Sabtu, 12 Januari 2019

Jaringan Sisa Orde Baru


Mulanya diorganisasi pemerintah lewat tentara. Pasca-Orde Baru kelompok preman kehilangan patron dan bisa menentukan nasibnya sendiri: bertransaksi dengan penguasa.

Nur Janti | 12 Januari 2019

M Haikal (moderator) dan Ian Douglas Wilson dalam bedah buku Marjin Kiri Politik Jatah Preman di Kios Ojo Keos, Jumat, 11 Januari 2019. (Nur Janti/Historia).

PADA 1970-an, geng-geng remaja seperti Berlan dan Siliwangi Boys berkeliaran dan tak jarang melakukan kekerasan di Jakarta. Risih dengan kerusuhan yang mereka buat, Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) Jenderal Sumitro memerintahkan agar kelompok-kelompok dan geng remaja dibubarkan.

Namun, ada udang di balik batu. Pembubaran kelompok itu rupanya tak semata untuk mengurangi tingkat kejahatan. Kopkamtib menggunakan kelompok-kelompok tersebut sebagai alat penguatan kekuasaan negara.

Kelompok baru kemudian bermunculan, seperti Pemuda Panca Marga, Angkatan Muda Siliwangi, Ikatan Pemuda Karya, dan Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia. Semua organisasi masa (ormas) itu punya hubungan erat dengan mliter dan Golkar. Sebagian kelompok baru itu muncul di bawah naungan Ali Murtopo, intel kepercayaan Soeharto yang menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh kriminal.
“Orde baru bekerja dengan sistem jatah preman. Mereka mengelola konflik yang hanya mampu dipecahkan oleh pemerintah sendiri. Negara beserta perangkatnya menciptakan ancaman lewat para preman sembari memberi perlindungan pada warga negara asalkan setia dan patuh,” kata Ian Douglas Wilson dalam bedah buku Marjin Kiri Politik Jatah Preman di Kios Ojo Keos, Jumat, 11 Januari 2019 
Murtopo menugaskan preman-preman binaannya untuk memastikan Golkar mendapat perolehan suaran pada pemilu 1971 dan 1977. Para preman binaan bekerja dengan menjalankan konvoi kampanye yang tak jarang berujung kekerasan. Dengan begitu, pemerintah punya kesempatan unjuk kebolehan dalam mengendalikan ancaman. Para preman juga ditugaskan untuk mengintimidasi peserta pemilu agar memilih Golkar.

Preman, jagoan, atau ormas selalu muncul dalam sejarah Indonesia sejak era kolonial sampai sekarang. Di masa Orde Baru, kelompok masyarakat itu digunakan sebagai alat pengendali masyarakat. 
“Karena kalau di kampung, kekuasaan negara tidak terasa. Tapi (kekuasaan, red.) itu coba dihadirkan lewat relasi sosial masyarakat dengan preman, jagoan, dan kelompok ormas,” lanjut Wilson.
Wilson mencontohkannya dengan Siskamling (sistem keamanan lingkungan). Siskamling, menurutnya, punya konsep mengajak warga untuk mengawasi lingkungannya sendiri. Selain itu juga merangkul jagoan agar menjadi bagian dari polisi lokal. Lewat para preman atau jagoan yang menjadi polisi lokal itulah kekuasaan negara hadir di kampung-kampung.

Meski menggunakan preman dalam sistem pengendalian masyarakat, Orde Baru juga menjaga kekuasaanya dengan operasi Petrus yang menimbulkan keterkejutan di masyarakat. Menurut Wilson, lewat operasi itu negara memberangus keberadaaan preman yang punya potensi untuk melawan sekaligus membungkam jaringan preman yang dianggp menjadi ancaman negara.
 “Petrus digunakan sebagai shock theraphy, Soeharto mengakui itu. Alasan resminya untuk menghapus kriminalitas. Tetapi dari segi lain, ada pola-pola organisasi dan jaringan yang dianggap mengancam oleh negara,” kata Wilson pada Historia.
Runtuhnya Orde Baru beserta turunnya para tentara pembina preman mengubah pola kelompok preman. Bila semula mereka dibina oleh tentara dan punya peran ideologis untuk melawan sesuatu yang dianggap subversif, mereka kemudian menentukan jalurnya sendiri. Figur preman berubah, preman era Orde Baru berbeda dari era sekarang.

Krisis moral, meningkatnya kekerasan dan kejahatan menguntungkan kelompok seperti Forum Betawi Rempug dan Front Pembela Islam untuk menamplkan diri sebagai ormas yang menyediakan perlindungan bagi kaum miskin kota.
“Forum Betawi Rempug sangat radikal. Mereka merasa sebagai warga asli Jakarta yang terpinggirkan oleh proses modernisasi. Setelah Orde Baru mereka ingin merebut apa yang mereka anggap hak mereka,” kata Wilson. FBR misalnya, lanjut Wilson, terlibat konflik dengan pedagang-pedagang Madura dan Flores atau siapapun yang berpotensi menguasai ekonomi lokal. Mereka juga mengorganisasi pungutan-pungutan liar pada para pedagang atau tukang parkir.
Pola serupa juga dilakukan oleh FPI. Mereka menawarkan perlindungan pada konsep umat dari demokrasi yang mereka anggap kebablasan. 
“Mereka menggunakan konsep ancaman terhadap kemurnian umat untuk melakukan pemeresan secara moral dan mengintimidasi. Inilah pola yang muncul pascareformasi untuk melegitimasi kekuasaan mereka secara lokal,” kata Wilson.
Peran besar kelompok preman atau ormas saat ini terutama terlihat di sekitar pemilu atau pilkada pascareformasi. Kelompok ormas punya peran besar untuk memobilisasi massa, menjaring suara, dan mengumpulkan uang. Negara tak lagi bisa mengendalikan kelompok preman seperti di era Orde Baru.

Ketidakmampuan partai politik untuk menjaring dukungan di tingkat akar rumput menjadi keuntungan bagi kelompok preman atau ormas. Jaringan warisan Orde Baru ini sangat sadar untuk melakukan transaksi dan tawar-menawar dengan parpol.
“Semua bikin kontrak politik untuk dapatkan sesuatu, menjamin bisa menjaring sekian suara lewat jaringan-jaringan mereka. Ormas jadi alat yang menguntungkan bagi parpol untuk meraih kekuasaan. Model lama, dengan massa yang bisa memaksa dan efektif buat pemilu.” kata Wilson.
Sumber: Historia 

0 komentar:

Posting Komentar