5.37 - Tusimo
Surabaya - 06/09/2010
Tusimo cukup mengenal tokoh-tokoh PKI seperti Aidit,
Nyoto dan Sudisman. Setelah gelombang huru-hara 65 ia ditangkap dan dibuang ke
Pulau Buru. Tusimo dalam gelombang pertama pengiriman tapol ke Pulau Buru.
Menurutnya, pada masa-masa awal pembuangan tapol ke Pulau
Buru, Unit Satu diisi oleh orang-orang intelek seperti fungsionaris partai,
anggota DPR/MPR. Unit Dua diisi oleh kalangan terpelajar seperti mahasiswa dan
sarjana. Sedangkan Unit Tiga banyak diisi oleh kalangan buruh dan tani.
Selama di Pulau Buru Tusimo banyak bergaul dengan
penduduk lokal. Untuk dapat bertahan hidup ia pernah membuka praktek sebagai
dukun. Kemudian, bersama Pramoedya Ananta Toer dan beberapa tapol lain terlibat
mengorek keterangan mengenai sejumlah perempuan Jawa yang pernah dijadikan
budak sesksual tentara Jepang (jugun ianfu) pada masa Perang Dunia Kedua.
Oleh petugas keamanan Pulau Buru, ia dipercaya sebagai
penjaga gudang logistik untuk unit-unit. Menurutnya, di Pulau Buru sempat
terjadi ketegangan yang disebabkan pro kontra boleh tidaknya tapol menikah di
Pulau Buru. Tusimo ada di barisan yang mendukung diperbolehkannya tapol menikah
di Pulau Buru.
Menjelang akhir masa penahanannya, Tusimo kerap bergaul
dengan transmigran. Awalnya para transmigran memiliki persepsi yang negatif
terhadap para tapol. Namun bersamaan dengan berjalannya waktu persepsi itupun
mulai berubah. Mereka tahu persis bahwa tapol tidak sejahat yang ia bayangkan
dan seperti yang diceritakan aparat keamanan.
Tusimo dibebaskan pada 1979. Pada era reformasi ia aktif
di organisasi Yayasan Penyelidikan Korban Pembantaian 65 (YPKP). Namun karena
perbedaan pandangan soal penggalian tempat-tempat pembantaian dan soal
pertanggungjawaban keuangan organisasi, ia memutuskan untuk tidak aktif di
organisasi tersebut.
Saat ini, kendati sudah tidak aktif dalam YPKP, ia masih
tetap menjalin komunikasi dengan para eks tapol lainnya. Bahkan bersama mantan
tapol lain mereka sempat mengadakan pentas wayang di Surabaya dengan Dalang
Tristuti. Dalang yang juga mantan tapol.
5.29 - Asiong
Surabaya, 13 Juli, 29
Desember 2000
Asiong dilahirkan sekitar tahun 1930 di Malang, Jawa
Timur. Ayahnya seorang Cina totok yang menikah dengan gadis Jawa. Ayahnya juga
termasuk salah satu tokoh pergerakan Indonesia. Salah satu peran yang dimainkan
ayahnya adalah mengadaptasikan Revolusi Tani yang terjadi di Tiongkok dengan
gerakan kiri di Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang ayahnyapun memainkan
peran yang cukup penting dalam perjuangan memperoleh kemerdekaan. Ayahnya
terlibat dalam gerakan “bawah tanah” melawan Jepang, antara lain menyembunyikan
buronan tentara Jepang.
Asiong sempat mengenyam pendidikan di sekolah Tionghoa.
Namun pada masa pendudukan Jepang sekolah ini ditutup. Pada era revolusi
kemerdekaan Asiong bergabung dengan organisasi Tionghoa di Palang Biru.
Pada masa itu
warga keturunan Tionghoa dan “pribumi” bahu membahu mempertahankan kemerdekaan.
