1.25 - Suhartono
Jakarta, 13 November 2000 - 06/09/2010
Merupakan pemuda asli Semarang. Pada masa pendudukan
Jepang ia bersekolah di Sekolah Menengah Tinggi Teknik Bandung. Namun karena
Jepang menyerah pada Pasukan Sekutu, maka sekolah di mana ia belajar pun
ditutup. Ia kemudian kembali ke Semarang. Di Semarang ia bergabung dalam AMRI
(Angkatan Muda Republik Indonesia) yang berjuang melawan aksi pendudukan
kembali oleh Belanda.
Tahun 1945 ia menjadi Polisi Tentara. Selama clash ke
dua Suhartono kerap terlibat pertempuran melawan tentara Belanda melalui perang
gerilya. Wilayah perjuangan Suhartono umumnya adalah Semarang dan sekitarnya.
Ia sempat menjadi Komandan Polisi Tentara di Salatiga.
Sekitar tahun 1952 Suhartono lebih memilih menjadi guru
pada sekolah Corp Polisi Militer (CPM). Suhartono kemudian mendaftar dan
diterima pada Akademi Hukum Militer yang diadakan oleh Angkatan Darat.
Pendidikan yang mestinya ia tempuh tidak lebih dari empat tahun, justru ia
tempuh dalam waktu lima tahun. Selesai pendidikan di Akademi Hukum Militer, ia
ditunjuk menjadi Jaksa atau Oditur Militer untuk kasus upaya pembunuhan terhadap
Presiden Soekarno dalam peristiwa pengeboman di Cikini.
Dalam persidangan di Mahkamah Militer Luar Biasa
(Mahmilub) untuk kasus Dokter Soumokil ia pun bertugas sebagai Oditur Milter.
Tanggal 1 Oktober 1965 pada pagi hari ia diberitahu oleh
seorang temannya tentang aksi penculikan terhadap perwira tinggi. Ia pun
kemudian pergi ke rumah Jenderal Sutoyo yang tidak lain adalah atasannya
sendiri. Setiba di rumah Jenderal Sutoyo, kondisi rumah sudah berantakan. Ia
memperoleh kabar dari istri Jenderal Sutoyo bahwa suaminya dibawa oleh
Cakrabirawa untuk dihadapkan kepada presiden.
Inisiatif Suhartono untuk mendatangi rumah Jenderal
Sutoyo rupanya justru membawa kesulitan bagi diri Suhartono. Suhartono dituduh
sudah mengetahui sebelumnya tentang aksi penculikan para jenderal.
Kehadirannya ke rumah para jenderal dianggap sebagai
upaya untuk mengetahui apakah penculikan telah dilaksanakan atau belum.
Suhartono akhirnya menjalani pemerikasaan.
Pasca peristiwa G 30 S oleh Jenderal Soeharto, Suhartono
diangkat menjadi Ketua Tim Oditur. Suhartono mempunyai otoritas untuk menunjuk
siapa saja yang menjadi oditur dalam kasus G 30 S. Salah satu Oditur yang ia
tunjuk untuk menangani kasus Letnan Ngadiyono dari Batalyon 430, mengatakan
bahwa ia (oditur) tidak mau mengajukan tuntutan mati terhadap Ngadiyono, sebab
fakta-fakta yang ada tidak mendukung untuk diajukan tuntutan mati.
Untuk menjaga
hal-hal yang tidak diinginkan, Suhartono pun kemudian menyampaikan keberatan
oditur tersebut kepada oditur-oditur yang lain, Mahkamah Agung hingga Jenderal
Soeharto. Semua mengatakan sama, yang penting terdakwa dinyatakan bersalah dan
dihukum, berapapun hukumannya. Yang penting adalah dinyatakan bersalah. Namun
di sidang kenyataannya berubah, terdakwa tetap dijatuhi hukuman mati, karena Letkol
Sugiri yang pada waktu itu juga menjabat sebagai oditur mendapat teror.
Tidak lama kemudian Suhartono diperiksa oleh komandannya
atas laporan rekannya yang mengatakan Suhartono terindikasi tidak setuju jika
para pelaku yang terlibat dalam G 30 S dihukum mati. Suhartono kemudian
mengalami beberapa kali mutasi. Ia sempat menjabat sebagai Penasehat Hukum
Militer di PBB dengan masa kerja semestinya lima tahu. Namun baru sembilan
bulan ia dipanggil kembali ke Indonesia dengan alasan ada pekerjaan yang lebih
penting.
Setiba di Jakarta jam satu pagi, ia kemudian menerima
surat penahanan. Hari itu juga ia harus menghuni penjara Nirbaya. Di Nirbaya ia
banyak menjumpai menteri dan para pejabat pemerintahan Soekarno. Suhartono
kemudian dipindah di LP Cipinang dan mengalami beberapa kali pemeriksaan.
Pangkat terakhir Suhartono adalah Kolonel dan tidak dipecat.
Ia juga sempat
ditahan di studio film yang digunakan sebagai kamp penahanan. Banyak tahanan
yang mengalami penyiksaan di kamp tersebut. Hampir tiap malam terdengar
teriakan orang yang kesakitan karena mengalami penyiksaan.
Selama Suhartono ditahan, untuk bertahan hidup
keluarganya terpaksa menjual harta benda yang masih terisisa, termasuk rumah
mereka di Kebayoran. Saudara tidak ada yang berani untuk menolong.
Tahun 1978 Suhartono dibebaskan.
1.24 - Pak De
Jakarta, 23 April 2000
Lahir di Jakarta, 1939. Ibu meninggal ketika Pak De baru
berusia 40 hari. Pendidikan SMA. Sempat bekerja pada sebuah perusahaan negara
di Irian Jaya, saat itu sedang terjadi proses nasionalisasi perusahaan Belanda
di Irian Jaya.
Sejak SMP Pak De aktif dalam organisasi Pemuda Rakyat. Di
Organisasi ini ia menjabat sebagai ketua Sub Cabang. Awalnya ia tidak tahu
bahwa Pemuda Rakyat berafiliasi dengan PKI. Dari organisasi ini ia mulai
mengenal dan sering berhubungan dengan orang-orang CC PKI.
Ingin melanjutkan sekolah manajemen tiba-tiba pecah
peristiwa G 30 S. Untuk menghindari penangkapan ia kerap tidur di kebun.
Tanggal 20 November 1965 ditangkap di rumahnya oleh seorang letkol. Pak De
dibawa ke Kodim Jakarta Timur. Kemudian dikirim ke Penjara Cipinang. Setelah
itu dikirim ke Penjara Salemba, ia dikirim lagi ke Penjara Tangerang. Begitu
terus sampai berkali-kali. Ketika ditangkap anak pertama Pak De baru berumur 8
bulan. Di Kodim Jakarta Timur Pakde diperiksa dan mendapatkan pukulan dan
setruman.
Ia merasa bahwa konsep sosialisme yang ia miliki justru
berasal dari Bung Karno lewat pidato-pidatonya yang selalu ia dengarkan.
Dahulu memang beredar kuat isu Dewan Jenderal dan Kup
Dewan Jenderal. Sebagai pengurus Pemuda Rakyat ia pernah mengirim anggotanya
latihan ke Lubang Buaya, namun untuk kepentingan Dwikora, aksi konfrontasi
dengan Malaysia.
