3.55 - Wakijan
Purworejo, 30 Juli 2000 - 06/09/2010
Saat wawancara Wakijan mengaku berusia 55 tahun. Saat
usia 10 tahun ibunya meninggal dunia. Wakijan tidak dapat berbahasa Indonesia
secara lancar.
Hingar bingar politik menjelang tahun ’65 tidak
membuatnya untuk berafiliasi dengan partai politik atau ormas tertentu. Ia
tidak mengerti politik atau organisasi.
Tanggal 23 November 1965, lewat sepotong surat Wakijan
diminta untuk datang ke kantor camat. Ia tidak tahu untuk kepentingan apa.
Setelah tiba di kantor camat, Wakijan langsung dibawa ke Purworejo untuk
ditahan di markas Kodim. Ia tidak tahu kenapa ia harus ditahan. Setelah
mendekam ditahanan Wakijan baru tahu bahwa telah terjadi Peristiwa G30S.
Di penjara, untuk makan satu hari ia hanya diberi 50
butir jagung rebus. Makanan lain adalah bulgur dan nasi jagung dalam jumlah
yang juga sangat minim. Untuk bertahan hidup para tapol sangat mengandalkan
kiriman dari rumah.
Selain menghuni tahanan Kodim, Wakijan juga sempat
ditahan di bekas pabrik mie yang disulap jadi kamp penahanan. Selain menjalani
penahanan, Wakijan dan tapol lainnya juga harus melakukan kerja paksa.
Walaupun sudah bertahun-tahun ditahan, baru tahun 1967
Wakijan diperiksa. Ia dituduh membuat lubang atau sumur yang dianalogikan
sebagai lubang buaya yang digunakan untuk menimbun jenazah para jenderal di
Jakarta.
Padahal lubang di samping rumah Wakijan adalah sumur,
tempat mengambil air. Wakijan juga dikaitkan dengan organisasi terlarang.
Wakijan menyangkal semua tuduhan. Wakijan dianiaya. Bambu yang digunakan untuk
memukuli tubuh Wakijan hancur. Akibat hebatnya penganiayaan, Wakijan tidak
dapat berjalan selama satu minggu. Dalam klasifikasi Wakijan masuk dalam
Golongan B.
Tahun 1970 Wakijan dikirim ke Nusakambangan. Setelah
sekitar 40 hari Nusakambangan, Wakijan dibuang ke Pulau Buru. Di Pulau Buru
Wakijan menghuni Unit VI. Perjalanan dari tempat pendaratan ke Unit VI ia
tempuh dengan berjalan kaki selama satu hari satu malam. Selama ditahan Wakijan
tidak pernah memikirkan keluarganya. Itu adalah kiatnya agar tidak terserang
stress di tahanan. Ia pasrah dan yakin bahwa suatu saat, jika memang sudah saatnya,
ia pasti akan bertemu dengan keluarganya.
Pada 30 Agustus 1979 Wakijan dibebaskan dari Pulau Buru.
3.54 - Sumarni
Purworejo, 30 Juli 2000
Sumarni tidak tahu secara pasti. Berdasarkan
perkiraannya, ia dilahirkan sekitar tahun 1950. ia berasal dari keluarga
petani. Pada 1964 tamat sekolah dasar. Setahun setelah tamat sekolah dasar,
oleh orangtuanya ia dijodohkan dengan Wakijan, seorang petani desa.
Pascaperistiwa G 30 S, tepatnya ketika anak pertama
mereka berumur 36 hari, Wakijan mendapat panggilan untuk datang ke kantor
kecamatan. Sampai di tempat yang ditentukan ia dituduh terlibat dalam Peristiwa
G 30 S. Wakijan ditahan. Sumarni merasa kaget dan takut atas penahanan
suaminya.
Beban hidup pun semakin berat. Agar ia dan anaknya dapat
bertahan hidup, Sumarni menjadi buruh apa saja: membersihkan rumput, mencangkul
dan pekerjaan kasar lainnya. Sesekali ia menjenguk suaminya dalam tahanan.
Kendati ditahan, sesekali Wakijan diperbolehkan pulang ke rumah. Anak kedua
mereka pun lahir kala Wakijan masih berstatus tahanan. Kemudian Wakijan dibuang
ke Pulau Buru.
Selama suaminya ditahan, sejumlah laki-laki datang
menggoda dan mengajak Sumarni menikah. Karena tidak tahan dengan gangguan
mereka, Sumarni memilih meninggalkan desa dan bekerja di Jakarta.
Di Jakarta Sumarni menjadi pembantu rumah tangga. Pada
1979 Sumarni memperoleh kabar suaminya telah dibebaskan dari Pulau Buru.
Sumarni pulang ke desa. Satu orang anak kembali lahir. Saat ini mereka telah
memiliki tiga orang anak.
0 komentar:
Posting Komentar