Pada 1949, setelah revolusi fisik mulai mereda, Asiong melanjutkan pendidikan
SMA di Sekolah Harapan Kita dan melanjutkan kuliah di Universitas Respublika.
Asiong bergabung dalam organisasi Baperki.
Pasca G 30 S Asiong ditangkap dan ditahan. Ia sempat
ditahan di Koblen, Kalisosok, Nusakambangan dan Pulau Buru. Selama menjalani
penahanan ia kerap mengalami dan menyaksikan penyiksaan yang dilakukan oleh para
petugas. Banyak tapol yang “dibon” dan tidak pernah kembali lagi.
Di Pulau Buru ia mendekam di Unit II. Di Pulau Buru ada
beberapa tapol yang mencoba melarikan diri ke Australia. Aksi ini mereka
lakukan di tengah-tengah konflik antara satuan Pattimura (Ambon) dengan Satuan
Hasannudin (Makassar). Perselisihan dipicu oleh “rebutan” menjual kayu hasil
jerih payah para tapol. Namun yang terekspos justru hanya tapol yang melarikan
diri dan kemudian terangkap lalu dibunuh.
Pada 1978 Asiong dibebaskan. Ia kembali ke Malang dalam
pengawasan ketat dari tentara. Ia tidak bisa bekerja karena status
eks-tapolnya. Ia kemudian menikah sekitar tahun 1980 dan dikaruniai dua anak.
Asiong berharap, di era reformasi ada penuntasan kasus
65. Dimana dapat dilakukan pengungkapan kebenaran, pengadilan, rehabilitasi,
dan kompensasi. Untuk kompensasi, ia mengharapkan anak-anaknya bisa mendapatkan
tunjangan pendidikan atau beasiswa. Sebab usianya sudah lanjut, sedangkan
anak-anaknya masih membutuhkan biaya pendidikan yang tidak sedikit.
5.28 - Jatiman
Surabaya, 16 Juli 2000
Jatiman lahir pada 1935 di salah satu desa di Jawa Timur.
Pada saat Jatiman berusia lima tahun, ayahnya meninggal. Ia dengan empat
saudara kandungnya, hidup dalam kondisi kekurangan. Ibunya mencari nafkah di
Surabaya. Jatiman tinggal menumpang di sebuah keluarga. Di keluarga itu Jatiman
menjalani hidup yang cukup keras. Sehari-hari Jatiman bekerja sebagai
penggembala kerbau. Setelah tamat SD, ibunya membawa Jatiman ke Surabaya.
Pada 1958, Jatiman bekerja di Rumah Tahanan Kalisosok.
Agar karirnya meningkat, ia mengambil pendidikan lanjutan lagi pada 1964 dan
lulus pada 1966, dengan ijasah setara SMP. Selanjutnya, ia mengambil sekolah
lagi untuk mendapatkan ijasah setingkat SMA di KPAA pada 1966 – 1968. Setelah
meraih ijazah SMA, Pak Jatiman memutuskan menikah. Dari pernikahan itu, ia
dikaruniai tiga anak.
Pada saat terjadi G-30-S, Pak Jatiman masih bekerja di
penjara Kalisosok. Dan ia memang sempat bergabung dan aktif di Serikat Buruh
Rumah Tahanan Kalisosok. Mungkin karena keterlibatan dalam serikat buruh itulah,
pada tahun 1968 ia ikut dikait-kaitkan dengan peristiwa G-30-S. Menginjak 1968,
di penjara Kalisosok situasi mulai tidak tenang. Pemerintah telah menjalankan
operasi “pembersihan” terhadap para buruh tahanan Kalisosok yang termasuk
golongan kiri dan diduga terlibat G-30-S. Rekan-rekan kerjanya mulai diciduk.
Pada 17 Oktober 1968, Jatiman ditangkap. Dalam interogasi
ia ditanyai soal keterlibatannya dalam Serikat Buruh dan PKI. Kendati Jatiman
menyatakan bukan sebagai anggota PKI, ia tetap mendapat siksaan dengan cara
dipukul dan distrum. Tujuan penganiayaan adalah agar ia mengaku bahwa dirinya
pengikut PKI. Jatiman ditahan di rumah militer Koblen.
Dari Koblen, kemudian dipindahkan ke penjara Kalisosok
tempat ia bekerja. Ia merasakan bagaimana pahitnya ditahan di tempatnya
bekerja. Sebuah siksaan tersendiri baginya.
Pada 1969, bersama tahanan lain, ia dipindahkan ke
Nusakambangan. Di Nusakambangan, juga dengan tahanan lainnya, ia dipekerjakan
di bidang pertanian. Setelah itu, bersama 900 tapol lainnya ia dibuang ke Pulau
Buru. Di Pulau Buru ia dipaksa bercocok tanam. Sepanjang masa penahanan Jatiman
kerap mengalami perlakuan kasar dan tidak manusiawi dari petugas.
Pada 1979, ia dibebaskan dan kembali kembali berkumpul
dengan ibunya di Surabaya. Ia memperoleh kabar bahwa istrinya telah menikah
kembali dengan laki-laki lain. Rasa kecewa ia kompensasikan dengan kerja-kerja
pembuatan jalan, saluran air dan kerja-kerja fisik lainnya.
Setelah beberapa bulan menjalani masa bebasnya, Jatiman
memutuskan untuk menikah kembali. Ia menikah dengan seorang janda. Untuk
menafkahi keluarga barunya Jatiman bekerja sebagai penarik becak.
Kerja kerasnya tidak sia-sia. Anak-anaknya dapat menempuh
pendidikan perguruan tinggi dan dapat hidup layak, kendati kerap mendapat
stigma dan diskriminasi.
5.35 - Sekar
Malang, 24 Juli 2000
Ayah Sekar adalah anggota Comite Kota (CK) PKI cabang
Malang. Rumahnya kerap dijadikan tempat berkumpul anggota Lekra. Suami Sekar
juga anggota aktivis PKI.
Pada saat terjadi G 30 S, Anwar, Suami Sekar, sedang
turun ke daerah (turba). Ia mendengar kabar dari radio tentang peristiwa
tersebut. Selang beberapa minggu kemudian tersebar berita bahwa terjadi
penangkapan terhadap anggota atau simpatisan PKI. Banyak anggota-anggota Lekra
yang bersembunyi di rumah Sekar. Saat itu sudah mulai cibiran atau tanggapan tidak
baik dari para tetangga terhadap anggota atau simpatisan PKI.
Pada 1968 ayah Sekar ditangkap di Malang. Tidak lama
kemudian suami Sekar yang pada saat itu berada di Surabaya juga ditangkap.
Sekar dan ibunya masih sempat memjenguk mereka di tahanan. Namun, belakangan
mereka hanya bisa menjenguk suami Sekar. Sebab ayah Sekar sudah tidak diketahui
lagi keberadaannya. Sekitar bulan Oktober 1969, datang surat dari Kodim.
Keluarga diminta menjenguk Anwar di Penjara Kebon Waru. Sebab Anwar akan
dipindahkan ke tempat penahanan lain. Setelah itu tidak ada komunikasi lagi
dengan Anwar.
Setelah suaminya ditahan, Sekar pindah ke Malang, tinggal
bersama ibunya. Untuk nafkah sehari-hari Sekar dan ibunya berjualan kue. Selain
berdagang, Sekar juga mengajar les tambahan. Sekar diminta untuk menjadi guru
di sekolah milik Yayasan WR. Supratman, ia pun menyambut tawaran itu. Bahkan,
kemudian ia menjadi kepala sekolah. Tahun 1975 diperoleh kabar bahwa Anwar ada
di Pulau Buru.
Belakangan, setelah suami Sekar dibebaskan, seorang
purnawirawan ABRI mengatakan bahwa ia pernah melihat ayah Sekar dan tapol
lainnya diambil dari kamp penahanan dan dibawa dengan truk ke daerah Batu. Di
daerah tersebut para tapol dimasukkan ke dalam jurang.
Pada 1979 Anwar dibebaskan. Mereka kembali berkumpul.
Setelah bebas mereka sempat mengunjungi Monumen Pancasila Sakti, Lobang Buaya.
5.14 - Maryono
Blitar, Maret 2001
Maryono lahir di Desa Kedung Banteng, pada 1941.
Pendidikannya hanya sampai kelas tiga SR. Pekerjaan utamanya adalah bertani.
Selain bertani maryono beternak sapi.
Pascaperistiwa G 30 S, di desanya tentara dan Ansor
bekerja sama untuk melakukan penangkapan dan pembantaian terhadap orang-orang
yang diduga anggota atau simpatisan PKI. Khawatir menjadi sasaran penangkapan,
banyak warga yang melarikan diri, pergi meninggalkan desa. Maryono dan sebelas
orang warga lainnya lari ke hutan Ngraten. Sehari semalam mereka berada di
dalam hutan. Setelah tahun ’65 keadaan mulai membaik.
Pada 1967 Maryono menikah. Baru satu tahun menjalani
rumah tangga, pada 1968 tentara kembali melakukan perburuan terhadap
orang-orang PKI. Maryono dan istrinya, serta 22 orang lainnya ditangkap oleh
tentara. Selama delapan hari mereka ditahan di Desa Ngeblak. Karena dianggap
tidak terlibat, mereka dipulangkan ke Ngrejo.
Pada suatu malam Maryono dan sepuluh orang lainnya
dikumpulkan di suatu tempat. Pada saat itu juga datang rombongan tapol, sekitar
40 orang, yang diangkut dengan menggunakan truk. Dari tempat Maryono berkumpul
terdengar suara rentetan tembakan. Setelah itu Maryono dan sepuluh orang
lainnya diperintahkan untuk naik ke dataran yang lebih tinggi.
Di tempat itu Maryono menyaksikan rombongan tapol yang ia
lihat tadi sudah menjadi mayat dengan luka tembak di bagian dada. Mereka baru
saja dieksekusi. Kebanyakan mereka adalah orang yang sudah tua, beberapa
diantaranya masih tampak masih muda. Semua korban berjenis kelamin lak-laki.
Di bawah todongan senjata tentara, Maryono bersama
sepuluh orang lainnya dipaksa menguburkan 40 mayat tapol tersebut. Di bagian
dada korban terdapat tanda selempang merah, dan mereka sudah tidak mengenakan
pakaian. Masih dalam todongan senjata, Maryono dan sepuluh orang temannya
diminta memasukkan mayat-mayat itu ke dalam dua buah lubang dan satu buah gua
di pinggir sungai.
Sejak tahun 1969, Orde Baru mengganti semua pamong desa,
lurah, carik serta kamituo Blitar Selatan dengan orang-orang yang berasal dari
ABRI. Dan penduduk dipaksa untuk memilih Golkar.
5.16 - Muspani
Blitar
Muspani tidak tahu secara persis kapan ia dilahirkan.
Sebab tidak ada catatan resmi mengenai tanggal kelahirannya. Namun berdasarkan
perkiraannya ia lahir tahun 1942. Ayahnya adalah seorang pamong desa. Saat akan
mengikuti ujian kenaikan kelas tiga SMP, Muspani diminta oleh kepala desa untuk
membantu pekerjaan ayahnya. Ia pun memilih memenuhi permohonan tersebut
ketimbang melanjutkan sekolahnya.