Ketika dibebaskan Pak De harus menandatangani surat
perjanjian yang antara lain tidak akan mempelajari Marxisme, Leninisme, dan
tidak akan menuntut kepada pemerintah atas apa yang dialaminya. Setelah pulang
ia menjalani hukuman tahanan rumah dan wajib lapor ke Guntur (markas POM).
Setelah menjalani tahanan rumah kemudian ia harus menjalani tahanan kota.
Di LP Salemba ada satu orang tapol dipukuli hingga tewas
oleh rekannya sendiri sesama tapol, karena melaporkan kepada petugas penjara
bahwa ada gerilya politik di dalam penjara. Satu waktu Penjara Salemba pernah
menerima sekitar 200 orang tapol dari penjara Tangerang yang sangat kurus,
berjalan ditanggapun harus merangkak, karena tidak sanggup berdiri.
Untuk bertahan hidup di Penjara biasanya tapol amat
bergantung pada kiriman keluarga dan solidaritas antar sesama tapol. Sebab jika
bergantung kepada jatah yang diberikan oleh penjara jelas tidak akan mungkin
dapat bertahan hidup. Dan ada kesempatan untuk bercocok tanam di dalam areal
penjara.
Di penjara sering diadakan bimbingan rohani untuk para
tapol. Bimbingan agama dari unsur Islam lebih banyak bersifat cercaan dan
makian kepada tapol. Sedangkan dari agama lain, Kristen misalnya, lebih banyak
memberikan pengajaran tentang cinta kasih. Maka tidak jarang terjadi
perpindahan agama secara besar-besaran dari Islam ke Kristen lain.
Di Penjara Salemba ia sempat menghuni blok N, satu blok
dengan Kolonel Latief.
Ketika masih ditahan, anaknya sering bertanya kenapa
bapaknya tidak pernah pulang. Di lingkungan tempat tinggal anaknya sering
mendapat ejekan karena anak PKI.
Tahun 1976 Pak De dibebaskan. Setelah bebas Pak De
kemudian menjadi pengemudi bajaj. Ia masih kerap dikumpulkan di kantor lurah
bersama para mantan tapol lainnya. Namun setelah Suharto lengser pemanggilan ke
kantor lurah sudah tidak ada lagi.
Pak De sepakat dengan usulan Gus Dur tentang pencabutan
Tap MPR NO XXV tahun 1966. Ia juga menyoroti hutang negara yang begitu banyak
sehingga kita tidak mungkin lepas dari pendiktean IMF dalam menentukan
kebijakan ekonomi nasional.
Implikasi menyandang gelar sebagai eks tapol nyaris
membatalkan rencana pernikahan anaknya. Padahal anaknya sudah menjalin hubungan
pacaran selama 10 tahun. Bukan saja rencana pernikahan terancam batal, keluarga
Pak De juga kerap diteror dan diintimidasi oleh keluarga calon menantunya yang
kebetulan dari kalangan polisi. Bahkan keluarga Pak De digugat hingga ke
tingkat Mahkamah Agung. Untuk melaksanakan pernikahan anak gadis dari keluarga
polisi tersebut harus dilarikan ke luar kota.
Dalam klasifikasi petugas Pak De masuk dalam Golongan B.
awalnya ia masuk dalam golongan C, kemudian A, lalu menjadi B1.
1.23 - Mustajab
Jakarta
Mustajab lahir di Semarang tanggal 17 Agustus 1939. Kedua
orang tuanya meninggal pada tahun 45, oleh karena itu kehidupannya cukup
menderita. Salah seorang kerabatnya bekerja di tangsi militer NICA. Hal itu
membuat ekonomi keluarga terbantu. Kalau orang lain banyak kesulitan makan, ia
justru bisa merasakan roti dan keju. Pendidikan dasar ia tempuh di Bruderan
Gedangan, Semarang.
Tahun 1950, ia hijrah ke Jakarta ikut pamannya seorang
perwira dan tinggal di kawasan Senen. Mustajab melanjutkan sekolah di Vincentius
Kramat. Ia kemudian sempat bekerja di pabrik dan sorenya sekolah di SMP. Ia
juga ikut kursus teknik mobil. Karena keahliannya di teknik mobil, sekitar
tahun 1954 ia dapat bekerja di Peralatan Angkatan Darat (Palad) Manggarai,
Jakarta Selatan. Pekerjaan itu ia jalani dengan lancar sampai tahun 1964. Tahun
1964 ia ikut Barisan Soekarno yang mendukung pemerintahannya, sebab Soekarno
adalah idolanya.
Pasca G 30 S, menurut Mustajab, masyarakat ‘terperdaya’
dengan seruan Soeharto bahwa PKI adalah dalang G 30 S. Mustajab sempat ikut
melakukan penangkapan orang-orang PKI dan melakukan operasi keamanan di
kantor-kantor di Jakarta.
Mustajab menikah tahun 1967. Seiring dengan berjalannya
waktu, oleh teman-teman sekantornya ia diisukan terkait dengan PKI, keponakan
Aidit, dan lain-lain. Pada tahun 1969, setelah beberapakali dipanggil dan
dibebaskan, ia dipanggil kembali untuk kemudian ditahan. Selama tiga bulan ia
disiksa, dipukul dengan kenut di kepala dan pundak. Ia dituduh ikut dalam
peristiwa G 30 S di Lobang Buaya. Ia dipaksa mengakui keterangan interogator
walaupun sebetulnya pada malam peristiwa ia sedang menghadiri Munastek
(Musyawarah Teknik Nasional).
Ia ditahan di Rutan Salemba. Ia dan tapol lainnya
dicampur dengan tahanan kriminal dalam satu sel. Jatah makan untuk tahanan
kriminal jauh lebih baik daripada jatah makan untuk para tapol. Jaminan
kesehatanpun tidak memadai. Petugas penjara kerap melakukan teror kepada para
tahanan. Bahkan ada tahanan yang putus asa dan akhirnya meninggal.
Mustajab dan tahanan lainnya dapat bertahan hidup berkat
kiriman dari keluarga. Riungan adalah salah satu mekanisme survive para
tapol. Tapol yang memperoleh kiriman makanan dari keluarga berbagi kepada tapol
lain yang tidak memperoleh kiriman makanan. Hal lain yang dapat membuat
tapol survive adalah dengan menjadikan sesuatu sebagai hiburan.
Misalnya naik ke atap rutan sekedar untuk melihat letak rumah keluarga.
Kunjungan rohaniwan dari kelompok agama nasrani juga memiliki peran besar
terhadap tapol.
Ia sempat dipindahkan ke penjara Tangerang. Di Tangerang
dipekerjakan di pertanian. Untuk survive di Tangerang, para tapol
makan tikus, kucing dan ular yang ditemukan di dalam penjara. Makanan-makanan
ini adalah gizi bagi para tapol.
Tahun 1976 ia dibebaskan, itu pun lewat upaya ‘suap’ yang
dilakukan keluarganya. Dalam pembebasan ia diberi pesan agar kembali pada UUD
45 dan Pancasila. Setelah bebas ia sempat bekerja di sebuah Yayasan di Jakarta.
Setelah tidak bekerja, bersama istri dan anaknya, ia membuka warung sebagai
sumber penghasilan keluarga.
1.22 - Muslihan
Jakarta, 11 November 2000
Masa revolusi ’45 ia tergabung dalam Batalion Sukowati.
