Satu argumen yang menarik untuk dibahas berasal dari Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zein. Sebagai seorang figur dalam Angkatan Darat Indonesia sedari masa bakti Orde Baru, posisinya jelas mendukung penyitaan buku berhaluan "kiri" yang dilaksanakan oleh tentara. Tidak lain berlandaskan pada trauma dan ketakutan terhadap kebangkitan Partai Komunisme Indonesia (PKI) dan aturan-aturan hukum yang melarang penyebaran buku "kiri" di tempat umum. Namun, tidak dengan universitas yang secara terang menjadi satu-satunya tempat yang sah bagi Kivlan Zein bagi peredaran dan pengajaran buku-buku tersebut.
Tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana universitas di Indonesia mampu menjadi pemantik bagi peredaran dan pengajaran buku-buku berhaluan "kiri"? Bagaimana pula orientasi keilmuan universitas di Indonesia dalam membincangkan dan mengenalkan gagasan "kiri" yang dikenal sebagai gagasan yang kritis pada kekuasaan? Usaha menjawab pertanyaan tersebut dilakukan dengan penelusuran pada orientasi keilmuan era Orde Baru, terutama sekali keilmuan sosial yang menjadi salah satu basis penting bagi legitimasi kebijakan pada masa jabatan Presiden Soeharto.
Orientasi Ilmu Sosial Orde Baru
Hanneman Samuel dalam Genealogi Kekuasaan Ilmu Sosial Indonesia dengan terang membagi orientasi keilmuan sosial Indonesia dalam dua zaman. Pertama adalah zaman kolonialisme Hindia Belanda yang berada di bawah kuasa lembaga KITLV (Koninklijk Instituut Vor Tall-, Land- En Volkenkunde Van Nederlandsch- Indie) dengan orientasi keilmuan Indologi. Salah dua figur penting dalam pengembangan indologi adalah Snouck Hurgronje dalam kajian politik Islam dan J. H. Boeke dalam kajian dualisme ekonomi. Kedua adalah zaman pasca Kemerdekaan yang berkiblat pada Modernisme Amerika Serikat yang diusung oleh para ilmuwan sosial generasi awal Indonesia hasil didikan beasiswa tiga universitas terkemuka: Cornell University, Yale University, dan Massachusetts Institute of Technology. Hakikat kedua orientasi keilmuan tersebut sama: melayani kekuasaan rezim.
Orientasi Modernisme Amerikalah yang senyatanya masih bercokol kuat dalam tradisi pemikiran ilmu sosial Indonesia hari-hari ini. Dua hal yang menjadi fondasi bagi orientasi keilmuan tersebut adalah konteks kelahiran dan gagasan tekstual beserta praktik yang diwacanakan. Pertama adalah konteks kelahiran ilmu sosial modern yang, sebagaimana dijelaskan oleh Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae dalam kata pengantar bagi Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, berasal dari Perang Dingin sebagai upaya Amerika Serikat membendung laju gagasan Komunisme di Asia Tenggara secara umum dan Indonesia khususnya.
Kedua adalah gagasan tekstual yang diwacanakan oleh generasi awal ilmuwan sosial Indonesia yang menganut cara pandang Fungsionalisme dalam tradisi Talcott Parsons yang pada tahun 60-an hingga 70-an sedang menjadi teoritisi kanon dalam ilmu sosial global. Tesis dasar yang ditawarkan adalah bentuk-bentuk keharmonisan dalam setiap lembaga publik melalui konsep AGIL (Adaptation, Goal, Integration, dan Latency). Gagasan tersebut memuncak pada era Orde Baru melalui orientasi ideologis keilmuan sosial yang disebut oleh Ariel Heryanto dalam Kiblat dan Beban Ideologis Ilmu Sosial Indonesia sebagai Pembangunanisme (Developmentalism).
Geger Riyanto dalam Selo Soemardjan Sang Penerjemah: Subjektivitas dalam Asal-Usul Cara Berpikir Sosiologis di Indonesia menjelaskan posisi generasi ilmuwan sosial awal, yaitu Selo Soemardjan yang memiliki andil besar dalam mengenalkan gagasan Modernisme Amerika. Berkat Selo Soemardjan, orientasi keilmuan sosial yang lekat dengan Pembangunanisme Orde Baru benar-benar tertanam kuat bertahun-tahun. Dikarenakan tidak saja menjadi dasar kurikulum di beberapa universitas awal, juga mampu mencapai pelajaran formal di jenjang sekolah hingga saat ini.
Puncak dari orientasi keilmuan tersebut adalah lahirnya birokratisasi ilmu sosial dan usaha-usaha normalisasi kampus. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada era Orde Baru didaulat sebagai lembaga yang bertujuan untuk melakukan legitimasi kebijakan pemerintahan. Siasat yang dilakukan adalah dengan mendudukkan kalangan akademisi yang berasal dari beberapa universitas sebagai pemangku jabatan struktural di LIPI. Sedangkan normalisasi kampus bertujuan untuk mengerdilkan gagasan ilmu sosial agar tidak melakukan penentangan pada kebijakan pemerintah melalui pembentukan pusat studi yang berpaku pada landasan ilmu pengetahuan yang objektif, netral, universal, dan solutif tentunya.
Pertautan yang sempurna antara konteks kelahiran dan gagasan tekstual berikut praktik-praktik yang dihasilkan adalah melahirkan sentimen anti-Komunisme sebagai salah satu wujudnya. Pemerintahan Orde Baru dengan sukses membendung laju gagasan Komunisme yang dilekatkan pada masa Demokrasi Terpimpin, sekaligus juga memberangusnya habis para penganutnya melalui tindak kejahatan kemanusiaan pada tahun 1965 hingga 1966 yang dibuktikan secara detail dalam Laporan Akhir Pengadilan Rakyat Internasional 1965. Posisi ilmu sosial jelas luruh dalam ideologi Pembangunanisme, bahkan menjadi alat legitimasi kebijakan Orde Baru.
Perdebatan dalam tayangan Mata Najwa edisi PKI dan Hantu Politik secara tegas membuktikan satu hal penting: bahwa ilmu sosial Indonesia saat ini belumlah mampu lepas dari cengkeraman Orde Baru. Karena senyatanya, meskipun terbilang lebih sah bagi perkembangan gagasan "kiri" dalam pandangan Kivlan Zen, universitas tidak serta merta mampu mengakomodasi dan mengembangkan gagasan keilmuan secara kritis. Malah sebaliknya, justru mewariskan dan melegitimasi sentimen anti-Komunisme yang sudah dibangun semenjak kekuasaan Orde Baru hingga saat ini melalui kurikulum pengajaran mata kuliah dengan kajian teoritik yang masih saja berkutat pada cara pandang Modernisme Amerika Serikat.
Tidak mengejutkan apabila penyitaan buku-buku berhaluan "kiri" masih akan terus berlanjut sebagai warisan paling gamblang dari ilmu sosial khas Orde Baru. Juga, narasi sejarah seputar gagasan Komunisme berikut nalar kelembagaannya tetap menjadi hantu politik yang masih saja "gentayangan demi kepentingan" kontestasi Pemilu 2019. Hantu politik yang turut lesap dalam stigma buruk setiap generasi tua hingga anak muda saat ini yang hampir mustahil memahami politik sejarah dan sejarah politik Indonesia secara mendalam dan kritis.
*Hartmantyo Utomo mahasiswa jurusan Sosiologi Fisipol UGM
Sumber: Detik.Com