Professor Robert Cribb adalah nama yang cukup dikenal dalam kajian sejarah Indonesia modern. Sampai sekarang, ia melakoni pekerjaannya sebagai pengajar di Departemen Ilmu Politik dan Perubahan Sosial, Corral Bell School of Asia-Pacific Affairs, Australian National University. Fokus utama yang menjadi perhatiannya dalam profesi sebagai sejarawan adalah sejarah Indonesia modern, kekerasan massal, identitas nasiona, dan geografi sejarah.
Selain mengajar, penelitian terbarunya membahas tentang kejahatan perang militer Jepang dalam periode Perang Pasifik (1941-1945). Kegiatan penelitian itu memberinya inspirasi meninjau kembali peristiwa kekerasan antikomunis yang pernah menjadi perhatiannya dalam buku yang terbit pada dekade awal 1990, The Indonesian Killings of 1965-1966. Studies from Java and Bali (1990). “Saya ingin lebih memahami kekerasan 1965 melalui pendekatan yang saya dapatkan saat meneliti kejahatan perang Jepang”. Tidak lama setelah karya itu terbit, pada 1991 karya disertasi yang dibuatnya pada 1984 di School of Oriental and African Studies (SOA) terbit dengan judul Gangsters and Revolutionaries: The Jakarta People’s Militia and the Indonesian Revolution 1945-1949 (1991).
REDAKSI JURNAL SEJARAH: Mengenang kembali masa lalu sebagai mahasiswa sejarah, alasan apa yang menyebabkan Anda tertarik pada sejarah Indonesia dan revolusi Indonesia sebagai topik disertasi?
ROBERT CRIBB: Saya memilih Indonesia pada saat akhir studi di sekolah menengah atas. Ada suatu waktu ketika masa sekolah menengah atas saya bersama keluarga mengadakan studi wisata ke Jawa dan Bali, lalu menjadikannya sebagai karya tulis dalam pelajaran sejarah modern.
Saya sangat menyukai karir dalam bidang sejarah. Menurut saya Indonesia sangat menarik dan relevan bagi Australia (selain itu saya bisa mendapat pekerjaan karenanya). Guru sekolah menengah saya kebetulan mengambil studi S-2 bidang sejarah. Ia terkesan dengan kelas Chris Penders (ahli sejarah Indonesia) yang mengajar di Universitas Queensland. Begitulah awal mula ketertarikan saya terhadap sejarah Indonesia.
Saya masih ingat pernah membeli buku bekas karya Herb Feith, Decline of constitutional democracy in Indonesia, seharga 5 dollar. Itu buku serius pertama yang saya miliki tentang Indonesia.
Pilihan saya melakukan studi tentang Revolusi Indonesia karena saya merasa terkesan dengan pandangan para pemimpin generasi tersebut tentang cita-cita meningkatkan kehidupan masyarakat Indonesia yang layak dan sejahtera. Selain itu, saya juga terkesan dengan kecerdasan para pemimpin dalam merencanakan strategi menghadapi Belanda. Saya melihatnya sebagai momen menarik ketika manusia mampu mengubah keadaan menjadi lebih baik bagi kehidupan mereka.
REDAKSI: Dengan cara seperti apa revolusi Agustus masih memiliki relevansi terhadap kehidupan politik kontemporer Indonesia?
CRIBB: Revolusi Indonesia adalah sebuah sarana mencapai tujuan: Ia adalah upaya meningkatkan martabat manusia yang tidak mungkin tercapai di bawah sistem kolonial, dan memberikan kesejahteraan yang lebih besar dibanding apa yang bisa diberikan sistem kolonialisme. Revolusi Indonesia berhasil mencapai tujuan-tujuan tersebut, meski kita melihat berbagai kekurangan yang terjadi sejak 1945. Menurut saya mengingat kembali tujuan-tujuan tersebut jauh lebih penting dibanding sekedar glorifikasi bangsa.
REDAKSI: Ras dan Agama adalah topik panas dalam politik Indonesia sekarang. Apakah ini sekedar fenomena kontemporer atau memiliki akar sejarah lama?