Ia adalah anak angkat Kyai Haji Abdul Mukti, tokoh Islam Madiun, yang juga
akrab dengan Tan Malaka. Pada tahun 1948 Muslihan pernah ditahan karena diduga
terlibat dalam Peristiwa Madiun. Proses penangkapannya tidak lepas dari
pengkhianatan seorang temannya yang dahulu sama-sama menjadi santri di Pondok
Pesantren Gontor.
Sehari sebelum peristiwa Madiun meletus, sudah ada
penangkapan-penangkapan terhadap tokoh-tokoh gerakan buruh, antara lain, Mister
Abdul Madjid, Tang Lien Djie, Siaw Giok Tjan, Mohammad Tauhid. Ketika clash kedua
pecah, Muslihan dan tahanan lainnya membebaskan diri. Ia kemudian menuju
Madiun.
Setelah lulus sekolah Akademi Hukum Militer, Muslihan
dijadikan staf pribadi A.H. Nasution. Pada tanggal 28 Oktober 1952 A.H.
Nasution akan membuat sebuah rezim militer. Konsep rezim militer ini lahir dari
pikiran TB. Simatupang, yang menempatkan militer sebagai pelopor dalam perang
dan pelopor dalam damai. Artinya kemerdekaan semata-mata hasil dari perjuangan
bersenjata. Nasution juga termasuk pemilik konsep “Atasan yang berhak
menghukum”, yang jika diimplementasikan akan melahirkan impunity.
Sebelum menjadi staf pribadi AH Nasution, Muslihan sempat
bergabung dengan Batalyon Slamet Riyadi dan Batalion Maladi Yusuf yang jelas
secara ideologi berseberangan dengan Nasution. Setelah satu tahun menjadi staf
pribadi A.H. Nasution, Muslihan dikembalikan lagi untuk bertugas pada
Direktorat Kehakiman Angkatan Darat, yang dipimin oleh Mayor Wuwoto.
Kementrian
pertahanan dikuasai oleh kalangan PSI. Banyak skandal pembelian senjata
dibongkar oleh kalangan PNI. Karena memergoki atasannya berbisnis ia ditawari
untuk mutasi: pindah kesatuan atau pindah tempat tugas.
Bulan Januari 1965 Muslihan pensiun dari dinas
kemiliteran. Bulan November 1965, setelah peristiwa G 30 S Muslihan menyerahkan
diri ke Angkatan Laut, setelah sebelumnya seisi rumahnya diobrak-abrik oleh
petugas dan keluarganya diancam akan ditangkap jika ia tak menyerahkan diri.
Muslihan dikirim ke Nusakambangan dan untuk selanjutnya
ia ditahan di Pulau Buru. Tahun 1979 Muslihan dibebaskan dari Pulau Buru.
Selama ia ditahan dan sampai bebas hak pensiunnya tetap dibayarkan. Dan rumah
yang ia tempati kini luput dari penyitaan tentara. Semua ini tidak lepas dari
usaha istrinya melobi pejabat pemerintahan dan petinggi militer yang sejak
dahulu sudah ia kenal.
Selama ditahan Muslihan tidak pernah diperiksa. Pernah
satu kali ia hanya diperintahkan untuk mengisi formulir yang menanyakan identitas
dan keberadaan ia ketika terjadi peristiwa G 30 S.
Banyak perwira-perwira angkatan laut yang mendukung dan
fanatik terhadap Bung Karno ditangkap dan ditahan setelah Sudomo menjadi KSAL.
Ketika ia masih di tahanan di Jakarta istrinya sering
membesuk dan membawakan makanan. Jika istrinya besuk kadang bisa bertemu kadang
tidak. Para petugas ada yang menyediakan tempat dan waktu khusus untuk besuk
asal tapol atau keluarganya memberikan sejumlah uang kepada petugas tersebut.
Hingga kini keluarga (terutama anak-anak) sangat trauma
dengan pengalaman yang dialami oleh Mustahal. Anak-anak melarang Mustahal
berhungungan dengan teman-teman sesama tapol. Anaknya takut apa yang pernah
terjadi pada waktu itu terulang lagi pada saat sekarang.
Karena ia tapol, karir menantu dan anak-anaknya banyak
yang terhambat oleh proses litsus dan skrining, dan masuk dalam kualifikasi
tidak bersih lingkungan. Menantunya harus keluar dari perusahaan negara,
anaknya harus rela tidak akan naik pangkat/jabatan selama bekerja.
1.20 - Harsono
Jakarta, 30 November 2000
Harsono lahir tanggal 9 Desember 1939. Pada masa
penjajahan Belanda ayahnya bekerja di kantor pos dengan penghasilan yang cukup
besar, sehingga bisa gunakan untuk membeli modal usaha batu-bata di Cikarang.
Tahun 1946 sampai tahun 1949 keluarganya mengungsi ke
Purworejo.
Setelah mengungsi keluarganya kembali ke Cikarang dan
Jakarta. Harsono melanjutkan sekolahnya di Jakarta hingga tamat SMA. Ketika SMP
ia bergabung dengan Ikatan Pelajar Indonesia (IPPI). Di SMA ia aktif dikegiatan
penerbitan majalah. Hobinya adalah melukis.
Setamat SMA dia bersekolah di Akademi Seni Rupa dan
Akademi Teknik Nasional. Di dua sekolah ini ia mulai aktif di CGMI. Belum
selesai studinya di sekolah itu, oleh teman-temannya ia disarankan pindah ke
jurusan Arsitektur ITB. Di kampus ini iapun bergabung kembali dengan CGMI.
Ia sempat aktif dalam kegiatan melawan gerakan rasialis
anti Cina, melawan penyusupan DI/TII di Bandung, dan juga gerakan solidaritas
anti bom atom.
Pada tahun 1964, ia cuti kuliah untuk cari uang agar bisa
biayai kuliah lagi. Namun tahun 1965, meletus G30S. Ia kemudian ditahan, dibawa
ke Lidikus, Kodam. Sedang ayahnya, yang juga simpatisan PKI, ditangkap di
Bekasi. Waktu dalam tahanan, ia juga mengetahui kalau ibunya ditahan di penjara
Bukit Duri. Rumahnya dirusak dan dibakar oleh massa.
Ia kemudian ditahan di Rutan Salemba. Ia mengalami
penyiksaan dan pelaparan. Pada tahun 1967 ia sempat bertemu dengan ayah dan
ibunya di penjara. Tahun 1970 ia dibuang ke Pulau Buru.
Pada tahun 1974, keadaan mulai melonggar. Para tapol
mulai bergaul dengan warga pendatang. Harsono berkenalan dengan seorang gadis
dan menikahinya pada tahun 1978. Pemerintah mengijinkan perkawinan itu dengan
catatan bersedia menetap di Pulau Buru.
Pada saat pembebasan tapol tahun 1979, bapak Harsono dan
isteri tetap tinggal di Savanajaya, Pulau Buru. Orangtuanya sempat berkunjung
ke Pulau Buru. Tahun 1991 ia dan keluarganya sempat pindah ke Ambon. Harsono
bekerja pada proyek-proyek pembangunan milik pemerintah, seperti membangun
jembatan, bendungan, irigasi dan lain-lain.
Pada saat terjadi kerusuhan Ambon, ia dan keluarganya
terpaksa mengungsi ke beberapa tempat. Namun karena kondisi keamanan masih juga
tidak membaik, ia memutuskan keluar dari Ambon.
1.18 - Sudir
Jakarta, Februari 2001
Sudir lahir di kota Purworejo tanggal 1 Oktober 1920.
Pada era pemerintahan kolonial ia bersekolah di HIS. Pada saat itu kehidupan
sangat sulit. Keluarganya hanya mampu makan oyek dan awuk(makanan
berbahan dasar singkong). Tahun 1939 ia bergabung dengan milisi bentukan
Belanda. Ia dilatih ketentaraan. Ia sering berpindah-pindah tempat tugas,
bahkan sempat bertugas di Bandung.
Ketika Jepang menduduki Indonesia ia aktif melawan
tentara Pendudukan Jepang. Saat Jepang hengkang dari Republik, ia bergabung
dengan BKR dan TRI untuk menghadapi tentara NICA dan Jepang yang masih tersisa
di Indonesia. Dalam masa perjuangan itu, anak istrinya selalu dibawa. Ia
mengaku sempat mengalami pertempuran di Ciracas, Suka Miskin, kemudian
mengungsi sampai daerah Cirebon.
Pada tahun 1949, ia kemudian bekerja sebagai petugas
penjara Salemba sampai tahun 1960, kemudian pindah ke penjara Cipinang. Tahun
1963 pindah lagi ke Salemba. Selama sebagai petugas penjara, ia aktif dalam
organisasi Serikat Buruh Penjara. Ia aktif juga dalam kongres-kongres yang
diadakan. Bahkan, ia sempat menjadi sekretaris.
Pascameletusnya G30S, anggota Sarekat Buruh Penjara dinyatakan
terlibat G 30 S. Tahun 1965 ia ditangkap dan dipenjara di LP Cipinang, kemudian
dipindah ke Salemba sampai ia dibebaskan. Selama dalam tahanan ia mengalami
penyiksaan. Ia menyaksikan banyak tahanan yang dibon dan tak pernah kembali.
Tahun 1976 ia dibebaskan bersama tahanan-tahanan
temannya. Ia kembali ke keluarganya. Untuk menafkahi keluarga ia memilih
berdagang gula. Namun usahanya berhenti sampai tahun 1984, sebab dagangannya
tidak mengalami kemajuan yang berarti, sulit memperoleh keuntungan. Bersamaan
itu pula ia mulai sakit-sakitan.
Sebagai mantan aktivis Sarekat Buruh, ia mempunyai
harapan agar Serikat Buruh saat ini dapat melanjutkan perjuangan. Sementara itu
ia juga berharap terhadap kasus 65 ada tindakan untuk mengadili orang-orang
yang terlibat dan tidak memberikan jabatan publik kepada mereka.
1.17 - Sodikin
Jakarta, 29 Mei 2000
Sodikin adalah salah satu saksi yang cukup penting dalam
perjalanan sejarah Indonesia. Pada tahun 1964 aktif dalam organisasi Persatuan
Sarjana Indonesia sebagai ketua. Pada saat itu wakilnya adalah Bapak
Soedharmono (Mantan Wapres RI). Kemudian pada tahun 1965 ia mendapat pendidikan
khusus di Sekolah Staf Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung. Hal itu ia jalani
karena ia juga menjabat sebagai Hakim Militer Tinggi (Mahmilti) se-Indonesia.
Saat meletus G 30 S, Sodikin masih menjalani pendidikan
di Bandung. Ia kemudian kembali ke Jakarta dan terlibat dalam proses pengadilan
kasus G 30 S. Tanggal 5 Desember 1965, Bung Karno meminta diadakan pengadilan
khusus terhadap kasus G 30 S. Sodikin ditunjuk sebagai Koordinator Hakim dalam
proses pengadilan tersebut. Pengadilan terhadap tokoh “PKI” antara lain
pengadilan Nyono, Untung, Subandrio, dan lain-lain.
Sodikin merupakan salah satu saksi tentang simpang
siurnya Supersemar. Ia juga menjadi saksi bagaimana kejadian Ir Soekarno harus
pergi dari Istana Merdeka ke Istana Bogor. Saksi atas pengakuan-pengakuan
tokoh-tokoh “PKI” yang menjadi terdakwa dalam pengadilan, termasuk Syam yang
cukup ‘misterius’.
Pada tahun 1967, setelah pengadilan Soebandrio, Sodikin
diminta memimpin pengadilan atas diri Ir Soekarno dengan tuduhan kudeta. Ia
menolak dengan alasan bahwa ia merasa tidak mampu. Dan mengenai upaya Kudeta,
ia berpendapat bahwa tidak mungkin Soekarno meng-kup dirinya sendiri.
Akibat dari penolakannya itu, tanggal 7 Agustus 1967 ia
ditahan dan menjadi tapol sampai 8 Desember 1979. Sodikin paling lama ditahan
di tahanan Salemba.
Sejak ia ditahan tahun 1967, ia tidak pernah lagi
mendapat gaji, rumah dinas yang ia diami disita. Istri dan delapan anaknya terpaksa
mencari penghidupan baru.
Setelah dibebaskan, Sodikin mengaku tidak mau mengurus
soal pensiun dan hak atas gaji yang dulu tidak diberikan. Menurutnya hal itu
merupakan pekerjaan sia-sia.
1.12 - Sugianti
Jakarta, 31 Agustus 2000
Sugianti anak ke dua dari empat bersaudara pasangan suami
istri yang berprofesi sebagai guru. Ayahnya adalah guru SMA sementara ibunya
adalah guru Sekolah Dasar. Di Kebumen, Jawa Tengah, rumah tinggalnya dijadikan
tempat Kursus Calon Guru Taman Kanak-kanak Melati.
Ketika pecah peristiwa G 30 S, ia baru saja merayakan
hari ulang tahunnya. Pada saat itu ia baru duduk dibangku kelas tiga sekolah
dasar. Setelah peristiwa G 30 S, kawasan pecinan dan pertokoan, termasuk rumah
keluarga Sugianti, dibakar oleh massa yang berteriak “Allhahuakbar” dan “Bakar!
Bakar!” Akibat dari pembakaran tersebut ia terpisah dengan anggota keluarga
yang lain, termasuk ibunya. Tidak lama kemudian ayahnya ditangkap. Ia tidak
tahu ayahnya ditahan di mana.
Ia juga tidak tahu secara persis latar belakang
organisasi orangtuanya. Seingat dia, di rumahnya ada majalah yang dikelola oleh
PGRI. Dan di rumahnya dibuat pula koperasi kebutuhan pokok untuk para guru.
Ia kemudian pergi ke tangsi untuk berkumpul dengan
orang-orang lainnya. Dua hari kemudian ia bertemu dengan ibu dan adiknya di
tangsi. Di tangsi ia mendapat jatah bulgur dari pihak gereja untuk makan dengan
jumlah yang amat terbatas. Di dalam tangsi ia merasa lebih aman dari ejekan dan
cemoohan dibandingkan jika ia harus hidup di luar.
Tidak lama setelah ayahnya ditahan, ibunya pun turut
ditahan. Ketika ibunya dipindah ke tahanan Purworejo, ia tidak ada komunikasi
lagi dengan ibunya. Ia juga tidak tahu nasib dan keberadaan saudara-saudaranya
yang lain. Selama ibunya ditahan ia tinggal di Pasar Gede Kebumen bersama
anak-anak lain yang mengalami nasib yang sama. Selama di kamp penahanan ia juga
kerap melihat penyiksaan yang dilakukan oleh para petugas kepada para tapol.
