4.15 - Sudiyono
Wonosari, Jogjakarta, 17
Juli 2000 - 07/09/2010
Sudiyono dilahirkan di Gunung Kidul, Wonosari, pada 7
Agustus 1935. Ia merupakan salah satu dari tujuh bersaudara, anak dari keluarga
petani yang buta huruf. Setelah tamat Sekolah Guru B (SGB), ia kemudian menjadi
guru. Selain mengajar ia juga aktif di organisasi Pemuda Rakyat.
Pada saat itu kegiatan Sudiyono di Pemuda Rakyat adalah
memberantas buta huruf, pertemuan warga untuk meningkatkan hasil pertanian
(misalnya okulasi ketela tanah), menentang lintah darat (rentenir), dan
sebagianya.
Sudiyono tidak memperoleh dukungan keluarga untuk aktif
di Pemuda Rakyat. Sebab, menurut pihak keluarga, organisasi yang digeluti
Sudiyono terkait dengan ajaran komunisme, dalam hal ini PKI. Sedangkan PKI
sendiri adalah ateis. Namun Sudiyono punya pemahaman lain. Menurutnya marxisme
adalah salah satu bidang ilmu, ilmu memang tidak bertuhan. Seperti halnya
matematika. Namun orang yang mempelajarinya tetaplah bertuhan.
Pada 1965 Sudiyono sudah memiliki tiga orang anak. Saat
terjadi Peristiwa G 30 S anak ketiganya baru berusia 85 hari. Pada saat itu
situasi kampung sangat tegang. Ia dan sejumlah anggota Pemuda Rakyat menjaga
kantor Pemuda Rakyat. Ia juga melakukan pemasangan pamflet “Ganyang Dewan
Jenderal”.
Pada 20 November 1965 ia ditangkap dan ditahan di
Bringharjo. Tahun 1966 ia dipindahkan ke Nusakambangan. Di Nusakambangan ia
menghuni LP Batu dan Kembang Kuning. Jatah makan untuk tapol sangat minim dan
tidak manusiawi. Maka tidak heran banyak tapol Nusakambangan yang mati karena
kelaparan. Selama dalam penahanan ia kerap dikunjungi dan dikirimi makanan oleh
istrinya. Bahkan istrinyapun dua kali berkunjung ketika Sudiyono ditahan di
Nusakambangan.
Setelah bebas Sudiyono dapat berkumpul kembali dengan
keluarganya. Anak-anaknya berhasil lulus sekolah hingga jenjang sarjana. Anak-anaknya
sempat mengalami kesulitan ketika akan bekerja, sebab menyandang status
keturunan PKI. Namun semua itu dapat diatasi. Kini anak-anak Sudiyono sudah
dapat bekerja. Dua orang anaknya menjadi Dosen di Universitas Sanata Dharma,
dan dosen di salah satu perguruan tinggi di Australia.
4.11 - Supandriaman
Yogyakarta, 4 Oktober 2000
Supandriaman dilahirkan di Yogyakarta, 11 Mei 1942. Ia
sempat bersekolah hingga tingkat dua di Universitas Gajah Mada jurusan
Geografi. Selama masa sekolah ia tidak tertarik dengan kegiatan berorganisasi.
Ketertarikannya justru datang setelah mendengarkan pidato
Bung Karno yang menyampaikan gagasan Nasakom. Ia kemudian masuk dalam
organisasi CGMI. Di CGMI ia mengurus bidang keolahragaan, bidang yang selama
ini ia gandrungi.
Setelah terjadi Peristiwa G-30-S, di kampungnya terjadi
penangkapan terhadap anggota dan simpatisan PKI. Kakak Supandriaman pun tidak
luput dari aksi penangkapan. Supandriaman sendiri berusaha menghindari
penangkapan dengan cara bersembunyi. Oleh temannya ia disarankan untuk membuat
surat keterangan surat “Bersih G 30 S” agar dapat melanjutkan kuliah kembali.
Namun ia ditangkap justru ketika sedang mengurus surat tersebut. Ia dibawa ke
kamp Beteng. Kemudian dipindahkan ke Penjara Wirogunan. Jatah makan yang
diberikan kepada para tapol sangat tidak manusiawi. Jagung hanya sekitar 16
butir atau bulgur.
Pada 1970 ia dipindahkan ke Nusakambangan. Setelah empat
bulan di Nusakambangan, Supandriaman dan ratusan tapol lainnya dibuang ke Pulau
Buru. Di Pulau Buru ia sempat dianiaya hingga beberapa giginya tanggal.
Selama di Pulau Buru ia lebih sering memilih dipekerjakan
di hutan untuk menebang pohon dan menggergaji kayu.
