Rabu, 29/03/2017 20:21 WIB
Jakarta, CNN Indonesia
--
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
mengungkapkan keterbatasan anggaran menjadi faktor utama
berkurangnya pelayanan kesehatan kepada korban pelanggaran HAM tahun
1965.
LPSK merupakan lembaga yang ditunjuk untuk memberikan pendampingan rehabilitasi medis kepada para korban politik 1965.
"Hasil evaluasi kami yaitu kalangan yang membutuhkan dengan anggaran yang ada itu jomplang," tutur Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu di kantornya di Jakarta, Rabu (29/3).
Keterbatasan anggaran disebabkan kebijakan pemangkasan anggaran dari pemerintah pada tahun 2016.
Pemangkasan
anggaran berbanding terbalik dengan meningkatnya korban yang meminta
bantuan medis dan psikologis. Bahkan, kata Edwin, setiap minggu LPSK
menerima surat permohonan bantuan dari korban.
Pada 2016, LPSK mendapatkan anggaran Rp67 miliar, sedangkan tahun ini mencapai Rp75,9 miliar. Dana itu jauh turun dibandingkan dengan anggaran pada 2015 yakni Rp160 miliar.
Hal tersebut membuat LPSK mengubah mekanisme pemberian bantuan, yaitu dengan mementingkan kuantitas daripada kualitas.
"Kalau (mekanisme) enggak diganti, enggak akan ada lagi orang baru yang dapat (bantuan). Memang ada kualitas pelayanan menurun, tapi itu demi korban yang lain agar mendapat haknya,"kata Edwin.
LPSK juga bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk mengatasi masalah yang terjadi.
Lewat mekanisme tersebut, LPSK bisa menyerahkan korban yang telah enam bulan mendapat pendampingan kepada BPJS Kesehatan. Sebelumnya, pendampingan dan pelayanan khusus dari LPSK tidak mengenal batasan waktu.
Perubahan mekanisme itu dirasakan langsung oleh korban pelanggaran HAM tahun 1965.
Sistem Kontrak
Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) tahun 1965-1966 Bedjo Untung mengatakan ada penurunan pelayanan kesehatan dari LPSK. Jika sebelumnya pelayanan tidak menggunakan sistem kontrak, sekarang dilakukan secara kontrak.
"Pertama dikontrak 6 bulan, lalu diperpanjang 6 bulan. Diperpanjang 6 bulan lagi. Setelah itu korban dialihkan ke BPJS Kesehatan," kata Bedjo kepada CNNIndonesia.com.
Apalagi, kata Bedjo, ada beberapa korban yang seolah dipersulit puskesmas saat meminta rujukan untuk berobat ke rumah sakit.
Bedjo, yang mengaku mendapat bantuan sejak tahun 2013, merasa beruntung karena dulu sempat merasakan mekanisme yang lama, yakni ditangani langsung oleh LPSK.
"Dulu
saya dirujuk ke rumah sakit yang terbagus. Kami selalu didahulukan oleh
perawat. Saya seolah diperlakukan seperti menteri lho, Mas," kata
Bedjo.
Bedjo ingin LPSK kembali menerapkan mekanisme lama. Meski demikian, ia tetap mengapresiasi LPSK sebagai lembaga yang memberi perhatian secara konkret lewat bantuan medis dan psikologis.
LPSK merupakan lembaga yang ditunjuk untuk memberikan pendampingan rehabilitasi medis kepada para korban politik 1965.
"Hasil evaluasi kami yaitu kalangan yang membutuhkan dengan anggaran yang ada itu jomplang," tutur Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu di kantornya di Jakarta, Rabu (29/3).
Keterbatasan anggaran disebabkan kebijakan pemangkasan anggaran dari pemerintah pada tahun 2016.
Pada 2016, LPSK mendapatkan anggaran Rp67 miliar, sedangkan tahun ini mencapai Rp75,9 miliar. Dana itu jauh turun dibandingkan dengan anggaran pada 2015 yakni Rp160 miliar.
Hal tersebut membuat LPSK mengubah mekanisme pemberian bantuan, yaitu dengan mementingkan kuantitas daripada kualitas.
"Kalau (mekanisme) enggak diganti, enggak akan ada lagi orang baru yang dapat (bantuan). Memang ada kualitas pelayanan menurun, tapi itu demi korban yang lain agar mendapat haknya,"kata Edwin.
LPSK juga bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk mengatasi masalah yang terjadi.
Lewat mekanisme tersebut, LPSK bisa menyerahkan korban yang telah enam bulan mendapat pendampingan kepada BPJS Kesehatan. Sebelumnya, pendampingan dan pelayanan khusus dari LPSK tidak mengenal batasan waktu.
Sistem Kontrak
Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) tahun 1965-1966 Bedjo Untung mengatakan ada penurunan pelayanan kesehatan dari LPSK. Jika sebelumnya pelayanan tidak menggunakan sistem kontrak, sekarang dilakukan secara kontrak.
"Pertama dikontrak 6 bulan, lalu diperpanjang 6 bulan. Diperpanjang 6 bulan lagi. Setelah itu korban dialihkan ke BPJS Kesehatan," kata Bedjo kepada CNNIndonesia.com.
Apalagi, kata Bedjo, ada beberapa korban yang seolah dipersulit puskesmas saat meminta rujukan untuk berobat ke rumah sakit.
Bedjo, yang mengaku mendapat bantuan sejak tahun 2013, merasa beruntung karena dulu sempat merasakan mekanisme yang lama, yakni ditangani langsung oleh LPSK.
Bedjo ingin LPSK kembali menerapkan mekanisme lama. Meski demikian, ia tetap mengapresiasi LPSK sebagai lembaga yang memberi perhatian secara konkret lewat bantuan medis dan psikologis.
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20170329152105-20-203486/lpsk-kekurangan-dana-untuk-bantu-pengobatan-korban-65/
0 komentar:
Posting Komentar