March 13, 2017
Sumber gambar: http://blonk.blogspot.co.id
Tragedi kekerasan politik yang terjadi pada tanggal 30
September 1965 di Jakarta yang kemudian populer di kenal dengan G30S. Soal
siapa yang memiliki andil besar dalam peristiwa itu hingga saat ini masih
menjadi perdebatan sejarah, dikalangan sejarawan. Terlepas akan hal itu, G30S
telah membawa petaka kemanusiaan dan kerusakan kebudayaan yang berkepanjangan.
Begitu besarnya resultansi peristiwa G30S juga
dirasakan oleh warga Desa Rejomulyo, Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri.
Di desa yang terdapat pada lereng Gunung Kelud ini juga mengalami prahara
politik-kemanusiaan yang sangat dahsyat, ibarat yang terjadi di Jakarta, bahkan
lebih dahsyat lagi. Kalau peristiwa G30S di Jakarta hanya memakan nyawa 7
jenderal, maka di Desa Rejomulyo memakan korban hingga ratusan orang warga
desa.
Desa Rejomulyo awalnya adalah sebuah belantara hutan.
Masyarakat lereng Kelud mengistilahkannya dengan Alas Lo. Karena daerahnya
begitu subur, maka lambat laun Alas lo mulai dijamah oleh manusia dan
dimanfaatkan untuk berladang. Menurut kesaksian Darmo (70 tahun) warga Desa
Manggis, Kecamatan Puncu, Kabupaten Kediri bahwa di lereng Kelud yang subur itu
sejak awal mulai didiami oleh beberapa warga yang hidup bergerombol antara 5
hingga 10 kepala keluarga dengan menjalani hidup berladang secara berpindah
pindah. Kebiasaan berladang secara berpindah pindah ini lantas berhenti mereka
lakukan tatkala sebagian warga itu menemukan area berladang dan hidup menetap
yang strategis, yakni di lereng timur Kelud, tepatnya Desa Rejomulyo saat ini.
Menurut keterangan Sunardi, Kepala Desa Rejomulyo,
awalnya desanya bernama Sumber Wringin Getet. Saat masih bernama Sumber Wringin
Getet ini masyarakatnya sangat sedikit, yang diperkirakan hanya didiami oleh 10
kepala keluarga saja. Seiring dengan rejaning jaman, maka Desa Sumber
Wringin mulai berkembang dan dihuni oleh banyak pendatang baru,
selanjutnya mereka secara bersama sama mendiami desa yang mulai ramai itu.
Dalam kesaksiannnya Ny Darmo (70 tahun), warga Desa
Manggis, Kecamatan Puncu, Kabupaten Kediri, sewaktu ia kecil pernah mengikuti
kedua orang tuanya untuk peresmian nama baru dari Desa Sumber Wringin menjadi
Desa Rejomulyo.
“Aku dek semono kae ijeh cilik Mas, aku iling diajak bok ku nang Sumber Wringin nekani bancakane wong wong desa sing ape wenehi jeneng anyar desone. Dadi jenenge berkat iku podo dum dum ake, kabeh wargo sing podo teko. Sarehne aku ijek cilik aku yo ora ngerti maksute wong wong iku. Ngertiku nek iku syukuran ganti jenenge desa bareng aku wis srodok gede. Dadi aku ra iling kapan taune Mas”, ucap Ny Darmo.
Walau telah berkembang dan berubah namanya menjadi
Rejomulyo, namun kedudukan adminitratifnya berskala dusun. Jadi formalnya saat
itu menjadi Dusun Rejomulyo yang masih dalam naungan Desa Pranggan. Pada masa
pendudukan Belanda, Desa Pranggan berkembang menjadi wilayah perkebunan belanda
yang luas. Di perkebunan inilah Belanda menanam kopi dan cengkeh dengan
mengerahkan tenaga kerja yang rata rata diambil dari warga desa sekitarnya,
terutama dari Desa Pranggan.
