Yudi Rakhman, Eli Kamilah | Senin, 20 Mar 2017 08:18 WIB
Kuburan Massal 65/66. (Foto: KBR/Yudha S.)
"Berdasarkan laporan si A ini adalah kuburan massal korban 1965 atau 1948. Nanti itu kita sampaikan kepada misalnya pemerintahan desa untuk menjaga itu"
Jakarta- Komisi Hak Asasi Manusia akan mengecek keberadaan kuburan massal korban pelanggaran 1965 dan 1958. Menurut Anggota Komnas HAM Siti Noor Laila, pengecekan di lapangan untuk mengetahui kebenaran laporan yang masuk.
Kata dia, setelahnya Komnas HAM akan memberikan surat keterangan kepada pihak yang berwenang agar menjaga lokasi yang diduga kuburan massal tersebut.
"Yang paling memungkinkan membuat surat keterangan bahwa berdasarkan pengaduan si A atau berdasarkan laporan si A ini adalah kuburan massal korban 1965 atau 1948. Nanti itu kita sampaikan kepada misalnya pemerintahan desa untuk menjaga itu, misalnya begitu, atau kepolisian setempat. Atau nanti kita lihat siapa yang diberi mandat oleh Komnas HAM," jelas Anggota Komnas HAM Siti Noor Laila kepada KBR, Minggu (19/3/2017).
Anggota Komnas HAM Siti Noor Laila menambahkan, untuk tahap verifikasi, Komnas HAM sudah meminta kepada Kejaksaan Agung agar melakukan verifikasi dan menggali kuburan massal tersebut. Namun hingga kini, Kejaksaan Agung tidak pernah turun ke lapangan dan memverifikasi lokasi yang diduga kuburan massal tersebut.
Anggota Komnas HAM Siti Noor Laila menambahkan, untuk tahap verifikasi, Komnas HAM sudah meminta kepada Kejaksaan Agung agar melakukan verifikasi dan menggali kuburan massal tersebut. Namun hingga kini, Kejaksaan Agung tidak pernah turun ke lapangan dan memverifikasi lokasi yang diduga kuburan massal tersebut.
"Itu harus ada perintah dari Kejaksaan Agung terkait pembongkaran kuburan. Sejauh Kejagung tidak memberikan perintah, Komnas HAM tidak bisa melakukan pembongkaran kuburan. Mungkin dengan keterbatasan kewenangan, apakah mungkin Komnas HAM mengeluarkan surat keterangan pihak siapa yang nantinya surat keterangan itu kepada kepala desa atau pemerintah terkait untuk menjaga itu sampai nanti ada perintah dari Kejaksaan Agung," katanya.
Siti mengklaim sudah menindaklanjuti laporan kuburan massal tersebut. Bahkan, Komnas HAm sudah membawa laporan tersebut dalam rapat di Kantor Menkopolhukam.
Siti mengklaim sudah menindaklanjuti laporan kuburan massal tersebut. Bahkan, Komnas HAm sudah membawa laporan tersebut dalam rapat di Kantor Menkopolhukam.
"Kalau menindaklanjuti ke Kejaksaan Agung sudah dilakukan termasuk dengan Menkopolhukam waktu itu masih pak Tedjo, sudah dikoordinasikan. Inikan belum ada kesamaan, ada sebagian yang bisa menerima dan melakukan rekonsiliasi. Ada yang sebagian meminta proses yudisial. Keinginan pemerintah dalam kasus 1965 maunya rekonsiliasi," ujarnya.
Sebelumnya Komnas HAM dituding enggan membuka penyelidikan baru soal kasus pembunuhan massal 1965-1966. Penyelidikan baru itu, kata Aktivis Indonesia People's Tribunal (IPT) 1965, Harry Wibowo, didasarkan pada laporan 120an kuburan massal kepada Komnas, 2 Mei tahun lalu. Namun hingga kini tidak ada niat lembaga itu untuk menindaklanjuti dan melakukan perlindungan terhadap kuburan massal tersebut.
Harwib mengaku heran dengan sikap diam Komnas HAM, padahal pengadilan awal soal pengungkapan kebenaran tragedi 65 berada dalam wewenangnya.
"Kesimpulannya adalah komnas Ham tidak mau membuka penyelidikan lanjutan dan proteksi kuburan massal yang merupakan kewenangan di bawah UU Nomor 26 tentang pengadilan HAM," ungkapnya.
Harwib sudah menjalin dialog berkali-berkali soal penyelesaian kasus 65-66 dan bagaimana tindaklanjut dari rekomendasi pengadilan IPT 65 di Den Hag Belanda, 10-13 November 2015. Dalam rekomendasinya disebutkan negara harus bertanggungjawab atas berbagai kejahatan kemanusian, termasuk kemungkinan terjadinya Genosida. Namun, pertemuan-pertemuan itu nihil.
"Kami melakukan advokasi, dan komunikasi, dengan Komnas Ham, Istana, Watimpres, Lemhanas, kami berdialog terus, tapi tidak ada niatan untuk penyelesaian itu," tuturnya.
Para penyintas baik korban, maupun sahabat IPT, tutur Harwib juga menyesalkan langkah pemerintah yang menjawab desakan korban dengan pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN). DKN hanya memanipulasi langkah rekonsiliasi dan menghilangkan unsur pengungkapan kebenaran.
Senada dengan Harwib, Dolorosa Sinaga yang merupakan Panitia IPT 65, menyebut negara tak punya nyali untuk memgungkap tragedi 65. Padahal berbagai rekomendasi dan upaya sudah dilakukan, semisal IPT dan simposium 65 menunjukan ada kejahatan kemanusiaan.
Dia pun memprotes hasil rekomendasi simposium di Aryaduta, yang hingga kini tidak dibuka ke publik.
Itu Sebab, ujar Dolorosa, akan menggelar Kongres IPT 65. Kongres ini untuk menanggapi kebungkaman dan keenggan pemerintah dalam pembantaian massal itu. Kongres yang rencananya digelar tahun ini tetap akan mendesak negara bertanggung jawab merekonsiliasi para korban politik 65/66
"Untuk itulah kami berkumpul dan sepakat untuk meneruskan perjuangan ini dalam organisasi yang lebih besar, yakno Kongres IPT 65, yakni pertemuan akbar yang akan menyatakan kepada negara, yang menyatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia mendesak negara bertanggungjawab," ujarnya.
"Setelah simposium, negara belum berani mempublikasikan kepada publik apa rekomendasinya, mereka tidak mau membuka itu," tuturnya di Komnas Perempuan Jakarta.
Dolorosa menambahkan sebagai langkah awal, kongres akan menghimpun berbagai masukan dari sembilan daerah di Indonesia soal penyelesaian 65. Salah satunya di Semarang, Banda Aceh dan Ambon.
"Prakongres tujuannya adalah untuk memperoleh masukan yang substansial dari setiap kota," ungkapnya.
Sebelumnya Komnas HAM dituding enggan membuka penyelidikan baru soal kasus pembunuhan massal 1965-1966. Penyelidikan baru itu, kata Aktivis Indonesia People's Tribunal (IPT) 1965, Harry Wibowo, didasarkan pada laporan 120an kuburan massal kepada Komnas, 2 Mei tahun lalu. Namun hingga kini tidak ada niat lembaga itu untuk menindaklanjuti dan melakukan perlindungan terhadap kuburan massal tersebut.
Harwib mengaku heran dengan sikap diam Komnas HAM, padahal pengadilan awal soal pengungkapan kebenaran tragedi 65 berada dalam wewenangnya.
"Kesimpulannya adalah komnas Ham tidak mau membuka penyelidikan lanjutan dan proteksi kuburan massal yang merupakan kewenangan di bawah UU Nomor 26 tentang pengadilan HAM," ungkapnya.
Harwib sudah menjalin dialog berkali-berkali soal penyelesaian kasus 65-66 dan bagaimana tindaklanjut dari rekomendasi pengadilan IPT 65 di Den Hag Belanda, 10-13 November 2015. Dalam rekomendasinya disebutkan negara harus bertanggungjawab atas berbagai kejahatan kemanusian, termasuk kemungkinan terjadinya Genosida. Namun, pertemuan-pertemuan itu nihil.
"Kami melakukan advokasi, dan komunikasi, dengan Komnas Ham, Istana, Watimpres, Lemhanas, kami berdialog terus, tapi tidak ada niatan untuk penyelesaian itu," tuturnya.
Para penyintas baik korban, maupun sahabat IPT, tutur Harwib juga menyesalkan langkah pemerintah yang menjawab desakan korban dengan pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN). DKN hanya memanipulasi langkah rekonsiliasi dan menghilangkan unsur pengungkapan kebenaran.
Senada dengan Harwib, Dolorosa Sinaga yang merupakan Panitia IPT 65, menyebut negara tak punya nyali untuk memgungkap tragedi 65. Padahal berbagai rekomendasi dan upaya sudah dilakukan, semisal IPT dan simposium 65 menunjukan ada kejahatan kemanusiaan.
Dia pun memprotes hasil rekomendasi simposium di Aryaduta, yang hingga kini tidak dibuka ke publik.
Itu Sebab, ujar Dolorosa, akan menggelar Kongres IPT 65. Kongres ini untuk menanggapi kebungkaman dan keenggan pemerintah dalam pembantaian massal itu. Kongres yang rencananya digelar tahun ini tetap akan mendesak negara bertanggung jawab merekonsiliasi para korban politik 65/66
"Untuk itulah kami berkumpul dan sepakat untuk meneruskan perjuangan ini dalam organisasi yang lebih besar, yakno Kongres IPT 65, yakni pertemuan akbar yang akan menyatakan kepada negara, yang menyatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia mendesak negara bertanggungjawab," ujarnya.
"Setelah simposium, negara belum berani mempublikasikan kepada publik apa rekomendasinya, mereka tidak mau membuka itu," tuturnya di Komnas Perempuan Jakarta.
Dolorosa menambahkan sebagai langkah awal, kongres akan menghimpun berbagai masukan dari sembilan daerah di Indonesia soal penyelesaian 65. Salah satunya di Semarang, Banda Aceh dan Ambon.
"Prakongres tujuannya adalah untuk memperoleh masukan yang substansial dari setiap kota," ungkapnya.
Kuburan Rusak
Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 menyebut ada puluhan kuburan massal korban 65/66 dalam kondisi rusak. Ketua YPKP 65, Bedjo Untung mengatakan kuburan itu tersebar di berbagai titik di Indonesia. Semisal di Purwodadi, Grobogan yang nisannya banyak yang hilang, dan di Pati yang ditemukan upaya penggalian ilegal terhadap makam-makam tersebut.
"Di Purwodadi yang laporan dari Nursyahbani, ditemukan kuburan massal di hutan jati itu sudah hilang. Ini satu bukti ada upaya negara untuk menghilangkan jejak," ungkapnya kepada KBR di Gedung Komnas Perempuan Jakarta, Minggu (19/3/2017).
Bedjo menambahkan, tak hanya kuburan yang rusak, banyak tempat yang menjadi bukti tragedi 65, yakni kamp kerja paksa, juga sudah berubah bentuk dan fungsinya. Tempat-tempat itu, kata Bedjo kini berubah menjadi tempat wisata, pertokoan dan juga perhotelan.
Salah satu temuan baru kamp kerja paksa ini, ujar Bedjo berada di Tanggerang, Banten, Jawa Barat.
"Itu luasnya ada 115 hektar. Itu ada area 1 dan 2. Itu sudah berubah menjadi pertokoan, perkantoran dan hotel. Namun memang masih ada sawah di situ yang menjadi bukti," ujarnya.
Dia pun menyebut, 120an titik kuburan massal yang dilaporkan kepada Komnas HAM maupun Menkopolhukam, masih bisa bertambah. Laporan itu, ujar Bedjo merupakan data kuburan massal yang berada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali dan Sulawesi.
"120 titik yang saya laporkan itu ada ada di Jawa Barat, Sukabumi, Bandung. Magetan, Purwodadi, Bali dan Sulawesi. 122 itu baru titik awal, berikutnya sudah 130," ungkapnya.
"Di Purwodadi yang laporan dari Nursyahbani, ditemukan kuburan massal di hutan jati itu sudah hilang. Ini satu bukti ada upaya negara untuk menghilangkan jejak," ungkapnya kepada KBR di Gedung Komnas Perempuan Jakarta, Minggu (19/3/2017).
Bedjo menambahkan, tak hanya kuburan yang rusak, banyak tempat yang menjadi bukti tragedi 65, yakni kamp kerja paksa, juga sudah berubah bentuk dan fungsinya. Tempat-tempat itu, kata Bedjo kini berubah menjadi tempat wisata, pertokoan dan juga perhotelan.
Salah satu temuan baru kamp kerja paksa ini, ujar Bedjo berada di Tanggerang, Banten, Jawa Barat.
"Itu luasnya ada 115 hektar. Itu ada area 1 dan 2. Itu sudah berubah menjadi pertokoan, perkantoran dan hotel. Namun memang masih ada sawah di situ yang menjadi bukti," ujarnya.
Dia pun menyebut, 120an titik kuburan massal yang dilaporkan kepada Komnas HAM maupun Menkopolhukam, masih bisa bertambah. Laporan itu, ujar Bedjo merupakan data kuburan massal yang berada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali dan Sulawesi.
"120 titik yang saya laporkan itu ada ada di Jawa Barat, Sukabumi, Bandung. Magetan, Purwodadi, Bali dan Sulawesi. 122 itu baru titik awal, berikutnya sudah 130," ungkapnya.
Editor: Rony Sitanggang
Sumber: KBR.ID
0 komentar:
Posting Komentar