Kuncoro Hadi*
Yogyakarta 14 November
2016. Saya datang ke angkringan Temon Felix di depan Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta pagi hari.
Saya dulu sering makan di angkringan ini saat saya masih kuliah sejarah di
UNY.
Sebelumnya seorang kawan memberitahu tentang cerita bapak tua penjual
angkringan itu soal pembantaian PKI di wilayah timur Klaten.
Saya harus mewawancarainya. Pagi jadi waktu yang tepat, masih lumayan sepi,
tak banyak pembeli, saya bisa leluasa bertanya.
Angkringan
memang jadi kenikmatan tersendiri, sejak saya jadi mahasiswa. Sampai di
angkringan, saya duduk sambil memesan teh panas.
Bapak tua itu ada dan inilah waktu yang tepat. saya harus mewawancarainya.
Saya perhatikan wajahnya, ia tak lebih tua dari bapak saya.
Selepas obrolan basa-basi sebagai pengantar, saya mulai bertanya serius
tentang bapak tua itu dan ingatannya tentang “1965”.
Saya memastikan diri untuk berhati-hati saat bertanya. Saya orang asing di
depannya. Reaksi pertama saat saya bertanya tentu saja curiga. Hal itu biasa.
Saya pernah mendapat wajah-wajah curiga itu dari beberapa narasumber saya saat
saya melakukan penelitian tentang “tragedi 65” di Klaten. Saya biasa dan saya
sudah menebaknya sedari awal. Kecurigaan itu saya tanggapi dengan cerita saya
tentang penangkapan dan pembunuhan orang-orang komunis di wilayah saya, di
Klaten sebelah barat.
Suasana mulai mencair dan bapak tua itu mulai bercerita tentang wilayahnya,
Cawas. Saat tragedi 65 terjadi, dia masih SMP. Dia bercerita tentang truk-truk
bergambar palu arit untuk mengelabui orang-orang komunis agar bersedia diangkut
saat pembersihan komunis berlangsung di wilayah Cawas.
Dia juga bercerita tentang orang-orang komunis yang dibantai di kali Jaran
(Cawas) dan kali Gawe (perbatasan Cawas dengan Juwiring). Bapak tua itu memang
tidak melihatnya langsung, tidak seperti seseorang yang saya wawancarai tentang
pembantaian orang-orang komunis yang ia saksikan di Kali Simping dekat
Prambanan.
Cerita bapak tua di angkringan Temon-Felix itu menarik. Saya terutama
tertarik tentang sungai-sungai yang disebut olehnya. Benarkah yang ia
ungkapkan? Saya yakin ia tak berkata dusta. Tentu ada ingatan kolektif tentang
tempat-tempat pembantaian itu.
Saya segera mengontak seorang kawan, teman kuliah yang kebetulan berasal
dari daerah Cawas. Saya memintanya untuk melacak ingatan orang-orang tentang
dua sungai itu, Kali Jaran dan Kali Gawe. Dengan segera kawan saya memberi
tahu: ia telah bertanya kepada bapaknya, dan membenarkan bahwa dua sungai itu
memang jadi tempat pembantaian orang-orang komunis. Saya sedikit lega dan
berhasrat sesegera mungkin datang ke sana.
Mendatangi
tempat-tempat bekas tragedi kemanusiaan seperti itu terkadang membuat saya
terbawa perasaan.
Pernah, di senja hari, saya berhenti di atas jembatan kebomati yang
menghubungkan jalan raya Jogja-Solo dan menatap lama Kali Simping sambil
merenung.
Dan dulu saat saya masih tinggal di Klaten, setiap kali melintasi jembatan
dan sungai Simping ini dari arah Yogyakarta, saya masih juga memandanginya lalu
membayangkan betapa mencekamnya Sungai Simping itu di bulan November-Desember
1965. Saat malam tiba, penduduk sekitar ketakutan, sementara ada segelintir
orang berani menonton agak kejauhan di pinggir sungai. Truk-truk datang lalu
menurunkan puluhan orang yang telah terikat, memaksa mereka berdiri di depan
galian panjang di tengah kali Simping yang dipenuhi pasir, lalu jeritan
terdengar dibarengi dengan rentetan letusan serampangan senjata api. Ada yang
langsung mati tetapi ada juga keajaiban di mana seseorang terhindar dari maut.