Bulan Oktober 1979, ia dinyakan bebas dan kembali ke
Yogyakarta. Ia berkumpul kembali dengan keluarga dan kakaknya yang juga
ditahan. Pada Desember 1979, kakaknya meninggal di usia 88 tahun.
Pada 1985 Supandriaman menikah. Kepada anak-anaknya ia
belum berani bercerita terlalu banyak mengenai sejarah hidupnya. Sebab ia tidak
ingin anaknya justru memiliki watak pendendam setelah mendengar sejarah pahit
orangtuanya.
Ia ingin bercerita tentang masa lalu jika saatnya sudah
tepat dan anak-anaknya sudah dewasa.
4.10 - Ramto
Yogyakarta, 12 Juli 2000
Ramto tidak tahu pasti tanggal kelahirannya Di kartu
tanda penduduknya tercantum tanggal (kira-kira) 14 Juli 1933. Ibunya adalah
istri kedua bapaknya. Ayahnya meninggal saat Ramto berusia empat setengah
tahun. Saudara kandungnya meninggal saat terjadi clash kedua dengan
Belanda.
Ramto hanya memiliki ijasah SMP, sebab ia hanya duduk
satu tahun di bangku SMA. Kewajiban untuk membantu ekonomi keluargalah yang
memaksa dia meninggalkan bangku SMA. Pada 1954 Ramto mulai aktif dalam bidang
organisasi. Ia dipercaya memimpin Pemuda Rakyat (PR) Ranting Jalan Baru,
Wirobrajan. Keaktifannya dalam mengorganisir pemuda lewat olahraga dan kesenian
cukup efektif untuk menjaring simpatisan.
Perkembangan organisasi pun cukup pesat. Pada 1958 ia
menjadi anggota DPRD tingkat dua. Setahun kemudian Ramto menikah dan memproleh
dua orang anak.
Dalam kongres Pemuda Rakyat 1960 ia dinobatkan sebagai
anggota Pemuda Rakyat Pertama se Jawa Tengah. Dalam kurun tahun 1962-1964
anggota PR mencapai dua juta orang. Banyak anggot PR yang menjadi sukarelawan/ti
dalam komando Trikora dan Dwikora.
Tentang Peristiwa G 30 S, Ramto mendapat informasi
mengenai berita itu dari siaran berita di radio. Ketika itu ia sedang berada di
Semarang, menghadiri acara organisasi. Pada saat itu ia hanya menunggu
informasi dan instruksi dari organisasi dan dari PKI. Namun informasi dan
instruksi resmi tidak pernah datang hingga RPKAD tiba di Semarang. Ia kemudian
kembali ke Yogyakarta.
Sekitar tanggal 16 November 1965 ia ditangkap. Ia dibawa
ke kantor Polisi dan, kemudian dipindah ke Penjara Wirogunan. Selama di
Wirogunan ia kerap mengalami penyiksaan. Mulai dari pemukulan sampai disetrum
pada bagian kemaluan. Dari Penjara Wirogunan ia dipindah ke Penjara Magelang.
Di Magelang ia dan sejumlah tapol lainnya melakukan kerja
paksa membangun jalan kota Magelang. Dari Magelang ia dikirim lagi ke
Wirogunan. Dari Wirogunan ia dipindah lagi ke Nusakambangan. Tahun 1970 ia
dibuang ke Pulau Buru. Masuk dalam rombongan tapol kedua yang diberangkatkan ke
Pulau Buru.
Di Pulau Buru ia mengalami penyiksaan yang lebih sadis
lagi. Siksaan yang begitu hebat membuatnya pingsan hingga tiga kali dalam satu
hari. Penembakan terhadap tapol tanpa alasan yang jelas juga kerap dilakukan
oleh aparat militer yang bertugas di Pulau Buru.
Pada 1979 Ramto dinyatakan bebas. Ia diberangkatkan
kembali ke Yogyakarta. Ia dapat berkumpul kembali dengan istri dan
anak-anaknya.
Setelah masa pembebasan ia dikenakan wajib lapor/apel.
Awalnya setiap hari, kemudian menjadi sekali dalam seminggu, sekali dalam
bulan, dan setahun sekali. Pada suatu kali memenuhi wajib lapor ia dimintai
uang sejumlah Rp. 200.000.
Setelah memenuhi permintaan itu Ramto tidak pernah lagi
diminta wajib lapor. Ramto sempat menjalankan bisnis percetakan. Namun
bisnisnya terhenti karena ada peraturan menteri yang melarang tapol berbisnis
percetakan.
4.7 - Panca
Yogyakarta, 13 Oktober 2000
Lahir di Purworejo, 14 Oktober 1933. Sempat kuliah di
Universitas Gajah Mada jurusan Geografi. Ketika hampir tamat, pecah peristiwa G
30 S. Dalam organisasi kemahasiswaan, Panca masuk dalam organisasi CGMI.
Pada 22 November 1965 ia bersama ibu, adik dan bapaknya
ditangkap dan dibawa ke kecamatan. Kemudian dimasukkan ke penjara Wirogunan.
Sementara ibunya ditahan di tempat penahanan khusus wanita. Sekitar tiga
setengah tahun kemudian ibunya dibebaskan dari kamp penahanan.
Sedangkan ayahnya setelah dari penjara Wirogunan dipindah
ke penjara di Pekalongan. Di Pekalongan ayah Panca meninggal dunia. Selama
Panca ditahan di Penjara Wirogunan, ia sering menyaksikan
pemanggilan-pemanggilan tapol pada malam hari. Luas sel yang digunakan untuk
menampung para tahanan tidak seimbang dengan jumlah tahanan. Jika antrian mandi
tiba, Panca sering membuat sketsa antrian tersebut.
Setelah ayahnya dipindah ke Penjara di Pekalongan, tidak
lama kemudian ia juga mendapatkan panggilan untuk dibuang ke Pulau Buru. Ia
tidak ingat secara persis tanggal-tanggal setiap peristiwa yang ia lewati.
Semua catatan peristiwa ada pada ibunya. Sebab ibunya selalu mencatat
peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Selama di Pulau Buru Panca kerap diperintahkan untuk
kerjapaksa oleh para petugas pengawal. Di Pulau Buru Panca melanjutkan hobinya
mencari fosil-fosil batu. Beberapa batu-batuan yang ia temukan di Pulau Buru ia
bawa pulang.
Pada 1978 Panca dibebaskan dari Pulau Buru. Setelah bebas
ia dikenakan mengikuti Santiaji.
4.6 - Supartini
Yogyakarta, 16 Juli 2000
Supartini tidak tahu kapan ia dilahirkan. Ia dibesarkan
di Desa Kulwo, Beji Harjo, Wonosari, Yogyakarta . Pada 1945 ia menikah dengan
Harjo Priyono. Suaminya pernah menjadi Carik Desa Beji Harjo dan menjadi lurah
di desa yang sama. Supartini tidak tahu apa saja kegiatan suaminya selain
menjadi seorang kepala desa.
Harjo Priyono ditangkap tidak lama setelah Peristiwa G 30
S. Saat itu Supartini sedang sakit. Bersama putranya, ia menyaksikan langsung
penangkapan suaminya. Pada saat itu Harjo Priyono berpesan bahwa ia akan
disekolahkan oleh pemerintah, sebab ia kurang pandai. Harjo Priyono minta
tolong kepada istrinya untuk menjaga anak-anak mereka. Sedangkan untuk
membiayai sakitnya dan membiayai kebutuhan sehari-hari, Supartini diminta
menjual apa saja yang mereka miliki.
Sejak penangkapan tersebut, Supartini berusaha mencari
tahu keberadaan suaminya. Ia mendatangi Penjara Wirogunan, Penjara di Cilacap,
kantor Kodim. Namun ia tidak pernah menemukan suaminya. Ia pun selalu menunggu
dan berharap suaminya pulang, namun hingga saat ini suaminya tidak pernah
kembali.
Sepeninggal suaminya, Supartini harus menjual kambing,
tanah, perabot rumah tangga. Bahkan ia pernah menjual pakaian dan piring. Semua
ini ia lakukan demi membiayai kehidupan ia dan anak-anaknya. Akibat tekanan
hidup yang begitu berat, Supartini sempat dirawat di rumah sakit jiwa.
Namun berkat kesabaran dan ketahanan dirinya, setelah
putra-putranya tumbuh dewasa, sedikit-demi sedikit Supartini mampu bangkit
kembali. Kebutuhan hidup mulai teratasi oleh penghasilan anak-anaknya yang
membuka usaha bengkel dan merias pengantin. Hingga saat ini Supartini tidak
pernah tahu keberadaan dan nasib suaminya.
4.2 - Diah
Yogyakarta, 13 Juli 2000
Diah dilahirkan di Kota Gede, Yogyakarta pada 1937.
Semasa mudanya sudah menyukai bidang jahit-menjahit. Pada 1962 menikah dengan
Soekarman seorang pengerajin perak. Pada 1963 anak pertama mereka lahir. Pada
1965, saat Diah mengandung anak keduanya, Soekarman ditahan dan dinyatakan
terlibat G 30 S.
