Ari Susanto | 2:36 PM, June 28, 2017
Jembatan Bacem yang berada di atas aliran Bengawan Solo dikenal sebagai tempat jagal para tahanan terduga anggota PKI
Jembatan Bacem yang berada di atas aliran Bengawan Solo dikenal sebagai tempat jagal para tahanan terduga anggota PKI
SOLO, Indonesia – Selain dua karya Joshua Oppenheimer, The Act of Killing (Jagal) dan The Look of Silence (Senyap), ada sebuah film dokumenter lainnya yang tak kalah menarik dalam membangkitkan ingatan publik tentang penghilangan paksa secara masal dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia 1965-1966, yaitu Jembatan Bacem.
Film dokumenter karya Yayan Wiludiharto yang diproduksi oleh Elsam Indonesia dan Pakorba ini sebenarnya merupakan visualisasi cerita viral yang berkembang di Solo dan sekitarnya.
Jembatan Bacem yang berada di atas aliran Sungai Besar (Bengawan) Solo dikenal sebagai tempat jagal para tahanan terduga anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) atau organisasi yang berafiliasi dengan partai itu.
Film ini banyak menggunakan sketsa gambar untuk mendeskripsikan kesaksian para penyintas (survivor). Meskipun hanya berdurasi sekitar 30 menit, pembuatan film ini memakan waktu sekitar 5 tahun. Salah satu penyebabnya adalah sulitnya menemukan penyintas yang selamat dari upaya penghilangan paksa di Jembatan Bacem dan bisa memberikan kesaksiannya secara runtut dan lengkap.
“Sangat sulit mencari korban sekaligus saksi yang masih hidup. Sejak pembuatan film 2007, kami baru menemukan orang seperti Barjo pada 2012,” kata Yayan beberapa waktu lalu.
‘Tidak jadi mati’
Kesaksian Barjo adalah bagian yang menarik dalam film ini. Meskipun sudah berusia senja, ia masih memiliki ingatan segar tentang bagaimana dirinya dan orang-orang diangkut dari kamp penahanan pada tengah malam. Setiap tahanan diikat dengan posisi tidur terlentang di atas papan kayu seukuran badan, lalu disusun bertumpuk-tumpuk di atas truk.
Barjo menggambarkan suasana orang-orang yang akan menjemput ajal. Ia mendengar orang yang berdoa, namun kebanyakan mereka merintih kesakitan tertindih papan dan orang di atasnya. Rintihan mereka terdengar mengerikan.
Begitu truk tiba di Jembatan Bacem, semua tahanan diturunkan dan disandarkan pada besi jembatan sebelum dieksekusi satu per satu. Namun, sebelum algojo mengarahkan senapannya, Barjo memukulkan bagian belakang kepalanya pada papan berulang kali yang berhasil membuatnya terbalik dan jatuh ke air sebelum ditembak.
“Meskipun saya tidak jadi mati, akhirnya saya tertangkap lagi di kemudian hari dan dikirim ke Nusakambangan dan Pulau Buru selama 13 tahun,” ujar kakek 85 tahun itu yang saat ini tinggal di Purwodadi, Jawa Tengah.
Selain Barjo, ada Dwijo yang nyaris dieksekusi tetapi batal karena diselamatkan oleh saudaranya, seorang anggota Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang bertugas di Sukoharjo. Ia bercerita bagaimana para tahanan diikat tangan dan lehernya kemudian ditembak dan didorong jatuh ke sungai.
Film ini juga menuturkan kesaksian Bibit, anggota Pemuda Rakyat yang tinggal tak jauh dari jembatan dan sering mendengar tembakan menyalak berulang-ulang memecah kesunyian setiap tengah malam. Keesokan harinya, ketika mencari rumput untuk makanan kuda, ia ditodong seseorang dengan senjata agar bersedia menghanyutkan mayat-mayat yang tersangkut di tepi sungai. Ia terpaksa menuruti perintahnya daripada mati.
Saksi lain bercerita tentang tahanan yang diambil setiap malam dari kamp penahanan Sasono Mulyo di Keraton Surakarta. Dari lokasi ini, tercatat 71 orang hilang setelah diambil tentara pada malam hari.