Ada tanya di
“kubur-kubur” terlupa itu, mengapa mereka harus mati? Mengapa tentara dari
pusat datang justru bukan mengamankan dan menjaga ketertiban sepenuhnya?
Mengapa justru mereka mendorong, bahkan jadi algojo, pembantaian itu?
Tanya yang tak
terjawab itu sesungguhnya juga masih mengundang tanya yang lain: mengapa juga,
saat orang-orang komunis ketakutan, sebelum mereka “dibersihkan” di Klaten,
harus membunuh orang-orang nonkomunis?
Saya juga masih
menyimpan ingatan-ingatan orang-orang yang menyebutkan tragedi orang-orang
nonkomunis yang dibunuh. Tentang seorang bekas carik dari Somopuro yang diseret
dari rumahnya lalu dibunuh dengan dua buah paku rel kereta api yang ditancapkan
di kepalanya agar seperti tanduk banteng lambang partai nasionalis.
Lalu
penculikan-penculikan terhadap orang-orang nasionalis di wilayah Prambanan,
Jogonalan yang disertai pembunuhan, juga pembantaian terhadap orang-orang
nasionalis dan agama di wilayah Ceper. Mengapa mereka harus dibunuh? Mengapa
orang-orang komunis melakukannya?
***
Awal Desember 2016.
Saya, dipandu kawan saya, akhirnya menyelusuri wilayah Cawas. Sore hari, saya
melihat Kali Gawe dan Kali Jaran.
Memperhatikan
dengan seksama aliran air di sungai itu. Saya mencoba membayangkan berapa puluh
orang komunis dan yang dituduh komunis dibantai di dua sungai itu.
Saat petang
menjelang, kawan saya mengajak untuk kenapa tidak sekalian berkunjung ke Rowo
Jombor. Awalnya saya menolak tapi akhirnya saya mengiyakan.
Saya pernah ke
sana. Ingatan saya kembali pada 2008, saat saya sendirian di sore hari
menyusuri tanggul rowo Jombor. Lalu duduk sembari memandangi air waduk. Ada
banyak warung apung di sebelah utara, tempat orang makan dan memancing ikan.
Di tengah hiruk
pikuk orang bersenang-senang itu, saya membayangkan dahulu ribuan tahanan
politik PKI yang dipekerja-paksakan di tempat ini selama berbulan-bulan. Mereka
setiap hari memperbaiki tanggul rawa tanpa upah, di bawah pengawasan tentara
bersenjata.
Pada akhir 2016,
saat saya kembali kesana bersama dengan kawan saya tadi. Sambil menatap langit
barat kemerahan, saya kembali membayangkan imaji yang masih sama.
Klaten dalam
tragedi 65 mengingatkan tentang rentetan peristiwa kekerasan komunis (yang dilakukan
oleh orang-orang komunis) dan berbalas dengan kekerasan antikomunis yang jauh
lebih besar dan luas di mana tentara yang diutus dari pusat (justru) menjadi
pemicunya.
Tentara
bagaimanapun menjadi faktor penting dalam kekerasan antikomunis. Di Klaten,
tentara, terutama RPKAD, melatih pemuda-pemuda antikomunis menjadi milisi.
Tentu saja, ada propaganda antikomunis yang ditanamkan. Para pemuda itu dilatih
menembak.
Saya masih ingat
ketika pertama kali mewawancarai bekas pemuda marhaen di kampung saya. Ia
dilatih menembak dan diterjunkan untuk terlibat aksi sweeping orang-orang
komunis. Ia juga bercerita tentang daftar-daftar yang dibuat untuk memburu
orang-orang komunis.
