7.13 - Ngatmin
Lampung, 27 Februari 2001
Lahir di Jogjakarta sekitar tahun 1931. Pada era revolusi
Ngatmin kerap membantu pengadaan logistik (makanan) para laskar dan tentara.
Pada Bulan Februari 1956 Ngatmin hijrah ke Lampung. Ia bekerja sebagai penderes
(penyadap) getah karet. Ia masuk menjadi anggota Sarbupri dan BTI. Alasannya
semata-mata karena tidak ada pilihan lain. Walaupun sebagai anggota Sarbupri
dan BTI, namun ia tidak pernah terlibat dalam kegiatan-kegiatan Sarbupri atau
BTI.
Setelah peristiwa G 30 S ia dikenakan wajib lapor. Ia
tidak tahu bahwa di Jakarta telah terjadi Peristiwa G 30 S. Ia baru tahu
tentang peristiwa itu setelah ia dikenakan wajib lapor oleh pihak Kodim. Ketika
Ngatmin masih menjalani wajib lapor, tahun 1967 pecah peristiwa penangkapan
terhadap orang-orang yang dituduh terlibat dalam Gerakan PKI Malam. Ngatmin pun
termasuk dalam kelompok orang yang harus ditangkap dan ditahan.
Agar selamat dari siksa yang terlalu berat, Ngatmin
mengiyakan seluruh tuduhan yang diajukan oleh petugas pemeriksa. Ketika
diinterogasi Ngatmin dan tapol lainnya ditelanjangi. Kemaluannya sempat
disetrum oleh petugas pemeriksa.
Jika hari besuk, ia tidak dapat menemui istrinya yang
datang membesuknya. Ia hanya melihat istrinya dari lubang yang terdapat pada
pintu gerbang. Selama masa penahanan Ngatmin dikenakan kerja paksa. Antara lain
untuk mencari pasir di kali. Selama masa kerja paksa mereka (para tapol) tidak
mendapatkan upah sepeserpun. Mereka harus mencari makan sendiri. Ia juga
dipekerjakan secara paksa di kebun karet milik peusahaan swasta. Kompensasi
dari perusahaan atas kerja para tapol dinikmati oleh pihak militer (komandan
Kodim)
Pada 1973 Ngatmin dibebaskan. Surat keputusan bebas
sebenarnya sudah keluar tujuh bulan sebelum ia dan tapol lainnya dibebaskan.
Setelah bebas, Ngatmin dikenakan wajib lapor. Ketika wajib lapor ia diminta
membawa surat keterangan bebas. Dan Ngatmin menyerahkannya. Namun sayang,
Ngatmin tidak diperkenankan untuk mengambilnya kembali. Hingga kini ia tidak
memegang surat pembebasan dirinya.
Saat bebas ia langsung diterima oleh para tetangga. Tidak
ada tetangga yang mengejeknya, sebab seluruh penghuni desa adalah keluarga
tapol.
7.10 - Supariah
Lampung, 26 Februari 2001
Supariah lahir pada 1944 di Kebumen Jawa Tengah,
pendidikan SGB. Tahun 53 pindah ke Lampung mengikuti orang tua yang bekerja
pada perkebunan di Lampung. Ketika masih di SGB ia diperbantukan untuk mengajar
SD Melati yang pada waktu itu dikelola oleh Gerwani. Organisasi massa yang
pertama kali ia masuki adalah Pemuda Rakyat. Ia merasakan bahwa spirit yang
terkandung dalam Pemuda Rakyat selaras dengan cita-citanya membebaskan rakyat
dari belenggu kemiskinan.
Setelah tamat SGB, Supariah juga mengajar pada TK Melati
yang juga dikelola oleh Gerwani. Dan banyak anak-anak tentara yang bersekolah
di sekolah tersebut. Organisasi lain yang ia geluti selain Pemuda Rakyat adalah
Lembaga Pendidikan Nasional yang mengurus tentang sistem pendidikan nasional.
Dalam organisasi ia kerap melakukan Turba atau turun langsung ke masyarakat
untuk memberikan pendidikan-pendidikan kepada masyarakat. Aktif dalam kegiatan
yang bernafaskan faham komunisme sebenarnya mendapat larangan dari orang tua,
namun karena ia dapat meyakinkan akhirnya orang tua pun dapat memahami.
Pascaperistiwa G 30 S, ia mulai merasa akan ditangkap
seperti teman-temannya yang lain yang sudah ditangkap terlebih dahulu. Oleh
ayahnya Ia diminta mengajar di SD Muhammadiyah, demi alasan keamanan. Ia pun
diterima mengajar di SD Muhammadiyah.
Pada 28 September 1967 pukul 5 pagi, Supariah dijemput
oleh anggota Puterpra. Supariah kemudian ditahan selama dua minggu. Lepas dari
penahan, Ibu Supariah masih diperbolehkan mengajar, kali ini ia mengajar untuk
SD Transmigrasi. Karena menyandang sebagai bekas tahanan, banyak pimpinan
perkebunan atau pejabat desa yang ingin memanfaatkannya, terutama untuk
kepentingan seks mereka. Namun semuanya dapat dielakan oleh Ibu Supariah.
Supariah menikah dengan seorang lelaki yang dengan jenjang
usia dan pendidikannya jauh di bawah Ibu Supariah. Namun Supariah tidak pernah
mempermasalahkan. Sebab komitmen menikahnya hanyalah semata-mata ingin menolong
keluarga sang suami yang amat miskin karena sang kepala keluarga (bapak mertua
Supariah) yang juga ketua Sarbupri pergi menghindari penangkapan dan
pembunuhan.
7.7 - Rosinem
Lampung, 27 Februari 2001
Lahir di Natar, orangtua telah meninggal sejak jaman
pendudukan Jepang. Ia tidak tahu kapan ia dilahirkan, sebab orang tua tidak
memiliki catatan kelahirannya. Semasa kecil ia ikut paman dan neneknya.
Keluarganya adalah keluarga miskin. Pamannya bekerja pada sebuah pabrik tali
rami.
Setelah menginjak dewasa, Rosinem bekerja pada perusahaan
perkebunan karet. Pekerjaan yang ia lakukan adalah membersihkan mangkok yang
digunakan untuk menyadap getah karet. Pada 1955 menikah dengan seorang
laki-laki dari Jawa. Walaupun telah menikah kehidupan Rosinem masih tetap
miskin. Suaminya hanya bekerja sebagai penyadap karet.
Ketika telah memperoleh anak tiga, tiba-tiba suaminya
dikenakan wajib lapor karena dituduh terlibat dalam BTI dan Sarbupri. Setelah
dikenakan wajib lapor, tahun 1967 suaminya ditangkap karena dituduh terlibat
dalam Gerakan PKI Malam di Lampung.
Selama suaminya ditangkap, praktis Rosinem harus
membiayai hidupnya, anak-anaknya dan suaminya di penjara. Ia harus masuk ke
hutan untuk mencari kayu yang kemudian hasilnya dia jual. Jam tiga pagi ia
harus bangun dan menggendong kayu bakar yang akan dijual. Ia pun harus
berkeliling desa lain untuk menjajakan kayu bakarnya. Setelah tidak lagi
menjual kayu bakar, Rosinem bekerja sebagai penyadap getah karet.
Ketika operasi penangkapan dengan alasan adanya PKI
Malam, orang-orang kampung dikumpulkan. Mereka ditanyai apakah melihat
orang-orang yang tidak dikenal yang diduga PKI Malam bersembunyi di kampungnya.
Malam berikutnya, warga kampung yang umumnya laki-laki kembali dikumpulkan.
Kali ini mereka dikumpulkan untuk ditangkap dan ditahan dengan alasan terlibat
dalam Gerakan PKI Malam. Kecuali lelaki jompo, seluruh laki-laki penghuni
kampung dibawa ke kantor Kodim.
Pada waktu itu ada kebijakan, jika warga desa melihat
orang tak dikenal bersembunyi di kampungnya, mereka wajib memberitahukan kepada
ketua kelurahan. Pada waktu itu Rosinem sempat melihat orang yang tidak ia
kenal sedang bersembunyi dekat rumahnya, namun karena ia diancam oleh orang tak
dikenal tersebut, maka ia tidak melaporkannya pada ketua kelurahan.
Untuk membesuk suaminya ia harus menempuh perjalanan
selama 3 jam jalan kaki. Ia tidak mungkin naik angkutan umum, sebab tidak ada
uang untuk itu. Untuk biaya hidup saja ia harus banting tulang. Selama besuk
suaminya ia kerap melihat tapol-tapol lain, termasuk adiknya, dalam keadaan
luka-luka akibat pukulan para petugas pemeriksa.
Rosinem tidak pernah tahu aktivitas suaminya selain
sebagai petani dan penyadap getah karet. Pada 1973 suaminya dibebaskan. Setelah
bebas, suaminya dikenakan wajib lapor satu bulan sekali dan kerja paksa di
kebun komandan kodim.
Jika suaminya kerja paksa untuk mencangkul sawah sang
komandan, Rosinem juga harus ikut kerja paksa dengan menanami lahan yang sudah
dicangkuli oleh suaminya. Jika tidak mau melakukan kerja paksa, maka mereka
diancam akan dimasukkan lagi ke penjara. Jika wajib lapor, suaminya selalu
dimintai uang Rp 1000 oleh petugas Kodim.
0 komentar:
Posting Komentar