dan
kakak-kakaknya. Biaya pendidikan ditanggung oleh kakak-kakaknya. Keterbatasan
ekonomi membuatnya berhenti bersekolah di SPG Damai pada tahun pertama. Pada
April 1964, Marnoto melamar untuk menjadi anggota TNI Angkatan Laut. Ia
diterima dalam kesatuan KKO. Ia kemudian menjalani pendidikan di Malang, dan
ditugaskan ke berbagai tempat di Indonesia, termasuk Jakarta. Di Jakarta ia berkenalan
dengan Ali Brata, seorang anggota Lekra yang juga berasal dari Solo. Jika
pulang ke Solo, Marnoto sering mendapat titipan surat dari Ali Brata yang
ditujukan untuk Lekra Solo.
Pada tahun 1970 Marnoto ditangkap dan ditahan. Dengan
seringnya mendapat titipan surat Ali Brata, ia dituduh terliabt G 30 S.
Padahal, ia hanya sebatas kenal degnan Ali Brata dan suka dengan seni yang
dikuasai oleh Ali Brata.
Marnoto tidak lama menjalani masa penahanan. Ia
dibebaskan lagi dan hanya menjalani wajib lapor. Namun, pada tahun 1973 Manroto
ditangkap dan ditahan lagi di Cipulir, Jakarta. Dari tahanan Cipulir ia
dipindahkan ke Rutan Salemba. Selama ditahan Marnoto tidak pernah mendapat
kunjungan keluarga. Sebab ia tidak diperkenankan berkomunikasi dengan
keluarganya.
Beruntung ia kerap memperoleh makanan dari tapol lain
yang mendapat kunjungan dan kiriman makan dari keluarga mereka. Selain itu,
kondisi Rutan Salemba juga sudah tidak seganas tahun-tahun awal penahanan
orang-orang yang dituduh PKI.
Pada 26 Juli 1978, Marnoto dibebaskan. Setelah beberapa
lama tinggal di daerah Tebet, Jakarta, ia memutuskan untuk kembali ke Solo. Di
Solo ia mendapati istrinya telah menikah kembali dengan laki-laki lain. Marnoto
kemudian menikah kembali dengan wanita lain. Saat ini, untuk memenuhi kebutuhan
hidup keluarga, Marnoto dan istrinya berdagang.
3.61 - Sunarti
Solo, 19 Juli 2000
Sunarti lahir di Solo, pada 17 Maret 1934. Anak tunggal
dari keluarga Islam Kejawen. Bersekolah di Sekolah Dasar milik Muhammadiyah
(pada zaman Belanda) dan Sekolah Rakyat (zaman Jepang). Pendidikan SMP dan SMA
ia tempuh di Yogyakarta. Pada masa clashkedua dengan Belanda, Sunarti
bergabung dengan Palang Merah Indonesia. Pada saat itu terjadi penyerangan oleh
tentara Belanda. Soekarno adalah tokoh yang menjadi idolanya.
Pada masa SMA ia aktif dalam organisasi Ikatan Pelajar Indonesia
dan Kepanduan Rakyat. Tamat SMA ia mengajar Bahasa Indonesia di SKP. Dari situ
ia mengenal Soeyatno, Inspektur Sekolah Dasar dan juga seorang aktivis. Mereka
kemudian menikah pada tahun 1957. Mereka dikaruniai tiga orang anak.
Setelah menikah, Soeyatno menjadi anggota DPRD kotamadya
dari Fraksi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sementara, Sunarti aktif dalam
organisasi Gerwani. Tidak ada kegiatan yang berunsur tidak baik.
Pada 1965 saat meletus G 30 S, Sunarti masih mengajar di
SKP. Sekitar bulan Oktober, Sunarti mendapat kabar bahwa Suaminya ditangkap dan
dibawa ke markas CPM. Setelah itu ia tidak mengetahui lagi keberadaan suaminya.
Sebelum Sunarti dan suaminya ditahan, dua orang pembantu Sunarti sempat
ditahan, mereka dijadikan sandera untuk menggantikan Sunarti dan suaminya.
Mengetahui hal itu Sunartipun menyerahkan diri ke kantor polisi Banjarsari, dan
dua pembantunyapun dibebaskan.
Beberapa kali Sunarti mengalami pemindahan tempat
penahanan. Salah satunya adalah Kamp Pelantungan. Selama menjalani penahanan
Sunarti kerap mengalami penganiayaan. Ia pernah dipaksa membuat tulisan tentang
keterlibatannya dalam Peristiwa G 30 S. Ia kerap menyaksikan tapol lainnya
mengalami pelecehan seksual. Mereka adalah tapol peprempuan yang dibon oleh
petugas. Beberapa dari mereka ada yang kemudian melahirkan di kamp penahanan.
Kegiatan ditahanan adalah menyulam. Kegiatan ini ia peroleh dari ibu-ibu gereja
yang kerap melakukan aksi sosial untuk para tahanan.
Pada 1979, Ibu Sunarti dinyatakan bebas. Ia kembali
berkumpul dengan keluarganya. Berkat ibu dan saudara-saudaranya, anak-anaknya
bisa menikmati bangku kuliah. Walaupun sebelumnya anak-anaknya pernah
dikeluarkan dari sekolah karena orangtuanya dinyatakan terlibat G 30 S.
Ketika bebas, Sunarti sempat canggung bertemu dengan
anak-anaknya, sebab mereka memandang negatif terhadap apa yang dialami Sunarti.
Sunarti paham, bahwa itu adalah satu bentuk keberhasilan propaganda Orba dalam
Peristiwa G 30 S.
3.59 - Sulistiyowati
Rembang, 9 September 2000
Lahir pada 1935. Pendidikan hanya kelas tiga Sekolah
Rakyat (SR). Tamat SR ia mengikuti kursus keterampilan. Termasuk kursus
Materialisme Dialektika Dan Historis. Disamping itu, Sulistiyowati juga aktif
dalam kegiatan Gerwani. Di organisasi ia aktif dalam program pemberantasan buta
huruf. Tahun 1948 ia menikah. Suaminya seorang guru sekolah dasar. Karena di
desanya kekurangan gedung sekolah, maka rumahnya dijadikan sekolah.
Pada Oktober 1965, pascaperistiwa G 30 S suami
Sulistiyowati ditangkap. Ia dibawa ke kantor lurah. Sampai di sana ia dianiaya.
Salah seorang penganiayanya adalah bekas muridnya. Kemudian suaminya dibawa ke
kantor polisi untuk ditahan. Sulistiyowatipun sempat ditahan, namun karena
orangtuanya memberikan sejumlah uang kepada petugas, Sulistiyopun dibebaskan.
Ketika masih ditahan, rumah Sulistiyowati disatroni dan diacak-acak oleh
anggota Ansor. Seisi rumah dihancurkan. Sebagian lagi dicuri.
Ia sempat menjenguk suaminya di kantor polisi dan Penjara
Rembang. Namun bulan Januari 1966 suaminya sudah tidak ada lagi, suaminya
hilang dari penjara. Ia mencari ke beberapa tempat penahan yang ada di Rembang,
termasuk markas (Corp Polisi Militer) CPM, namun suaminya tidak pernah ia
temukan. Pencarianpun ia lanjutkan ke kota lain, hingga ke Jawa Timur. Jika
malam tiba tak segan ia tidur di emper toko pasar. Ia pun harus naik turun
truk. Ia pernah dipaksa turun dari truk, sebab pemilik truk tahu bahwa ia bekas
anggota Gerwani.
Dalam usaha mencari suaminya media dukunpun ia gunakan,
sekalipun dukun tersebut berada di luar kota. Satu kali, ketika ia mencari
suaminya di Pekalongan, rumahnya dibobol oleh pencuri. Mesin jahit dan barang
berharga lainnya hilang dibawa pencuri. Ia menemukan dompet yang berisikan
kartu identitas milik seseorang. Ia menduga dompet tersebut milik orang yang
mencuri di rumahnya. Ia pun lapor pada polisi setempat. Sampai di kantor polisi
ia justru dipukuli hingga babak belur oleh dua orang polisi. Ia dituduh akan
mencemarkan nama baik organisasi pemiliki dompet yang kebetulan berasal dari
organisasi Ansor.
Sejak 1999 Sulistiyowati sudah tidak lagi mencari
suaminya. Pekerjaan Sulistiyowati saat ini adalah memecahkan batu kali yang
besar hingga menjadi batu kerikil. Jika dijual tentu harganya tidak sebanding
dengan waktu dan tenaga yang ia keluarkan.
3.22 - Tuminah
Pati, 5 September 2000
Tuminah lahir 6 Mei 1942, di Juwana, Pati. Anak ketiga
dari enam bersaudara. Tahun 1959 tamat Sekolah Guru B. Tahun 1960 menikah
dengan laki-laki yang juga berprofesi sebagai guru. Tuminah dan suaminya
tergabung dengan PGRI non Vaksentral. Dalam organisasi tersebut Tuminah hanya
sebagai anggota pasif, ia sendiri tidak tahu kalau namanya ada dalam daftar
organisasi tersebut.
Tanggal 8 Agustus tahun 1961 anak pertama lahir. Anak
kedua lahir pada tahun 1965. Masa-masa awal pernikahan dan memiliki anak
merupakan masa-masa terberat, secara ekonomi mereka miskin dan anak mereka
sakit-sakitan.
Pascaperistiwa G 30 S, rumah Tuminah didatangi oleh
RPKAD. Mereka mencari suami Tuminah yang kebetulan pada saat itu sedang tidak
ada di rumah. Seluruh isi rumah dan lemari diacak-acak. Beberapa hari kemudian
polisi menjemput suaminya dari rumah, kemudian dinaikkan truk dan dibawa ke
kamp penahanan dengan tuduhan terlibat dalam organisasi PKI dan menyimpan
senjata api.
Ketika suaminya ditahan, banyak aparat keamanan, baik
polisi maupun tentara yang coba menggoda Tuminah. Mulai dari cara yang sopan
hingga teror. Mulai dari yang ingin menjadikannya sebagai isteri kedua, sampai
yang hanya ingin menjadikannya sebagai pemenuhan nafsu belaka.
Pada masa awal penahanan, ketika menjenguk, Tuminah masih
menjumpai suaminya. Namun pada tanggal 29 Maret 1966 ia sudah tidak dapat
bertemu lagi dengan suaminya. Menurut petugas, suaminya dikirim ke kamp
penahanan Semarang. Namun menurut beberapa saksi mata, suaminya dieksekusi
dengan cara di tembak di salah satu kawasan hutan karet di Pati.
Akibat peristiwa G 30 S, Tuminah juga menerima enam bulan
masa skorsing yang diberikan oleh pihak sekolah, dan menerima gaji separuh dari
jumlah yang seharusnya ia terima.
Banyak hal-hal menyakitkan yang ia temui ketika akan
menjenguk suaminya.di kamp penahanan. Ia diakatakan sebagai isteri PKI yang
jahat dan asusila. Ada juga yang mengatakan bahwa orang PKI tidak layak dan
tidak perlu dijenguk, apalagi dikirimi makanan.
Tuminah harus membiayai kebutuhan keluarga yang terdiri
dari dua orang anaknya yang masih kecil, adik-adiknya, kedua orang tuanya dan
kakeknya yang sudah jompo. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Tuminah harus
banting tulang. Berdagang tempe, jagung dan menjahit.
Lepas masa skorsing Tuminah kembali mengajar. Sejak itu
hanya satu kali ia mengalami kenaikan golongan. Awal tahun 80-an ia
dipensiunkan lebih cepat dari waktu yang semestinya.
3.21 - Narohmi
Pati, 7 September 2000
Lahir di Pati, tanggal 20 Sepetmber 1936. Pekerjaan guru.
Awalnya ia adalah seorang guru taman kanak-kanak. Karirnya meningkat dan
dipercaya mengajar Sekolah Dasar. 25 Juni 1959 menikah dengan seorang yang juga
berprofesi sebagai guru dan dikaruniai dua orang anak. Narohmi dan suaminya
sama-sama menjadi anggota PGRI Non Vaksentral.
Pada tanggal 8 Nopember 1965, ketika sedang mengajar,
suami Narohmi ditangkap oleh polisi. Sebelum ditangkap, rumah Narohmi sempat
digeledah oleh polisi. Pada saat suaminya ditangkap, anaknya yang pertama baru
berumur lima tahun dan yang kedua berumur 15 bulan. Alasan penangkapan suami
Ibu Narohmi adalah membuat bambu runcing sebanyak satu truk dan ingin menjadi
kepala polisi.
Sementara suaminya ditangkap, Narohmi sendiri diskors
sebagai guru selama enam bulan. Setelah masa skorsing habis, Narohmi
diperbolehkan mengajar kembali dengan catatan tidak akan menerima kenaikan
pangkat/golongan secara berkala untuk waktu yang tidak tertentu.
Setelah suaminya ditahan dan ia diskorsing, Naomi
berjualan makanan kecil yang ia titipkan ke warung-warung sekitar rumahnya.
Perabot rumah satu per satu pun ia jual. Uangnya untuk modal dagang atau biaya
hidup sehari-hari.
Selama suaminya ditahan, Narohmi kerap menjenguk suaminya
di tahanan. Namun sejak tanggal 29 Maret 1966 ia tidak lagi bertemu dengan
suaminya di penjara. Menurut para petugas, tempat penahanan suaminya di pindah
ke Semarang. Selama ia tidak lagi menemukan suaminya di penjara, ia banyak
mendengar kabar bahwa jika tapol sudah tidak ada di kamp, berarti sudah
dibunuh.
Anak kedua Narohmi meninggal ketika suaminya masih
ditahan di kamp penahanan Pati. Dalam keluarga Narohmi, hanya satu anggota
keluarganya yang ditahan akibat Peristiwa G 30 S. Sedangkan dari pihak keluarga
suaminya, semua anggota keluarga (kakak-beradik) ditahan dan hilang hingga
sekarang.
Teman-teman sekerja dan tetangga tidak pernah ada yang
menteror. Pertengahan tahun ‘80-an Narohmi sudah memperoleh hak untuk
mendapatkan kenaikan golongan/pangkat secara berkala.
Kini Narohmi sudah tidak lagi mengajar. Ia bekerja pada
sebuah perusahaan asuransi. Ia yakin, kalaupun suaminya sudah meningal,
suaminya telah diterima di sisi Tuhan. Anak Ibu Narohmi kini sudah berkeluarga
dan mengikuti jejak orang tuanya sebagai pendidik (guru).
3.18 - Sarwoto
Sarwoto lahir 23 Agustus tahun 1920 di Desa Bendo,
Gondalan, Klaten Tengah. Pendidikan sekolah guru. Setelah tamat ia mengajar
pada sebuah sekolah dasar. Kemudian ia direkrut menjadi prajurit Angkatan
Darat. Ia sempat menjadi Kepala Regu Datasemen 2132. Pangkat terakhirnya adalah
letnan dua. Ia terakhir bertugas di Corp Polisi Militer. Kemudian ia lebih
memilih menjadi anggota PKI ketimbang melanjutkan karirnya dalam dunia
ketentaraan. Ia juga aktif dalam organisasi kepemudaan, Pemuda Rakyat
Indonesia.
Setelah pecah Peristiwa G 30 S 1965, Sarwoto masih aktif
mengajar. Tanggal 28 Oktober 1966, tanpa surat perintah, ia ditangkap ketika
sedang mengajar di sebuah sekolah dasar. Setelah beberapa bulan ditahan di kamp
penahanan Klaten dan Solo, Sarwoto dikirim ke penjara Nusakambangan. Di
Nusakambangan ditahan selama 9 tahun untuk selanjutnya dikirim ke pulau
pembuangan, Pulau Buru.
Pada suatu malam Sarwoto dan 30 tapol lainnya pernah
diambil dari kamp penahanan dan dibawa ke daerah sepi di Kecamatan Pandan
Simping. Semua tapol, kecuali Sarwoto, diperintahkan turun dari truk dengan
tangan terikat dan mata tertutup. Ketika turun semuanya dieksekusi. Sarwoto
lolos dari eksekusi, lantaran salah seorang polisi militer yang menjadi
eksekutor mengenalnya. Eksekutor itu pernah menjadi anak buah Sarwoto ketika ia
masih di Corp Polisi Militer. Setelah eksekusi selesai, Sarwoto dikembalikan ke
kamp penahanan dengan menggunakan nama “NS” dibelakang namanya. Kemudian
Sarwoto dikirim ke Nusakambangan.
Dalam proses eksekusi, tentara memerintahkan warga
sekitar untuk menggali lubang dan menimbun jenasah tapol yang sudah dieksekusi.
Selama ditahan ia belajar pengobatan akupuntur. Ketika
dipindah ke Pulau Buru, tugas Sarwoto adalah memberi pengobatan kepada
teman-temannya melalui ilmu akupuntur yang dimiliki. Di Pulau Buru Sarwoto juga
dipercaya untuk menjadi wakil pendeta kristen.
Sarwoto penah terlibat dalam peristiwa ‘penculikan’ Bung
Karno di Rengasdengklok dan pertempuran melawan Belanda di daerah Semarang.
3.16 - Winata
Klaten, 21 Juli 2000, 5
Agustus 2001
Winata lahir 10 Agustus 1926 di Tegalgondo, Kecamatan
Wonosari, Kabupaten Klaten. Pendidikan SR Lima Tahun (dahulu belum ada SR enam
tahun). Tamat SR ia melanjutkan ke pendidikan menengah tingkat pertama, namun
karena pecah Perang Dunia Kedua, ia tidak dapat menyelesaikan sekolahnya. Ayah
Winata seorang pamong desa, dan juga anggota Syarekat Islam.
Saat terjadi perang untuk merebut kemerdekaan, ia
terlibat dalam Laskar Rakyat. Front pertempuran yang ia ikuti antara lain
pertempuran Ambarawa. Ia juga pernah menjadi anak buah Katamso (Perwira tinggi
yang juga tewas dibunuh dalam peristiwa G 30 S di Jogjakarta) saat ia menjadi
anggota Kompi 447.
Setelah tidak lagi tergabung Laskar Rakyat, ia bekerja
sebagai pembantu mandor pengairan. Pada pertengahan era 40-an, Winata menjadi
anggota Pesindo. Setelah itu ia kemudian menjadi anggota Pemuda Rakyat. Winata
sempat menjadi Ketua Ranting Pemuda Rakyat. Disamping aktif dalam ormas, winata
juga seorang pegawai pemerintahan di Pekerjaan Umum. Ia tergabung dalam Serikat
Buruh Pekerjaan Umum (SBPU). Dalam SBPU ia menjabat sebagai Ketua SBPU Cabang
Klaten. Tahun 1955 ia direkrut oleh SOBSI untuk menjadi Wakil Ketua SOBSI
Cabang Klaten. Ia meninggalkan jabatannya dalam organisasi Pemuda Rakyat.
Di SOBSI ia mengkoordinir serikat buruh-serikat buruh
yang ada dalam naungan SOBSI. Bersamaan dengan itu, di dinas Pekerjaan Umum,
Winata menjabat sebagai mantri pengairan. Oleh tokoh-tokoh PKI ia dididik teori
Marxisme dan Leninisme.
Dalam tahun 1965, aktivitas Winata tidak hanya meliputi
Klaten, namun juga Jawa Tengah. Ketika ia baru bertugas setengah bulan di
Purwokerto untuk konsolidasi buruh di sana, terjadi Peristiwa G 30 S. Winata
pulang ke Klaten. Sebelum ke Klaten ia ke Semarang dahulu untuk melaporkan
hasil pekerjaannya dan situasi politik pada organisasi.
Di Semarang ia melihat pasukan RPKAD pawai keliling kota
Semarang. Karena banyaknya aksi penangkapan sewenang-wenang terhadap masyarakat
oleh RPKAD, ia dan beberapa temannya mengorganisir buruh-buruh pabrik untuk
melakukan pemogokan sebagai bentuk protes. Aksi tebang pohon pun terjadi
sepanjang jalan Tegalgondo hingga Delanggu untuk merintangi mobilitas RPKAD.
Namun segala bentuk aksi protes terhadap tindakan RPKAD
tidak ada artinya. Penangkapan terus berlanjut. Hingga pada akhirnya Winata dan
kakaknya pun ditangkap oleh RPKAD. Pada penangkapan pertama ia hanya menginap
satu malam di markas RPKAD, kemudian ia dilepaskan kembali. Untuk menghindari
penangkapan berikutnya, ia dan kakaknya memilih bersembunyi. Hanya satu bulan
ia dan kakaknya berhasil menghindari penangkapan oleh massa dan RPKAD. Tanggal
30 November 1965, ia dan kakaknya tertangkap.
Tahun 1970-akhir Winata dibebaskan. Namun tidak demikian
halnya dengan sang kakak. Tanggal 26 Maret 1966 kakaknya diambil dari ruang
tahanan. Itulah kali terakhir Winata berjumpa dengan kakaknya.
3.13 - Ibu Murni
Klaten, 24 Juli 2000
Lahir tahun 1946. Pendidikan tamat Sekolah Menengah
Pertama Kanisius. Ingin melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi tidak bisa
karena orang tua miskin. Tamat sekolah kemudian ia mengikuti ujian masuk calon
guru. Lulus ujian masuk ia menjadi guru di sebuah taman kanak-kanak yang
didirikan oleh seorang lurah di desanya. Selain mengajar, Murni juga bergabung
dengan organisasi Gerwani di kampungnya.
Pasca peristiwa G 30 S banyak sekali anggota Gerwani dan
anggota organisasi yang dituduh onderbouw PKI ditangkapi, Murni
menjadi takut. Ia pun memilih untuk bersembunyi. Semakin lama bersembunyi ia
merasa semakin tertekan. Kemudian atas dorongan orangtuanya ia memutuskan untuk
menyerahkan diri ke kantor polisi. Ia berharap akan diadili jika memang ia
bersama Gerwani dituduh ingin memberontak.
Ia ditahan selama beberapa hari. Setelah mengalami
pemeriksaan Ibu Murni kemudian dibebaskan. Walaupun ia telah memperoleh surat
bebas namun ia tidak berani untuk segera pulang. Ia khawatir jiwanya justru
terancam jika ia pulang. Sebab banyak massa yang memburu orang-orang yang
dituduh menjadi anggota atau simpatisan PKI. Ia memilih tetap tinggal di tempat
penahanan untuk menjadi pembantu rumah tangga komandan kamp. Ia juga
diperbolehkan mengajar selama di kamp penahanan.
Setelah situasi benar-benar aman ia kembali ke kampung
halamannya. Di kampung halamannya ia aktif menjadi anggota PKK.
3.11 - Raharjo
Klaten, 23 Juli 2000
Raharjo lahir tahun 1935. Salah seorang adiknya ditangkap
dan dibuang ke Pulau Buru karena dituduh terlibat dalam Peristiwa G 30 S.
Padahal adiknya tidak terlibat dalam organisasi apapun, ia hanyalah tukang kayu
biasa.
Akibat dari peristiwa G 30 S itu pula rumah keluarga
Raharjo dirobohkan oleh beberapa orang tapol yang diperintahkan oleh Koramil.
Banyak tapol yang keberatan untuk merobohkan rumah orang tua Raharjo, namun
karena dipaksa oleh Koramil akhirnya mereka mau juga.
Raharjo tidak tahu secara persis mengapa rumahnya
dirobohkan. Yang ia tahu orangtuanya dituduh pembangkang. Sebelum dibongkar
paksa, orangtuanya pernah diperingatkan oleh Koramil untuk membongkar sendiri
rumahnya atau pergi dari rumah tersebut. Namun ayah Raharjo tetap ngotot untuk
tinggal di rumah itu. Jika dipanggil Koramil dan dibentak-bentak oleh anggota
koramil, orangtua Raharjo pun balas membentak.
Tanah di mana rumah itu berdiripun adalah tanah
peninggalan Belanda yang jauh sebelum pembongkaran telah dibagi-bagi oleh
pemerintahan desa setempat. Setelah berhasil menguasai tanah keluarga Raharjo,
tanah tersebut kemudian diagi-bagikan kepada penguasa setempat. Setelah
penguasa setempat memperoleh tanah, tanah itu kemudian dijual lagi kepada orang
lain.
Raharjo mengatakan, bahwa beberapa hari setelah pecahnya
G 30 S ada salah seorang anggota PNI menginap di rumahnya karena takut dengan
orang-orang PKI. Ia (orang PNI) beranggapan bahwa jika PKI yang melakukan
pembunuhan terhadap para jenderal, berarti PKI akan berkuasa dan anggota PNI
akan terancam keberadaannya.
0 komentar:
Posting Komentar