Nov. 24, 2018 | Muhammad Nashirulhaq
Suara Tani, salah satu terbitan rutin BTI. Kredit gambar:
warungarsip.co
Memperingati Hari Lahir BTI dan Kongres Petani Indonesia
Pertama
Sekilas Awal Sejarah BTI
Tak seperti Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), Lekra
(Lembaga Kebudayaan Rakyat), atau Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia),[1] BTI (Barisan Tani Indonesia) bersama
dengan SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakyat, dan
CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) menjadi beberapa onderbouw atau
organisasi (yang dianggap) terafiliasi PKI (Partai Komunis Indonesia) yang
belum dikaji secara khusus dan menyeluruh sebagai sebuah organisasi nasional,
dalam satu karya akademik.[2]
Padahal signifikansi pengaruh BTI,
khususnya di tahun 1960-an, sama sekali tak bisa disepelekan. Betapa pentingnya
peran organisasi tani ini di era itu, tergambar dari keanggotaannya, seperti
yang ditulis Karl J. Pelzer,
“Pada bulan Maret 1954, BTI mengklaim bahwa jumlah anggotanya 800.000 orang dan sekitar 2.000.000 orang pada bulan April 1955. Pada waktu pemilihan umum yang diselenggarakan akhir tahun 1955, sekretarian BTI melaporkan bahwa jumlah anggotanya 3.300.000 orang. Pertambahan yang mengagumkan ini disebabkan oleh kampanye yang dilakukan golongan komunis secara gencar sebelum pemilihan umum. Dalam sepuluh tahun berikutnya, BTI mengalami pertambahan keanggoaan yang sangat pesat dan pada tahun 1965 mengklaim bahwa jumlah anggotanya tak kurang dari 8.500.000 orang… Tahun 1965, cabang BTI dapat ditemukan praktis di seluruh kabupaten dan di lebih dari 80 persen kecamatan yang ada di Indonesia”.[3]
Dengan besarnya jumlah kenggotaan, BTI mendinamisir
kehidupan pertanian dan politik pedesaan, terutama ketika organisasi ini
menjadi pendukung dan pendorong utama program land reform yang
menjadi mandat UU Pokok Agraria No 5/1960 dan UU No. 56 PRP/1960. Melihat
pelaksanaannya yang mengalami kemacetan akibat keengganan para pemilik dan tuan
tanah untuk menyukseskan program ini, BTI melancarkan “aksi-aksi sepihak” guna
mengambil alih dan menduduki tanah-tanah yang dianggap akan diredistribusikan
kepada petani penggarap. Serangkaian peristiwa di berbagai daerah inilah yang
seringkali dirujuk sebagai akar tensi dan konflik di pedesaan yang memuncak
pada pembantaian-pembantaian selama kurun waktu 1965-1966, dengan menyasar para
anggota PKI dan organisasi-organisasi yang dianggap terafiliasi dengannya (termasuk
BTI di dalamnya).
“Aksi-aksi sepihak” yang seringkali diilustrasikan penuh
kekerasan pula yang selalu ditekankan oleh rezim Orde Baru dan aparatusnya
dalam menggambarkan BTI. Tak sampai di situ, Orde Baru juga menjadikan gambaran
ini sebagai dalih untuk “mendisiplinkan” gerakan tani dengan hanya melegalkan
satu organisasi tani yang bisa dipantau dan dikontrol oleh negara, HKTI
(Himpunan Kerukunan Tani Indonesia). Karenanya, tak banyak yang kita tahu dari
BTI sebagai gerakan petani terbesar di zamannya ini, selain dari apa yang
digambarkan oleh Orde Baru.[4]
Namun, dari sekelumit informasi yang tersedia, dapat
diketahui bahwa BTI resmi dideklaraikan pada 25 November 1945, tepatnya dalam
rangkaian kongres petani yang pertama kali diselenggarakan setelah Indonesia
merdeka pada 22-25 November 1945 di Yogyakarta. Kongres ini mulanya didahului
oleh rapat kaum buruh bersamaan dengan kelompok-kelompok petani pada 5-7
November 1945 di Surakarta, untuk merespon Maklumat Pemerintah yang
ditandatangai oleh Moh. Hatta tertanggal 3 November 1945 yang berisi
pemberitahuan bahwa pemerintah Indonesia memberi kesempatan bagi terbentuknya
partai-partai politik. Melihat bahwa utusan-utusan kaum tani tidak terwakili
dalam partai-partai yang baru terbentuk, kelompok ini lalu menginisiasi satu
kongres, yang salah satu tujuan utamanya memang untuk membentuk organisasi
petani.[5] Dalam kongres inilah BTI lalu
berdiri dengan M. Tauchid, Wijono Suryokusumo, S. Sardjono “Petruk”, Djadi,
Asmoe Tjiptodarsono, dan Sajoga sebagai tokoh-tokoh utamanya.[6]
BTI memang tidak lantas menjadi satu-satunya organisasi
petani. Segera sesudah itu, bermunculanlah beberapa organisasi tani lain,
di antaranya adalah RTI (Rukun Tani Indonesia) dan Sakti (Sarekat Kaum Tani
Indonesia). Melalui dorongan PKI, pada Juli 1951 ketiga organisasi ini membentuk
FPT (Front Persatuan Tani). Lebih jauh, pada awal tahun 1953 muncul usulan
untuk melakukan fusi atas tiga organisasi tersebut. Hal ini ditindaklanjuti
melalui kongres yang diadakan pada September 1953 di Bogor, yang menyetujui
fusi antara BTI dan RTI dengan mengambil nama BTI. Selanjutnya, pada Juni 1955,
Sakti juga memutuskan melebur ke dalam BTI hasil fusi sebelumnya. Dari situlah
terbentuk BTI yang mapan, yang kita kenal sampai hari ini.[7]
Warisan-Warisan BTI
Melihat
kebesaran BTI sebagai gerakan tani, sebaiknya kita tak berhenti dan tersihir
dengan angka-angka fantastis jumlah keanggotaan. Justru, kita perlu bertanya,
aspek kualitatif apa dari organisasi ini yang berhasil dikonversikannya menjadi
satu lompatan kuantitatif. Setidaknya ada beberapa pencapaian BTI yang kita
daftar, yang menjadikannya menarik banyak massa. Beberapa pencapaian ini juga
menjadi penting sebagai bahan evaluasi atas gerakan tani hari ini yang masih
sangat terfragmentasi dan kehilangan napak tilas, setelah Orde Baru betul-betul
berhasil memberangus ingatan akan organisasi tani yang pernah begitu aktif dan
dinamis di zamannya. Berikut adalah beberapa “warisan” yang menurut penulis
perlu dilihat dan dipelajari dari BTI, mengingat aspek-aspek ini yang masih
banyak absen dalam gerakan tani saat ini.
BTI Sebagai Lembaga Pendidikan
Berdasarkan data statistik, diperkirakan bahwa sekitar
84,4% penduduk Indonesia di tahun 1961 hidup di pedesaan. Angka ini tidak turun
jauh dari prosentase 95,3% bagi kategori yang sama di tahun 1930. Di sisi lain,
pada tahun-tahun terakhir masa penjajahan Belanda, dari sekitar 5 juta pemuda
usia 15-19 tahun, hanya 1789 orang yang dapat mencecap pendidikan menengah dan
637 orang yang mampu menghadiri institusi pendidikan tinggi. Artinya, hanya 1
dari setiap 2000 orang yang dapat mengenyam pendidikan menengah non-tradisional
(seperti pesantren dan semacamnya).[8]
Meskipun mungkin tidak memberi gambaran akurat, data-data
di atas cukup bisa menjadi pegangan untuk memperkirakan bagaimana kondisi
pendidikan di tahun 1950-an dan 1960-an di Indonesia, khususnya di lingkup
pedesaan. BTI sebagai organisasi yang menaungi petani sadar betul betapa
rendahnya tingkat pendidikan masyarakat pedesaan, khususnya kaum tani. Banyak
di antara mereka bahkan masih buta huruf. Di saat yang sama, kelompok yang
punya privilese untuk mengakses pendidikan pada umumnya adalah kelas-kelas
sosial yang diuntungkan oleh struktur agraria yang timpang dan menikmati hasil
eksploitasi surplus pertanian. Karenanya, BTI memberi perhatian besar bagi
pendidikan kaum tani dan keluarganya, terutama karena hal ini berkaitan
langsung dengan kualitas organisasi. Dalam satu publikasi BTI, majalah Suara
Tani, Asmu, sang ketua mengeluhkan,
“kebanyakan anggota BTI dan petani masih buta huruf dan tingkat kebudayaan mereka secara umum masih terbelakang. Karenanya, mereka tidak sadar betapa pentingnya membaca publikasi organisasi dan mendengarkan pengajaran-pengajaran yang dilakukan oleh BTI”.[9]
Selain untuk meningkatkan kapasitas kaum tani dan
kualitas organisasi, pendidikan juga diperlukan untuk mendongkrak kepercayaan
diri para petani, yang selama ratusan tahun dikondisikan untuk hidup dengan
mental jajahan. Pada kesempatan lain di satu kuliahnya, Asmu menyatakan,
“Rakyat buta huruf akan belajar membaca. Mereka yang merasa dirinya rendah akan diangkat dari lumpur yang merendahkan ke dalam pengakuan bahwa kaum buruh adalah mulia dan bahwa rakyat pekerja, termasuk kaum tani, adalah pencipta dunia ini”.[10]
Pada tahun 1957, PKI meluncurkan program
Pemberantasan Buta Huruf (PBH), dan BTI menjadi garda terdepan dan ujung tombak
utamanya. Pendidikannya biasanya berlangsung selama dua bulan pada musim panen.
