Reporter: Petrik Matanasi | 24 Januari, 2017
Kampanye Partai Komunis Indonesia pada September 1955. LIFE/Howard Sochurek
Sayid Ahmad Sofyan Baraqbah asal Banjarmasin adalah anggota parlemen di era Sukarno dan menjadi gerilyawan buruan ABRI di masa Orde Baru. Dia salah satu keturunan Nabi atau yang biasa disebut sebagai sayid.
tirto.id - Siang 12 Januari 1974 itu, Sofyan dan A Siong sedang menikmati makan siang. Sofyan, laki-laki berkumis dan berjanggut itu, duduk dengan senapan AK di paha. Dia tidak sadar ada 12 orang pasukan komando sedang mengintainya dari belakang. Begitupun kawannya A Siong alias Ramang, yang menyandang senapan getmi.
Dari jarak 10 meter dari pasukan penyergap itu, terlihat Ramang dan Sofyan sedang duduk makan siang berhadapan di antara 3 pohon besar. Letnan Satu Sutiono dari Kopassandha (kini kopassus) Baret Merah, masih ingat perintah Mayor Sutarno: "Usahakan tembak kakinya." Ketika itu, sialnya kaki Sofyan tak terlihat. Tubuhnya saja yang nampak.
"Kalau terpaksa menembak, tembaklah Sofyan dulu. Jangan si Ramang!" bisik Sutiono kepada bawahannya. Sebab, target utama mereka adalah Sofyan. Tepat pukul 13.05 dari celah-celah daun belukar, dalam jarak 10 meter, sebutir peluru AR yang ditembakkan Sutiono meluncur. Peluru itu meluncur melalui belakang kepala Sofyan hingga menembus dahinya. Tembakan-tembakan lain segera menyusul. Sementara itu, dengan hanya berkolor, Ramang mengambil langkah seribu. Namun, getmi miliknya tertinggal.
Itulah makan siang terakhir Sayid Ahmad Sofyan Baraqbah. Ia adalah buruan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia selama bertahun-tahun di rimba Kalimantan Barat. Cerita penyergapan Sofyan di sekitar Hutan Terentang dan Sungai Kalabau itu diwartakan Tempo (09/02/1974).
Setelah penembakan, pasukan itu fokus mengurus Sofyan yang sudah menjadi mayat. Tidak mudah menggotong Sofyan dari hutan. Mereka harus bersampan, membawa mayat Sofyan yang sudah terbungkus plastik. Setelah laporan soal Sofyan diterima pihak militer di Pontianak, helikopter pun menuju Terenteng, zona pendaratan helikopter untuk menjemput mayat Sofyan.
Menjelang senja keesokan hari, barulah mayat Sofyan bisa didaratkan di depan Skodam XII/Tanjungpura, Pontianak. Dari sana, mayatnya diusung ke kamar mayat Kesdam XII/Tanjungpura yang jaraknya hanya 75 meter. Orang-orang yang pernah mengenal turunan sayid ini diminta mengidentifikasi. Kenalan Sofyan seperti M. Ali AS, Soewardi Poespoyo, M. Jusuf Suib, H. Abdussyukur, dan Abubakar Mansyur, membenarkan bahwa mayat itu adalah Sayid Ahmad Sofyan Baraqbah.
Selama hidupnya, Sofyan tak asing dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), juga Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) kemudian. Namanya juga tercantum dalam Dokumen-dokumen Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia, 7-14 September 1959. Menurut catatan Tempo, Sofyan meninggal di usia 48 tahun.
Dia lahir di Banjarmasin. Ajaran komunis dikenalnya di Medan, di mana dia juga bertemu istrinya, Nani Sumarni, di kota itu. Di Medan, Sofyan sudah menjadi Ketua Serikat Buruh Kiri Sarbupri/SOBSI Medan pada 1950. Dia kembali ke Banjarmasin pada 1954, menjadi tokoh PKI dan anggota parlemen di sana.
Di tahun 1959, Sofyan pindah lagi ke Pontianak. Di sana dia menjadi anggota Comite Daerah Besar Kalimantan Barat . Dia juga anggota Front Nasional. Sebagai insan partai komunis terpandang, Sofyan ikut menjadi dosen di sekolah partai yang terletak di Gang Nurdin, Pontianak.
Baraqbah, nama belakang laki-laki yang lahir kira-kira tahun 1926 ini, adalah salah satu marga keturunan Nabi Muhammad. maka, ia bergelar sayid. Selain Sayid Ahmad Sofyan Baraqbah, ada sayid lain yang juga komunis. Dari Kalimantan Timur ada Sayid Fahrul Baraqbah yang menjadi pimpinan CDB Kalimantan Timur dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Setelah 1965, Fahrul ditangkap, tapi Sofyan tidak. Sofyan bergerilya.
Setelah G30S gagal dan lanskap politik Indonesia terhadap konfrontasi malaysia berubah, banyak sukarelawan Dwikora yang tergabung dalam PGRS enggan berhenti berkonfrontasi. Mereka pun disikat ABRI. Dengan mantan PGRS itu, Sofyan bersekutu. Menurut catatan A.M. Hendropriyono yang ikut serta penumpasan PGRS, "PKI gaya baru" pimpinan Sofyan dengan sisa PGRS melahirkan kekuatan yang disebut Barisan Rakyat (Bara) yang beroperasi sejak 1966 hingga 1974. Dalam pasukan PGRS itu terdapat trio Lim Fo Kui, Bong Kie Chock, dan Bong Hon yang bergerilya di hutan belukar perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan,
”Ini kita (TNI) melatih Tentara Nasional Kalimantan Utara dan PGRS di Surabaya, Bogor, dan Bandung. Akhirnya, setelah pergantian pemerintah, Presiden Soeharto memutuskan berdamai dengan Malaysia dan gerilyawan tersebut diminta meletakkan senjata. Karena PGRS tidak menyerah, terpaksa kita sebagai guru harus menghadapi murid dengan bertempur di hutan rimba Kalimantan,” kata A.M. Hendropriyono yang menulis Operasi Sandi Yudha: Menumpas Gerakan Klandestin (2013).
Sofyan menjadi orang yang dianggap berbahaya di masa-masa itu. “Tahun 1967, Barisan Rakyat atau Bara yang merupakan fusi antara PGRS dan CDB PKI Kalimantan Barat di bawah pimpinan Ahmad Sofyan, menyerang gudang senjata AURI di Pangkalan Udara Sanggau Ledo atau Sintang II,” tulis Hendro Subroto dalam biografi Sintong Pandjaitan yang berjudul Sintong Panjaitan, perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009).
Sofyan menjadi otak dari gerakan itu, sedangkan "serangan dipimpin oleh Ju Lie, seorang China Komunis di Singkawang.”
Setelah melakukan serangan, posisi pemberontak semakin menguntungkan. “Mereka berhasil menjarah 133 pucuk senjata yang sebagian besar terdiri dari senapan Cung buatan RRC, senapan serbu Heckler & KochG3, dua senapan mesin berat degtyarev DshK-38 kaliber 12m7mm, dan peti-peti amunisi dari berbagai jenis. Jumlah senjata yang dirampas itu dapat mempersenjatai pasukan berkekuatan satu kompi. Gedung senjata AURI yang dikuasai oleh gerombolan komunis, kemudian dibakar habis.”
Sebagai pemimpin gerilya, Sofyan “membagi Kalimantan Barat menjadi dua komite, yaitu komite daerah Kapuas untuk sektor timur dan komite daerah pantai untuk sektor Barat yang menjadi daerah operasi kopassandha.... Sofyan melakukan operasi Klandestein di daerah belakang dan daerah penyangga sesuai strategi PKI, yaitu melakukan penggarapan massa, menyusun organisasi partai di bawah tanah dan melakukan perjuangan bersenjata.”
Selama bertahun-tahun, Sofyan menjadi buruan ABRI, termasuk Kopassanda. Tim yang dipimpin Letkol Sutarno itu diberi tugas khusus untuk mendapatkan Sofyan, hidup atau mati.
“Sebenarnya Sofyan sudah hampir kita tangkap. Tapi pengejaran Sofyan dalam ruang gerak yang semakin sempit terpaksa berhenti, karena satgas ditarik dari Kalimantan Barat kembali ke basis,” aku Sintong dalam buku biografinya.
Dari jarak 10 meter dari pasukan penyergap itu, terlihat Ramang dan Sofyan sedang duduk makan siang berhadapan di antara 3 pohon besar. Letnan Satu Sutiono dari Kopassandha (kini kopassus) Baret Merah, masih ingat perintah Mayor Sutarno: "Usahakan tembak kakinya." Ketika itu, sialnya kaki Sofyan tak terlihat. Tubuhnya saja yang nampak.
"Kalau terpaksa menembak, tembaklah Sofyan dulu. Jangan si Ramang!" bisik Sutiono kepada bawahannya. Sebab, target utama mereka adalah Sofyan. Tepat pukul 13.05 dari celah-celah daun belukar, dalam jarak 10 meter, sebutir peluru AR yang ditembakkan Sutiono meluncur. Peluru itu meluncur melalui belakang kepala Sofyan hingga menembus dahinya. Tembakan-tembakan lain segera menyusul. Sementara itu, dengan hanya berkolor, Ramang mengambil langkah seribu. Namun, getmi miliknya tertinggal.
Itulah makan siang terakhir Sayid Ahmad Sofyan Baraqbah. Ia adalah buruan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia selama bertahun-tahun di rimba Kalimantan Barat. Cerita penyergapan Sofyan di sekitar Hutan Terentang dan Sungai Kalabau itu diwartakan Tempo (09/02/1974).
Setelah penembakan, pasukan itu fokus mengurus Sofyan yang sudah menjadi mayat. Tidak mudah menggotong Sofyan dari hutan. Mereka harus bersampan, membawa mayat Sofyan yang sudah terbungkus plastik. Setelah laporan soal Sofyan diterima pihak militer di Pontianak, helikopter pun menuju Terenteng, zona pendaratan helikopter untuk menjemput mayat Sofyan.
Menjelang senja keesokan hari, barulah mayat Sofyan bisa didaratkan di depan Skodam XII/Tanjungpura, Pontianak. Dari sana, mayatnya diusung ke kamar mayat Kesdam XII/Tanjungpura yang jaraknya hanya 75 meter. Orang-orang yang pernah mengenal turunan sayid ini diminta mengidentifikasi. Kenalan Sofyan seperti M. Ali AS, Soewardi Poespoyo, M. Jusuf Suib, H. Abdussyukur, dan Abubakar Mansyur, membenarkan bahwa mayat itu adalah Sayid Ahmad Sofyan Baraqbah.
Selama hidupnya, Sofyan tak asing dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), juga Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) kemudian. Namanya juga tercantum dalam Dokumen-dokumen Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia, 7-14 September 1959. Menurut catatan Tempo, Sofyan meninggal di usia 48 tahun.
Dia lahir di Banjarmasin. Ajaran komunis dikenalnya di Medan, di mana dia juga bertemu istrinya, Nani Sumarni, di kota itu. Di Medan, Sofyan sudah menjadi Ketua Serikat Buruh Kiri Sarbupri/SOBSI Medan pada 1950. Dia kembali ke Banjarmasin pada 1954, menjadi tokoh PKI dan anggota parlemen di sana.
Di tahun 1959, Sofyan pindah lagi ke Pontianak. Di sana dia menjadi anggota Comite Daerah Besar Kalimantan Barat . Dia juga anggota Front Nasional. Sebagai insan partai komunis terpandang, Sofyan ikut menjadi dosen di sekolah partai yang terletak di Gang Nurdin, Pontianak.
Baraqbah, nama belakang laki-laki yang lahir kira-kira tahun 1926 ini, adalah salah satu marga keturunan Nabi Muhammad. maka, ia bergelar sayid. Selain Sayid Ahmad Sofyan Baraqbah, ada sayid lain yang juga komunis. Dari Kalimantan Timur ada Sayid Fahrul Baraqbah yang menjadi pimpinan CDB Kalimantan Timur dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Setelah 1965, Fahrul ditangkap, tapi Sofyan tidak. Sofyan bergerilya.
Setelah G30S gagal dan lanskap politik Indonesia terhadap konfrontasi malaysia berubah, banyak sukarelawan Dwikora yang tergabung dalam PGRS enggan berhenti berkonfrontasi. Mereka pun disikat ABRI. Dengan mantan PGRS itu, Sofyan bersekutu. Menurut catatan A.M. Hendropriyono yang ikut serta penumpasan PGRS, "PKI gaya baru" pimpinan Sofyan dengan sisa PGRS melahirkan kekuatan yang disebut Barisan Rakyat (Bara) yang beroperasi sejak 1966 hingga 1974. Dalam pasukan PGRS itu terdapat trio Lim Fo Kui, Bong Kie Chock, dan Bong Hon yang bergerilya di hutan belukar perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan,
”Ini kita (TNI) melatih Tentara Nasional Kalimantan Utara dan PGRS di Surabaya, Bogor, dan Bandung. Akhirnya, setelah pergantian pemerintah, Presiden Soeharto memutuskan berdamai dengan Malaysia dan gerilyawan tersebut diminta meletakkan senjata. Karena PGRS tidak menyerah, terpaksa kita sebagai guru harus menghadapi murid dengan bertempur di hutan rimba Kalimantan,” kata A.M. Hendropriyono yang menulis Operasi Sandi Yudha: Menumpas Gerakan Klandestin (2013).
Sofyan menjadi orang yang dianggap berbahaya di masa-masa itu. “Tahun 1967, Barisan Rakyat atau Bara yang merupakan fusi antara PGRS dan CDB PKI Kalimantan Barat di bawah pimpinan Ahmad Sofyan, menyerang gudang senjata AURI di Pangkalan Udara Sanggau Ledo atau Sintang II,” tulis Hendro Subroto dalam biografi Sintong Pandjaitan yang berjudul Sintong Panjaitan, perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009).
Sofyan menjadi otak dari gerakan itu, sedangkan "serangan dipimpin oleh Ju Lie, seorang China Komunis di Singkawang.”
Setelah melakukan serangan, posisi pemberontak semakin menguntungkan. “Mereka berhasil menjarah 133 pucuk senjata yang sebagian besar terdiri dari senapan Cung buatan RRC, senapan serbu Heckler & KochG3, dua senapan mesin berat degtyarev DshK-38 kaliber 12m7mm, dan peti-peti amunisi dari berbagai jenis. Jumlah senjata yang dirampas itu dapat mempersenjatai pasukan berkekuatan satu kompi. Gedung senjata AURI yang dikuasai oleh gerombolan komunis, kemudian dibakar habis.”
Sebagai pemimpin gerilya, Sofyan “membagi Kalimantan Barat menjadi dua komite, yaitu komite daerah Kapuas untuk sektor timur dan komite daerah pantai untuk sektor Barat yang menjadi daerah operasi kopassandha.... Sofyan melakukan operasi Klandestein di daerah belakang dan daerah penyangga sesuai strategi PKI, yaitu melakukan penggarapan massa, menyusun organisasi partai di bawah tanah dan melakukan perjuangan bersenjata.”
Selama bertahun-tahun, Sofyan menjadi buruan ABRI, termasuk Kopassanda. Tim yang dipimpin Letkol Sutarno itu diberi tugas khusus untuk mendapatkan Sofyan, hidup atau mati.
“Sebenarnya Sofyan sudah hampir kita tangkap. Tapi pengejaran Sofyan dalam ruang gerak yang semakin sempit terpaksa berhenti, karena satgas ditarik dari Kalimantan Barat kembali ke basis,” aku Sintong dalam buku biografinya.
(tirto.id - pet/msh)
https://tirto.id/sayid-komunis-yang-diburu-tentara-baret-merah-chz3
Very helpful suggestions that help in the optimizing website. Thank you for valuable suggestions.RescuePRO Deluxe 6.0.0.7
BalasHapus