Diluar areal perkebunan yang dikuasai oleh Belanda,
beberapa warga sekitar kelud, terutama para pemuka desa yang kaya, termasuk
kaum ningrat yang memiliki tanah sendiri menanami tanah mereka dengan berbagai
buah buahan, seperti nanas, ataupun papaya. Hasil pertanian seperti padi tidak
dapat ditanam diwilayah ini sebab tiadanya sistem pengairan yang memadai.
Walau ada kelangkaan sistem irigasi, namun kelembaban
udara dan kesuburan tanahnya, maka Dusun Rejomulyo berkembang menjadi wilayah
yang menjanjikan. Mungkin karena faktor kesuburan inilah Pemerintah Kolonial
Belanda terus mengembangkan area perkebunan diwilayah ini.
Seiring dengan berlalunya waktu, dan negeri Hindia
Belanda telah berubah nama pula menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hawa kemerdekaan pun mulai dirasakan oleh warga Dusun Rejomulyo. Dari catatan
yang dibuat oleh Noer Fauzi, dari Konsorsium Pembaharuan Agraria, setelah
kemerdekaan Indonesia dikumandangkan dan kaum penjajah hengkan dari Indonesia,
wilayah wilayah perkebunan yang diduduki belanda sebagian perkebunan itu
diduduki oleh rakyat. Di Kediri setidaknya 23 000 hektar tanah perkebunan
belanda diduduki oleh sekitar 13.000 orang, sementara di Jawa secara
keseluruhan terdapat 80.000 hektar tanah bekas perkebunan belanda yang
diduduki tak kurang oleh 65.000 orang.
Masa kegembiraan rakyat menikmati tanah yang telah dikelolanya
dari bekas perkebunanan belanda segera berakhir tatkala Presiden Soekarno
membuat Undang Undang Darurat No 8 tahun 1954 tentang pemakaian tanah
perkebunan oleh rakyat, serta Undang Undang No. 86 tahun 1958 dan
dipertegas dalam Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1959 mengenai
Pokok Pokok Pelaksanaan Undang Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda.
Akibatnya, konflik pertanahan menyeruak diberbagai tempat, khususnya Jawa dan
Sumatera karena seringnya perselisihan dan tidak saling pemahaman antara Negara
dan rakyat menyangkut politik pertanahan.
Berbagai organisasi petani yang diorganisir dibawah
panji-panji partaipun segera tumbuh bak jamur dimusim penghujan. Ada Petani
(Persatuan Tani Nasional Indonesia) yang berpayuh PNI, adapula Pertanu
(Pesatuan Tani Nahdlatul Ulama) yang berporos ke Partai NU, seiring dengan hal
itu muncul pula STII (Sarekat Tani Islam Indonesia) dibawah naungan Masyumi,
dan BTI (Barisan Tani Indonesia), RTI (Rukun Tani Indonesia), SAKTI (Sarekat
Kaum Tani Indonesia) dimana ketiganya berdiri dalam panji panji PKI. Namun pada
tahun 1953, sebagaimana yang dikemukakan oleh Pelzer (1991) bahwa RTI dan BTI
menjadi satu atap dengan tetap menggunakan BTI, serta pada tahun 1955 BTI dan
SAKTI bergabung menjadi satu dengan label BTI.
Dan dalam perkembangannya BTI menjadi kekuatan kaum tani
yang pergerakannya dalam ruang politik pertanahan nasional mendapatkan tempat
yang paling dominant di lubuk kaum tani. Sehingga tak mengherakan jika PKI
waktu itu, menjelang G30S meletus meminta dibentuk angkatan kelima untuk
dipersenjatai guna menopang militer dalam menjalankan konfrontasi dengan
Malaysia. Bahkan melalui BTI ini pula PKI berhasil dominan diseluruh pedesaan
Jawa. Sampai sampai kalangan CC PKI menyebut BTI sebagai pilar utama PKI.