Soekarman ditahan di Penjara Beteng, Kota Gede. Selama
dalam tahanan, Diah sempat beberapa kali menjenguk suaminya, namun ia tidak
pernah bisa ketemu. Dia hanya dapat melihat suaminya dari jarak yang cukup jauh.
Bulan Februari 1966, Diah diberitahu bahwa Soekarman telah meninggal karena
sakit diare. Kenyataan yang amat pahit bagi Diah.
Untuk biaya hidup ia dan anaknya, Diah membuka usaha
jahit pakaian, dan sesekali membuat kerajinan dari kaleng. Anak-anaknya kerap
mendapat ejekan. Status ET (Eks-tapol) dalam KTP Diah, juga sering menyulitkan
putri-putrinya, terutama saat mencari kerja.
4.1 - Maharjoko
Yogyakarta, 25 Juni 2001
Maharjoko dilahirkan di Purwodadi pada 1937. Sejak kecil
ia sudah tertarik dengan seni lukis. Kemampuannya di bidang melukis melebihi
anak-anak seusia di kampungnya. Cita-citanya ingin menjadi pelukis. Keinginan
untuk menjadi seorang pelukis membuatnya pergi ke Yogyakarta untuk belajar seni
lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia.
DI Yogyakarta ia mulai berkenalan dengan pelukis-pelukis
besar seperti Hendra Gunawan dan Sudjojono. Pada masa itu ada beberapa
organisasi seniman di Yogyakarta, antara lain Pelukis Indonesia Muda (PIM),
Pelukis Rakyat dan beberapa lainnya. Selain organisasi seniman, sanggar-sanggar
seni juga banyak bermunculan.
Dalam perjalanannya, perdebatan mengenai hakekat seni
juga mulai hidup. Antara lain mengenai “seni untuk seni” dan “seni untuk
rakyat”. Maharjoko sendiri menganggap bahwa seni adalah untuk rakyat.
Selain terlibat dalam organisasi seniman, Maharjoko juga
terlibat dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Bersama Lekra ia terlibat
dalam pendirian Sanggar Bumi Tarung pada tahun 1961 dengan visi “melukis untuk
mengabdi pada buruh dan tani”. Sebagai sebuah organisasi Lekra semakin tumbuh
besar. Kebijakan politik Bung Karno juga dirasa memberikan dukungan terhadap
tumbuh kembangnya Lekra. Pada tahun 1964 Lekra membuat pameran dengan tema
“Anti Modal Asing, Anti Kapitalis, dan Mengabdi pada Buruh dan Tani.”
Masa kejayaan Lekra tidak berlangsung lama.
Pascaperistiwa G 30 S organisasi ini menjadi sasaran amuk massa. Anggota-anggotanya
diburu.
Yang tertangkap dalam perburuan ditahan, dibunuh atau
dibuang.
Maharjoko ditangkap pada 8 November 1965. Ia ditahan di
beberapa tempat, antara lain Kamp Beteng dan Kota Baru. Beberapa kali ia
mengalami pemukulan oleh aparat. Menu makan yang minim dan tidak layak makan.
Banyak tapol yang menemui ajal karena kelaparan.
Banyak juga tapol yang tidak kembali setelah dibon pada
malam hari. Ketika ditahan Maharjoko belum memiliki istri. Ia tidak mendapat
kunjungan dan kiriman makanan dari rumah. Beruntung tapol yang mendapat
kunjungan dan kiriman makanan dari keluarga kerap memberikan Maharjoko makanan.
Pada 1972 Maharjoko dibebaskan. Namun demikian ia harus
menjalankan wajib lapor. Ia juga diwajibkan memilih Golkar jika pemilu tiba.
Kontrol pemerintah terhadap karya-karyanya pun sangat kuat hingga 1987.
Sekalipun memiliki kemampuan melukis yang luar biasa,
Maharjoko justru menggunakan kemampuan menjahit yang ia peroleh secara otodidak
untuk mencari nafkah. Baginya, aktifitas melukis adalah media untuk
menyampaikan apa yang ia perjuangkan, bukan semata-mata untuk selera kolektor
atau konsumen lukisan.
Pada 1996 ia membuat lukisan bertema “Angkara Murka” dan
“Susu Raja Celeng.” Kemudian berturut-turut ia buat lukisan lagi dengan judul,
“Berburu Celeng”, “Tanpa bunga dan telegram duka”. Tema “Angkara Murka”
melambangkan penghancuran tatanan hidup oleh penguasa Orba.
Sedangkan “Berburu Celeng” adalah cerminan dari nasibnya
dan nasib tapol lainnya seperti celeng, mati digebuki orang. Lukisan-lukisan
tersebut ia pamerkan pada pameran tunggalnya tahun 1991 di Jakarta dan
Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar