Aryono
Jum'at 17 Maret 2017 WIBSosialisasi hasil Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) 65 untuk mengedukasi masyarakat tentang kejahatan kemanusiaan pada 1965-1966.
Puluhan poster dipamerkan dalam pameran repro "Lorong Genosida 65-66" di kantor Komnas Perempuan, Jakarta, 17 Maret 2017. Pameran diadakan sebagai bagian dari acara "Jalan Berkeadilan bagi Penyintas" yang berlangsung 17-19 Maret 2017.
Foto: Nugroho Sejati/Historia.
Halaman tengah kompleks kantor Komnas HAM di Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat, tepatnya di depan beranda kantor Komnas Perempuan, disesaki instalasi replika karya perupa-perupa yang mengangkat tema peristiwa 1965. Sebagian besar adalah replika lukisan, karikatur, komik strip dan poster.
Replika-replika tersebut disusun membentuk lorong dengan beratap karung goni. Pameran replika karya para perupa itu mengambil judul: Lorong Genosida 65-66.
“Kami mengumpulkan replika-replika karya para perupa, lebih dari 35 seniman, yang bertema masalah 65. Paling senior adalah lukisan para perupa dari Sanggar Bumi Tarung. Kami memilih menampilkan replika karena masalah tempat yang terbatas,” ujar perupa Andreas Iswinarto, kurator pameran.
Pameran replika karya seni itu menyertai kegiatan bertajuk “Jalan Berkeadilan bagi Penyintas” yang merupakan kerja bareng antara IPT 65, Komnas Perempuan dan YLBHI. Kegiatan tersebut berlangsung selama tiga hari, 17-19 Maret 2017, diisi acara peluncuran buku, diskusi seputar penyelesaian masalah 1965, pemutaran film, aksi seni, dan ditutup dengan Deklarasi Latuharhary.
“IPT 65 yang digelar di Den Haag pada 2015 silam, yang dipimpin Zak Yacoob, menyimpulkan bahwa rezim Orde Baru saat itu bertanggung jawab dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Dan salah satu butir putusan terakhir menyatakan, tidak tertutup kemungkinan untuk melakukan penyelidikan lebih jauh atas kejahatan kemanusiaan oleh rezim Orde Baru. Di sini kita mengadvokasi dan mengedukasi lebih lanjut kepada masyarakat tentang apa yang terjadi pada tahun 1965-1966,” ujar Harry Wibowo, salah satu panitia kegiatan tersebut.
Meski ditingkahi hujan deras dan petir yang menyambar, para peserta yang terdiri dari para penyintas yang sudah berusia lanjut, aktivis HAM, seniman, sejarawan, dengan tekun mengikuti acara demi acara. Pada kesempatan itu, panitia menyiarkan secara langsung diskusi serupa yang dilakukan di Semarang sebagai bagian dari kegiatan
“Jalan Berkeadilan bagi Penyintas.”
“Hasil IPT 65 itu kami sosialisasikan juga di sembilan kota lain di Indonesia. Seperti hari ini, kegiatan sosialisasi dan diskusi juga dilakukan di Semarang, dan disusul delapan kota lain. Tentu kami memilih kota yang memiliki singgungan dengan kejadian 65, dan pasti memiliki pengalaman yang berlainan. Dalam roadshow nanti, kami mencoba mengumpulkan kembali informasi berdasarkan pengalaman yang dialami para penyintas di masing-masing kota saat terjadi tragedi 65 silam,” terang perupa Dolorosa Sinaga.
Lebih jauh, sambung Dolorosa, kegiatan ini adalah upaya untuk mengingatkan pemerintah mengenai penyelesaian kejahatan kemanusiaan atas peristiwa 1965 dan pertangunggjawaban negara.
Selain pembukaan, acara sore tadi juga diisi oleh pembacaan cerpen oleh sastrawan Martin Aleida berjudul “Surat Tapol Kepada TKW Cucunya.” Pada malam harinya diadakan pula peluncuran dua buku berjudul Final Report of The International People's Tribunal on Crimes Against Humanity in Indonesia 1965 dan Dari Beranda Tribunal.
“Buku Final Report itu berisi dakwaan, putusan IPT 65, lalu buku Dari Beranda Tribunal berisi bunga rampai pengalaman dari kami yang terlibat dalam IPT 65, semacam di balik layarnya IPT 65. Dan satu lagi nanti akan ada booklet yang berisi ilustrasi keputusan-keputusan dalam IPT 65. Buku-buku itu nanti dijualbelikan secara bebas,” pungkas Dolorosa.
Tak lupa, Dolorosa pun mengingatkan bahwa acara tiga hari itu adalah kegiatan pemanasan atau pra kongres sebelum dihelat Kongres IPT 65 pada September mendatang.
http://historia.id/modern/mengingatkan-negara-atas-peristiwa-1965
0 komentar:
Posting Komentar