Oleh: Haris Prabowo - 9 Januari 2019
Sukarno. FOTO/ Istimewa
PDIP kerap mengklaim sebagai pewaris marhaenisme. Lantas apa kata mereka ketika buku-buku Sukarno dirazia aparat?
Razia buku kembali terjadi. Kali ini di Padang, Sumatera Barat, Selasa (8/1/2019) sore. Beberapa pekan sebelumnya penyitaan buku-buku bertema kiri juga terjadi di Kediri, Jawa Timur.
Razia di Padang itu dilakukan oleh Koramil 01 Padang Barat-Padang Utara dan Kejaksaan Negeri Padang. Buku-buku yang ada di toko buku di kawasan Hos Cokroaminoto, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang itu mereka duga berpaham sekaligus menyebarkan komunisme—yang telah dilarang di Indonesia sejak 1966.
"Buku-buku ini diamankan karena terindikasi bermuatan paham komunis, sementara paham tersebut suda jelas dilarang di Indonesia," kata Komandan Koramil 01 Padang, Mayor Infanteri P Simbolon, seperti dikutip dari Antara.
Meski mengklaim merazia buku komunis, tapi jika dilihat dari judul-judulnya, pernyataan ini patut dikritisi. Di antara buku yang diambil paksa adalah buku-buku yang membahas Sukarno, presiden pertama RI. Buku Mengincar Bung Besar, misalnya, cuma membahas upaya pembunuhan terhadap Sukarno.
Ada pula buku Jasmerah. Isinya 'hanya' kumpulan pidato-pidato Sukarno.
Lantas apa sikap PDIP terhadap razia ini, mengingat pemikiran Sukarno—marhaenisme—diklaim sebagai landasan ideologis partai? Pun Ketua Umum PDIP selama 25 tahun terakhir, Megawati, adalah anak biologis Sukarno.
Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan Pusat (Badiklatpus) DPP PDIP Eva Kusuma Sundari mengatakan partainya mendukung penuh apa yang dilakukan oleh TNI dalam penyitaan buku di Padang, Sumatera Barat. Eva menilai segala hal yang bertentangan dengan Pancasila harus disita, termasuk komunisme hingga khilafah.
"Kami setuju dan mendukung penyitaan buku-buku yang terlarang. Tetapi setahu saya buku-buku bung Karno tidak ada satu pun yang berisi ajaran komunisme," kata Eva saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (9/1/2018) pagi.
Namun, kata Eva, penyitaan buku oleh TNI atau Polri harus sesuai prosedur. "Toh, sudah ada instrumennya," tambahnya.
Pernyataan Eva sebetulnya membingungkan karena hukum kita mengatur razia buku—atau pengamanan barang-barang cetakan secara sepihak—tak lagi diperbolehkan sejak keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2010 yang mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum.
Ketika itu MK memutuskan pelarangan buku musti lewat proses peradilan. Ada yang melapor, dan itu harus disertai pembuktian yang kuat.
"Tanpa melalui proses peradilan, merupakan proses eksekusi ekstra judisial yang tentu saja sangat ditentang di sebuah negara hukum," kata Maria Farida, salah satu hakim konstitusi ketika membacakan putusan, seperti dikutip dari BBC.
Pernyataan lebih tegas keluar dari Ketua DPP Bidang Perekonomian PDIP Hendrawan Supratikno. Dia menolak pelarangan buku. Dia menuding razia-razia yang terjadi belakangan ini semata upaya untuk menghidupkan kembali isu komunisme sebagai komoditas politik praktis. Ia juga mengatakan razia buku sebagai hal konyol.
"Generasi yang cerdas akan tertawa. Sebagai gerakan, komunisme sekarang sudah tidak menarik sama sekali," katanya kepada reporter Tirto.
Hendrawan sendiri mengatakan PDIP tak anti ideologi. Malah katanya dalam pendidikan partai, buku-buku yang ditulis atau tentang pemikiran para pendiri bangsa jadi materi ajar. "Calon-calon pemimpin bangsa harus baca buku karya-karya besar para pendiri bangsa seperti bung Karno, bung Hatta, Yamin, Sjahrir, Tan Malaka."
Sejarawan sekaligus Pemimpin Redaksi Majalah Historia, Bonnie Triyana, menilai penyitaan buku oleh aparat merupakan tindakan yang aneh dan serampangan.
"Yang jelas ini tindakan yang aneh dan serampangan. Mereka masih saja berlindung dengan diksi 'diduga' atau 'dugaan' untuk menyita buku. Institusi negara seperti TNI harusnya hati-hati," katanya saat dihubungi reporter Tirto.
Salah buku yang disita, Mengincar Bung Besar, adalah buku yang diterbitkan oleh Historia. Penyitaan buku ini jadi bukti bahwa pada dasarnya alasan penyitaan adalah rasa takut yang berlebihan, bukan berdasarkan telaah ilmiah.
"Ketahuan mereka enggak baca. Padahal kata pengantarnya [dari] bu Megawati," tambahnya.
Bonnie mengatakan apa yang dilakukan TNI dengan menyita buku sama dengan mencederai pemikiran pemimpin bangsa yang berujung jadi sikap anti-intelektual.
"Kalau pun memang mengandung paham komunisme/marxisme, ya tidak salah untuk dipelajari. Why not? Kecuali jika intelijen menemukan bahwa dampak dari buku tersebut bisa membikin revolusi, kerusakan dan pembunuhan di mana-mana."
Bonnie juga menilai penyitaan buku merupakan tindakan sia-sia di era keterbukaan informasi seperti sekarang.
