Dylan Aprialdo
– Jurnalis
Fitur rectoverso uang baru yang sempat dipersoalkan oleh ormas tertentu
| Sumber: waktuku.com
Sudah cukup lama masih ada masyarakat Indonesia yang
sangat ketakutan sekali terhadap berbagai hal yang berbau komunis khususnya
PKI.
Ketakutan itu diwujudkan ke dalam sebuah aksi intimidasi
terhadap mereka-mereka yang dianggap "mencoba" membangkitkan komunis
di Indonesia.
Masih ingat saat belasan orang membubarkan paksa
acara Lady Fast yang pada dasarnya bertujuan untuk membangkitkan kesadaran
generasi muda akan propaganda keji Orde Baru?
Masih ingat acara bedah film Senyap di sebuah kampus
ternama di Yogyakarta dan Malang juga dibubarkan paksa karena khawatir kampus
akan menjadi gudang baru bangkitnya pemikiran Kiri?
Mereka membubarkan paksa sembari mengungkapkan makian
atau tuduhan merusak moral bangsa dan membangkitkan komunis. Itu menjadi salah
satu peristiwa yang menunjukkan bahwa masih ada orang-orang yang berpikiran
"bicara soal komunis atau PKI sama saja berusaha mendirikan kembali
keduanya."
Saat ini, ada beberapa pihak yang paranoid terhadap
dugaan bangkitnya PKI di Indonesia, saking paranoidnya mereka menggunakan
cocoklogi (sebuah ilmu dagelan kekinian yang bisa dipelajari siapa
saja) untuk mengemukakan bahwa mulai begitu banyak simbol-simbol "komunis"
bertebaran di mana-mana.
Mereka anggap rectoverso logo BI di uang baru
Indonesia memuat simbol palu arit, mereka anggap mozaik arsitektur di Hotel
Alexis seperti huruf P, K dan I, hingga mereka pun memercayai sebuah buku
kontroversial karya Bambang Tri bahwa Presiden Joko Widodo sebagai keturunan
PKI dianggap benar.
Semua contoh tersebut bisa dikatakan sebuah ketakutan
yang tidak berdasar melainkan hanya halusinasi dan delusi. Bentuk pola pikir
sesat dan basi yang sepatutnya harus dienyahkan karena mencuatnya isu-isu seperti
ini selalu terulang dalam momen-momen tertentu, seperti Pilkada dan
Pilpres.
Mereka yang bergerak membangkitkan perlawanan mengklaim
atas nama "umat Islam melawan komunisme atheis (padahal tidak semua atheis
komunis dan tidak semua komunis itu atheis)" mencoba menyeruduk mengganggu
kekuasaan sah Joko Widodo yang dijadikan sasaran "tembak" serta
menimbulkan ketidakstabilan situasi keamanan dalam negeri.
Padahal di sisi lain ancaman radikalisme oleh mereka yang
berusaha mengganti Pancasila dengan paham lain, menjadikan NKRI sebagai negara
jenis lain seperti yang digerakkan oleh ISIS dan kelompok aliran sejenis (you
know who) jauh lebih nyata bagi Indonesia, ketimbang mencari kembali hantu
bernama Komunis.
Berbicara kemunculan komunisme pada awalnya merupakan
sebuah paham yang dicetuskan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels dalam der
Manifest Kommunistichen sebuah manifesto politik yang berisi teori analitis
diperlukannya pendekatan komunis untuk perjuangan kelas dan kemakmuran ekonomi,
sekaligus paham untuk mengoreksi dan atau melawan kapitalisme. Komunisme pada
waktu itu condong murni sebagai pandangan ekonomi ketimbang ideologi sebuah
negara.
Komunisme merupakan paham yang menolak kepemilikan barang
pribadi dan beranggapan bahwa semua alat produksi menjadi milik bersama.
Hal tersebut dilakukan agar tidak ada hirarki
buruh-pemilik modal karena sistem kapitalis cenderung mengeksploitasi manusia.
Komunisme memiliki keberpihakan yang tinggi terhadap rakyat miskin, yang
disebut sebagai proletar.
Hal itu menjadikan PKI pada masanya mampu menjadi partai
terbesar ketiga di Indonesia dan bisa berdampingan dengan Nasionalisme dan
Agama yang menciptakan konsep politik Nasakom di era Soekarno. Rakyat Indonesia
yang mayoritas adalah rakyat miskin di negara yang baru lepas dari penjajahan
mendukungnya.
Padahal terdapat dua tokoh besar pada masa lampau yang beragama (Islam loh) namun berhaluan Kiri yakni Tan Malaka dan Haji Misbach, Tan Malaka merupakan seorang muslim saleh yang juga anggota Partai Sarekat Islam, dan sebagian anggota partai ini berpaham komunis, termasuk juga Semaun dan Tan Malaka, karena itu kelompok mereka biasa disebut Sarekat Islam Merah.
Padahal terdapat dua tokoh besar pada masa lampau yang beragama (Islam loh) namun berhaluan Kiri yakni Tan Malaka dan Haji Misbach, Tan Malaka merupakan seorang muslim saleh yang juga anggota Partai Sarekat Islam, dan sebagian anggota partai ini berpaham komunis, termasuk juga Semaun dan Tan Malaka, karena itu kelompok mereka biasa disebut Sarekat Islam Merah.
Tan Malaka pun juga muslim yang taat melakukan sholat
lima waktu, membaca al-qur’an hampir tiap hari, mengingat masa kecilnya yang
dihabiskan di pesantren dan ia asli Minagkabau yang secara tradisi adalah
penganut islam yang taat.
Haji Misbach pun juga begitu, seorang kyai dari
Surakarta, juragan batik yang menguasai ilmu tafsir alqur’an dan
kitab-kitab kuning. Baginya, islam dan komunis bisa dianut bersamaan oleh satu
orang.
Misbach juga beranggapan bahwa keberadaan Islam sebagai
agama di dalam kehidupannya sudah seharusnya memerdekakan dirinya dan
masyarakat tertindas lainnya, sehingga gerakan Komunis yang dipilihnya sebagai
suatu jalan untuk melakukan pembebasan sebagai seorang yang beragama
sekaligus bertuhan.
Anggapan ateis terhadap orang-orang yang berhaluan Kiri
tadi tidak lepas dari propaganda rezim Orde Baru. Doktrin ketakutan
terhadap simbol-simbol komunis secara kuat disiarkan oleh rezim Orde Baru
melalui berbagai macam saluran seperti pelajaran sekolah, film, cerita sastra
dan saluran kultural lainnya sebagai sesuatu yang dianggap tabu dan terlarang.
Tidak ada upaya kuat dari masyarakat Indonesia selain
dari generasi muda kini untuk memahami persepsi dan konteks sejarah doktrin
tersebut yang sebenarnya sudah usang dan berisi kebohongan.
Di sisi lain juga terdapat sikap gegabah
kelompok nganu dalam menafsirkan sebuah frase kalimat yang seringkali
dikaitkan dengan komunis berbunyi "Agama adalah candu" dengan tidak
memahami konteks sejarah terhadap kemunculan kalimat tersebut.
Seorang Dosen filsafat di Universitas Indonesia, Saras
Dewi sebagaimana dikutip dari BBC Indonesia (12/5/2016) mengatakan bahwa
ketakutan terhadap simbol-simbol komunis khususnya palu arit merupakan sebuah
ketakutan yang datang dari banyak ketidaktahuan.
Mereka yang paranoid terjebak dalam sikap
anti-intelektualis dan betah dalam pengetahuan dan pemahaman yang lama dengan
selubung ketidaktahun akut.
Secara ideologi dan struktur, komunisme di Indonesia
sudah tidak ada. Kehebohan yang ngotot digembar-gemborkan oleh kelompok nganu belakangan
ini merupakan bentuk kekhawatiran yang tidak
perlu tapi dipaksakan perlu sehingga
terkesan njlimet dan absurd.
Karena ada solusi lain dengan memberikan pemahaman yang
kontekstual (dengan tidak mencekoki atau memaksakan) terhadap sesama mengenai
komunisme dan mengapa paham tersebut tidak pas dan tidak relevan dengan
Pancasila.
Lagipula, jika melihat di sisi lain, jika ikutan paranoid
dan mengecam pembahasan soal komunis justru diri sendiri ikut melanggengkan
aksi-aksi intimidasi tentang literasi pemahaman Kiri, mempertahankan doktrin
lama.
Bisa juga melanggengkan dukungan kepada sejumlah kelompok
yang sengaja menggoreng kembali isu ini untuk kepentingan tertentu.
Saya teringat dengan ucapan seorang pimpinan lembaga
negara pada saat saya bertugas menjadi reporter, yang intinya jangan suka
ikut-ikutan gila, ikut-ikutan menciptakan fitnah, ikut-ikutan menciptakan
intrik, ikut-ikutan menciptakan situasi tidak nyaman, dan ikut-ikutan lainnya.
Begitu pula dengan pernyataan Goenawan Mohammad
melalui cuitannya, "Komunisme sudah gugur di Rusia, berubah di RRT, jadi
gila di Korea. Yang anggap PKI ancaman hanya berdusta."
Coba tanyakan saja kepada mereka yang paranoid teriak komunis mulai bangkit dari kubur, apakah mereka memahami secara utuh soal apa itu komunisme?
Coba tanyakan saja kepada mereka yang paranoid teriak komunis mulai bangkit dari kubur, apakah mereka memahami secara utuh soal apa itu komunisme?
Ya Allah, jangan sampai juru hoax dan penyebar fitnah
berkuasa di negeri ini supaya negara tidak begini begitu. Aaamiin!
0 komentar:
Posting Komentar