Saat itu pada tahun 50 hingga 60 an PKI secara nasional
bertekad untuk memperjuangkan undang undang land reform. Akibat rintangan
rintangan yang muncul bagi pelaksanaan land reform, maka PKI yang disokong
oleh BTI melancarkan aksi sepihak diberbagai tempat. Akibatnya, ketegangan
memuncak dibanyak desa diseluruh Jawa dan didaratan Sumatera, antara kaum BTI
dengan tuan tuan tanah didesa. Sementara ditingkat elit, terdapat pula ketegangan
antara faksi militer, terutama Angkatan Darat (AD) dengan PKI hingga meletuslah
peristiwa G30S.
Nah, di Dusun Rejomulyo sendiri merupakan basis kaum BTI
yang waktu itu berkonfrontasi dengan pihak perkebunan negara serta para pemilik
tanah (baca; tuan tanah) diwilayah mereka. Menurut Solekan (60 tahun) warga
Dusun Rejomulyo, yang juga mantan simpatisan BTI ini menyatakan bahwa mayoritas
warga Dusun Rejomulyo adalah simpatisan BTI yang secara politik berhaluan kiri,
atau setidaknya memilih PKI dalam pemilu tahun 1955.
Secara otomatis PKI menjadi pemenang pemilu di dusun ini.
Saat dibawah naungan BTI, para petani setidak tidaknya mendapatkan perhatian
serius untuk mendapatkan hak hak kesejahteraannya. Seperti mereka mereka yang
tak memiliki tanah diusahakan untuk mendapatkan tanah garapan, pemberian kursus
kurus pertanian yang intensif, pemberian irigasi yang adil dan merata bahkan
sampai pendidikan politik. Mungkin karena kebutuhannya para petani yang hidup
dibawah kemiskinan ini ditolong, maka banyak petani yang simpati dengan PKI,
ujarnya.
Setidaknya dibawah naungan BTI inilah petani menjadi kuat
posisinya, dimana tuan tuan tanah dan perkebunan berfikir ulang untuk melakukan
tekanan terhadap para petani itu. Sebab BTI menjadi satu satunya organisasi
kaum tani yang kuat dengan ditopang oleh massa dan jaringan kerja yang luas,
yang meliputi seluruh Indonesia, imbuh Solekan.
Walau saat itu, Solekan tergolong sebagai warga
pendatang, namun ia menyaksikan bahwa warga Dusun Rejomulyo sangat familiar menerimanya.
Masyarakat hidup dalam ketenangan dibawah panji panji BTI. Sementara disebelah
mereka terhampar luas perkebunan yang dikuasai oleh Perkebunan Nusantara XII
dengan mendapatkan pengawalan yang ketat dari pihak militer yang setiap saat
menjadi harimau buas yang siap melahap tanah tanah rakyat yang sebagian besar
dulunya bekas perkebunan belanda.
Prahara politik di Rejomulyo itu muncul berkisar antara
tahun 1965 hingga 1968. Saat PKI secara nasional digulung oleh tentara dengan
melibatkan kalangan santri dan para tuan tanah yang secara ideologi maupun
orientasi politik berbeda dengan PKI, bahkan dalam banyak kasus saling berhadap
hadapan secara diametral vis a vis. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kyai
Tarmudhi, Rois Syuri’ah Ranting NU, Rejomulyo bahwa saat itu ia masih sangat
muda dan menjadi simpatisan Ansor. Ia waktu itu tinggal di Desa Pranggan yang
sebagian besar warganya kaum nahdliyin. Ia waktu itu ditugaskan oleh Ketua
Ansor Desa Pranggan yang juga menjadi kepala desa, yakni H Imam Suhudi untuk
menyusup ke Rejomulyo. Kalangan elit NU Pranggan menginginkan agar anasir
anasir PKI di Rejomulyo dapat ditandingi. Tugas utama kyai Tarmudhi adalah
mencari kader dan anggota NU sebanyak banyaknya di dusun tersebut. Dalam
menjalankan misi penyusupan itu, Tarmudhi muda menyemarkan diri dengan
berjualan es diwilayah ini.
Pikiran yang muncul saat itu dari kalangan NU adalah
dengan memiliki keanggotaan dan kader yang banyak, maka dipastikan akan mempu
menjadi kekuatan penyeimbang dari PKI yang berkuasa di Rejomulyo. Lebih dari
itu, dengan besarnya kekuatan NU di Rejomulyo akan dapat membentengi para kyai
dari aksi sepihak barisan BTI, sebab para kyai rata rata memiliki tanah
yang luas, sehingga kerapkali menjadi target perampasan dan pendudukan tanah,
disamping pihak perkebunan. Namun doktrin yang disampaikan para pimpinan NU
Pranggan kepada Tarmudhi muda saat itu adalah menyebarkan syi’ar Islam di
Rejomulyo, sebab para kyai memangdang bahwa Rejomulyo tak lebih dari sarangan
dari para begal, perampok, penjudi, pemabok, pokoknya semua predikat yang
melekat pada bolo ireng, sebuah istilah popular untuk menyebut kaum
bromocora.
Namun usaha untuk mengepakkan sayap NU di Rejomulyo yang
dilakukan oleh Kyai Tarmudhi waktu itu kurang menggembirakan, sebab beberapa
tahun tinggal di Rejomulyo, sang kyai hanya mendapatkan keanggotaan 11 orang.
Hingga sampailah kemelut yeng melibatkan pertarungan fisik antara anak bangsa
itu terjadi. Pasca tragedi G30S, Rejomulyo bak “neraka” yang tak pandang bulu
dalam memakan korban pembantaian manusia dimana mana. PKI yang sebelum tragedi G30S
menjadi kekuatan sosial-politik yang dipandang sebagai pilar utama kekuatan
revolusioner, namun selepas tragedy memilukan di Jakarta terjadi, anginpun
berhembus berbeda. PKI dan seluruh kekuatan yang menopangnya bak segerombolan
domba yang setiap saat dapat disembelih oleh otoritas pemegang senjata. Dan PKI
menjadi korban dari cita cita revolusi yang belum kesampaian mereka wujudkan.
Dalam kesaksian Kyai Tarmudhi, setidaknya selama kurang
lebih 45 hari Rejomulyo selalu memakan tumbal. Dari malam ke malam darah anak
manusia terus menetes. Walau tak ingat tanggal dan tahunnya, Kyai Tarmudhi
menegaskan bahwa masuknnya pihak militer yang dibantu kalangan santri (baca;
banser NU) ke Rejomulyo kurang lebih selama 45 hari untuk menumpas simpatisan
kiri waktu itu. Masuknya pihak militer kedaerah itu sebenarnya atas undangan
dari Kepala Desa Pranggan.
Dusun Rejomulyo merupakan wilayah yang sejatinya
tidak jauh dari Kabupaten Blitar, tepatnya berbatasan dengan Kecamatan Srengat.
Wilayah ini dipisahkan dengan areal perkebunan yang luas. Saat itu, tepatnya
pada tahun 1968 di Kabupaten Blitar, tepatnya Blitar selatan dilaksanakan
Operasi Militer yang dilakukan oleh pihak Komando Militer (Kodam) V Brawijaya
yang berpusat di Surabaya bersama dengan pasukan RPKAD yang beralih nama
menjadi Kostrad. Operasi Militer yang dinamakan dengan Operasi Trisula
ini dilancarkan oleh ABRI waktu itu untuk menumpas para simpatisan kiri yang
berjumlah banyak, selanjutnya mereka bersembunyi dibukit bukit, lebatnya hutan
jati, dan gua gua bawah tanah yang ada di daerah Blitar selatan, yang meliputi
Kecamatan Bakung, Lodoyo, dan Srengat.