Tetapi di akhir
wawancara, dengan muka menerawang, dia berkata bahwa ada yang salah di masa
lalu. Ia mencoba merefleksikan kembali atas masa lalu yang kelam itu. Jauh
selepas gegeran itu, dia aktif di gereja Kristen Jawa dan berbagi ruang dan
kursi dengan eks tapol komunis di gereja yang sama.
Mereka (kini)
melebur dalam identitas yang sama. Menjadi satu “keluarga”. Dia, eks milisi
pemuda marhaen yang antikomunis, merasa dahulu menjadi alat tentara untuk ikut
terlibat pembersihan komunis.
Selepas reformasi,
ia baru berani bersuara bahwa Orde Baru dahulu penuh propaganda. Ia akhirnya
memposisikan diri juga sebagai “korban”.
Ada kisah lain yang serupa. Saat saya mewawancarai
seorang eks tapol di Klaten dan memintanya bercerita tentang bagaimana ia
ditangkap, tanpa ragu dia bercerita tentang seseorang yang ikut menangkapnya.
***
Ia mengajak
saya berkunjung ke rumah bekas eks milisi pemuda marhaen. Mereka duduk
berhadapan. Mereka memang sudah saling mengenal. Mereka juga satu gereja
(Kristen Jawa). Mereka berdua aktif dalam kegiatan sepeda santai serta senam
lansia yang dilaksanakan oleh gereja. Mereka bahkan jadi panitianya, bersama.
Saat saya mewawancarai mereka, mereka bercerita tentang
tragedi 65 bersama sekalipun dari sudut pandang berbeda. Eks tapol itu bercerita
tentang bagaimana ia ditangkap dan menceritakan (kembali) bagaimana eks milisi
pemuda marhaen, kawannya kini itu, dahulu ikut menangkapnya di rumahnya.
Ia masih mampu mengingat: si pemuda marhaen datang
membawa pedang.
Eks tapol itu berkata sambil tersenyum untuk membuat
suasana tidak menjadi tegang. Saya hanya merekam kata-kata yang keluar dari
mereka.
Sementara eks pemuda marhaen itu sedikit kaget, ia lupa
apakah benar ia ikut menangkap eks tapol yang kini menjadi kawan satu gereja
ini atau tidak.
Tetapi ia bercerita bahwa ia memang ikut terlibat
pencidukan-pencidukan orang-orang komunis di seputaran desanya. Ia juga
menyaksikan pembantaian di kali Simping.
Ia, persis seperti eks pemuda marhaen yang saya
wawancarai di depan, menyebut bahwa dahulu hanya dijadikan alat tentara dalam
pembersihan orang-orang komunis. Ia merasa berada dalam situasi “dibunuh atau
membunuh” yang digaungkan oleh tentara. Ia juga memposisikan diri sebagai
“korban”.
***
Saya membayangkan
bagaimana agar rekonsiliasi bisa menghadirkan korban dan pelaku saling bertemu
dan berbicara, membuka pelan-pelan apa yang terjadi di masa lalu tanpa harus
melulu membuncahkan dendam dan “membelah ingatan” atas “tragedi 65”.
Di Klaten, kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang komunis terhadap
orang-orang nonkomunis di beberapa tempat harus juga diungkapkan dan
kekerasan-kekerasan antikomunis yang berskala besar dan masif di hampir semua
wilayah Klaten itu juga harus diungkapkan.
Jika kedua belah pihak yang pernah berseberangan ini di masa lalu bisa
saling memahami dan legowo untuk saling mengakui kesalahan dan
kebenaran yang terjadi di masa lalu, rekonsiliasi bisa mewujud.
Tetapi akan lebih indah pula jika negara, di dalamnya ada militer
Angkatan Darat, yang bagaimanapun menjadi aktor penting atas “tragedi 65”,
berani memikul tanggung jawabnya yang besar dan mengakui kesalahannya di masa
lalu.
Saya yakin meminta maaf tak akan meruntuhkan wibawa negara termasuk
tentara.
___
*Kuncoro Hadi, penulis dan peneliti lepas
0 komentar:
Posting Komentar