Sabtu, 19 Januari 2019
Foto: dok. detikcom
"Saya diperlakukan seperti binatang dengan ditampar, telapak kaki ditindih pakai kaki meja yang diduduki."
Pagi-pagi sekali, beberapa orang berpakaian preman
memasuki gedung Laboratorium Analis Kimia Fisika Pusat Universitas Gadjah Mada
(UGM), Yogyakarta. Mereka mencari seseorang bernama Bambang Isti Nugroho,
karyawan pengantar surat di kantor tersebut.
"Saya temui mereka. Salah seorang dari mereka bilang, 'Adik kamu yang di Semarang masuk rumah sakit'," ujar Isti menuturkan kisah yang terjadi tiga dasawarsa lalu kepada detikX di Jakarta, Selasa lalu.
Isti tak percaya omongan orang tersebut. Ia segera
mafhum, tamu-tamu tak diundang itu bukan bermaksud beramah tamah dengannya.
Beberapa minggu sebelumnya, seorang kawannya, Bambang Subono alias Bono, kena
ciduk 'petugas'.
"Saya sudah duga cepat atau lambat akan ikut tergigit," ujar lelaki kelahiran Yogyakarta, 58 tahun lalu, itu. Isti pasrah saja ketika digelandang ke luar gedung. Kekhawatirannya benar. Beberapa pria lainnya dengan pakaian loreng sudah menantinya.
Dengan segera Isti diminta menaiki sebuah mobil Toyota
Hardtop yang sudah menunggunya. Prajurit yang duduk di sampingnya mengikatkan
sehelai kain ke kepalanya untuk menutupi mata. Ia tak tahu akan dibawa ke mana.
Setelah beberapa waktu kemudian penutup matanya dibuka, Isti baru menyadari
dirinya berada di sebuah markas militer. Di gedung itu, markas Komando Distrik
Militer 0734 Yogyakarta, sudah ada juga kawannya, Bono.
Bono, yang kala itu berusia 29 tahun, ditangkap di Sport
Hall Kridosono, pada 9 Juni 1988, saat pertunjukan Teater Alam. Mahasiswa
Jurusan Sosiologi UGM tersebut tertangkap sedang menjual beberapa stensilan
buku novel karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Rumah Kaca dan Gadis
Pantai. Sehari sebelum Subono ditahan, Jaksa Agung Sukarton Marmosujono baru
meneken surat keputusan berisi pelarangan atas buku Gadis Pantai.
Rezim Presiden Soeharto sangat alergi terhadap
karya-karya Pram. Semua karya Pram yang diterbitkan selepas dibebaskan dari
Pulau Buru dicap barang haram untuk dibaca. Bumi Manusia yang dicetak
pada Agustus 1980 diikuti Anak Semua Bangsa, oleh Kejaksaan Agung diberi
stempel terlarang pada 29 Mei 1981. Novel Jejak Langkah yang terbit
1985 peredarannya dinyatakan terlarang pada 1 Mei 1986. Kemudian diikuti
pelarangan Gadis Pantai. Semua novel sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat
itu dinilai sebagai upaya menyebarluaskan ideologi komunisme secara diam-diam.
Das Kapital, buku karya Karl Marx, 'bapaknya' komunisme
Foto: dok. Getty Images
Foto: dok. Getty Images
Pengakuan Bono dalam interogasi membawa militer pada nama
Isti. Bono memang aktif dalam Kelompok Studi Sosial Palagan, sebuah grup
diskusi yang didirikan Isti bersama dua kawannya, Ons Untoro dan Panji Patah.
Isti bukan lulusan UGM. Anak purnawirawan tentara itu mendaftar sebagai pegawai
di UGM dengan bekal ijazah sekolah menengah pertama (SMP). Namun ia disegani
kawan-kawan diskusinya, yang sebagian besar mahasiswa UGM, karena
pengetahuannya tentang sastra terbilang mumpuni.
Waktu-waktu lowongnya diisi dengan melahap segala macam
buku. Ia juga aktif mengikuti berbagai macam diskusi, baik di UGM maupun luar
kampus. Latar belakang itu membuat Isti Nugroho mampu menulis puisi, artikel
sastra, dan esai kritik sosial untuk sejumlah koran di Yogyakarta. Bahkan dia
menjadi editor rubrik sastra harian Masa Kini, Yogyakarya. Isti juga aktif
di beberapa kelompok teater.
"Saya sudah menulis naskah teater saat masih 17 tahun," ujarnya.
“Otot-ototnya keras seperti besi, sorot matanya tajam. Sampai sekarang Bono masih merinding kalau ingat orang ini."
Rekam jejaknya itu membuat Isti jadi sosok aktivis yang
masuk dalam radar aparat militer. Setelah ditahan, rumah Isti digeledah. Lebih
dari 100 judul buku dan sejumlah naskah drama disita.
"Perpustakaan saya dihabisi. Tak tersisa sehelai kertas pun," katanya.
Buku yang diambil di
antaranya, The Cherry Orchad karya pengarang drama Uni Soviet Anton
Chekhov, Anna Karenina karya Leo Tolstoy, dan Doctor Zhivago karya
Boris Pasternak.
Buku-buku itu kemudian dipakai sebagai barang bukti untuk
menjeratnya sebagai orang yang condong pada ideologi Marxis, tak peduli lagi
apa sebenarnya isinya.
"Hanya karena buku-buku itu dikarang sastawan dari Uni Soviet," ujar Isti sambil tertawa.
Semasa menjalani
pemeriksaan, Isti mengaku mendapat berbagai macam bentuk siksaan.
"Saya diperlakukan seperti binatang dengan ditampar, telapak kaki ditindih pakai kaki meja yang diduduki."
Tak hanya itu, dalam beberapa minggu, setiap malam
Isti diinterogasi dalam sebuah bak berisi air dingin.
"Saya merasa dinginnya sampai ke sumsum tulang ketika direndam sampai terdengar azan Subuh."
Isti masih ingat salah seorang tentara yang
menginterogasinya, Letnan Sarjiman.
"Otot-ototnya keras seperti besi. Sorot matanya tajam. Sampai sekarang Bono masih merinding kalau ingat orang ini," kata Isti.
Dalam sebuah sesi
pemeriksaan, Sarjiman bertanya soal isi novel Bumi Manusia. Isti menjawab
novel itu bercerita tentang percintaan Minke dan Annelis. Seketika telapak
tangan Sarjiman mendarat dengan keras di kepalanya.
"Mereka baru puas kalau dalam jawaban saya itu ada kata-kata pertentangan kelas, keadilan, atau kritik terhadap penguasa."
Buku-buku sejarah soal PKI
Foto: dok. Detikcom
Foto: dok. Detikcom
Setahun setelah Bono dan Isti ditangkap, Bonar Tigor
Naipospos ditangkap di Jakarta. Bonar, yang biasa dipanggil Coki oleh
teman-temannya, ditangkap tentara setelah ikut demonstrasi menentang kenaikan
tarif dasar listrik di Jakarta. Menurut Kejaksaan Tinggi Yogyakarta, Coki
terlibat dalam kasus yang menjerat Bono dan Isti.
"Saya terseret perkara Bono dan Isti," ujar Coki kepada detikX. Pria lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM itu ditangkap intel Kodam Jaya, diinterogasi, lalu dibawa ke Yogyakarta
“Seseorang tidak bisa dihukum atas apa yang dipikirkannya."
Coki, berdasarkan pengakuan Bono dalam interogasi,
merupakan orang yang mendistribusikan buku-buku Pramoedya tersebut dari
penerbit Hasta Mitra. Coki, yang kini Wakil Ketua Setara Institute, dituduh
mendapat buku dari seorang karyawan penerbit yang bernama Kasto. Mereka bertiga
kemudian diadili dengan dijerat pasal-pasal antisubversi.
"Kami dicap menyebarkan paham komunisme dan membahayakan stabilitas nasional," ujar Coki.
Mereka bertiga masing-masing dituntut hukuman 10 tahun
penjara. Bono pada akhirnya divonis majelis hakim 7 tahun penjara, Isti Nugroho
8 tahun, dan Coki dapat jatah hukuman 8,5 tahun penjara. Coki mendapat hukuman
paling berat karena dinilai sebagai aktor intelektual dalam kasus itu.
Isti Nugroho, yang baru saja mementaskan pertunjukan
'Drama Sajak-sajak Rendra' di Taman Ismail Marzuki, mengatakan kasus yang
menimpanya itu harus menjadi pelajaran. Dalam sebuah negara demokratis ekspresi
pemikiran tidak bisa dipidana sepanjang tidak menganjurkan kekerasan.
Termasuk pemikiran yang dituangkan dalam sebuah buku.
"Seseorang tidak bisa dihukum atas apa yang dipikirkannya. Termasuk HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) misalnya," katanya.
Buku-buku karya Mao Tse-tung, pendiri Partai Komunis Tiongkok
Foto: dok. Getty Images
Foto: dok. Getty Images
Hanya sebulan setelah Jenderal Soeharto mulai menggilas
Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ditunjuk Presiden Sukarno sebagai Panglima
Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban pada Oktober 1965, pelarangan segala
macam buku yang berbau komunis dimulai. Buku karya-karya Pramoedya, yang aktif
di Lekra, lembaga kebudayaan yang punya hubungan dekat dengan PKI, turut
diberedel
Pada 30 November 1965, Kolonel Drs Setiadi
Kartohadikusumo, Pembantu Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan bidang Teknis
Pendidikan, mengeluarkan keputusan pelarangan 70 judul buku. Beberapa hari
kemudian, pelarangan itu berlanjut terhadap semua karya 87 pengarang yang
dianggap punya kaitan dengan PKI. Selain Pramoedya, penulis lain yang karyanya
diberangus keputusan Kolonel Setiadi di antaranya Utuy Tatang Sontani, Rivai
Apin, S. Rukiah, Sobron Aidit, Joebar Ajoeb, H.R. Bandaharo, dan Bakri Siregar.
Pelarangan buku ini terus berlanjut hingga bertahun-tahun
kemudian. Aktivis pemuda Soe Hok Gie menuliskan kritik atas pemberangusan buku
membabi buta saat itu.
"Hati saya menjerit, protes keras ketika teman-teman saya dari Jurusan Sastra Indonesia dilarang membaca karya H.B. Jassin. Ketika buku-buku Sjahrir diam-diam disingkirkan dari Universitas sehingga mahasiswa Sejarah tak bisa lagi membaca Renungan Indonesia dan Jalan Tak Ada Ujung (karya Mochtar Lubis)," Soe menulis kritik dalam Mimpi-mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa Tua.
Buku-buku itu dilarang, menurut Gie, bukan karena isinya
yang 'berbahaya', tapi karena pilihan politik penulisnya.
"Dulu atas nama Nasakom–sekarang atas nama Pancasila, Agama, dan Orde Baru," Gie menulis.
Soe Hok Gie, yang
meninggal saat mendaki Gunung Semeru, pada 19 Desember 1969, sebenarnya pernah
jadi 'lawan' orang-orang komunis. Dia dekat dengan orang-orang sosialis yang
jadi musuh PKI. Tapi dia mengkritik pelarangan buku Pramoedya.
"Bagi saya adalah sama buruknya melarang membaca buku Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis pada tahun 1965 dan melarang membaca buku Cerita dari Blora karya Pramoedya A. Toer."
Dari dulu sampai hari ini, komunisme dan segala hal yang
berbau, bahkan meski baunya hanya samar-samar sekalipun, termasuk buku, selalu
dicurigai hendak menyebarkan ideologi itu.Beberapa hari lalu, prajurit-prajurit
TNI di sejumlah tempat, di Kecamatan Pare, Kediri, Jawa Timur, juga di kota
Padang, Sumatera Barat, menyita beberapa buku dari lapak penjual buku. Dalihnya
kurang lebih seragam yakni buku-buku itu dianggap menyebarkan komunisme. Di
antara buku yang disita adalah Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan karya
Soe Hok Gie, Sukarno, Orang Kiri, Revolusi, dan G30S 1965 karya
sejarawan Ong Hok Ham, dan Mengincar Bung Besar – Tujuh Upaya Pembunuhan
Presiden Sukarno yang ditulis tim Historia.
Melarang buku sejarah soal PKI atau komunisme atau buku
soal apa pun di zaman internet ini sebenarnya agak sulit dimengerti. Semua
orang, asalkan punya kuota internet, dengan gampang membaca Das Kapital karya
'nenek moyangnya' komunisme, Karl Marx, atau Negara dan Revolusi karya
Vladimir Lenin atau surat terakhir yang ditulis gerilyawan Che Guevara kepada
Fidel Castro. Bahkan versi berbahasa Indonesia-nya sekalipun. Pada 2010,
majelis hakim Mahkamah Konstitusi sebenarnya sudah membatalkan kewenangan
Kejaksaan Agung dalam hal pelarangan dan penyitaan buku. Pelarangan buku,
menurut Mahkamah, mesti diputuskan lewat pengadilan.
"Kami amankan dulu, karena ini ada unsur PKI-nya. PKI sudah jelas dilarang," kata Komandan Koramil 01 Padang Barat-Padang Utara Mayor Inf. Parningotan Simbolon.
Bagi Buya Syafii
Maarif, alasan aparat merazia buku karena diduga menyebarkan komunisme tidak
tepat. Komunisme, kata Buya Syafii dikutip detikcom, tak perlu lagi
ditakuti.
"Komunis itu sudah jatuh di mana-mana, kenapa takut sama komunis? Komunisme itu sudah diarak ke museum sejarah, kenapa harus takut lagi?"
Redaktur/Penulis: Pasti
Liberti
Editor: Sapto Pradityo
Editor: Sapto Pradityo
0 komentar:
Posting Komentar