Kamis, 17 Jan 2019 12:22 WIB - Adi Ahdiat
Indonesia punya segudang problematika yang penting
dibahas dalam Debat Capres 2019. Salah satunya adalah kasus pelanggaran HAM
masa lalu yang tak kunjung tuntas.
Aksi kamisan
KBR, Jakarta - Rangkaian Debat Capres 2019 akan dimulai
pada hari ini (17/1/2019) di Hotel Bidakara, Jakarta. Sebagaimana dijelaskan
Komisi Pemilihan Umum (KPU), debat perdana ini akan mengangkat tema Hukum, HAM,
Korupsi dan Terorisme.
Indonesia memang memiliki segudang problematika yang
penting dibahas terkait tema tersebut. Salah satunya adalah kasus pelanggaran
HAM masa lalu yang tak kunjung tuntas.
Pada masa kampanye Pilpres 2014, Jokowi pernah berjanji
untuk menyelesaikan 8 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Setelah
terpilih, ia pun menegaskan kembali komitmen tersebut dalam program aksi Nawa
Cita.
Namun sayang, janji dan program aksi itu belum juga
kunjung terpenuhi. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman
Hamid, pernah menyatakan, selama empat tahun masa jabatannya Presiden Joko
Widodo belum melakukan langkah signifikan terkait penanganan kasus HAM.
Mari ingat lagi 8 kasus pelanggaran HAM berat di masa
lalu yang masih mangkrak hingga sekarang.
Kasus HAM Tragedi
1965
Tanggal 30 September 1965 terjadi pembunuhan terhadap
sejumlah jenderal besar Indonesia. Pemerintahan Orde Baru kemudian mendakwa
Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai pelakunya, serta diduga memerintahkan
pembantaian terhadap para anggota dan simpatisan PKI.
Menurut perkiraan Komnas HAM, ada sekitar 500.000 hingga
3 juta orang yang dibunuh dalam peristiwa itu. Ada juga ribuan orang yang
dihilangkan paksa, serta jutaan orang lain yang terdiskriminasi karena dicap
sebagai “PKI”.
Dalam sebuah laporan, Komnas HAM pernah menyampaikan
dugaan bahwa pihak yang bertanggung jawab dan harus diadili dalam kasus ini
adalah organisasi militer bernama Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Kopkamtib), yang saat itu berada di bawah kendali Soeharto.
Dugaan tersebut diperoleh Komnas HAM setelah mewawancarai
349 orang saksi hidup dari tragedi 1965.
Kasus HAM Tanjung
Priok
Tanggal 12 September 1984, terjadi bentrok antara warga
sipil dan aparat militer di wilayah Tanjung Priok, Jakarta Utara. Peristiwa ini
berawal dari penangkapan beberapa orang warga jemaah Musala As-Sa’adah Tanjung
Priok oleh militer atas tuduhan subversif.
Tidak terima atas penangkapan tersebut, rombongan jemaah
lainnya kemudian mendatangi Komando Distrik Militer Jakarta Utara, meminta agar
rekan-rekannya dibebaskan.
Menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan (Kontras) rombongan massa itu kemudian dihadang pasukan
militer dengan persenjataan lengkap dan panser. Suasana berubah menjadi ricuh
dan para tentara mulai menembaki massa dengan senapan otomatis.
Komnas HAM pernah melaporkan bahwa peristiwa itu
menewaskan 24 orang dan membuat 55 orang luka-luka. Namun, menurut pernyataan
komunitas Solidaritas untuk Peristiwa Tanjung Priok (Sontak) di majalah Suara
Hidayatullah (1998), korban tewas mencapai sekitar 400 orang, belum termasuk
yang hilang dan luka-luka.
Sampai saat ini belum ada pihak yang divonis bertanggung
jawab dan diadili atas tragedi tersebut.
Kasus HAM
Talangsari
Tanggal 7 Februari 1989 pasukan militer menyerbu desa
Talangsari, Lampung Timur. Penyerbuan ini didasari alasan bahwa jemaah
pengajian Talangsari ingin mengganti Pancasila dengan Al-Qur’an.
Menurut rilisan Kontras, setelah penyerbuan ada 246 orang
yang dinyatakan hilang sampai sekarang. Keluarga korban penyerbuan yang hidup
juga mendapat diskriminasi dan dicap sebagai teroris.
Kasus HAM Trisakti
Tanggal 12 Mei 1998, rombongan mahasiswa dari berbagai
wilayah Indonesia berdemonstrasi menentang Orde Baru. Empat orang di antaranya
tewas ditembak tentara. Mereka adalah Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri
Hartanto, dan Hendriawan Sie.
Menurut catatan Kontras, 681 mahasiswa lainnya juga
menjadi korban luka-luka. Setelah tragedi itu, perlawanan mahasiswa dalam
menuntut reformasi semakin besar, hingga akhirnya memaksa Presiden Soeharto
untuk mundur pada 21 Mei 1998.
Kasus HAM
Kerusuhan Mei 1998
Tanggal 13 – 15 Mei 1998, terjadi kerusuhan bernuansa
suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) di sejumlah kota di Indonesia.
Berdasarkan laporan dari Tim Gabungan Pencari Fakta
(TGPF) Kerusuhan Mei 1998, dalam peristiwa tersebut setidaknya ada 1190 orang
meninggal dunia akibat terbakar atau dibakar, 27 orang meninggal akibat
senjata dan lainnya, serta 91 orang luka-luka.
Selain itu, TGPF juga menemukan kasus kekerasan seksual
yang sebagian besarnya berupa gang rape atau perkosaan massal.
Tragedi ini mayoritas terjadi pada perempuan dari etnis Cina (Temuan TGPF,
Publikasi Komnas Perempuan, 1999).
Kasus HAM Semanggi
I
Tanggal 13 November 1998, aparat menembak mahasiswa yang
berdemonstrasi di kawasan Semanggi, memprotes Sidang Istimewa DPR/MPR dan
menolak Dwifungsi ABRI.
Menurut data Tim Relawan untuk Kemanusiaan, jumlah korban
tewas dalam peristiwa ini mencapai 17 orang. Ada juga ratusan korban yang
terluka karena tembakan dan pukulan benda tumpul.
Kasus HAM Semanggi
II
Tanggal 24 September 1999, para mahasiswa kembai
menggelar demonstrasi di kawasan Semanggi. Kali ini mereka menolak rencana
pemberlakukan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) yang dianggap bersifat
otoriter.
Bentrok dengan aparat pun kembali terjadi. Kontras
menyebutkan bahwa ada 11 orang demonstran yang meninggal, dan sekitar 217 orang
mengalami luka.
Kasus HAM
Penghilangan Paksa
Di luar kasus-kasus yang disebutkan di atas, masih banyak
kasus pelanggaran HAM lain berupa penghilangan paksa di berbagai tempat. Mulai
dari penghilangan paksa pada masa darurat militer di Aceh, Timor Leste, dan
kasus Penembakan Misterius (Petrus) yang terjadi di masa Orde Baru.
(Dari berbagai sumber)
0 komentar:
Posting Komentar