- Buku '65 yang Terbit pada 2018
Dalam konteks dan derajat tertentu, upaya pengaburan fakta tentang pembantaian massal bahkan dijadikan komoditas politik. Wacana yang digulirkan Orde Baru selama tiga dasawarsa—bahwa pembantaian dilakukan atas inisiatif rakyat karena kebiadaban PKI di masa lalu—masih diteruskan oleh kelompok-kelompok yang lazimnya mengklaim sebagai “anti-komunis”, “penjaga NKRI”, atau “Muslim anti-PKI” di masa kini.
Pada situasi sosial-politik macam itulah, dalam Bab 10 buku Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966 (2018), Geoffrey B. Robinson memaparkan hasil penelitiannya. Robinson adalah guru besar sejarah di University of California at Los Angeles (UCLA), AS. Selama bertahun-tahun ia menekuni studi tentang kekerasan politik, genosida, dan pelanggaran HAM di Asia Tenggara, terutama Indonesia. Musim Menjagal merupakan riset terbarunya.
Robinson menyimpulkan, diskurus publik Indonesia tentang pembantaian massal 1965-1966 di era pasca-Soeharto ditandai dengan “satu langkah ke depan”. Tapi kemudian, dengan maraknya pembungkaman terhadap ekspresi keterbukaan peristiwa 1965, ia juga terseret dalam arus kemunduran; atau dalam kata-kata Robinson: “satu langkah ke belakang”.
Ia mengambil banyak contoh kasus tentang fenomena kemajuan dan kemunduran itu. Salah satu yang paling menonjol adalah bagaimana perbedaan penyelesaian tragedi 1965 di era kepresidenan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Joko Widodo (Jokowi).
Langkah Maju Gus Dur
Lima bulan setelah dilantik jadi presiden, Gus Dur mengeluarkan pernyataan mengejutkan. Dalam kedudukannya sebagai kepala negara sekaligus bekas Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, lelaki kelahiran Jombang itu meminta maaf atas peran NU dalam pembunuhan massal 1965-1966.Pernyataan Gus Dur bikin kaget banyak orang. Peristiwa pembunuhan yang tenggelam selama lebih dari tiga dasawarsa di zaman Orde Baru dibuka kembali oleh seorang presiden.
Sebelumnya, dalam pidato Hari Hak Asasi Manusia Internasional 10 Desember 1999, ia mengundang para eksil yang tak bisa pulang ke Indonesia akibat peristiwa G30S untuk datang kembali ke negeri mereka. Gus Dur juga memerintahkan para menterinya untuk memulihkan hak-hak mantan tahanan politik dan orang-orang di pengasingan.
Langkah lebih berani dilakukannya dengan mewacanakan penghapusan Tap MPRS No. XXV/1966. Isi keputusan ini adalah pelarangan PKI beserta onderbouw-nya dan pengharaman ajaran komunisme, marxisme, leninisme di seluruh Indonesia. Bagi Gus Dur, Tap MPRS tersebut bertentangan dengan konstitusi.
Dengan langkah-langkah tersebut, seperti dinyatakan Robinson dalam buku ini, “[Gus Dur] secara terbuka menantang salah satu fondasi legal dan simbolis Orde Baru yang paling bertahan lama” (hlm. 374).
Gus Dur adalah pejabat tinggi Indonesia pertama yang secara terbuka meminta maaf atas pembunuhan massal 1965-1966 dan menyerukan pencabutan Tap MPRS XXV. Sikap itu harus dibayar mahal oleh Gus Dur. Robinson menyimpulkan, berdasarkan sejumlah informasi (sayangnya dia tak menyebut dari mana informasi yang dimaksud), “itulah yang menjadi salahsatu alasan mengapa dia [Gus Dur] dilengserkan dari jabatannya pada Juli 2001” (hlm. 390).Dua belas tahun sesudah Gus Dur, Wali Kota Palu Rusdi Mastura melakukan hal serupa. Pada awal 2012, ia menyampaikan permohonan maaf kepada para korban kekerasan 1965-1966. Rusdi menyatakannya di hadapan publik dan berjanji akan memberikan program ganti rugi bagi para penyintas.
Meski Rusdi belum mendukung tuntutan hukum kepada orang-orang yang bertanggungjawab atas kekerasan, permintaan maafnya, menurut Robinson, menandai “pergeseran sikap publik mengenai peristiwa 1965-1966” (hlm. 375).
Pernyataan Gus Dur dan Rudi Mastura adalah dua contoh dari sedikit sekali ekspresi pejabat publik berkaitan dengan permintaan maaf atas pembantaian massal 1965-1966. Apa yang dilakukan Gus Dur dan Rusdi sebenarnya bisa dijadikan model bagi pejabat lain.
Langkah Mundur Jokowi
Sebenarnya sempat ada angin segar bagi penyelesaian komprehensif pembantaian 1965-1966 ketika Jokowi dilantik sebagai presiden. Di masa kampanye Pilpres 2014, Jokowi memberi harapan kepada banyak orang bahwa pemerintahannya akan membuat perbedaan nyata dalam menyelesaikan kasus tersebut.Tapi, seperti janji politikus di mana pun, harapan yang diberikan Jokowi jadi angin lewat belaka.
Pada 14 Agustus 2015, Jokowi tidak mengabulkan tuntutan para pegiat HAM soal penyelesaian komprehensif atas kekerasan 1965-1966. Tuntutan itu sebenarnya mencakup hal yang bersahaja tapi substansial: penguakan kebenaran dan pemulihan keadilan.
Dalam pidato kenegaraan di sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden RI ke-7 itu menyatakan, “Pemerintah menginginkan ada rekonsiliasi nasional sehingga generasi mendatang tidak terus memikul beban sejarah masa lalu. Anak-anak bangsa harus bebas menatap masa depan yang terbentang luas.”Dengan pernyataan itu, Jokowi mengesampingkan solusi penyelesaian komprehensif yang dituntut para pegiat HAM.
Rekonsiliasi seperti yang diusulkan Jokowi sebenarnya gagasan mulia dan patut dipuji. Tapi, wacana rekonsiliasi selalu meninggalkan catatan buruk bagi penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu secara tuntas.
“Bahasa rekonsiliasi lebih sering digunakan untuk menghindari seruan untuk keadilan dan mengatakan kebenaran,” tulis Robinson (hlm. 392).Robinson mengungkapkan lebih jauh soal betapa lemahnya rekonsiliasi ala rezim Jokowi sebagai solusi menyeluruh. Rekonsiliasi dan solusi non-yudisial diajukan sebagai metode yang berdiri sendiri, bukannya dijadikan bagian dari proses keadilan dan pencarian kebenaran.
Bahkan, pejabat pemerintah kerap menggunakan dalih moralitas dan kultural atas upaya tersebut. Mereka beralasan, rekonsiliasi dan solusi non-yudisial tidak akan “membuka luka lama” dan lebih sesuai dengan “nilai-nilai Indonesia”. Lebih jauh lagi, beberapa di antara mereka malah menganggap kekerasan 1965-1966 bukan pelanggaran HAM.
Menkopolhukam Wiranto, misalnya, menyatakan secara terang-terangan bahwa pemerintah menganggap pembantaian 1965-1966 bisa dibenarkan secara hukum.
“Dari peristiwa [pembantaian massal] tersebut juga dapat berlaku adagium ‘Abnormal recht voor abnoormale tijden’, tindakan darurat untuk kondisi darurat yang dapat dibenarkan secara hukum dan tidak dapat dinilai dengan karakter hukum masa sekarang,” tutur bekas Panglima ABRI itu.
Karena itu, bagi Wiranto, rekonsiliasi dan solusi non-yudisial adalah satu-satunya pilihan yang paling mungkin diambil pemerintah.
“Tatkala pengadilan tidak bisa menyelesaikan konflik, maka seharusnya kita kembali [kepada] apa yang sudah ada pada kita yakni dengan cara musyawarah mufakat […] Nah, ini yang tengah kita rancang secara nasional. Win-win solution supaya bisa diperoleh,” katanya.Sementara itu, menteri Jokowi yang lain, Ryamizard Ryacudu, pernah memberi pernyataan yang lebih tegas. Di depan para jurnalis pada Agustus 2015, Menteri Pertahanan itu mencerca tuntutan bahwa negara harus meminta maaf kepada para korban pembantaian. Dengan cara berpikir yang masih kuat semangat Orde Baru-nya, dia berkata:
“Maaf, kita pakai logika saja […] Yang memberontak siapa, yang membunuh duluan siapa, yang membunuh jenderal-jenderal TNI itu siapa. Masak yang dibunuh dan diberontakin minta maaf […] Yang benar saja.”Bila pernyataan Wiranto dan Ryamizard—dua menteri terpenting kabinet Jokowi—dijadikan patokan, maka anggapan bahwa rezim Jokowi tidak memiliki itikad baik untuk menyelesaikan tragedi 1965 kian terbukti.
Di balik pengabaian itu, ribuan korban masih menanti keadilan.
_______________
Pembantaian 1965-66 adalah salah satu episode terburuk dalam sejarah Indonesia yang membentuk identitas kita sebagai bangsa. Meskipun telah lewat 50 tahun lebih, proses rekonsiliasi dan pengungkapan kebenaran kasus ini masih mengalami hambatan besar.
Tirto menayangkan serial khusus berupa nukilan atau ringkasan buku-buku akademik tentang pembantaian 1965-66 yang terbit sepanjang 2018. Serial ini terdiri dari empat artikel, ditayangkan setiap hari mulai Rabu (26/12/2018) hingga Sabtu (29/12/2018). Artikel ini adalah tulisan terakhir.
"Solusi Tragedi 1965: Langkah Maju Gus Dur, Langkah Mundur Jokowi" adalah ringkasan dari bab "Kebenaran dan Keadilan?” dalam buku Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966 yang diterbitkan Komunitas Bambu, Depok. Disarikan oleh Ivan Aulia Ahsan dan dikoreksi Geoffrey Robinson. Bukunya dapat dibeli melalui situs web resmi Komunitas Bambu.
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Windu Jusuf