Bonnie Triyana | 26 Agu 2017, 12:32
Sneevliet menemukan Semaun sebagai seorang pemuda berani yang berbakat memimpin kaum buruh. Dalam sebuah suratnya Semaun memanggil Sneevliet, “Mijn Goeroe” (guruku).
Semaun dan Henk Sneevliet.
Pada siang hari 16 Juli 1917, untuk sebuah pekerjaan propaganda buruh serikat kereta api, Semaun dan Sneevliet pergi mengunjungi Probolinggo. Atas anjuran seorang kusir, mereka menuju sebuah hotel di tengah kota Probolinggo. Ketika pesuruh hotel membawa koper masuk dan Sneevliet tengah duduk di kursi goyang, pemilik hotel datang menyambangi Sneevliet dan bertanya,
“siapakah inlander yang datang bersamamu itu? Apa pekerjaanya?”
“Dia kolega saya, tuan,” kata Sneevliet sopan.
“Apakah dia seorang guru?” tanya pemilik hotel berkulit putih itu.
Sneevliet kembali mengatakan bahwa lelaki yang pergi bersamanya itu kawannya tak lebih tak kurang. Mendengar jawaban tersebut, pemilik hotel mengatakan bahwa hotelnya tidak biasa menerima seorang tamu bumiputera untuk menginap. Dia berkilah merasa tak enak dengan tamu-tamunya yang lain.
“Ada hotel lain di sini, milik seorang Tionghoa, di mana orang seperti kawanmu itu bisa menyewa kamar,” kata pemilik hotel, sontak membuat Sneevliet marah.
“Tuan, manusia macam apa tamu-tamu Anda itu? Mereka terbiasa mengambil keuntungan dari bumiputera tapi cara mereka memperlakukan manusia sama sekali tidak bisa diterima,” kata Sneevliet.
Kisah itu ditulis oleh Sneevliet pada penerbitan berkala Het Vrije Woord, dikutip oleh Max Perthus dalam biografinya, Henk Sneevliet Revolutionair-Socialist in Europa en Azie untuk menggambarkan situasi kolonial yang diwarnai diskriminasi oleh bangsa Belanda terhadap kaum bumiputera. Cerita Sneevliet tersebut mengingatkan kisah serupa tentang larangan masuk ke tempat-tempat tertentu yang khusus diperuntukan bagi orang Belanda lengkap dengan pengumuman “Verboden voor honden en inlanders” (Anjing dan pribumi dilarang masuk)
Persahabatan Seneevliet dan Semaun melampaui persoalan dominasi dalam struktur masyarakat kolonial. Kisah itu dimulai ketika Sneevliet melihat Semaun sebagai pemuda berani yang berbakat dalam politik. Sementara itu Semaun menganggap Sneevliet sebagai gurunya, sebagaimana disebut dalam suratnya pada 26 Agustus 1921, dia menyebut Sneevliet “Mijn Goeroe” atau “guruku”.
Ketika memulai perjalanan politiknya, Semaun baru berusia 17 tahun. Walaupun masih muda, dia telah tampil sebagai tokoh pergerakan revolusioner Indonesia.
“Sneevliet-lah yang ‘menemukannya’ dan kemudian membinanya,” tulis Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah.
Semaun lahir pada 1899 di Curahmalang, Mojokerto, Jawa Timur. Ayahnya, Prawiroatmodjo bekerja sebagai pegawai kereta api rendahan. Dia hanya belajar di sekolah dasar bumiputera kelas dua (Tweede Klas, Ongko Loro), tetapi sempat kursus bahasa Belanda di HIS (Holland Inlandsche School), sekolah dasar bagi anak priyayi dan orang berpunya. Selulus dari Tweede Klas, dia bekerja sebagai klerk (juru tulis) di stasiun kereta api Surabaya pada 1912, saat usia 13 tahun.
Pada 1914 Semaun menjadi sekretaris Sarekat Islam cabang Surabaya. Setahun kemudian dia bergabung dengan VSTP dan ISDV cabang Surabaya. Hal ini, menurut sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Soewarsono, didahului oleh pertemuannya dengan Sneevliet di Surabaya awal tahun 1915.
“Suatu pertemuan yang melahirkan rasa kagumnya terhadap ‘ketulusan dan sikap manusiawi’ Sneevliet, dan karena itu, menerima tawaran Sneevliet agar Semaun memasuki VSTP dan ISDV afdeeling Surabaya,” tulis Soewarsono dalam Berbareng Bergerak, Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Semaun.
Menurut McVey dalam Kemunculan Komunisme Indonesia, Semaun banyak terlibat dalam aktivitas serikat buruh kereta api sehingga mengantarkan dirinya mendapatkan nama buruk sebagai seorang agitator buruh pertama di Indonesia.
“Kedudukan itu juga menghubungkan dirinya dengan Sneevliet yang kemudian menjabat di VSTP. Setahun kemudian dia menjadi wakil ketua cabang Surabaya,” tulis McVey. “Semaun kagum akan upaya kaum revolusioner Eropa atas nama kaum buruh Indonesia.”
Menurut Soewarsono, Semaun menguasai bahasa Belanda cukup baik, minatnya untuk terus memperluas pengetahuannya dengan jalan otodidak dan hubungan dekat dengan Sneevliet, merupakan faktor penting yang membuat Semaun menempati posisi strategis di VSTP dan ISDV.
Pada Juli 1916, karena diangkat sebagai propagandis VSTP yang digaji bulanan, Semaun pindah ke pengurus besar VSTP di Semarang. Dia pun berhenti dari pekerjaannya di stasiun kereta api Surabaya. Dia juga menjadi redaktur Si Tetap, organ penerbitan VSTP berbahasa Indonesia. Dia juga diangkat sebagai propagandis SI Semarang. Setahun kemudian, tepatnya 6 Mei 1917, dia terpilih menjadi ketua SI Semarang.
Semaun memimpin pengelolaan Sinar Djawa, corong SI Semarang. Dia memperkuatnya dengan memasukkan Mas Marco Kartodikromo, yang baru saja keluar dari penjara, dan Darsono, yang dijumpainya saat pengadilan Sneevliet, sebagai anggota redaksi. Sinar Djawa berubah menjadi Sinar Hindia sejak 1 Mei 1918.
Semaun berhasil meningkatkan jumlah anggota SI Semarang dalam waktu setahun saja. Dari 1.700 anggota pada 1916 menjadi 20.000 orang pada 1917. Kegiatannya di ISDV, membuat dia membawa SI Semarang ke arah radikal yang selalu bertentangan dengan CSI (Central Sarekat Islam) selaku koordinator SI lokal.
Karena tulisan-tulisannya di media massa, Semaun terkena persdelict. Dia dipenjara di Yogyakarta selama empat bulan, Juli-November 1919. Selama dalam kurungan, dia menulis novel Hikajat Kadiroen dan Penoentoen Kaoem Boeroeh.
Semaun menjadi ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1920. Pada musim gugur 1921, dia berangkat ke Uni Soviet untuk menghadiri kongres Komunis Internasional ketiga. Tan Malaka ditunjuk untuk menggantikan posisinya. Tan kemudian menyelenggarakan sekolah gratis bagi anak-anak buruh anggota SI di Semarang
Pada 1922, terjadi pemogokan besar-besaran serikat buruh pegadaian yang dipimpin Abdoel Moeis dari CSI. PKI mendukung pemogokan ini yang kemudian berhasil digagalkan oleh pemerintah dan memecat para pegawai yang mogok. Tan Malaka diusir dari Hindia Belanda selagi Semaun masih di luar negeri.
Pada Mei 1922, Semaun kembali ke Hindia Belanda. Dia mulai menempuh haluan yang hati-hati dengan tujuan memulihkan pengaruh PKI dan menghindari tindakan pemerintah terhadap partai. Tetapi desakan massa mau tak mau mendorong dilakukannya aksi. Pemogokan buruh kereta api pada Mei 1923 membuat Semaun ditahan dan kemudian diusir. Dia tiba di Amsterdam, Belanda pada 20 September 1923. Sebelum berangkat dan menetap di Amsterdam, dia ditunjuk oleh PKI menjadi wakil partai itu di Eropa.