Operasi yang semula direncanakan di wilayah Blitar
selatan itupu kemudian meluas, bahkan memasuki wilayah Rejomulyo. Barangkali
tak akan pernah terpikirkan oleh warga Rejomulyo, dusunnya akan menjadi sasaran
operasi trisula yang membawa resiko kemanusiaan. Dalam pernyataannya yang
terkesan sangat ketakutan, dan penuh dengan tekanan batin yang mendalam,
Solekan, warga Dusun Rejomulyo menuturkan bahwa dari malam ke malam selalu
ada gropyokan (baca; penggerebekan) terhadap orang orang
yang dituduh atau dianggap sebagai simpatisan kiri.
Al hasil, Rejomulyo dalam sekejap berubah menjadi wilayah
yang dihuni dengan kaum janda, perempuan, dan anak anak. Sama dengan Kyai
Tarmudhi, Solekan memang tak mengingat secara pasti kapan tanggal dan bulannya
operasi mengerikan itu dijalankan, namun ia menegaskan bahwa tahun 1968 lah
operasi itu dijalankan dan dijalankan diwilayahnya kurang lebih selama 45 hari.
Untuk menancapkan monument abadi dalam memperingati
keberhasilan tentara bersama dengan kalangan santri di Rejomulyo, maka ‘kaum
pemenang’ itu segera mengganti nama Dusun Rejomulyo menjadi Dusun Trisula, dan
kini menjadi Desa tersendiri yang berpisah dengan Desa Pranggan. Maka, resmilah
nama Trisula menjadi sebutan sebuah desa di lereng Gunung Kelud itu hingga
kini.
Seolah belum cukup, untuk kian mengokohkan
regimentasinya, pihak militer yang belakangan dikenal dengan Rejim Orde Baru
melakukan politik momumenisasi, seragamisasi, dan indoktrinasi secara nasional
guna memperkuat panji panji orde baru, termasuk juga yang mereka lakukan di
Rejomulyo.
Politik seragamisasi yang diwajibkan di Desa Trisula
adalah mengharuskan warga untuk membangun gapura ditiap tiap rumah warga yang
secara gamblang membuat simbol Golkar, kewajiban mengikuti KB dengan kontrol
negara terhadap kelahiran, yakni 2 anak cukup, serta indoktrinase ideologi yang
dilakukan secara intensif lewat program Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
dibawah binaan langsung aparat militer. Bahkan hingga kini, keperkasaan
orde baru masih melekat dalam kehidupan dan ingatan kolektif warga Desa
Trisula. Gapura-gapura yang terpampang dalam setiap rumah penduduk, dan
perbatasan tiap RT yang bersimbolkan Golkar masih sangat terawat.
Sementara secara kultural, warga Desa Trisula yang diidentifikasi
sebagai kelompok abangan dengan kecenderungan teologis sebagai Islam
tradisionalis oleh para kyai kyai NU setempat mulai dilakukan gerakan NU-isasi
secara massal. Akibat dari praktek kultural dan teologi yang hampir sama dengan
kalangan NU, seolah menjadi dasar bagi kyai kyai NU untuk merekontruksi
kebudayaan warga Trisula yang dulunya komunis (abangan) menjadi Islam
tradisionalis (baca; NU) tulen yang dibuktikan dengan keikutsertaan kalangan
eks komunis berikut keluarganya dalam organisasi atau jam’iyah NU.
Pernyataan Kyai Tarmudhi yang menyatakan kegembiraannya
saat ini banyak warga Trisula yang gemar bertahlil setiap malam jumat, jama’ah
sholat jumat yang selalu memenuhi masjid yang ia kelolanya, serta banyaknya
warga yang memiliki kartu keanggotaan NU adalah kesuksesan kalangan NU
untuk memoles kebudayaan warga Trisula menjadi kalangan santri tulen. “Benten
kalih siyen Mas, dek semanten NU namung 11 tiyang, sameniko alhamdulillah warga
sampun purun kerso mlebet keanggotaan NU”, demikianlah ungkap kyai yang
mengawali berdirinya kepengurusan NU di Trisula.
