Presiden Joko Widodo. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Reporter: Satya Adhi | 02 Agustus, 2017
"Saya masih berharap [pada Jokowi], tapi saya tidak percaya pada Wiranto,” tukas Reza.
Anggota IPT ’65, Reza Muharam mengatakan sejak Wiranto menjabat sebagai Menko Polhukam menggantikan Luhut Binsar Pandjaitan, memang tidak ada peningkatan dalam penuntasan kasus Tragedi ’65 dan kejahatan HAM lainnya.
Agenda pembahasan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) 1965-1966 kembali mendapat intervensi aparat. Hal ini terjadi dalam lokakarya evaluasi dan perencanaan terkait pelanggaran HAM 1965-1966 yang digelar International People’s Tribunal (IPT)’ 65 di Klender Jakarta Timur, Selasa (1/8/2017).
Beberapa jam sebelum lokakarya dimulai, panitia lokakarya didatangi aparat Kepolisian Resor Jakarta Timur, Koramil Duren Sawit, serta Lurah Jakarta Timur. Aparat mengintervensi panitia dan pengelola tempat untuk membatalkan acara. Alasannya, lokakarya tersebut belum berizin.
Koordinator Lokakarya, Dianto Bachriadi, mengatakan intervensi yang dilakukan aparat tidak punya dasar hukum. “Jadi ini [lokakarya] adalah sebuah kegiatan di ruang tertutup, bukan di ruangan terbuka, bukan demonstrasi yang akan mengganggu ketertiban umum,” tandas Dianto. Maka demikian, lanjutnya, tidak diperlukan izin dan pemberitahuan pada kepolisian.
Atas intervensi itu, lokakarya kemudian dipindahkan ke kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), di Menteng, Jakarta Pusat. “Akhirnya kami pindah tempat karena tidak ingin merepotkan pihak pengelola tempat,” kata Dianto.
Dianto juga menyebut intervensi semcam ini merupakan langkah kemunduran demokrasi. “Kami merasa seperti mengalami de javu ke era Orde Baru. Ini menunjukan ada kemunduran dalam kehidupan demokrasi dan penegakkan HAM,” tambahnya.
Ia juga menyesalkan stigma komunis yang masih melekat pada acara-acara pembahasan pelanggaran HAM. “Membicarakan hak-hak korban ’65 selalu disebut upaya menghidupkan kembali Komunisme. Padahal kita sedang membicarakan hak-hak korban. Agar apa [pemberian stigma itu]? Agar ada penolakan-penolakan yang masif [dari masyarakat],” lanjut Dianto.
Hal serupa dikatakan Pengacara YLBHI, Pratiwi Febry (Tiwi). “Izin [ke kepolisian] hanya diajukan untuk keramaian dan kembang api. Keramaian itu minimal 500 orang. Sementara kemarin acara lokakarya cuma 20-30 orang. Lalu pemberitahuan [ke kepolisian] dilakukan hanya jika diadakan di tempat umum,” jelasnya.
Tiwi juga mempertanyakan keikutsertaan anggota TNI dalam intervensi tersebut. “Untuk apa Koramil terlibat? Apa ada wewenang militer untuk masuk ke ranah sipil?” ungkapnya. Karena itu, tegas Tiwi, intervensi dilakukan aparat adalah bentuk pelanggaran hukum.
Sementara itu, Komandan Koramil (Danramil) Duren Sawit, Sianturi, tidak mau pihaknya disebut membubarkan lokakarya tersebut. “Tidak membubarkan. Kami hanya menanyakan izin kegiatannya,” kata dia. “Karena kebetulan kan acara itu ada di wilayah saya. Kami hanya mem-back up polisi.”
Desak Copot Wiranto
Anggota Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, mengatakan intervensi dan pembubaran semacam ini menyalahi komitmen pemerintah untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM. “Ini memperlihatkan kemunduran sikap pemerintah. Jelas menyalahi komitmen yang dibuat Jokowi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM,” ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui akun twitternya menyampaikan bahwa penanganan kasus pelanggaran HAM harus segera dituntaskan. “Penanganan kasus2 korupsi, penganiayaan, pelanggaran HAM, dll yg belum selesai, harus dipercepat demi rasa keadilan masyarakat,” cuit Jokowi.
Menanggapi hal ini, Usman melihat masih ada kemauan dari pemerintah untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM. “Masih ada komitmen yang ingin ditunjukkan oleh pemerintah. Kalau aparat melakukan pembubaran semacam ini, berarti aparat di tingkat bawah melawan kehendak Presiden.” tegasnya.
Beberapa jam sebelum lokakarya dimulai, panitia lokakarya didatangi aparat Kepolisian Resor Jakarta Timur, Koramil Duren Sawit, serta Lurah Jakarta Timur. Aparat mengintervensi panitia dan pengelola tempat untuk membatalkan acara. Alasannya, lokakarya tersebut belum berizin.
Koordinator Lokakarya, Dianto Bachriadi, mengatakan intervensi yang dilakukan aparat tidak punya dasar hukum. “Jadi ini [lokakarya] adalah sebuah kegiatan di ruang tertutup, bukan di ruangan terbuka, bukan demonstrasi yang akan mengganggu ketertiban umum,” tandas Dianto. Maka demikian, lanjutnya, tidak diperlukan izin dan pemberitahuan pada kepolisian.
Atas intervensi itu, lokakarya kemudian dipindahkan ke kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), di Menteng, Jakarta Pusat. “Akhirnya kami pindah tempat karena tidak ingin merepotkan pihak pengelola tempat,” kata Dianto.