Setelah tiga setengah tahun, ibunya dibebaskan. Namun
kebebasan tersebut tidak berlangsung lama, sebab ibunya ditahan kembali.
Sugianti tidak mau lagi kehilangan orang tuanya, ia pun turut serta tinggal di
penjara. Namun begitu, sesekali Sugianti masih hidup dan mencari makan di
pasar. Ketika masih hidup di pasar, datang serombongan suster mengambil
anak-anak yang ada di pasar untuk dititipkan pada panti asuhan. Oleh suster itu
pula Sugianti dibesarkan dan disekolahkan.
Setelah dipenjara selama tiga tahun, ibunya dibebaskan.
Untuk dapat menafkahi diri dan anaknya, ibunya mengajarkan bahasa Indonesia
kepada orang-orang Cina di Kebumen.
Berbekal pengalaman mondar-mandir kamp penahan, Sugianti
menawarkan jasanya kepada istri-istri tapol untuk mengantarkan makanan ke
penjara. Imbalannya adalah ia memperoleh makanan.
Tahun 70-an ayah Sugianti pulang dari pembuangan Pulau
Buru. Ketika bebas dari Pulau Buru ayahnya tidak langsung pulang ke rumah,
melainkan ditampung terlebih dahulu di markas koramil. Setelah mendapatkan
indoktrinasi di markas koramil, ia baru diperbolekan pulang dan harus wajib
lapor secara berkala.
Untuk menafkahi keluarga, ayahnya membuka bengkel sepeda.
1.10 - Rinawati
Jakarta, 18 April 2000
Sebelum peristiwa G 30 S, tanggal 28 September 1965 suami
Ibu Rinawati baru saja pulang dari luar negeri. Pada saat itu suaminya dalam
kondisi sakit, dan ingin menghadap Presiden Soekarno tanggal 29 September 1965.
Pada tanggal 30 September 1965, malam hari, kebetulan Ibu
Rinawati ada rapat. Ia bertemu dengan seorang wanita dari PKI. Wanita tersebut
menanyakan di mana suami ibu Rinawatipada saat itu. Ibu Rinawati menjawab bahwa
suaminya sedang di rumah. Perempuan tersebut menanyakan apakah suami Ibu
Rinawati “menyingkir”. Ibu Rinawati menjadi curiga dan bingung atas pertanyaan ini.
Rapat kemudian diberhentikan setelah ada seseorang masuk dalam ruang rapat. Ibu
Rinawati pulang sekitar jam 11 malam. Di jalan sudah banyak tentara.
Besok paginya baru datang para ajudannya dan
memberitahukan bahwa telah terjadi penculikan dan pembunuhan para jenderal.
Setelah peristiwa G 30 S rumahnya pernah didemo. Masa memanggil-manggil nama
suaminya. Suaminya pun kemudian keluar menemui massa tersebut.
Tanggal 12 Maret suami Ibu Rinawati ditangkap bersama dua
menteri lainnya. Surat penangkapan ditandatangani langsung oleh Suharto.
Sebelum menjadi menteri suami Ibu Rinawati adalah seorang
advokat, setelah jadi menteri maka tidak lagi menjadi advokat dan uang sangat
terbatas. Selama suaminya ditahan, kakaknya yang dokter kerap membantu biaya
hidup sehari-hari.
Anak laki-laki Rinawati satu sekolah dengan anak Ahmad
Yani. Mereka sering ejek-ejekan. Anak Rinawati juga sering terlibat adu omongan
dengan tentara yang menjaga rumahnya. Selama beberapa bulan, setelah suaminya
ditahan, rumah Ibu Rinawati selalu dijaga ketat oleh 8 orang tentara.
Seluruh kepentingan makan tentara penjaga ditanggung oleh
Rinawati.
Pernah satu waktu sepeda milik Rinawati hilang dicuri
oleh tentara yang menjaga rumahnya. Ke manapun Ibu Rinawati pergi tentara ini
selalu ikut serta, bukan mengawal untuk memberi pengamanan, tapi mengawasi
Rinawati.
Rinawati tidak menyangka kalau suaminya akan ditahan
sampai 12 tahun. Seluruh harta benda yang diperoleh selama suaminya menjadi
menteri diambil oleh negara. Termasuk rumah dinas. Banyak pihak pejabat, juga
tentara, yang ingin mengambil alih rumah milik Ibu Rina, padahal rumah tersebut
bukan rumah dinas.
Ketika Bung Karno meninggal dunia, Rinawati datang
melayat. Ia datang ke rumah Bung Karno yang juga dijadikan tempat penahanannya
(Bung Karno). Ia melihat kotor sekali kamar yang dijadikan tempat penahanan
Bung Karno.
Ketika ke pasar, Rinawati pernah mendapatkan koran yang
memuat berita bahwa suaminya sudah meninggal. Ia langsung ke tempat penahanan
suaminya untuk cross check berita. Ternyata suaminya masih sehat dan tidak ada
rencana untuk membunuh atau mengeksekusi suaminya.
Komandan kamp penahanan menjadi marah atas berita
tersebut. Menurut isu, memang benar suami Rinawati akan dieksekusi, namun
karena terlebih dahulu ada koran yang memuat hal tersebut, maka tidak jadi
dilaksanakan.
Ketika suaminya menjadi ketua fact finding untuk
peristiwa pembunuhan pasca G 30 S, Rinawati sering mendengar keluh kesah
suaminya. Suaminya perihatin karena begitu banyak terjadi pembunuhan di setiap
daerah dan banyak masyarakat yang tidak tahu apa-apa menjadi korban dan pelaku
karena dibohongi.
1.9 - Maryani
Jakarta, 8 Agustus 2000
Lahir tahun 1931. Ketika masih sekolah ia kerap
membawakan peluru untuk kepentingan tentara republik melawan tentara Belanda.
Ia juga sudah aktif di kegiatan palang merah sejak remaja.
Sebelum terjadi peristiwa G 30 S, Maryani bekerja sebagai
kepala pelaksana makanan pada Gelora Senayan. Di tempatnya bekerja ia kerap
melakukan tuntutan-tuntutan jika ada keterlambatan pemberian hak dan fasilitas
karyawan/buruh.
Ibu Maryani senang melakukan perjuangan. Ia tergabung
dalam Sukwati. Tanggal 30 September 1965, malam hari, ia dan relawan lainnya
berkumpul di sekolah Thiongoa di kawasan Slipi. Malam itu katanya ia dan
relawan yang lain akan dijemput. Tapi hingga pagi tidak pernah ada jemputan yang
datang. Pagi itu kemudian ia mendengarkan siaran radio yang menyiarkan adanya
penculikan terhadap para jenderal.
Maryani ditahan di Kodim 501. Jika malam ia dipaksa
melihat pemuda yang disetrum kemaluannya ketika diinterogasi. banyak orang
Tionghoa ditelanjangi dan disuruh lari-lari. Jika sore hari ia melihat seorang
tapol perempuan diajak pergi dari ruang tahanan, ia tidak tahu mau diapakan
perempuan itu. Bahkan ada empat orang anak tapol juga menghuni penjara bersama
orang tuanya.
