Pernyataan Pers
:
No.300817/YPKP65/2017
Hentikan Persekusi Terhadap Korban 65
KETERANGAN PERS: Bedjo Untung (kiri), Mariana Aminudin (tengah), Eddy Sugiyanto (kanan) tengah memberikan keterangan pers di Kantor Komnas Perempuan, Menteng Jakarta (30/8). Jumpa pers ini digelar untuk menyikapi maraknya tindakan persekusi terhadap para korban kejahatan HAM 1965-66 di berbagai daerah [Foto: Ipoet]
Meningkatnya tindakan persekusi massa akhir-akhir ini
sudah tak bisa ditoleransi lagi, terutama yang terjadi di kalangan korban
pelanggaran HAM yang berat seperti tragedi 65. Persekusi juga menyasar bukan
lagi kepada para korban kejahatan HAM masa lalu misalnya saat para korban
melaksanakan kegiatan, lalu dibubarkan massa intoleran; melainkan juga terhadap
petugas lembaga negara yang tengah melaksanakan tugasnya.
Intensitas tindakan persekusi massa ini seakan
mendapatkan dukungan politik dan legitimasi paska penetapan Perppu No.2/2017.
Selain itu juga karena terhadap tindakan persekusi massa yang cenderung
merupakan tindakan main hakim sendiri dan berdalih pada argumen (baca: tafsir)
sepihak yang tak bisa dipertanggungjawabkan, juga karena nihilnya tindakan hukum
yang tegas terhadap aksi persekusi dari massa intoleran. Bahkan, karena ada
pembiaran pada kasus tertentu ini berimplikasi seakan mendapat dukungan aparat
negara dan/atau pemerintah.
Contoh paling konkret (selain kasus-kasus lain) adalah
apa yang dialami YPKP 65 di beberapa daerah, seperti di Cirebon Jawa Barat (26-27/7)
dan Kroya Cilacap Jawa Tengah (21/8) lalu.
Di kedua daerah ini terjadi serangan massa dalam jumlah
signifikan (dibanding jumlah korban yang ngumpul) yang kemudian secara
semena-mena membubarkan pertemuan antara korban 65 dengan petugas Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK-RI). Naifnya, bahwa pertemuan seperti ini
selalu dikaitkan dengan kebangkitan PKI yang gambarannya saja sudah jauh dari
kepala para korban penyintas 65 yang semuanya telah renta.
Demikian pula yang terjadi saat digelar pemutaran film
dokumenter “Istirahatlah Kata-Kata” di Pemalang (6/8). Lepas dari alasan apa
pun yang melatarbelakangi serbuan gerombolan massa ini, tindakan persekusi
demikian sudah tak bisa ditolerir lagi untuk masa selanjutnya; kecuali jika
kita semua menghendaki kehancuran demokrasi dan matinya supremasi hukum di
Indonesia.
Persekusi Menyasar
Petugas Negara
Persekusi juga menyasar kepada petugas lembaga negara
yang tengah melaksanakan tugasnya. Yang terjadi di Kroya Cilacap (21/8)
baru-baru ini adalah bahwa tindakan persekusi juga telah menyasar petugas LPSK
(baca: aparat negara) yang tengah menjalankan tugas sesuai amanat UU No.13/2006 dan UU No.31/2014.
Pertemuan korban 65 Cilacap dengan Tim LPSK dalam rangka assesment penerima
manfaat layanan medis psikososial LPSK; digeruduk, dilarang dan berakhir dibubarkan
massa.
Insinden
serupa terjadi di Cirebon (26-27/7) dimana pada persekusi ini bukan hanya
korban/penyintas 65 yang dipersalahkan; petugas LPSK juga dipandang sebelah
mata dan mendapat perlakuan tanpa ada kehormatan sedikit pun pada tugas
kemanusiaan yang tengah diembannya.
Dalih
yang memicu tindakan persekusi massa ini, menurut anggapan para penyerang (YPKP
65 menyimpan rekaman suara) itu, tak lain adalah bahwa pertemuan-pertemuan
korban/penyintas 65 di daerah-daerah adalah bagian dari suatu kebangkitan PKI.
Secara lebih spesifik bahkan menuduh perkumpulan penyintas dan organ YPKP 65
sebagai lembaga yang anti-Panca Sila.
Sungguh
ini merupakan dalih konyol yang bukan saja tak bisa dipertanggungjawabkan
kebenarannya, melainkan semata-mata suatu fitnah keji yang tak bisa dibiarkan
lagi.
Persekusi
Terorganisir
YPKP 65 mencermati dan mensinyalir adanya semacam pola
yang sengaja diskenariokan guna mendorong massa agar tergerak melakukan
tindakan persekusi, yang pada gilirannya pola itu dapat diaplikasikan dimana
saja dan kapan pun saatnya. Faktanya, sejak jauh hari persekusi seperti ini
juga terjadi di Cianjur, Pekalongan, Pati, Yogyakarta, Malang dan daerah-daerah
lainnya. Termasuk di wilayah ibukota sendiri (1/8) di Klender.
Sinyalement adanya pola persekusi seperti ini sungguh
bakal mengancam iklim demokrasi, supremasi sipil, penegakan hukum, penghormatan
HAM serta membawa implikasi lebih jauh berupa penjegalan terhadap upaya penuntasan
semua kasus-kasus kejahatan HAM berat masa lalu yang pada kenyataannya mengalami
kemandekan dan jalan buntu hari ini.
Dan oleh karenanya, YPKP 65 menyatakan hal-hal berikut:
1. Mendesak
Pemerintah c.q Kepolisian RI agar menjaga dan melindungi para korban/penyintas
65 serta berani mengambil tindakan tegas terhadap segala bentuk persekusi oleh massa
intoleran;
2. Mengambil
tindakan tegas dan melakukan upaya-upaya nyata guna “menertibkan” aparat
negara, termasuk petugas intel khususnya militer yang mengintimidasi para
korban/penyintas 65 di berbagai daerah sehingga tak mengulang-ulang kekerasan
yang serupa.
Demikian pernyataan ini dibuat, menyikapi maraknya tindak
persekusi massa terhadap korban 65 dan rakyat pada umumnya.
Jakarta, 30 Agustus 2017
Bedjo Untung
YAYASAN PENELITIAN KORBAN PEMBUNUHAN 1965/1966 (YPKP 65)
Indonesian Institute for The Study of 1965/1966 Massacre
SK Menkumham No.C-125.HT.01.02.TH 2007 Tanggal 19 Januari 2007
Berita Negara RI Tanggal 5 Juni 2007 No.45
Alamat: Jalan M.H.Thamrin Gang Mulia No. 21 Kp. Warung Mangga,
Panunggangan Kecamatan Pinang, Tangerang 15143, Banten, Indonesia
Phone : (+62 -21) 53121770, Fax 021-53121770 | E-mail ypkp_1965@yahoo.com | website: http://www.ypkp1965.org
Indonesian Institute for The Study of 1965/1966 Massacre
SK Menkumham No.C-125.HT.01.02.TH 2007 Tanggal 19 Januari 2007
Berita Negara RI Tanggal 5 Juni 2007 No.45
Alamat: Jalan M.H.Thamrin Gang Mulia No. 21 Kp. Warung Mangga,
Panunggangan Kecamatan Pinang, Tangerang 15143, Banten, Indonesia
Phone : (+62 -21) 53121770, Fax 021-53121770 | E-mail ypkp_1965@yahoo.com | website: http://www.ypkp1965.org
0 komentar:
Posting Komentar