Dianto juga menyebut intervensi semcam ini merupakan langkah kemunduran demokrasi. “Kami merasa seperti mengalami de javu ke era Orde Baru. Ini menunjukan ada kemunduran dalam kehidupan demokrasi dan penegakkan HAM,” tambahnya.
Ia juga menyesalkan stigma komunis yang masih melekat pada acara-acara pembahasan pelanggaran HAM. “Membicarakan hak-hak korban ’65 selalu disebut upaya menghidupkan kembali Komunisme. Padahal kita sedang membicarakan hak-hak korban. Agar apa [pemberian stigma itu]? Agar ada penolakan-penolakan yang masif [dari masyarakat],” lanjut Dianto.
Hal serupa dikatakan Pengacara YLBHI, Pratiwi Febry (Tiwi). “Izin [ke kepolisian] hanya diajukan untuk keramaian dan kembang api. Keramaian itu minimal 500 orang. Sementara kemarin acara lokakarya cuma 20-30 orang. Lalu pemberitahuan [ke kepolisian] dilakukan hanya jika diadakan di tempat umum,” jelasnya.
Tiwi juga mempertanyakan keikutsertaan anggota TNI dalam intervensi tersebut. “Untuk apa Koramil terlibat? Apa ada wewenang militer untuk masuk ke ranah sipil?” ungkapnya. Karena itu, tegas Tiwi, intervensi dilakukan aparat adalah bentuk pelanggaran hukum.
Sementara itu, Komandan Koramil (Danramil) Duren Sawit, Sianturi, tidak mau pihaknya disebut membubarkan lokakarya tersebut. “Tidak membubarkan. Kami hanya menanyakan izin kegiatannya,” kata dia. “Karena kebetulan kan acara itu ada di wilayah saya. Kami hanya mem-back up polisi.”
Desak Copot Wiranto
Anggota Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, mengatakan intervensi dan pembubaran semacam ini menyalahi komitmen pemerintah untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM. “Ini memperlihatkan kemunduran sikap pemerintah. Jelas menyalahi komitmen yang dibuat Jokowi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM,” ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui akun twitternya menyampaikan bahwa penanganan kasus pelanggaran HAM harus segera dituntaskan. “Penanganan kasus2 korupsi, penganiayaan, pelanggaran HAM, dll yg belum selesai, harus dipercepat demi rasa keadilan masyarakat,” cuit Jokowi.
Menanggapi hal ini, Usman melihat masih ada kemauan dari pemerintah untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM. “Masih ada komitmen yang ingin ditunjukkan oleh pemerintah. Kalau aparat melakukan pembubaran semacam ini, berarti aparat di tingkat bawah melawan kehendak Presiden.” tegasnya.
Ia juga mempertanyakan penunjukan Wiranto sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) pertengahan 2016 lalu. “Selama Menko Polhukam belum diganti, pembubaran semacam ini bisa terus terjadi,” tandas Usman.
Senada dengan Usman, anggota IPT ’65, Reza Muharam mengatakan sejak Wiranto menjabat sebagai Menko Polhukam menggantikan Luhut Binsar Panjaitan, memang tidak ada peningkatan dalam penuntasan kasus Tragedi ’65 dan kejahatan HAM lainnya.
Untuk diketahui, Pemerintah sebenarnya telah berkomitmen menuntaskan kasus pelanggaran HAM. Dalam Nawacita, Jokowi berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Sebut saja Kerusuhan Mei 1998, tragedi Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa selama Orde Baru, Tragedi Talang Sari-Lampung, Tragedi Tanjung Priok, dan tentunya Tragedi 1965.
Komitmen kembali ditunjukkan dengan digelarnya Simposium ’65 April 2016 silam. Simposium ini adalah tindak lanjut keputusan sidang IPT ’65 di Den Haag, Belanda, 10-13 November 2015. Sidang tersebut memutuskan Negara bersalah atas sepuluh kejahatan HAM berat.
Kejahatan tersebut adalah pembunuhan massal, pemusnahan, pemenjaraan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pengasingan, propaganda palsu, keterlibatan negara lain, dan genosida. Hanya saja, hingga kini hasil rekomendasi Simposium ’65 belum juga keluar.
“Sejak Wiranto menjabat, tidak ada satu inisiatif pun untuk menindaklanjuti hasil Simposium ’65. Rekomendasi itu sampai sekarang masih di-peties-kan oleh Pak Wiranto,” kata Reza.
Ia juga mengaku tidak percaya bahwa Wiranto akan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia. “Saya masih berharap [pada Jokowi], tapi saya tidak percaya pada Wiranto,” tukas Reza.
Untuk diketahui, Pemerintah sebenarnya telah berkomitmen menuntaskan kasus pelanggaran HAM. Dalam Nawacita, Jokowi berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Sebut saja Kerusuhan Mei 1998, tragedi Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa selama Orde Baru, Tragedi Talang Sari-Lampung, Tragedi Tanjung Priok, dan tentunya Tragedi 1965.
Komitmen kembali ditunjukkan dengan digelarnya Simposium ’65 April 2016 silam. Simposium ini adalah tindak lanjut keputusan sidang IPT ’65 di Den Haag, Belanda, 10-13 November 2015. Sidang tersebut memutuskan Negara bersalah atas sepuluh kejahatan HAM berat.
Kejahatan tersebut adalah pembunuhan massal, pemusnahan, pemenjaraan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pengasingan, propaganda palsu, keterlibatan negara lain, dan genosida. Hanya saja, hingga kini hasil rekomendasi Simposium ’65 belum juga keluar.
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar