Andreas Nugroho, BBC Indonesia | 28 September 2010
Sejumlah mahasiswa berada di luar negeri saat peristiwa G30S/PKI.
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang berbuntut pada perubahan politik, membuat sebagian mahasiswa Indonesia yang sedang bersekolah di negara-negara beraliran sosialis, tidak bisa pulang.
Puluhan tahun di luar negeri, sebagian besar mereka terpaksa melepas kewarganegaraan Indonesia.
"Ketika peristiwa 1965, saya sedang belajar di Moskowa," kata Kartaprawira yang kini berusia 78 tahun dan sedang belajar di Moskow saat terjadinya peristiwa Gerakan 30 September.
Dia dikirim resmi oleh pemerintah Indonesia sebagai mahasiswa ikatan dinas yang tidak terlibat politik apapun.
Jadi dia tidak mengetahui tentang peristiwa, yang ternyata membuat dia tidak bisa kembali lagi ke Indonesia dan kehilangan kewarganegaraannya.
"Kita yang di luar negeri, nggak tahu apa itu G30S. Binatang itu apa sih, kok namanya G30S. Enggak tahu. Tapi akhirnya kan tahu. Gerakan-gerakan wah pokoknya macam-macam. Politik di Indonesia. Kemudian kita pantau, ya akhirnya tahu," kenangnya.
Keinginan pulang
Usia Kartaprawira saat itu menginjak 25 tahun dan dia mengaku beruntung Pemerintah Rusia -yang masih bernama Uni Soviet- bersedia menampungnya bekerja dan menyelesaikan gelar S3 di Universitas Negara Lomonotsov di Moskow.
Kartaprawira dan sejumlah mahasiswa Indonesia lain seperti dirinya bisa bertahan hidup karena kebijakan negara tempat mereka berdiam. Dan tentu saja banyak yang ingin pulang.
"Mengenai keinginan pulang, itu keinginan orang Indonesia yang sudah lama berada di luar negeri untuk kembali ke tanah airnya, itu alami," tutur Kartaprawira.
Namun pada saat bersamaan ada kekhawatiran segera masuk penjara seperti ratusan ribu orang yang disebut tahanan politik atau narapidana politik (Tapol/Napol) yang berkaitan dengan tuduhan PKI.
Pemerintah Indonesia pernah menawarkan bantuan untuk memperlakukan secara khusus permohonan status kewarganegaraan yang diajukan para mahasiswa yang terdampar ini, yang sering disebut pelarian politik walau mereka sebenarnya tidak melarikan diri.
Akan tetapi, selain karena kekhwatiran akan nasibnya, para warga Indonesia yang terdampar ini juga menuntut agar pemerintah Indonesia lebih dulu menyelesaikan pelanggaran HAM yang telah terjadi.
Selain itu mereka juga harus menandatangani pernyataan yang mengakui kepemimpinan Presiden Suharto, yang mengkaitkan pembunuhan tujuh jenderal di Lubang Buaya dengan PKI.
Suharto juga melakukan kebijakan untuk membasmi PKI sampai ke akar-akarnya, secara fisik, sosial, maupun politis.
Perubahan kebijakan
Jaman berganti, penguasa berganti. Suharto akhirnya jatuh pada tahun 1998.
Kebijakan pemerintah Indonesia terhadap warganya yang terdampar berubah, karena sejak 2009 pemerintah tidak lagi memperlakukan secara khusus permohonan yang mereka ajukan untuk mendapatkan status kewarganegaraan.
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM, Aidir Amin Daud, menjelaskan alasan perubahan itu lebih pada para pemohon.
"Jadi waktu saya tanyakan kepada mereka, apakah agak sulit membuat surat permohonannya. Kalau beditu kami membinikinnya surat permohonannya secara adminsitratif. Kemudian mereka membaca, tinggal tanda tanngan dan kami rekatkan meterai," kata Aidir Amin Daud .
"Kalau berkaitan dengan NPWP yang harus mereka bayarkan sebesar Rp 500.000 itu mereka keberatan, ya kami carikan sponsor.""Tapi mereka terrnyata masalahnya bukan di situ. Mereka mengatakan ini masalah harga diri, ini masalah hak yang diambil negara. Di situ kan tidak ketemu titiknya."
Aidur Amin Daud menjelaskan bahwa waktu untuk bantuan kewarganegaraan itu sudah habis dan kebijakan selanjutnya tidak di tingkat direktorat jenderal lagi.
"Mereka ajukan ke Presiden atau Menteri Hukum dan Ham dulu, dan kemudian kita dapat perintah untuk melaksanakannya," tambahnya.
Kebijakan diskriminatif?
Kemudahan itu harus diberikan kepada seluruh mantan Tapol. Kalau mereka bersalah, tunjukkan kesalahan mereka di mana.
Bagaimanapun Komisioner Komnas HAM, Joseph Adi Prasetyo, menilai seharusnya mereka yang terdampar pasca peristiwa 65 terus diberikan kemudahan untuk mendapat hak kewarganegaraan.
Paling tidak sama dengan kemudahan pengurusan status kewarganegaraan atas pendiri GAM, almarhum Hasan Tiro, dan pendiri Operasi Papua Merdeka, OPM, Nicolas Jouwe.
"Pemerintah menganggap bahwa yang diberikan kepada mantan pemimpin OPM atau GAM itu adalah semacam prioritas. Dan ini ada kaitan dengan isu politis. Tapi kalau Komnas HAM menghimbau jangan ada diskriminasi," tutur Joseph Adi Prasetyo.
"Kemudahan itu harus diberikan kepada seluruh mantan Tapol. Kalau mereka bersalah, tunjukkan kesalahan mereka di mana. Tidak bisa dibiarkan seperti ini, seolah-olah negara tidak pernah melakukan kesalahan."
Empat puluh lima tahun sudah berlalu dan mungkin pertanyaan lain muncul: apakah status kewarganegaran sebagai WNI Indonesia masih diiinginkan oleh Kartaprawira?
"Paspor bagi saya dan teman-teman, korban lain di luar negeri itu cuma buntut-buntutnya. Masalah prinsipil adalah harus diakui ada pelanggaran HAM baik di dalam negeri maupun luar negeri. Lah ini kan sampai sekarang kan tidak ada pengakuan secara resmi bahwa ada pelanggaran berat HAM berat tahun 65-66."
Kartaprawira, yang sekarang tinggal di Belanda, masih tetap menunggu pengakuan negara atas kesalahan kebijakan pada masa lalu yang membuatnya terbuang dari tanah kelahirannya.
Dia mungkin tidak sendiri, walau banyak pula rekannya yang sudah meninggal dunia.
Sumber: BBC.Com
0 komentar:
Posting Komentar