CRIBB: Konflik-konflik keagamaan di Indonesia telah muncul sejak kedatangan Islam (dan kemudian Kristen) di wilayah kepulauan ini. Keduanya adalah agama misionaris dengan hasrat kuat menyebarkan agama dan mengubah keyakinan orang. Para pengikutnya tidak segan menggunakan kekerasan untuk melindungi keyakinan dan memajukan penyebaran ajaran mereka. Sudah pasti terdapat juga tradisi toleransi yang kuat di Islam dan Kristen (seperti juga tradisi-tradisi lama yang memandang agama sebagai urusan masing-masing). Sikap ini mengurangi tingkat ketegangan konflik agama dari waktu ke waktu. Ringkasnya, masyarakat Indonesia memiliki sumber untuk pada saat bersamaan menciptakan konflik dan membangun toleransi keagamaan. Bagaimana semua itu berkembang tergantung kemampuan pemimpin dalam mengatasi masalah tersebut.
Rasisme doktriner (dalam pengertian bahwa unsur genetik menentukan kemampuan dan kepribadian seseorang) di Indonesia sesungguhnya tidak memiliki akar kuat. Antagonisme etnis (yang berfokus pada perbedaan budaya) menjadi kuat paling tidak sejak periode kolonial. Pengetahuan kita tentang sejauh mana masyarakat prakolonial menempatkan identitas etnis dalam kehidupan mereka masih terlalu sedikit, tetapi dengan memperhatikan apa yang kita ketahui dalam kecenderungan global saat itu, kita bisa mengatakan bahwa orang-orang Indonesia telah menyadari konsepsi perbedaan etnis itu sejak abad ke-13. KebijakanBelanda terkait klasifikasi etnis, yang memisahkan Eropa, Timur Asing dan Pribumi, hanya semakin mengukuhkan (kesadaran) perbedaan etnis tersebut, tetapi tidak menciptakannya. Kita bisa melihat dari tempat lainnya (Rwanda dan Timor Leste) bahwa antagonisme etnis bahkan bisa dibentuk dan hadir tanpa latar belakang kuat. Jadi, jawabannya adalah antagonisme etnis di Indonesia mungkin sudah cukup tua, tetapi kontur khusus antagonisme yang muncul senantiasa berubah.
REDAKSI: Dengan melihat pengalaman Revolusi Agustus, apakah Anda memandang kemungkinan sejenis revolusi baru di abad ke-21?
CRIBB: Tidak. Revolusi Agustus adalah revolusi antikolonial. Ia terjadi pada saat gelombang sejarah bergerak dalam semangat zaman yang mendukung akhir kolonialisme. Revolusi adalah sebuah perubahan radikal. Orang melakukannya karena ada desakan kuat bahwa satu pilihan sulit harus dilakukan dengan konsekuensi besar yang harus ditanggung. Mereka yang menggulirkan Revolusi Agustus meyakini bahwa jika mereka tidak memanfaatkan kesempatan tersebut, kolonialisme Belanda akan terus bertahan sampai beberapa dekade ke depan. Sekarang ini saya tidak melihat gambaran seperti itu.
REDAKSI: Bagaimana pandangan anda tentang perkembangan studi sejarah Indonesia di dalam dan luar negeri?
CRIBB: Untuk negeri sepenting Indonesia, masih terlalu sedikit sejarawan yang mempelajari sejarahnya. Jumlahnya menjadi lebih sedikit lagi dengan menimbang keharusan menguasai sumber-sumber bahasa Indonesia dan Belanda, dan terus berkurang bila memperhatikan mereka yang bisa menguasai bahasa-bahasa lainnya (Jawa, Jepang, dan lainnya). Dalam kaitan ini, ada rentang yang luas topik kajian kesejarahan yang bisa dikaji.
Dibanding sejarawan Amerika dan Australia yang dituntut memfokuskan perhatian pada topik spesifik, sejarawan Indonesia memiliki kemewahan untuk berbicara tentang tema besar yang umum. Bagaimanapun ada kekurangan dalam situasi ini. Kesempatan mengkaji dan mengkritisi karya masing-masing menjadi terbatas. Ruang perdebatan tentang metode kesejarahan menjadi tidak berkembang. Sekarang ini ada perkembangan menarik dalam penggunaan kategori-kategori baru sumber sejarah—sejarah lisan, sastra, dan film—tetapi banyak karya yang memanfaatkan sumber ini cenderung menjadi tidak terlalu berhati-hati dalam melakukan kritik sumber.
Ketika saya mulai melakukan studi tentang sejarah Indonesia, saya merasakan adanya semangat yang mulai pudar dalam proyek kebangsaan Indonesia. Antusiasme kaum nasionalis Indonesia yang menjadi inspirasi saya sebagai mahasiswa S-1 telah sampai pada titik kenyataan bahwa optimisme mencapai kemajuan bagi rakyat Indonesia telah pudar. Sayangnya, memudarnya optimisme itu bukan karena keyakinan terhadap adanya alternatif lain yang mungkin bisa dilakukan (yang berarti kita bisa membayangkan sebuah revolusi yang lain), tetapi lebih dikarenakan segala sesuatu segera kehilangan arti pentingnya dan dengan mudah mengalami kemunduran bila tidak dipertahankan dengan sekuat tenaga. Saya khawatir pandangan ini mendekati kenyataan, dan saya sangat menyesalkan memudarnya antusiasme yang menarik minat saya melakukan kajian sejarah tersebut.
REDAKSI: Anda telah melakukan eksplorasi yang cukup beragam terhadap sejarah Indonesia, mulai dari revolusi, kekerasan massal tahun 1965, dan termasuk membuat atlas geografi. Apakah Anda sekarang masih memiliki topik baru untuk penerbitan yang akan datang?
CRIBB: Pekerjaan saya tentang 1965 belum tuntas. Saya masih ingin mendalami pemahaman tentang periode tersebut dengan menggunakan inspriasi yang saya dapat saat melakukan penelitian tentang kejahatan perang Jepang (syukurnya, berkat investigasi terhadap persoalan itu pasca Perang Dunia II, telah terdokumentasi dengan baik). Saya juga ingin menggali lagi tentang sifat kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia. Ada pandangan kuat di antara sejarawan bahwa kekuasaan Belanda adalah sekedar persoalan kekejaman dan kerakusan. Saya kira persoalannya jauh lebih rumit. Selain itu, cara penguasa Belanda memanfaatkan budaya Indonesia memerlukan eksplorasi lebih lanjut.
REDAKSI: Sebagai sejarawan, menurut Anda masa depan terbaik seperti apa yang bisa dicapai negeri ini terkait sejarah masa lalunya?
CRIBB: Sejarah seharusnya menjadi inspirasi yang memberi kesempatan memanfaatkan peluang, dibanding faktor penghambat terkait kekurangan dan ketidakpuasan di dalamnya. Saya kira akan menjadi sangat kontra-produktif bagi kita untuk terus memfokuskan perhatian pada kesalahan-kesalahan Belanda, Sukarno, PKI, atau Suharto terhadap masalah sekarang. Sebaliknya, kita seharusnya memandang masa lalu untuk melihat bagaimana orang menanggapi tantangan yang mereka hadapi secara kreatif. Kekuatan Indonesia terletak pada kemampuannya menciptakan hal baru dan inovasi. Kemampuan seperti itu layak dihargai. Seharusnya kita tidak lagi terlalu terobsesi dengan beban sejarah dan luka masa lalu.
REDAKSI: Terakhir, bila Anda lahir di Indonesia dan tumbuh besar pada masa revolusi, Anda ingin menjadi sosok seperti apa?
CRIBB: Pertanyaan menarik. Jika Anda menanyakan ini saat saya masih muda, tanpa ragu saya akan segera menjawab bahwa saya ingin menjadi perwira militer yang merumuskan strategi perang melawan Belanda. Pilihan itu menjadi kurang menarik bagi saya sekarang ini. Saya cenderung membayangkan menjadi seorang politisi-pengacara, yang memperkuat pijakan dasar aturan hukum pasca-revolusi di Indonesia. Namun, sesungguhnya dalam revolusi, segala sesuatu tergantung pada situasi ketika Anda berada di waktu dan tempat yang tepat.
0 komentar:
Posting Komentar