Film dokumenter ini juga merekam prosesi nyadran atau ziarah tahun 2005 oleh para keluarga korban peristiwa di Jembatan Bacem. Prosesi tabur bunga dilakukan di atas sungai sebagai ganti kuburan para korban hilang dilanjutkan dengan pelepasan puluhan burung dan ikan lele sebagai simbol agar arwah para korban mendapatkan keadilan.
Fobia komunisme
Sama seperti film Joshua Oppenheimer, Jembatan Bacem juga tidak gampang diputar dan diapresiasi di ruang publik. Beberapa kelompok dan organisasi masyarakat sangat tidak ramah terhadap hal-hal yang terkait komunisme dan berusaha mencegah pemutaran film dan diskusi dengan topik semacam itu.
“Film ini pernah akan diputar dan didiskusikan di sini, tetapi akhirnya pihak produsernya membatalkan karena khawatir ada ancaman pembubaran oleh kelompok tertentu berkaca dari peristiwa sebelumnya di Yogyakarta,” kata Yunanto Sutyastomo, kurator dan penyelenggara program Balai Soedjatmoko Solo.
Namun, film ini sebelumnya pernah diputar di kampus Universitas Sebelas Maret dan lolos dari sweeping kelompok-kelompok yang fobia terhadap komunisme, yang menganggap menonton film dan mengingat sejarah kelam bangsa secara otomatis mengubah orang menjadi komunis.
Secara umum, Jembatan Bacem berhasil menggambarkan suasana Solo dan sekitarnya pada tahun 1965, yang merupakan zona merah, alias basis pendukung PKI, partai yang pernah meraup suara terbanyak ketiga dalam sejarah Indonesia. Wali Kota Solo pada 1965, Oetomo Ramelan, diketahui adalah pendukung partai ini. Ia diduga ikut berperan dalam pelarian Ketua Central Committee PKI DN Aidit, yang kemudian ditangkap di Solo.
Setelah peristiwa 30 September, RPKAD menduduki Solo dan membuat banyak kamp penahanan yang tersebar di berbagai lokasi di penjuru kota. Setiap malam, para tahanan menunggu giliran “dibon”, istilah militer yang berarti pengambilan tahanan dari kamp untuk diinterogasi di balai kota, dipindahkan ke Pulau Buru, Plantungan, Nusakambangan, atau dihilangkan paksa.
Film ini mendukung cerita yang berkembang di masyarakat selama ini bahwa Sungai Bengawan Solo pernah menjadi “merah” karena mayat orang-orang yang dihilangkan nyawanya karena dituduh PKI tanpa pengadilan. Di Kedung Kopi, sisi lain Bengawan Solo, juga pernah menjadi tempat eksekusi, namun tidak sebanyak di Jembatan Bacem.
“Dulu kalau pagi-pagi pergi ke sungai, saya sering mendapati mayat-mayat terapung di tepi,” ujar Joyo, petani tua yang dari kecil tinggal di Desa Pilang, Sragen, yang dilewati Bengawan Solo.
Sampai sekarang, tidak pernah ada yang tahu berapa jumlah mereka yang dihilangkan paksa selama kurun dua tahun di Bengawan Solo. Namun, diperkirakan jumlahnya mencapai ribuan hingga jutaan orang. Menurut data Komnas HAM, sekitar 500.000 hingga tiga juta orang di Indonesia menjadi korban penghilangan paksa oleh operasi militer, dibantu Pertahanan Rakyat (Hanra).
Secara terpisah, pendiri Sekretariat Bersama ‘65, Jasmono, beberapa waktu lalu pernah mengatakan bahwa dirinya dan kebanyakan keluarga korban tidak memiliki dendam terhadap peristiwa berdarah itu. Mereka hanya menuntut pengakuan negara atas tragedi pelanggaran HAM dan pemulihan (rehabilitasi) nama dari stigmatisasi.
“Kami hanya ingin memperjuangkan rekonsiliasi, itu saja,” kata Jasmono sebelum tutup usia pada 31 Agustus lalu di Solo.
Jasmono adalah adalah korban fitnah seorang perangkat desa. Akibatnya ia mengalami siksaan fisik dan mendekam di penjara Nusakambangan dan Pulau Buru selama 14 tahun.
Sumber: Rappler.Com