Kuncoro Hadi - Mar 8, 2017
Angkringan (Flickr/stwn, CC
BY-SA 2.0)
Yogyakarta 14 November 2016. Saya datang ke angkringan
Temon Felix di depan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta pagi
hari.
Saya dulu sering makan di angkringan ini saat saya masih
kuliah sejarah di UNY.
Sebelumnya seorang kawan memberitahu tentang cerita bapak
tua penjual angkringan itu soal pembantaian PKI di wilayah timur Klaten.
Saya harus mewawancarainya. Pagi jadi waktu yang tepat,
masih lumayan sepi, tak banyak pembeli, saya bisa leluasa bertanya.
Angkringan memang jadi kenikmatan tersendiri, sejak saya
jadi mahasiswa. Sampai di angkringan, saya duduk sambil memesan teh panas.
Bapak tua itu ada dan inilah waktu yang tepat. saya harus
mewawancarainya. Saya perhatikan wajahnya, ia tak lebih tua dari bapak saya.
Selepas obrolan basa-basi sebagai pengantar, saya mulai
bertanya serius tentang bapak tua itu dan ingatannya tentang “1965”.
Saya memastikan diri untuk berhati-hati saat bertanya.
Saya orang asing di depannya. Reaksi pertama saat saya bertanya tentu saja
curiga. Hal itu biasa. Saya pernah mendapat wajah-wajah curiga itu dari
beberapa narasumber saya saat saya melakukan penelitian tentang “tragedi 65” di
Klaten. Saya biasa dan saya sudah menebaknya sedari awal. Kecurigaan itu saya
tanggapi dengan cerita saya tentang penangkapan dan pembunuhan orang-orang
komunis di wilayah saya, di Klaten sebelah barat.
Suasana mulai mencair dan bapak tua itu mulai bercerita
tentang wilayahnya, Cawas. Saat tragedi 65 terjadi, dia masih SMP. Dia
bercerita tentang truk-truk bergambar palu arit untuk mengelabui orang-orang
komunis agar bersedia diangkut saat pembersihan komunis berlangsung di wilayah
Cawas.
Dia juga bercerita tentang orang-orang komunis yang
dibantai di kali Jaran (Cawas) dan kali Gawe (perbatasan Cawas dengan
Juwiring). Bapak tua itu memang tidak melihatnya langsung, tidak seperti
seseorang yang saya wawancarai tentang pembantaian orang-orang komunis yang ia
saksikan di Kali Simping dekat Prambanan.
Cerita bapak tua di angkringan Temon-Felix itu menarik.
Saya terutama tertarik tentang sungai-sungai yang disebut olehnya. Benarkah
yang ia ungkapkan? Saya yakin ia tak berkata dusta. Tentu ada ingatan kolektif
tentang tempat-tempat pembantaian itu.
Saya segera mengontak seorang kawan, teman kuliah yang
kebetulan berasal dari daerah Cawas. Saya memintanya untuk melacak ingatan
orang-orang tentang dua sungai itu, Kali Jaran dan Kali Gawe. Dengan segera
kawan saya memberi tahu: ia telah bertanya kepada bapaknya, dan membenarkan
bahwa dua sungai itu memang jadi tempat pembantaian orang-orang komunis. Saya
sedikit lega dan berhasrat sesegera mungkin datang ke sana.
Mendatangi tempat-tempat bekas tragedi kemanusiaan
seperti itu terkadang membuat saya terbawa perasaan.
Pernah, di senja hari, saya berhenti di atas jembatan
kebomati yang menghubungkan jalan raya Jogja-Solo dan menatap lama Kali Simping
sambil merenung.
Dan dulu saat saya masih tinggal di Klaten, setiap kali
melintasi jembatan dan sungai Simping ini dari arah Yogyakarta, saya masih juga
memandanginya lalu membayangkan betapa mencekamnya Sungai Simping itu di bulan
November-Desember 1965.
Saat malam tiba, penduduk sekitar ketakutan, sementara
ada segelintir orang berani menonton agak kejauhan di pinggir sungai. Truk-truk
datang lalu menurunkan puluhan orang yang telah terikat, memaksa mereka berdiri
di depan galian panjang di tengah kali Simping yang dipenuhi pasir, lalu
jeritan terdengar dibarengi dengan rentetan letusan serampangan senjata api.
Ada yang langsung mati tetapi ada juga keajaiban di mana seseorang terhindar
dari maut.
Ada tanya di “kubur-kubur” terlupa itu, mengapa mereka
harus mati? Mengapa tentara dari pusat datang justru bukan mengamankan dan
menjaga ketertiban sepenuhnya? Mengapa justru mereka mendorong, bahkan jadi
algojo, pembantaian itu?
Tanya yang tak terjawab itu sesungguhnya juga masih
mengundang tanya yang lain: mengapa juga, saat orang-orang komunis ketakutan,
sebelum mereka “dibersihkan” di Klaten, harus membunuh orang-orang nonkomunis?
Saya juga masih menyimpan ingatan-ingatan orang-orang
yang menyebutkan tragedi orang-orang nonkomunis yang dibunuh. Tentang seorang
bekas carik dari Somopuro yang diseret dari rumahnya lalu dibunuh dengan dua
buah paku rel kereta api yang ditancapkan di kepalanya agar seperti tanduk
banteng lambang partai nasionalis.
Lalu penculikan-penculikan terhadap orang-orang
nasionalis di wilayah Prambanan, Jogonalan yang disertai pembunuhan, juga pembantaian
terhadap orang-orang nasionalis dan agama di wilayah Ceper. Mengapa mereka
harus dibunuh? Mengapa orang-orang komunis melakukannya?
Awal Desember 2016. Saya, dipandu kawan saya, akhirnya
menyelusuri wilayah Cawas. Sore hari, saya melihat Kali Gawe
dan Kali Jaran.
Memperhatikan dengan seksama aliran air di sungai itu.
Saya mencoba membayangkan berapa puluh orang komunis dan yang dituduh komunis
dibantai di dua sungai itu.
Saat petang menjelang, kawan saya mengajak untuk kenapa
tidak sekalian berkunjung ke Rowo Jombor. Awalnya saya menolak tapi akhirnya
saya mengiyakan.
Saya pernah ke sana. Ingatan saya kembali pada 2008, saat
saya sendirian di sore hari menyusuri tanggul rowo Jombor. Lalu duduk sembari
memandangi air waduk. Ada banyak warung apung di sebelah utara, tempat orang
makan dan memancing ikan.
Di tengah hiruk pikuk orang bersenang-senang itu, saya
membayangkan dahulu ribuan tahanan politik PKI yang dipekerja-paksakan di
tempat ini selama berbulan-bulan. Mereka setiap hari memperbaiki tanggul rawa
tanpa upah, di bawah pengawasan tentara bersenjata.
Pada akhir 2016, saat saya kembali kesana bersama dengan
kawan saya tadi. Sambil menatap langit barat kemerahan, saya kembali
membayangkan imaji yang masih sama.
Klaten dalam tragedi 65 mengingatkan tentang rentetan
peristiwa kekerasan komunis (yang dilakukan oleh orang-orang komunis) dan
berbalas dengan kekerasan antikomunis yang jauh lebih besar dan luas di mana
tentara yang diutus dari pusat (justru) menjadi pemicunya.
Tentara bagaimanapun menjadi faktor penting dalam
kekerasan antikomunis. Di Klaten, tentara, terutama RPKAD, melatih
pemuda-pemuda antikomunis menjadi milisi. Tentu saja, ada propaganda
antikomunis yang ditanamkan. Para pemuda itu dilatih menembak.
Saya masih ingat ketika pertama kali mewawancarai bekas
pemuda marhaen di kampung saya. Ia dilatih menembak dan diterjunkan untuk
terlibat aksi sweeping orang-orang komunis. Ia juga bercerita tentang
daftar-daftar yang dibuat untuk memburu orang-orang komunis.
Tetapi di akhir wawancara, dengan muka menerawang, dia
berkata bahwa ada yang salah di masa lalu. Ia mencoba merefleksikan kembali
atas masa lalu yang kelam itu. Jauh selepas gegeran itu, dia aktif di gereja
Kristen Jawa dan berbagi ruang dan kursi dengan eks tapol komunis di gereja
yang sama.
Mereka (kini) melebur dalam identitas yang sama. Menjadi
satu “keluarga”. Dia, eks milisi pemuda marhaen yang antikomunis, merasa dahulu
menjadi alat tentara untuk ikut terlibat pembersihan komunis. Selepas
reformasi, ia baru berani bersuara bahwa Orde Baru dahulu penuh propaganda. Ia
akhirnya memposisikan diri juga sebagai “korban”.
Ada kisah lain yang serupa. Saat saya mewawancarai
seorang eks tapol di Klaten dan memintanya bercerita tentang bagaimana ia
ditangkap, tanpa ragu dia bercerita tentang seseorang yang ikut menangkapnya.
Ia mengajak saya berkunjung ke rumah bekas eks milisi
pemuda marhaen. Mereka duduk berhadapan. Mereka memang sudah saling mengenal.
Mereka juga satu gereja (Kristen Jawa). Mereka berdua aktif dalam kegiatan
sepeda santai serta senam lansia yang dilaksanakan oleh gereja. Mereka bahkan
jadi panitianya, bersama.
Saat saya mewawancarai mereka, mereka bercerita tentang
tragedi 65 bersama sekalipun dari sudut pandang berbeda. Eks tapol itu
bercerita tentang bagaimana ia ditangkap dan menceritakan (kembali) bagaimana
eks milisi pemuda marhaen, kawannya kini itu, dahulu ikut menangkapnya di
rumahnya.
Ia masih mampu mengingat: si pemuda marhaen datang
membawa pedang.
Eks tapol itu berkata sambil tersenyum untuk membuat
suasana tidak menjadi tegang. Saya hanya merekam kata-kata yang keluar dari
mereka.
Sementara eks pemuda marhaen itu sedikit kaget, ia lupa
apakah benar ia ikut menangkap eks tapol yang kini menjadi kawan satu gereja
ini atau tidak.
Tetapi ia bercerita bahwa ia memang ikut terlibat
pencidukan-pencidukan orang-orang komunis di seputaran desanya. Ia juga
menyaksikan pembantaian di kali Simping.
Ia, persis seperti eks pemuda marhaen yang saya
wawancarai di depan, menyebut bahwa dahulu hanya dijadikan alat tentara dalam
pembersihan orang-orang komunis. Ia merasa berada dalam situasi “dibunuh atau
membunuh” yang digaungkan oleh tentara. Ia juga memposisikan diri sebagai
“korban”.
Saya membayangkan bagaimana agar rekonsiliasi bisa
menghadirkan korban dan pelaku saling bertemu dan berbicara, membuka
pelan-pelan apa yang terjadi di masa lalu tanpa harus melulu membuncahkan
dendam dan “membelah ingatan” atas “tragedi 65”.
Di Klaten, kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang
komunis terhadap orang-orang nonkomunis di beberapa tempat harus juga
diungkapkan dan kekerasan-kekerasan antikomunis yang berskala besar dan masif
di hampir semua wilayah Klaten itu juga harus diungkapkan.
Jika kedua belah pihak yang pernah berseberangan ini di
masa lalu bisa saling memahami dan legowo untuk saling mengakui
kesalahan dan kebenaran yang terjadi di masa lalu, rekonsiliasi bisa mewujud.
Tetapi akan lebih indah pula jika negara, di dalamnya ada
militer Angkatan Darat, yang bagaimanapun menjadi aktor penting atas “tragedi
65”, berani memikul tanggung jawabnya yang besar dan mengakui kesalahannya di
masa lalu.
Saya yakin meminta maaf tak akan meruntuhkan wibawa
negara termasuk tentara.
0 komentar:
Posting Komentar