Jika ada penyiksaan telinga empat anak ini selalu
ditutupi bantal agar mereka tidak mendengar jerit kesakitan tapol yang sedang
disiksa. Selama pemeriksaan ia tidak pernah dianiaya. Beda dengan temannya yang
juga tapol perempuan. Temannya dipukul dan disetrum oleh pemeriksa. Ketika ia
dikirim ke tempat penyiksaan di Jl. Gunung Sahari 3, ia menjertit-jerit seperti
orang gila. Akhirnya ia dikembalikan ke penjara lagi.
Suami Maryani juga ditangkap akibat peristiwa G 30 S.
suami Maryani bekerja sebagai anggota tentara. Waktu ditangkap anak Ibu Maryani
sudah 4 orang. Yang paling besar kelas 5 SD.
Maryani ditahan sekitar selama 5-6 bulan. Ia dikeluarkan
dari penjara dan dijemput menggunakan mobil Sarwo Edie Wibowo.
Selama suaminya ditahan ia menghidupi anak-anaknya dengan
singkong dan pisang rebus yang ada di kebunnya. Anak-anaknya sering diejek oleh
para tetangga. Sampai sekarang anaknya merasa trauma dan khawatir.
Anak-anaknya selalu melarang jika Ibu Maryani berhubungan
dengan teman-temannya sesama tapol, atau aktif dalam organisasi korban.
Anak-anaknya tidak ingin ibu mereka ditahan lagi dan mereka menderita lagi
seperti dulu.
Anak-anak Ibu Maryani tidak ada yang menemui kesulitan
ketika masuk menjadi pegawai negeri. Sebab Ibu Maryani memiliki banyak nama,
sehingga sulit terdeteksi bahwa ia adalah keluarga tapol.
Dengan Cucunya ia kerap menanamkan nilai-nilai perjuangan
dan menuturkan sejarah yang berkaitan dengan peristiwa G 30 S. Ia juga
meyakinkan kepada anak-anak bahwa ayah mereka ditahan bukan karena mencuri,
tapi karena politik. Ia mendorong agar anak-anaknya dapat menghargai perjuangan
ayahnya.
1.4 - FX
Jakarta, 13 November 2000
Sejak berumur 17 tahun FX sudah bergabung dengan badan
perjuangan yang ada di daerahnya untuk bergerilya melawan Belanda. Bersama
pasukan Siliwangi, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Mulai dari
Yogyakarta, Jawa Barat hingga Jawa Timur.
Ketika itu tiap daerah diperintahkan untuk dijaga tentara
untuk menghindari pendudukan oleh tentara Belanda. Ketika mendapat tugas untuk
menjaga Jawa Timur, ia dan dan komandannya tertangkap Belanda di Madiun. Ia
mengalami penyiksaan luar biasa karena tidak mau menunjukkan posisi induk
pasukannya. Ia tetap tidak mau menunjukkan posisi induk pasukannya sampai ia
dibebaskan.
Setelah Konperensi Meja Bundar, ia bertugas ke Jakarta.
Di Jakarta ada penggabungan tentara bekas KNIL dan tentara gerilya Indonesia.
Hal yang menyakitkan, setiap bekas tentara Belanda dinaikkan dua tingkat,
sedangkan pangkat mantan laskar rakyat diturunkan dua tingkat. Karena kebijakan
ini pangkatnya turun menjadi kopral. Walaupun kecewa, perlakuan ini tidak
membuatnya kecil hati, ia mengejar karir hingga dapat menyelesaikan SMA. FX
bertugas di bidang pendidikan calon perwira.
Pada tahun 1974, ia bersama sekitar 90 temannya ditahan
karena dituduh terlibat dalam gerakan Blitar Selatan tahun 1968. Dalam
penyiksaan ia dipaksa mengaku telah mengirim senjata ke Blitar. Suatu tuduhan
yang mengada-ada itu tidak dapat ia terima. Ia dan teman-temannya juga dipaksa
untuk menyebutkan (“menggigit”) orang lain yang terlibat walaupun sebenarnya
tidak terlibat. Akibat penyiksaan yang luar biasa, tahanan yang tidak kuat
memilih bunuh diri.
Dalam pemeriksaan lebih lanjut, tuduhan di atas tidak
terbukti. Setelah ditahan dua tahun di Jakarta, ia mendapat surat rehabilitasi
dari Kopkamtib. Namun kemudian ia dibawa ke Surabaya. Di sana ia kembali
ditahan selama satu tahun. Selama menjalani penahanan ia masih berstatus
anggota angkatan laut. Ketika dibawa ke Surabaya untuk ditahan, keluarganya
tidak diberitahu. Keluarganya dikucilkan oleh para tetangga.
Saat usia 47 tahun, ia memutuskan pensiun dini. Setelah
tidak lagi dinas diketentaraan, ia berprofesi sebagai pengacara.
1.3 - Binsar
Jakarta, 1 April 2001
Masa kecil Binsar dihabiskan di Sumatera Barat. Ayahnya
adalah seorang pejuang yang pernah terlibat dalam pertempuran menghadapi agresi
militer kedua Belanda di Sumatera Barat. Ayahnya pun terlibat dalam menumpas
gerakan PRRI/Permesta di di Sumatera. Ayahnya mendapatkan penghargaan atas
keberaniannya (berjuang untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan) dari CC
PKI.
Ketika peristiwa G 30 terjadi Binsar berada di Jakarta.
Beberapa hari setelah kejadian ia tahu kalau kantor CC PKI dan kantor-kantor
lainnya dirusak. Melihat situasi yang semakin memanas akhirnya Binsar
memutuskan untuk pergi ke Paris lalu ke Belanda. Di Belanda ia bertemu dengan
Oemar Dhani. Oemar Dhani menanyakan tentang situasi politik Indonesia kepada
Binsar. Setelah dari Belanda kemudian ia pergi lagi ke Paris.
Mei 1966 ia dan Duta Besar RI untuk Perancis dipanggil
pulang ke Indonesia, namun ia memilih tetap tidak kembali ke Indonesia, ia
kemudian pergi ke Moskow. Oleh pemerintah Moskow ia diberi kesempatan untuk
kembali belajar. Di Moskow ia pun bertemu dengan pemuda-pemuda Indonesia dari
berbagai latar belakang politik yang belajar di Universitas Lumumba. Pada waktu
itu koordinasi partai di luar negeri dipimpin oleh Yusuf Adjitorop.
Tahun 1967 Binsar pergi ke Peking bersama tiga orang
temannya untuk bergabung dengan teman-temannya yang sudah terlebih dahulu ada
di Peking. Di Peking mereka kerap melakukan diskusi tentang situasi politik
Indonesia. Hingga pada satu ketika diputuskan untuk menarik seluruh mahasiswa
Indonesia yang pro PKI ke Peking. Keputusan ini kemudian memunculkan polarisasi
pro Soviet dan Pro Peking. Ada sekitar 200-an pemuda Indonesia yang tinggal
atau tidak dapat kembali ke Indonesia. Baik pemuda yang dikirim untuk belajar,
olah raga maupun berobat ke Peking.
Di wilayah bagian selatan Peking ia dan beberapa temannya
sempat belajar kemiliteran mengenai taktik perang gerilya. Latihan ini ia
persiapkan untuk diterapkan jika mereka kembali ke Indonesia. Ketika itu mereka
pun mendengar tentang peristiwa Blitar Selatan dan Kalimantan Barat. Kedua peristiwa
inilah yang justru semakin meningkatkan motivasi mereka untuk mempelajari
starategi kemiliteran dan taktik perang gerilya.
Dalam kelompok pendidikan kemiliteran tersebut terdapat
dua perbedaan menyikapi situasi politik Indonesia: satu pihak ingin sesegera
mungkin kembali ke Indonesia untuk memulai revolusi, dan kelompok yang lain
ingin tetap bertahan di Peking sampai situasi memungkinkan.
Sekitar tahun 1990 Binsar mengajukan untuk menjadi Warga
Negara Jerman. Dalam proses yang hanya memakan waktu enam bulan tersebut ia pun
memperoleh kewarganegaraan Jerman. Menggunakan paspor Jerman itulah ia kembali
ke Indonesia. Hanya sebulan ia berada di Indonesia. Ia pun kembali ke Jerman.
Perubahan politik dan kepemimpinan di Indonesia membuat ia kembali lagi dan
menetap di Indonesia.
1.2 - Atmajaya
Jakarta, 20 Mei 2000, 14
Desember 2002
Dalam wawancara ini banyak keterangan yang diberikan
Atmajaya berkaitan dengan dokumen yang ditulis oleh Jenderal Soepardjo tentang
peristiwa G 30 S. Beberapa cerita tentang sejumlah pertemuan yang diadakan para
petinggi militer pada hari-hari menjelang maupun sesudah peristiwa G 30 S.
Pertemuan untuk menyikapi kondisi Bung Karno yang saat itu sedang sakit dan
pengambilan tindakan dari masing-masing kelompok yang berbeda.
Beberapa cerita menggambarkan situasi masing-masing
gerakan dan konflik diantara angkatan bersenjata mengenai mendukung atau
tidaknya isu Dewan Jenderal. Sehingga membawa wawancara sampai pada kilas balik
hubungan-hubungan personal antar kesatuan angkatan bersenjata diantara
kelompok-kelompok gerakan yang berbeda.
Contingency Plan muncul sebagai kekhawatiran dari
Yani menghadapi jatuh sakitnya Bung Karno, dan ia menganggap perlu mengambil
tindakan agar tidak terjadi chaos. Bersama dengan beberapa perwira tinggi
militer, intelektuil dan ekonom-ekonom Yani mengadakan pertemuan untuk
merumuskan tindakan dengan mengambil penasehat dari Seskoad-Bandung.
Beberapa yang hadir dalam pertemuan itu ada orang-orang
PSI diantaranya: Emil Salim, Suwarto (komandan Seskoad Bandung), Sadeli,
Wijoyo, Ali Wardhana, dan Soemitro. Pertemuan itu menghasilkan sebuah rumusan
di bidang Politik Sosial dan Budaya yang keluar menjadi isu yang santer
diperbincangkan sebagai Dewan Jenderal. Tetapi kemudian isu Dewan Jenderal itu
sendiri dibantah oleh Yani. Bahwa yang ada hanya Wanjakti (Dewan Kebijakan
Tertinggi) yang akan mengangkat perwira yang sudah seharusnya menjadi Jenderal.
Pada awalnya Atmajaya meragukan isu tersebut. Dengan
asumsi bahwa dewan yang baru ini tidak akan mendapatkan legitimasi karena
pengalaman bentukan dewan-dewan sebelumnya di Angkatan Darat.
Namun hal di atas mendapat perhatian serius dari Jenderal
Soepardjo dan Omar Dhani, sehingga mereka membentuk sebuah kelompok baru Dewan
Revolusi, yang bersama dengan beberapa perwira mengambil inisiatif untuk
mendahului gerakan Dewan Jenderal. Dengan tujuan mengamankan Presiden dan
mengagalkan kudeta Dewan Jenderal. Pada mulanya gerakan ini langsung mendapat
dukungan dari perwira kesatuan Diponegoro dan Brawijaya. Tetapi ada salah satu
anggota gerakan ini yang keluar pada saat menjelang aksinya yaitu Mayor Sigit,
anak buah Latief.
Beberapa pertemuan diadakan oleh Jenderal Soepardjo,
dimana Atmajaya selalu ada dalam pertemuan-pertemuan itu. Beberapa pertemuan
diantaranya Jenderal Soepardjo bertemu dengan orang seperti; Untung, Syam,
Aidit, Yono, dan Latief di rumah Anis Suyatno. Tak terkecuali pertemuannya
dengan Omar Dhani dan Bung Karno di kantor Leo Watimena. Pertemuan Jenderal
Soepardjo berjalan bolak-balik dan begitu seterusnya, berlangsung secara
kontinyu. Sampai akhirnya pertemuan antara Jenderal Soepardjo bersama Bung
Karno, Omar Dhani dengan Leimena, Martadinata, Ciptoyuto, Bambang Wijanarko di
rumah Komodor Susanto dan menghasilkan Dekrit.
Atmajaya tidak terlalu banyak tahu tentang isi
pembicaraan yang dibahas dalam pertemuan-pertemuan yang berlangsung. Beberapa
pembicaraan dalam pertemuan itu menyangkut, antara lain, siaran RRI pertama
dari Untung dan siaran kedua RRI yang diambil alih oleh Soeharto mengenai isu
Dewan Jenderal, dan juga ancaman Kostrad yang memerintahkan pemanggilan pasukan
645. Tidak banyak tindakan dan pembahasan mengenai soal-soal ini, walau secara
operasional gerakan itu terlaksana; pelatihan sukarelawan dan pengumpulan
pasukan, pembagian tugas penculikan.
Soeharto dalam siarannya menyatakan akan memberlakukan
jam malam dan memerintahkan Bung Karno keluar dari Halim karena area itu harus
dibersihkan. Dan mengenai ancaman ini sempat dibahas dan akan diambil tindakan,
bahkan oleh AURI sudah diadakan persiapan, tetapi dihentikan oleh Bung Karno
karena akan berakibat korban pada rakyat. Namun terjadi juga pertempuran di
Halim antara pasukan RPKAD dan pasukan 454 dibawah Kapten Kuncoro.
Setelah mendengar siaran kedua Soeharto, Bung Karno
pernah mengatakan untuk tidak meneruskan gerakan itu dan mengambil alih
gerakan. Dan Jenderal Soepardjo juga pernah menawarkan untuk mengambil alih
komando tetapi ditolak, namun jawaban yang diberikan tidak begitu jelas.
Sehingga gerakan ini seperti tidak ada pemimpin dan unsur
operasi militer di dalamnya (command and staff), gerakan ini hanya memanfaatkan
orang-orang militer. Namun gerakan ini walaupun tidak masuk hitungan operasi
militer tetap dijalankan dengan menggantungkan kepercayaan Syam bahwa PKI akan
bergerak mendukung operasi ini. Namun PKI sendiri tidak pernah menggariskan
untuk gerakan semacam ini, dan Biro Chusus yang terpisah dari partai tidak
pernah mengetahui hal itu. Setting-an gerakan anti Dewan Jenderal pun
berubah pada detik terakhir karena hilangnya beberapa tokoh yang dianggap
memegang peranan penting gerakan ini.
Perwira seperti Dul Arief sebagai komandan seluruh
operasi penculikan, Yahurup sebagai komandan penculikan Panjaitan, keduanya
dari Cakrabirawa. Bahkan sampai sekarang tidak ada dokumen mengenai mereka
dalam gerakan ini.
Sementara di antara kedua gerakan ini, Soeharto
memanfaatkan operasi anti Dewan Jenderal ini karena dia anti Nasution sekaligus
melakukan kontra-nya dengan gerakan anti Dewan Jenderal. Kemungkinan besar ada
satu informasi yang diketahui oleh Soeharto, sementara gerakan yang lainnya
tidak.
Informasi mengenai pidato Howard Jones yang mengatakan
“Situasi yang paling baik itu atau kejadian yang paling baru di Amerika itu,
kalau PKI melakukan coupyang bisa dihabisi.” Dan ini dimanfaatkan
benar-benar oleh Soeharto. Pada peristiwa G 30 S sendiri ada perbedaan pita
tanda yang dipakai antara gerakan anti Dewan Jenderal-nya Jenderal Soepardjo
dengan pasukannya Soeharto.
Soeharto juga memang pintar memanfaatkan
hubungan-hubungan personalnya dengan beberapa perwira, baik yang terlibat dalam
gerakan anti Dewan Jenderal maupun yang berada di kelompoknya sendiri.
Diantaranya Latief dan Untung merupakan orang yang dekat dengan Soeharto.
Soeharto juga menjaga hubungan dengan Syam yang waktu itu menjadi kepala Biro
Chusus PKI.
Ali Moertopo di detasemen intel Kostrad bersama dengan
Yoga Sugama sebagai Staff Satu. Dulu pengalaman moral Ali Moertopo yang buruk
membuatnya dibuang oleh Yani dari kesatuannya dan masuk ke Caduad yang kemudian
diganti namanya menjadi Kostrad dibawah pimpinan Soeharto. Ali Moertopo sendiri
berhubungan baik dengan Dul Arief yang waktu itu juga anak buah Latief.
Beberapa hubungan personal Soeharto juga lahir dari operasi Irian Barat dalam
hubungannya dengan Leo Watimena.
1.1 - Gunawan
Jakarta, 16 Juni 2000, 16
Agustus 2003
Pendidikan terakhir Gunawan adalah Akademi Seni Rupa.
Karena orangtua menikah kembali, Gunawan dibesarkan oleh keluarga paman Sempat
mengungsi ketika terjadi clash pertama dan clash kedua. Sejak kecil hobi dan
memiliki bakat melukis. Mengenal dunia politik dan pergerakan lewat buku-buku
milik pamannya yang tanpa sengaja ia baca ketika diminta membersihkan.
Sanggar “Bumi Tarung” Yogyakarta adalah organisasi yang
pertama kali ia geluti. Ia tertarik Bumi Tarung karena organisasi ini tidak
melulu mendiskusikan tentang seni rupa, tetapi juga tentang bahaya imperialisme
Amerika. Karena mengalami kekecewaan ia memilih keluar dari organisasi ini. Kemudian
ia masuk dalam organisasi seni rupa “Panitia Negara”.
Organisasi ini melayani kepentingan Sekretariat Negara
jika ada kunjungan dari pejabat negara lain. Dari organisasi yang baru ia
masuki ini Gunawan mulai dekat dengan kalangan CC PKI dan Lekra. Dari sini pula
ia mulai bergelut ke dalam organisasi Lekra.
Gunawan senang mendengarkan pidato-pidato Bung Karno,
walaupun berjam-jam lamanya. Lewat pidato tersebut ia menilai bahwa telah
terjadi komunikasi antara rakyat dengan presidennya. Ia melihat bahwa di
kalangan masyarakat konsep Nasakom yang dicetuskan oleh Bung Karno telah
diterima.
Melalui siaran radio ia mengetahui peristiwa G 30 S..
Buntut dari peristiwa tersebut adalah kantor PKI, BTI, Gerwani dan Lekra
menjadi sasaran amuk tentara dan massa. Ia merasa bahwa suatu saat ia pun akan
menjadi sasaran.
Akhir November 1968 Gunawan ditangkap oleh petugas dari
Operasi Kalong. Selama menjalani pemeriksaan ia dipukuli, dicambuk dengan ekor
ikan pari dan disetrum. Gunawan mendapat klasifikasi Golongan B. Delapan bulan
ditahan di Markas Operasi Kalong, Gunung Sahari. Satu tahun dua bulan di
Penjara Salemba, kemudian diberangkatkan ke Nusakambangan. Setelah tiga bulan
di Nusakambangan kemudian dikirim ke Pulau Buru.
Di Rutan Salemba ia melihat banyak tapol yang mati karena
kelaparan. Dalam satu hari kadang ada tujuh orang yang mati. Di Nusakambangan
ia menilai bahwa petugas penjara seperti polisi di era kolonial Belanda: kasar,
bodoh dan tidak dapat berbahasa Indonesia secara baik. Untuk menghitung jumlah
tahanan mereka selalu meminta tahanan jongkok. Setelah menghitung kadang mereka
lupa dan harus memulai lagi dengan orang (tapol) pertama. Kadang tugas ini
diambil alih oleh tapol. Kapasitas sel yang hanya untuk 25 orang dipenuhi oleh
sekitar 125 orang tapol.
Di Nusakambangan mandi hanya 2 kali dalam seminggu. jarak
tempat penahanan dengan tempat mandi sekitar 2 kilometer, harus ditempuh dengan
jalan kaki dan dikawal. Kesempatan mandi biasanya digunakan untuk mencari dan
menyelundupkan makanan ke dalam sel.
Ketika mendarat di Pulau Buru ia sempat “mencuri” susu
dan gula pasir. Ia kepergok dan coba bernegosiasi dengan petugas, berhasil.
Gula dibagi dua: satu bagian untuk dia, satu bagian lagi untuk
petugas.Tahun-tahun awal di Pulau Buru adalah fase terberat bagi para tepol.
Nanyak tapol yang meninggal, baik karena kelaparan, sakit atau bunuh diri.
Awalnya penduduk asli Pulau Buru takut kepada tapol. Hal
ini disebabkan oleh propaganda pemerintah dan tentara. Tapi dengan seringnya
tapol membuat sekolah dan mengajari penduduk asli membaca, menulis dan
berbahasa Indonesia, penduduk asli percaya bahwa tapol tidak sengeri yang
diceritakan tentara. Tapol juga kerap mengenalkan agama, bercocok tanam,
mengajarkan pentingnya lingkungan yang bersih dan sehat kepada penduduk asli.
Pertengahan tahun 70-an, tapol yang biasanya hidup secara
kolektif mulai mengarah ke kehidupan individual. Hal ini disebabkan adanya
nilai komersialisasi yang mulai tumbuh di kalangan tapol.
Dalam pembebasan tapol Pulau Buru, Gunawan masuk dalam
rombongan terakhir terakhir. Ia tinggalkan ternak dan kawasan yang dahulu
padang rumput yang tandus namun sekarang menjadi kawasan pertanian yang sangat
subur itu.
Kendati sudah dinyatakan bebas, namun Gunawan masih
dikenakan wajib lapor. Setelah sekian kali dan sekian lama menjalani wajib
lapor, karena merasa bosan, akhirnya ia memutuskan untuk tidak lagi menjalani
wajib lapor
0 komentar:
Posting Komentar