Di desa tempat Muspani tinggal, hanya ada dua organisasi
politik yang sangat berpengaruh, yaitu Nahdlatul Ulama dan Partai Komunis Indonesia
(ditambah dengan ormas pendukungnya). Di desanya organisasi Barisan Tani
Indonesia memiliki simpatisan yang cukup banyak. Mungkin karena di desanya
banyak terdapat petani miskin yang tidak memiliki lahan sendiri untuk digarap.
Setelah peristiwa G 30 S, Muspani dipecat dari jabatannya
sebagai Pamong Desa, ia dinyatakan terlibat dalam peristiwa tersebut. Di
desanya juga terjadi pembunuhan terhadap mereka yang dituduh anggota atau
simpatisan PKI atau ormas pendudukungnya. Muspani sendiri ditangkap tahun 1968
oleh anggota Koramil saat pemerintah melakukan Operasi Trisula.
Penangkapan terhadap Muspani dikaitkan dengan peristiwa
Blitar Selatan. Sebab ada dua orang sahabat Muspani yang terlibat dalam
organisasi perlawanan di Blitar Selatan. Muspani sempat diperiksa. Dalam
pemeriksaan Muspani mengalami penganiayaan yang menyebabkan beberapa giginya
tanggal.
Dalam penjara ia dan tahanan lain tidak memperoleh
makanan yang layak, baik dari segi jumlah maupun standar gizi. Hampir tiap
malam selepas jam sembilan dilakukan pemanggilan terhadap para tahanan (dibon).
Biasanya tahanan yang dipanggil pada malam hari tidak pernah kembali ke selnya
lagi. Setelah menjalani pememenjaraan selama dua tahun, akhirnya Muspani dan
beberapa orang tahanan lainnya dibuang ke Pulau Buru. Awalnya Muspani dan tapol
lain tidak tahu bahwa mereka akan dikirim ke Pulau Buru. Sebelum ke Pulau Buru,
beberapa hari mereka ditahan di Penjara Nusakambangan.
Tiba di Transito Pulau Buru ia dan tahanan lain harus
berjalan kaki menembus hutan selama beberapa hari untuk mencapai unit
penahanan. Di Pulau Buru Muspani belajar ilmu tusuk jarum dan kesenian ludruk.
Selama masa penahanan, Muspani juga berpindah agama. Dari semula Islam menjadi
seorang Katholik. Alasan pindah agama pun karena masalah praktis. Jika di Islam
ia tidak sanggup menjalankan kewajiban sholat lima waktu, karena kondisi fisik
selama ditahanan tidak memungkinkan ia untuk melakukan sholat lima kali dalam
satu hari. Sementara, jika di Katholik ia hanya satu minggu sekali ke gereja.
Setelah bebas dari Pulau Buru, Muspani memanfaatkan
pengetahuannya dalam bidang akupuntur untuk menolong para tetangga yang sakit.
5.15 - Ruslan
Blitar,
Ruslan lahir di Desa Ngrejo, Blitar, 12 Desember 1939.
Karena keterbatasan biaya, ia tidak sempat melanjutkan pendidikannya di Sekolah
Guru B. Tahun 1961 ia melamar untuk dapat bekerja pada Jawatan Kehutanan dan
diterima. Jabatannya adalah mandor tanam. Ruslan bergabung dengan Sarbuksi,
Serikat Buruh Kehutanan Seluruh Indonesia. Lewat Sarbuksi ijin tanam di lahan
kosong mudah didapat. Lahan kosong tersebut kemudian digarap oleh petani miskin
selama satu tahun. Setelah digarap kemudian ditanami kayu jati. Pada 1963, di
daerahnya diserang hama tikus. Pemuda Rakyat dan PNI aktif melakukan
pemberantasan hama tikus.
Tidak lama setelah Peristiwa G 30 S, Ruslan dipecat dari
Jawatan Kehutanan. Alasan pemecatan karena ia anggota Sarbuksi. Setelah dipecat
ia dikenakan wajib lapor di markas Koramil. Sementara itu, di kampungnya sudah
dimulai pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh PKI. Namun Ia masih aman
dan tetap bekerja sebagai petani. Keadaan baru berubah pada tahun 1968
bersamaan digelarnya operasi Trisula. Banyak warga yang tidak mengerti apa-apa
dibunuh dalam operasi ini.
Khawatir atas keselamatan jiwanya, Ruslan dan warga
lainnya memilih masuk ke hutan untuk bersembunyi dan menyelamatkan diri.
Sementara tentara dan massa terus melakukan pengejaran dan penembakan.
Merekapun membuat pagar betis. Banyak pelarian yang mati. Ruslan tertangkap di
daerah dekat Trenggalek. Dari Trenggalek ia dibawa ke Kediri.
Lalu dipindahkan lagi ke Nganjuk, Madiun dan Surabaya.
Pada 1969 Rusli dipindah ke Nusakambangan. Setelah sekitar satu bulan di
Nusakambangan, Rusli dibuang ke Pulau Buru bersama ratusan tapol lainnya. Di
Nusakambangan para tapol mengalami krisis pangan, sebab jatah atau persediaan
makan yang dibawa dari Jawa sangat terbatas. Di Pulau Buru Ruslan belajar
teknik akupunktur.
Menurutnya peran gereja terhadap kelangsungan hidup tapol
di Pulau Buru sangat besar. Untuk itulah ia memilih menjadi umat kristiani.
Pada 1977 Ruslan dibebaskan. Ia kembali ke kampung
halamannya. Ia kembali menjadi petani.Aktivitas lain selain bertani adalah
kegiatan keagamaan di gereja.
5.13 - Paijo
Blitar,
Paijo dilahirkan di Desa Ngrejo, Blitar Selatan sekitar
1930 dengan kondisi invalid pada kakinya. Kondisi ini menyebabkan ia tidak bisa
berjalan terlalu jauh. Pada masa kemerdekaan di Blitar Selatan berkembang
Partai Komunis Indonesia (PKI). Sedang partai lain tidak ada, PNI pun sangat
kecil. Banyak warga yang memilih bergabung dengan PKI, termasuk Paijo. Sebagai
seorang petani Ia juga bergabung di BTI. Disamping itu ia juga ikut aktif di
Lekra.
Di Lekra ia berperan sebagai pemain gamelan ludruk dan
ketoprak. Baginya program PKI baik-baik saja, sebab bercita-cita ingin
mewujudkan rakyat adil dan makmur. Salah satu program PKI dan BTI adalah
melaksanakan landreform, yaitu dengan menduduki lahan bekas perkebunan
Belanda dan dibagikan ke petani yang tidak bertanah. Semua itu berjalan tanpa
ada keributan berarti.
Saat terjadi Peristiwa G-30-S ia sudah memiliki tiga
orang anak. Setelah peristiwa itu, Paijo dan keluarganya serta beberapa warga
lainnya bersembunyi untuk menyelamatkan diri. Sebab di kampungnya dilakukan
operasi penangkapan terhadap orang-orang PKI. Setelah situasi kampungnya aman,
ia pun kembali ke rumah.
Pada 1968 diadakan operasi Trisula. Operasi kali ini
sangat ketat, warga “digiring” dan dikumpulkan. Warga yang melarikan diri dan
tertangkap dihukum tembak. Menurut pengakuannya, mungkin karena kakinya invalid
membuat ia tidak dihukum.
Paijo sempat terlibat dalam proses eksekusi terhadap 40
orang tapol. Beberapa diantara mereka adalah teman-teman Paijo. Sejujurnya ia
tidak mau terlibat dalam proses itu, namun karena paksaan aparat ia terpaksa
menggali lubang untuk mengubur mayat 40 orang tapol yang dieksekusi tersebut.
Pada masa Orde Baru berkuasa, ia terpaksa menjadi kader
Golkar. Pada masa reformasi ia bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP).
0 komentar:
Posting Komentar