Kamis, 10 Januari 2019

Kenapa TNI Berkepentingan Mengawetkan Hantu Komunisme?


10 Januari 2019

TNI mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi dan tetap menyita ratusan buku kiri atas dugaan penyebaran paham komunisme. Aksi sweeping itu diyakini digerakkan kepentingan tertentu yang berpangkal dari konflik internal.


Syahdan pada dekade 1970an Indonesia mengalami kelangkaan buku. Tak tanggung-tanggung UNESCO mencatat betapa Indonesia di tahun 1973 tidak menerbitkan satupun buku baru. Perkaranya adalah pencabutan subsidi kertas oleh pemerintahan Orde Lama sejak 1960an yang dilanjutkan Soeharto dan dibuat untuk memaksa penerbit dan media agar tunduk pada ideologi pemerintah kala itu.

Pemberangusan karya tulis intelektual bukan hal baru di Indonesia. Sejak dekade 1970an, rejim Soeharto tercatat melarang 179 judul buku. Meski mewakili dua kutub ideologi yang berbeda, kebijakan memberangus 'pemikiran menyimpang' milik kedua rejim mengandalkan aktor yang sama, yakni tentara.
Dan sejarah berulang pada Desember 2018 ketika TNI menyita ratusan buku di Kediri. Dalam kolom editorial Tempo, tokoh pers senior Atmakusumah Astraatmadja mengeluhkan betapa "masyarakat kita sendiri seolah-olah sedang terisolasi di negeri asing dari perkembangan intelektual di Tanah Air-nya sendiri," tulisnya.
Bonnie Triyana, Kepala Redaksi Majalah Historia yang bukunya ikut dilarang, mengecam langkah TNI karena "mencederai peradaban demokrasi di Indonesia," kata dia kepada Deutsche Welle. Bersama awak redaksi Historia, dia menerbitkan tiga buku tentang Soekarno, antara lain sejarah upaya asanisasi presiden yang ikut dilarang TNI.
"Di mana ajaran komunismenya? Kita juga bingung," tuturnya. "Jadi kalau buku itu disita buat saya menggelikan."

"Sindrom Anti Intelektual"

Buku "Mengincar Bung Besar" yang ditulis Bonnie dan awak Historia termasuk yang menjadi korban sweeping TNI baru-baru ini. Di dalamnya dia berkisah tentang tujuh upaya pembunuhan terhadap mantan Presiden Soekarno. Ketika diterbitkan, Megawati termasuk yang memberikan kata pengantar dan ikut menjadi pembicara dalam acara peluncuran buku.
Menurut Bonnie, pelarangan buku berbau komunisme merupakan "gejala bagaimana kita mengidap sindrom anti intelektual. Sehingga tidak ada ruang buat mendiskusikan hal-hal ini secara benar," tuturnya lagi.
Dia menyayangkan sikap TNI yang terus mengangkat isu komunisme meski telah padam sejak era Orde Baru.
"Pertanyaannya jadi kenapa mengawetkan hal itu?"
Penyitaan buku bukan satu-satunya cara aparat memberangus hantu masa lalu. Pembubaran paksa diskusi, pencekalan atau penahanan terhadap aktivis literasi juga termasuk yang berulangkali terjadi. Pada 2010 lalu majalah Tempo menerbitkan laporan khusus berjudul "Rekening Gendut Perwira Polisi", saat diterbitkan, tiba-tiba semua eksemplar ludes diborong pembeli tak dikenal.

Pelarangan buku sendiri seharusnya sudah punah dari Indonesia. Ketika Jaksa Agung Hendarman Supandji melarang lima buku kiri pada 2009 silam, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nr. 20/PUU-VII/2010 yang menganggap pelarangan atau penyitaan barang cetak tanpa proses pengadilan melanggar konstitusi.

Pun TAP MPRS XXV/1966 tentang Pembubaran PKI yang sering dijadikan dasar pemberangusan buku kiri telah ditambahkan dengan TAP MPR No.1/2003. Di dalamnya aparat negara wajib berlaku adil serta "menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia," ketika menegakkan ketetapan 1966 tersebut.

Kepentingan Praktis Petinggi Militer

Berkaitan dengan aksi penyitaan di Kediri dan Padang, sejahrawan Bonnie Triyana menolak anggapan aksi sweeping TNI dilakukan atas dasar nasionalisme buta. 
"Siapa yang paling diuntungkan dari aksi ini?," tanyanya merujuk pada dugaan menguatnya ambisi politik TNI.
Pakar Hukum Ketatanegaraan, Bivitri Susanti, menilai sikap enggan TNI tunduk pada supremasi sipil disebabkan oleh hal lain.
"Ada masalah yang sifatnya struktual, yaitu bahwa mereka sudah begitu lama masuk ke dalam berbagai aspek kehidupan bangsa ini, sehingga sampai sekarang pun masih merasa berhak melakukan hal-hal yang sifatnya yang bukan wewenang mereka," kata dia saat dihubungi DW.
Dia menduga aksi sweeping menyimpan kepentingan praktis petinggi TNI dan sebab itu berpotensi menggerogoti pondasi demokrasi di Indonesia.
"Saya kira sangat menjadi ancaman karena jadi cendrung mengabaikan cara-cara demokratis. Ada banyak sekali upaya pemerintah yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara demokratis, tapi karena masih ada ambisi politik dan ekonomi TNI tadi, mereka sering dipakai oleh pemerintah dan bisnis sebagai jalan pendek."
TNI sejauh ini belum bersuara menanggapi kecaman terkait penyitaan ratusan buku kiri. Berbeda dengan Bivitri, pengamat keamanan Aris Santoso, mencurigai hal lain sebagai penyebab geliat anti komunisme yang mulai marak di tubuh militer belakangan ini.
"Apa yang kita lihat di lapangan, sama sekali tidak match dengan aspirasi yang berkembang di tingkat pimpinan," kata dia kepada DW.
"Lapisan pimpinan TNI saat ini diisi oleh perwira-perwira yang memiliki kompetensi secara intelektual, mereka umumnya pernah bersekolah di luar negeri."
"Dengan latar belakang pendidikan seperti itu, rasanya mustahil ada perintah untuk melakukan sweeping buku."
Dia menduga penyitaan buku teranyar di Padang dan Kediri tidak terlepas dari "konflik internal" di tubuh militer. Menurutnya sejak era perang kemerdekaan, TNI Angkatan Darat tak pernah jauh dari konflik "perebutan kekuasan" di kalangan sendiri. Dia bahkan tak menutup kemungkinan adanya upaya "sabotase" terhadap jajaran petinggi TNI lewat pelarangan buku kiri.
"Apa yang kita lihat hari ini, semata-mata adalah 'perebutan kekuasaan.' Sama sekali tidak alasan ideologis untuk operasi di lapangan. Itu bisa terjadi karena ada keresahan dalam tubuh TNI, terkait promosi jabatan dan pangkat. Sebagaimana diketahui, kini perwira yang memiliki akses ke Istana yang lebih berpeluang untuk dipromosikan."
Sumber: DW.Com 

0 komentar:

Posting Komentar