Kini, tak ada lagi nafas dan gelora revolusioner di
Trisula. Saat kekuatan dominan menekuk identitas kebudayaan mereka, sepenggal
kata “Lawan!” pun tak pernah ada yang terucap. Kiri !, telah berubah menjadi
kata menakutkan untuk diucapkan oleh warga desa. Saat tim ngaji budaya menapaki
desa ini mulai dari ujung bawah hingga keatas yang berbatasan dengan Perkebunan
Nusantara XII, sulit lagi ditemui warga asli Trisula yang cukup umur saat
operasi trisula berlangsung dan mereka hidup hingga kini, serta berani
buka mulut atas apa yang mereka lihat atas kejadian 36 tahun silam
tersebut.
Bagitulah, komunisme dengan segenap perangkat
kebudayaannya yang pernah bersemai di Rejomulyo (kini; Trisula) telah benar
benar terkubur, seiring dengan terkuburnya jasad kaum komunis yang dulunya
berkembang menjadi kekuatan mayoritas di desa ini. Negara memang sangat
berhasil untuk mengunci rapat arsip kehidupan yang pernah terjadi didaerah ini.
Tentu banyak cara yang dilakukan untuk menjaga rahasia itu. Mulai menghabisi
orang orang yang dulunya menjadi pelaku sejarah dan secara politis
berseberangan dengan penguasa, atau menginstal ulang (indoktrinase) sistem dan
cara berfikir warga yang dulunya menjadi simpatisan komunis, hingga
mengakibatkan setiap kata apapun yang terucap soal trisula dan komunisme
merupakan mimpi buruk masa lalu yang tabu untuk dibicarakan saat ini. Lantas
disemaikan pula tradisi dan kebudayaan baru yang sama sekali berbeda dengan
kebudayaan lama.
***
Pembantaian
Hari Senin Pahing malam Desa Pranggan, Kecamatan
Plosoklaten, Kabupaten Kediri dihebohkan dengan tregedi penculikan terhadap
salah satu anggota ansor setempat yang bernama Zainudin. Dan beberapa hari
berikutnya jasad Zainudin ditemukan di Kebun Wolu. Kalangan santri (baca; NU)
Pranggan langsung melayangkan tuduhannya bahwa sudah pasti tindakan itu
dilakukan oleh orang orang PKI di Rejomulyo.
“Wektu semono kuwe koyok koyok wong PKI pengen mateni wong agomo. Penculikane Zainudin Iku mukodimahe gegerane wong wong ansor karo PKI”, demikian ungkapan Kyai Tarmudhi mengomentari suasana ketegangan sosial yang terjadi pada akhir tahun 60 an.
Selanjutnya pada Hari Selasa Pon seluruh kekuatan ansor
se Desa Pranggan melakukan konsolidasi untuk melakukan pencegatan terhadap
orang orang PKI. Saat sepasukan ansor melakukan penyerbuan terhadap orang orang
PKI di Rejomulyo, ternyata orang orang PKI telah digiring dan dimobilisasi ke
barat oleh pimpinan mereka yang bernama Guru Warno dan Suyitno yang juga
sebagai kepala Dusun Rejomulyo. Sementara Tarmudhi muda yang waktu itu bertugas
melakukan penyusupan di Rejomulyo ikut juga digiring para pimpinan PKI
setempat.
Akibatnya pasukan ansor bersama dengan tentara yang
hendak menyerbu Rejomulyo hanya menemukan sebagian kecil orang yang telah renta
dan sebagian lainnya wanita dan anak anak. Rekomulyo telah sepi, simpatisam
kiri telah melakukan pengungsian.
Saat iring iringan simpatisan PKI itu tiba di Dusun
Dermo, Kyai Tarmudhi meminta ijin kepada pimpinan PKI untuk tidak melanjutkan
perjalanan bersama mereka. Akhirnya Guru Warno mengabulkan permintaan Tarmudhi.
Bahkan Guru Warno sempat menitipkan Kyai Tarmudhi kepada Eyang Endek, penjual
sate di Dusun Dermo. Dusun Dermo termasuk juga basis PKI di Lereng Kelud.
Tidak beberapa lama saat rombongan PKI meninggalkan Dusun
Dermo, Tarmudhi saat itu diusir oleh Eyang Endek untuk tidak bersembunyi
dirumahnya, maka keluarlah kyai muda itu. Langkah pertama yang ia tuju adalah
warung rokok. Namun belum sempat uang kembalian dari beli rokok itu
diterimanya, suara senapan senjata telah membahana membelah kesunyian dusun
waktu itu.
Dalam perkiraan Tarmudhi, rombongan PKI yang hendak
keluar dari Dusun Dermo itu belumlah jauh. Mungkin simpatisan kiri itu masih
berada dalam mulut Dusun Dermo sisi selatan, jadi sangat mungkin untuk terkejar
oleh sekompi pasukan tentara ditambah dengan barisan ansor yang ratusan
jumlahnya.
Hiruk pikuk bersama dengan jeritan warga kampungpun
segara menyeruak disana sini. Dalam suasana kegaduhan itulah rombongan PKI yang
hendak keluar dusun segera tercerai berai dan lari tunggang langgang untuk
mencari keselamatan. Agar tidak menjadi tumbal peluru senapan, maka Tarmudhi
waktu itu juga melarikan diri, dalam pelarian itu ia berjumpa dengan sepupunya
yang ikut dalam rombongan ansor. Takut diketahui oleh rombongan ansor
lainnya, terlebih tentara yang belum paham posisi politik Tarmudhi, maka kyai
muda itu untuk sementara bersembunyi disungai yang membelah Dusun Dermo,
tepatnya di sumber songo bersama dengan sepupunya.
Tubuh Tarmudhi yang kecil waktu itu segera ditutupi
dengan tubuh sepupunya dan ditutupi juga dengan semak semak. Namun, saat itu
ada anggota ansor lainnya yang bernama Tabir dan mengetahui bahwa ada orang
yang bersembunyi di semak semak dalam sungai. Akibatnya anggota Ansor lainnya
berdatangan dan mereka semua segera meenimbuki batu kedua orang yang bersembuyi
disemak semak tersebut. Tipukkan batu itu segera berhenti setelah sepupu
Tarmudhi berteriak teriak bahwa mereka salah alamat dalam melempari batu. Akhirnya
setelah ada penjelalan dan saling pemahaman akhirnya mereka berdua segera
ditolong.
Sementara serombongan simpatisan kiri yang belum sempat
keluar Dusun Dermo, maka mereka segera dihabisi oleh pasukan tentara bersama
dengan kalangan ansor yang memang sejak awal telah siap menghabisi simpatisan
PKI itu. Bagi simpatisan kiri yang waktu itu melakukan perlawanan, maka
darahpun segera mengalir. Karena kekuatan persenjataan maupun personel yang
memang tak seimbang, maka dengan mudah simpatisan kiri itu dihabisi.
Dalam kesaksian Tarmudhi yang pada saat itu berada di
dusun tersebut, ia menyaksikan banyak simpatisan kiri yang terbantai, mayat
mayat mereka pada bergelimpangan disungai yang ada di Dusun Dermo. “Wah satu
sudah mampus, yang satu belum. Wah tembak saja, tembak saja..dor dor.dor..”,
begitulah Tarmudhi mendengar tentara menembaki simpatisan kiri yang tertangkap
dipinggir sungai, disekitar tempat persembuyiannya. Sementara mereka yang
tertangkap hidup hidup dan menyerah segera dibawa pergi. Tarmudhi sendiri tak
mengetahui mereka hendak dibawa kemana oleh sepasukan tentara itu.
Bahkan lebih dari itu, Alas lo yang
diperkirakan menjadi tempat persembunyian simpatisan kiri itu segera diaduk
aduk oleh tentara. Ternyata tentara berhasil menemukan banyak simpatisan kiri
yang tertangkap didalam Alas Lo. Sementara simpatisan kiri atau yang
dituduh anggota PKI yang sejatinya bukan PKI yang masih berada atau tinggal
dirumah rumah juga terkena garuk dari operasi militer yang saat itu dilancarkan
ujar Kyai Tarmudhi.
Para simpatisan kiri, atau yang dianggap kiri yang
tertangkap dalam Operasi Trisula di Desa Trisula saat itu semua dikumpulkan di
Kantor Agama dan Kantor NU Desa Pranggan. Dalam kesaksian Kyai Tarmudhi banyak
sekali fitnah yang terjadi pada masa itu. Bahkan sebelum tentara masuk
melakukan operasi, banyak sekali rumah rumah penduduk, khususnya di Rejomulyo
yang nyata nyata bukan simpatisan kiri, tiba tiba dirumahnya terpampang papan
papan nama yang bertuliskan “Barisan Tani Indonesia”.
Warga sendiri yang rumahnya tiba tiba terpampang tulisan
BTI tiba berani berbuat apa apa. Tentu warga tak akan pernah mengira bahwa
papan nama yang terpasang dirumahnya itu suatu saat akan membawa petakan
kemanusiaan yang akan merenggut jiwa mereka semua. Bagi warga yang akan mencabut
papan nama itu, maka ia merasa ketakutan dengan simpatisan kiri, yang waktu itu
diperkirakan merekalah yang memasang.
Tapi kalau menerima, ternyata mereka bukanlah anggota
PKI. Banyak warga desa saat itu yang mengalami posisi serba dilematis. Namun
sebagian besar dari mereka membiarkan papan nama itu terpasang yang tak pernah
terbayangkan sedikitpun suatu saat itu akan dapat membahayakan.
Solekan, warga Rejomulyo saat dikonfirmasi mengenai hal
ini menyatakan bahwa hal itu memang terjadi. Namun ia menyangsikan hal itu
dilakukan oleh PKI.
“Tanpa harus pampang nama seperti BTI semacam itu, toh PKI telah menang diwilayah ini”, ujar Solekan.
Menurut keterangan Darmo, warga Desa Manggis Kecamatan
Puncu, Kabupaten Kediri banyak sekali simpatisan kiri yang diperkirakan berasal
dari Dusun Rejomulyo yang telah beralih nama menjadi Desa Trisula dibawa
kedesanya dan disana mereka dihabisi dalam sebuah tempat, yakni didekat ringin
kembar yang ada di Desa Manggis.
Penguburan PKI dibawah pohon beringin tidak saja berari
secara fisik, tetapi juga secara politis. Seperti kita tahu, basis basis PKI
pada masa orde baru berubag menjadi pendukung Golkar. Tentu ada perbedaaan cara
PKI merebut simpati rakyat dengan cara penguasa orde baru (baca; Golkar)
meminta perhatian rakyat.
Kini, setelah alam reformasi berjalan, demokrasi dan
kebebasan diteriakkan dimana mana, mungkinkah warga Desa Trisula mengekpresikan
kedaukatannya. Bisa jadi ya! Sebab selama dua kali periode salam pemilu, yakni
tahun 1999 dan 2004 dialam reformasi, partai warisan orde baru itu terpuruk
sekali suaranya, sebab selama dua periode PDIP memenangkan suaranya didaerah
ini. (ring/mif)
Tulisan ini diambil dari majalah Ngaji Budaya yang
diterbitkan atas kerjasama Puspek Averroes dengan yayasan Desantara.
0 komentar:
Posting Komentar