"Semakin dilarang, anak muda akan semakin cari tahu. Sekarang sudah ada internet, e-book dan PDF di mana-mana, kecuali internet kita blok," katanya.
Razia di Padang itu dilakukan oleh Koramil 01 Padang Barat-Padang Utara dan Kejaksaan Negeri Padang. Buku-buku yang ada di toko buku di kawasan Hos Cokroaminoto, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang itu mereka duga berpaham sekaligus menyebarkan komunisme—yang telah dilarang di Indonesia sejak 1966.
"Buku-buku ini diamankan karena terindikasi bermuatan paham komunis, sementara paham tersebut suda jelas dilarang di Indonesia," kata Komandan Koramil 01 Padang, Mayor Infanteri P Simbolon, seperti dikutip dari Antara.
Meski mengklaim merazia buku komunis, tapi jika dilihat dari judul-judulnya, pernyataan ini patut dikritisi. Di antara buku yang diambil paksa adalah buku-buku yang membahas Sukarno, presiden pertama RI. Buku Mengincar Bung Besar, misalnya, cuma membahas upaya pembunuhan terhadap Sukarno.
Ada pula buku Jasmerah. Isinya 'hanya' kumpulan pidato-pidato Sukarno.
Lantas apa sikap PDIP terhadap razia ini, mengingat pemikiran Sukarno—marhaenisme—diklaim sebagai landasan ideologis partai? Pun Ketua Umum PDIP selama 25 tahun terakhir, Megawati, adalah anak biologis Sukarno.
Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan Pusat (Badiklatpus) DPP PDIP Eva Kusuma Sundari mengatakan partainya mendukung penuh apa yang dilakukan oleh TNI dalam penyitaan buku di Padang, Sumatera Barat. Eva menilai segala hal yang bertentangan dengan Pancasila harus disita, termasuk komunisme hingga khilafah.
"Kami setuju dan mendukung penyitaan buku-buku yang terlarang. Tetapi setahu saya buku-buku bung Karno tidak ada satu pun yang berisi ajaran komunisme," kata Eva saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (9/1/2018) pagi.
Namun, kata Eva, penyitaan buku oleh TNI atau Polri harus sesuai prosedur. "Toh, sudah ada instrumennya," tambahnya.
Pernyataan Eva sebetulnya membingungkan karena hukum kita mengatur razia buku—atau pengamanan barang-barang cetakan secara sepihak—tak lagi diperbolehkan sejak keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2010 yang mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum.
Ketika itu MK memutuskan pelarangan buku musti lewat proses peradilan. Ada yang melapor, dan itu harus disertai pembuktian yang kuat.
"Tanpa melalui proses peradilan, merupakan proses eksekusi ekstra judisial yang tentu saja sangat ditentang di sebuah negara hukum," kata Maria Farida, salah satu hakim konstitusi ketika membacakan putusan, seperti dikutip dari BBC.
Pernyataan lebih tegas keluar dari Ketua DPP Bidang Perekonomian PDIP Hendrawan Supratikno. Dia menolak pelarangan buku. Dia menuding razia-razia yang terjadi belakangan ini semata upaya untuk menghidupkan kembali isu komunisme sebagai komoditas politik praktis. Ia juga mengatakan razia buku sebagai hal konyol.
"Generasi yang cerdas akan tertawa. Sebagai gerakan, komunisme sekarang sudah tidak menarik sama sekali," katanya kepada reporter Tirto.
Hendrawan sendiri mengatakan PDIP tak anti ideologi. Malah katanya dalam pendidikan partai, buku-buku yang ditulis atau tentang pemikiran para pendiri bangsa jadi materi ajar. "Calon-calon pemimpin bangsa harus baca buku karya-karya besar para pendiri bangsa seperti bung Karno, bung Hatta, Yamin, Sjahrir, Tan Malaka."
Aneh dan Serampangan
Sejarawan sekaligus Pemimpin Redaksi Majalah Historia, Bonnie Triyana, menilai penyitaan buku oleh aparat merupakan tindakan yang aneh dan serampangan.
"Yang jelas ini tindakan yang aneh dan serampangan. Mereka masih saja berlindung dengan diksi 'diduga' atau 'dugaan' untuk menyita buku. Institusi negara seperti TNI harusnya hati-hati," katanya saat dihubungi reporter Tirto.
Salah buku yang disita, Mengincar Bung Besar, adalah buku yang diterbitkan oleh Historia. Penyitaan buku ini jadi bukti bahwa pada dasarnya alasan penyitaan adalah rasa takut yang berlebihan, bukan berdasarkan telaah ilmiah.
"Ketahuan mereka enggak baca. Padahal kata pengantarnya [dari] bu Megawati," tambahnya.
Bonnie mengatakan apa yang dilakukan TNI dengan menyita buku sama dengan mencederai pemikiran pemimpin bangsa yang berujung jadi sikap anti-intelektual.
"Kalau pun memang mengandung paham komunisme/marxisme, ya tidak salah untuk dipelajari. Why not? Kecuali jika intelijen menemukan bahwa dampak dari buku tersebut bisa membikin revolusi, kerusakan dan pembunuhan di mana-mana."
Bonnie juga menilai penyitaan buku merupakan tindakan sia-sia di era keterbukaan informasi seperti sekarang.
"Semakin dilarang, anak muda akan semakin cari tahu. Sekarang sudah ada internet, e-book dan PDF di mana-mana, kecuali internet kita blok," katanya.
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar