Kamis, 31/08/2017 02:45 WIB
Ketua YPKP 65 Bedjo Untung meminta pemerintah melindungi korbang tragedi 1965. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta - Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) meminta pemerintah melindungi korban tragedi 1965.
Ketua YPKP 65 Bedjo Untung mengatakan, korban 1965 membutuhkan perlindungan karena maraknya tindakan persekusi yang diterima oleh korban 65.
"Intensitas tindakan persekusi massa ini seakan mendapatkan dukungan politik dan legitimasi pascapenetapan Perppu Nomor 2/2017," kata Bedjo di Kantor Komnas Perempuan, Selasa (30/8).
Kata Bedjo menuturkan tindakan persekusi tersebut, terkadang juga mendapat dukungan dari aparat negara.
Ketua YPKP 65 Bedjo Untung mengatakan, korban 1965 membutuhkan perlindungan karena maraknya tindakan persekusi yang diterima oleh korban 65.
"Intensitas tindakan persekusi massa ini seakan mendapatkan dukungan politik dan legitimasi pascapenetapan Perppu Nomor 2/2017," kata Bedjo di Kantor Komnas Perempuan, Selasa (30/8).
Kata Bedjo menuturkan tindakan persekusi tersebut, terkadang juga mendapat dukungan dari aparat negara.
Bedjo berpendapat, ada indikasi tindakan persekusi terhadap korban 65 tersebut dilakukan oleh kelompok orde baru.
Menurutnya kelompok orde baru tersebut memiliki kepentingan untuk membungkam para korban agar tidak menyampaikan kebenaran.
"Mereka menganggap korban 65 khusunya, YPKP 65 ingin membongkar kebohongan yang dilakukan di tahun 1965," ujarnya.
Kasus persekusi terbaru yang dialami oleh YPKP 65, kata Bedjo terjadi di Kroya, Jawa Tengah pada 21 Agustus dan di Cirebon, Jawa Barat pada 26-27 Agustus lalu.
Di Cilacap, terjadi pembubaran kegiatan yang dilakukan oleh korban 65 dengan tim assesment Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Menurutnya kelompok orde baru tersebut memiliki kepentingan untuk membungkam para korban agar tidak menyampaikan kebenaran.
"Mereka menganggap korban 65 khusunya, YPKP 65 ingin membongkar kebohongan yang dilakukan di tahun 1965," ujarnya.
Kasus persekusi terbaru yang dialami oleh YPKP 65, kata Bedjo terjadi di Kroya, Jawa Tengah pada 21 Agustus dan di Cirebon, Jawa Barat pada 26-27 Agustus lalu.
Di Cilacap, terjadi pembubaran kegiatan yang dilakukan oleh korban 65 dengan tim assesment Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Menurutnya pembubaran tersebut dilakukan dengan alasan pertemuan tersebut dikaitkan dengan PKI, padahal tidak ada bukti kuat yang membenarkan hal tersebut.
"Itu naif sekali. Terlepas apapun alasannya, persekusi tidak bisa ditolerir, kecuali mau terjadi kehancuran demokrasi dan matinya supremasi hukum," tutur Bedjo.
YPKP 65 juga menyayangkan persekusi tersebut telah menyasar kepada lembaga negara, yaitu LPSK.
"Bagaimana mungkin tugas kenegaraan yang itu dilakukan oleh LPSK juga ditolak," katanya.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan belum mendapat informasi terkait kasus persekusi yang dialami oleh tim assesment LPSK di Cilacap.
"Saya belum tahu persisnya, saya cek dulu internal," ujarnya.
Edwin juga tidak mengetahui secara pasti adanya agenda kunjungan tim assesment LPSK ke Cilacap pada 21 Agustus lalu.
"Saya juga enggak tahu persis (agendanya) karena kegiatan kami cukup banyak," kata Edwin.
"Itu naif sekali. Terlepas apapun alasannya, persekusi tidak bisa ditolerir, kecuali mau terjadi kehancuran demokrasi dan matinya supremasi hukum," tutur Bedjo.
YPKP 65 juga menyayangkan persekusi tersebut telah menyasar kepada lembaga negara, yaitu LPSK.
"Bagaimana mungkin tugas kenegaraan yang itu dilakukan oleh LPSK juga ditolak," katanya.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan belum mendapat informasi terkait kasus persekusi yang dialami oleh tim assesment LPSK di Cilacap.
"Saya belum tahu persisnya, saya cek dulu internal," ujarnya.
Edwin juga tidak mengetahui secara pasti adanya agenda kunjungan tim assesment LPSK ke Cilacap pada 21 Agustus lalu.
"Saya juga enggak tahu persis (agendanya) karena kegiatan kami cukup banyak," kata Edwin.
(ugo)
Sumber: CNN Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar