Terkait hal itu, Ketua YPKP 65, Bedjo Untung, mengatakan bahwa meningkatnya tindakan persekusi massa akhir-akhir ini sudah tak bisa ditoleransi lagi. Terutama yang dialami korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat seperti peristiwa tahun 1965.
Menurut dia, persekusi juga menyasar bukan lagi kepada para korban kejahatan HAM masa lalu, melainkan juga terhadap petugas lembaga negara yang tengah melaksanakan tugasnya.
Bedjo menilai, intensitas tindakan persekusi massa itu seakan mendapatkan dukungan politik dan legitimasi usai penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
"Contoh paling konkret (selain kasus-kasus lain) adalah apa yang dialami YPKP 65 di beberapa daerah, baru-baru ini, seperti di Cirebon, Jawa Barat (26-27 Juli 2017) dan Kroya, Cilacap, Jawa Tengah (21 Agustus 2017) lalu," ucap Bedjo melalui keterangan tertulisnya yang diterima Liputan6.com, Kamis (31/8/2017).Di kedua daerah itu terjadi serangan massa dalam jumlah signifikan, yang kemudian secara semena-mena membubarkan pertemuan antara korban peristiwa 1965 dan petugas LPSK.
Naifnya, imbuh Bedjo, pertemuan seperti ini selalu dikaitkan dengan kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang gambarannya saja sudah jauh dari kepala para korban peristiwa 1965 yang semuanya telah renta.
Untuk itu, YPKP 65 mendesak agar pemerintah, melalui Polri agar menjaga dan melindungi para korban peristiwa 1965 serta berani mengambil tindakan tegas terhadap segala bentuk persekusi oleh massa intoleran.
"Kedua, mengambil tindakan tegas dan melakukan upaya-upaya nyata guna 'menertibkan' aparat negara, termasuk petugas intel, khususnya militer yang mengintimidasi para korban/penyintas 1965 di berbagai daerah, sehingga tak mengulang-ulang kekerasan yang serupa," ujar Ketua YPKP 65.
Pada kesempatan itu, menurut Aris, Ketua YPKP 65 Cilacap telah berupaya menjelaskan bahwa YPKP 65 tidak anti-Pancasila dan bahkan menunjukkan legalitas YPKP 65 lengkap sebagai sebuah institusi yang telah berbadan hukum. Hanya saja, perwakilan massa tetap bersikukuh agar acara itu dihentikan.
Sebenarnya, Humas YPKP 65 itu memaparkan, acara intinya adalah pendataan korban peristiwa 1965 yang mendapatkan layanan medis dan psikososial gratis yang difasilitasi LPSK itu. Seperti YPKP Cilacap itu memfasilitasi agar korban peristiwa 1965 di Cilacap, bertemu langsung dengan tim LPSK.
"Jadi itu kemarin kan ada tuduhan itu (kebangkitan Partai Komunis Indonesia/PKI)," ucap dia kepada Liputan6.com, Rabu, 30 Agustus 2017.Sekalipun suasana sempat memanas, tak terjadi insiden atau keributan dan perusakan di lokasi yang rencananya berlangsung pertemuan antara LPSK dengan korban peristiwa 1965 yang difasilitasi YPKP 65 tersebut. Aris pun menyayangkan tindakan persekusi yang kini ternyata telah menyasar petugas lembaga negara, seperti LPSK.
Saat itu, menurut Aris, pihak yang mengatasnamakan organisasi kemasyarakatan atau ormas tersebut merendahkan (melecehkan) petugas LPSK dengan menyoal dan menanyakan tingkat pendidikan, hingga asal universitas, dan lainnya.
Adapun Kapolsek Kroya, AKP AM Suryoprobo, membantah terjadi pembubaran acara LPSK di wilayah hukumnya oleh sejumlah ormas. Saat itu, massa hanya menanyakan izin acara dan legalitas lembaga YPKP.
Soal dugaan intimidasi oleh beberapa perwakilan ormas, Suryo menjelaskan bahwa saat itu kepolisian juga berada di lokasi dan turut mengamankan acara.
"Maksudnya mereka, YPKP itu ada izinnya enggak, gitu lho pak," ujar Suryo.Dia mengakui, YPKP 65 telah melayangkan pemberitahuan agenda hari itu ke kepolisian. Sebab itu, pihaknya juga berada di lokasi untuk mengantisipasi insiden yang tak diinginkan. Sebab, kepolisian telah memiliki informasi ada kelompok yang tak setuju dengan acara itu.
"Hanya pemberitahuan saja. Setiap pemberitahuan, karena namanya juga warga, kita kan selalu mendampingi, selalu kita pantau, gerakannya," ujar Kapolsek Kroya.