“Tiga hari kemudian dengan sangat meriah ia dielu-elukan dalam suatu rapat selamat datang yang diadakan baginya di Concertgebouw,” tulis Poeze.
Di Belanda, Semaun menjalin hubungan dengan Perhimpunan Indonesia, organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda. Pada November 1925, PI bahkan tidak keberatan menguasakan kepada Semaun dan Iwa Kusuma Sumantri pergi ke Moskow Uni Soviet untuk meminta penjelasan tentang politik “front rakyat” (eenheidsfront). Politik yang diusung Komunis Internasional dengan semboyan “kaum proletar di seluruh dunia bersatulah” ini telah menarik perhatian PI.
Pada November 1926 dan Januari 1927 pecah pemberontakan PKI di Jawa dan Sumatera. PKI dilarang. Ribuan orang komunis dikirim ke Boven Digul. Beberapa pimpinan PKI berhasil kabur ke Uni Soviet.
“Di sinilah mereka mengkampanyekan kemerdekaan Indonesia,” tulis Tomi Lebang dalam Sahabat Lama, Era Baru, 60 Tahun Pasang Surut Hubungan Indonesia-Rusia.
Pada 1927, Darsono menulis buku Perjuangan Petani Indonesia yang diterjemahkan dari bahasa Prancis. Pada 1931, Musso menerbitkan brosur populer berjudul Indonesia, dan kumpulan artikel tentang pemberontakan buruh Indonesia di kapal perang Belanda Zeven Provincien pada 5 Februari 1933. Sedangkan Semaun menerbitkan brosur berjudul Indonesia pada 1940 dengan oplah mencapai 50 ribu eksemplar.
Sebelum kembali ke Indonesia pada 1946, Musso menyusun bahan pelajaran bahasa Indonesia untuk mahasiswa Uni Soviet. Bahan tersebut disempurnakan oleh Semaun yang mengajar bahasa Indonesia pada 1945-1947 di Institut Ketimuran dan Institut Hubungan Luar Negeri Moskow. Hasil revisi Semaun inilah yang kemudian diterbitkan sebagai buku pelajaran bahasa Indonesia yang pertama untuk mahasiswa Uni Soviet.
Di awal 1945, Semaun memulai siaran bahasa Indonesia di radio Moskow dan bekerja di sana selama tiga tahun. Dia bahkan menikah dengan seorang perempuan Rusia. Anaknya, Rono Semaun, belakangan dikenal sebagai penerjemah karya-karya sastra Indonesia ke bahasa Rusia.
“Sayangnya,” tulis Tomi, “mungkin karena dianggap ‘terlalu paham’ soal Soviet, Semaun dilarang pulang ke Indonesia. Pemerintah Soviet khawatir Semaun –yang pernah menjadi ketua semacam badan pembangunan nasional Turkmenistan– akan dituduh mata-mata mereka di Indonesia. Namun, banyak pihak menduga sebaliknya: Soviet justru takut Semaun membeberkan berbagai informasi strategis yang membahayakan keamanan intelijen negara itu.”
Semaun meminta bantuan Sukarno ketika berkunjung kali pertama ke Moskow pada Agustus-September 1956. Sukarno lalu meneruskan permintaannya kepada Marsekal Barsilov, pemimpin tertinggi Partai Komunis Uni Soviet. Akhirnya, Semaun bisa pulang ke Indonesia pada 1957.
Pada 1959, Sukarno memberi jabatan penting kepada Semaun sebagai wakil ketua Bapekan (Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara), yang diketuai Sultan Hamengkubuwono IX. Bapekan dibubarkan pada 1962. Pada 1961, Semaun mendapat gelar doktor honoris causa (HC) dalam ilmu ekonomi dari Universitas Padjadjaran Bandung. Dia menjadi pengajar mata kuliah ekonomi di kampus tersebut, hingga meninggal pada 7 April 1971.
0 komentar:
Posting Komentar