Kelak, petani-petani yang sudah mentas dari kubangan tuna aksara
bertugas menularkan pengetahuannya kepada rekan-rekannya yang lain. Tak hanya
sampai di situ, demi memastikan kemampuan kader-kadernya dalam membaca semakin
terasah dan tidak hilang begitu saja, BTI juga mendirikan kelompok-kelompok
baca dan perpustakaan-perpustakaan di berbagai tingkatan organisasi.
Selain pendidikan anggotanya, BTI yang bekerjasama dengan
Universitas Rakyat (Unra) juga memperhatikan pendidikan anak-anak petani yang
putus sekolah dengan mengorganisasikan program pendidikan Sekolah Dasar
Sederhana (SDS), di luar waktu mereka untuk membantu orang tuanya di pertanian.
Sekolah dasar di sini bukan berarti hanya pendidikan dasar, tetapi
jenjang pendidikan yang dibagi dalam tiga tingkatan, mulai dari Panti
Pengetahuan Rakjat (Panpera) di tingkat paling bawah, Balai Pengetahuan Rakjat
(Bapera) yang setara dengan sekolah menengah pertama, dan Mimbar Pengetahuan
Rakjat (Mipera) yang sebanding dengan Sekolah Lanjutan Atas (SLA) kala itu.
Namun, pemberantasan buta huruf tentu saja program
minimum dan tidak cukup untuk mendorong kemajuan pertanian dan pengetahuan
serta kesadaran kaum tani lebih jauh. Untuk itu, didirikanlah Sekolah Tani Egom
di Cisarua, Bogor, pada April 1965, yang berperan sebagai pusat sekolah kader.
Kursus-kursus yang diselenggarakan institusi ini berlangsung selama empat bulan
dengan materi yang meliputi teori ekonomi-politik Marxisme, materialisme
dialektis-historis (MDH), dan hal-hal seputar peningkatan produksi pertanian.[11]
BTI sebagai Lembaga Penelitian
Sebagian kita mungkin pernah mendengar konsep “tujuh
setan desa”. Sebagian lagi juga mengaitkannya dengan PKI atau BTI. Namun tak
banyak yang tahu bahwa kategorisasi ini tidak disusun secara asal atau
jargonistik, melainkan diabstraksikan dari satu riset serius yang cukup panjang
di berbagai wilayah di Jawa Barat, dan dituliskan dalam laporan yang juga
serius, berjudul Kaum Tani Mengganjang Setan-Setan Desa: Laporan Singkat
tentang Hasil Riset mengenai Keaadaan Kaum Tani dan Gerakan Tani di Djawa
Barat.[12]
BTI memang tak main-main dalam hal penelitian. Selain
sekolah tani, BTI juga memiliki Institut Pertanian Egom (IPE) yang bahkan sudah
didirikan lebih dahulu, tepatnya pada November 1963. Tugas utamanya, selain
sebagai institusi pendidikan pertanian juga melakukan penelitian-penelitian
agraria.
Selaiknya institut, lembaga ini juga mengorganisir seminar dan
diskusi, namun dengan orientasi praksis yang jelas manfaatnya bagi rakyat
petani, seperti Seminar Produksi Pertanian yang diselenggarakan pada 1963.
Riset-riset yang dilakukan institusi ini, di samping mengenai keadaan pertanian
dan gerakan tani, juga seputar hal-hal teknis pertanian. Selain IPE, penelitian
dalam tema terakhir ini juga banyak dikerjakan oleh Jajasan Lembaga
Penjelidikan Keilmiahan Pertanian & Pembibitan (JLPKPP) di Klaten yang
didirikan sejak 1959 dan digerakkan oleh tokoh-tokoh BTI.[13]
Perhatian besar pada urusan teknis pertanian perlu
ditekankan, karena menurut BTI, fungsi lembaga ini (BTI) bukan hanya untuk
membangkitkan semangat revolusioner kaum tani, namun juga untuk meningkatkan
produksi pertanian. Kader-kadernya harus bisa memberikan petunjuk praktis dalam
hal-ihwal yang berkenaan dengan budidaya padi, palawija, beternak, budidaya
ikan, dan sebagainya. Di sisi lain, mereka juga harus mau belajar dari praktik
petani lokal yang dianggap memadai, di samping menawarkan terobosan-terobosan
baru yang berasal dari pengetahuan ilmiah mereka. BTI perlu membuktikan bahwa
apa yang mereka perjuangkan memang berhasil meningkatkan produktifitas dan
taraf kehidupan kaum tani. Jika tidak, niscaya kaum tani tak akan lagi tertarik
untuk bergabung dengan organisasi ini. Maka, persoalan teknis dan produktifitas
pertanian menjadi pertaruhan serius oleh BTI.[14]
Penelitian-penelitian soal produktifitas pertanian ini
tak bisa dilepaskan dari nama Jagus, salah satu anggota pleno Pimpinan Pusat
BTI yang juga memimpin JLPKPP. Rekam jejaknya dalam penelitian benih sejak
bekerja pada onderneming (perkebunan) di era kolonial, melambungkan
namanya sebagai ahli di bidang ini. Namun komitmen ideologisnya tak perlu
diragukan lagi. Dengan keahliannya, ia berupaya memberi sumbangsih bagi rakyat
petani dan revolusi. Seperti disimpulkan seorang penulis, “baginya,
pelipatgandaan kapasitas produksi pertanian rakyat termasuk dalam mata rantai
strategi revolusi nasional Indonesia, yang tidak kalah serius dan penting
dibanding masalah-masalah lainnya”. Hal ini masuk akal, mengingat di akhir
tahun 1950-an hingga pertengahan 1960-an, Indonesia sedang dalam gejolak
kampanye memperebutkan Irian Barat dan mengganyang “negara boneka” Malaysia.
Riset-riset yang mempelajari kondisi pertanian dan
hal-hal teknis pertanian sebenarnya juga berfungsi untuk mempertahankan jalinan
BTI dan PKI dengan massa rakyat itu sendiri. Para pimpinan organisasi ini
sebenarnya sudah lama menyadari bahwa mereka tidak cukup pengetahuan tentang
pedesaan Indonesia. Karenanya, sudah sejak kongres partai keenam pada 1959,
diamanatkan adanya penelitian soal watak eksploitasi feodalisme di desa-desa.
Namun, karena dirasa akan terlalu memakan banyak waktu, maka dalam Kongres
Ketujuh PKI pada 1962, diputuskan bahwa riset yang akan dilakukan seputar
hubungan kerja (relasi produksi) antara tuan tanah dan buruh tani untuk
merumuskan kampanye peningkatan upah; dan studi spesifik mengenai penggunaan
tanah, sistem panen, dan biaya produksi agar dapat meningkatkan produksi dan
menetapkan permintaan realistis untuk mereformasi sistem penguasaan lahan.[16]
Riset ini dilakukan selama enam minggu di Jawa Barat,
Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Desa-desa yang diteliti di Jawa Timur tersebar di
70 kecamatan, dan di Jawa Barat meliputi 24 kecamatan. Besarnya jumlah yang terlibat
dalam penelitian ini seperti tergambar dari Jawa Tengah, di mana ada 56
peneliti yang mengawasi dan mengolah data-data yang dikumpulkan oleh 850
pelapor lokal yang tersebar di 29 kecamatan. Sayangnya, dari penelitian ini,
baru yang dilakukan di Jawa Barat yang sudah diterbitkan menjadi laporan.
Sisanya belum sempat dipublikasikan sebelum Gestok (Gerakan Satu Oktober)
terjadi.
Terlepas dari beberapa kekurangan, hasil penelitian yang
dilakukan BTI mengundang kekaguman dari banyak pihak. Ruth McVey, seorang
Indonesianis dari Universitas Cornell, misalnya, melihat keterhubungan antara
baiknya kualitas riset ini dengan proses-proses pendidikan yang sudah
digalakkan sebelumnya. Ia lalu menarik kesimpulan bahwa “tak diragukan bahwa
laporan yang bagus ini berasal dari pengaruh jangka panjang pendidikan dan
agitasi PKI”.[17]
Untuk ukuran zamannya, riset-riset BTI ini memang
menawarkan sesuatu yang baru dan berbeda, untuk tidak mengatakan bahwa
riset-riset ini melampaui zamannya. Kepada para peneliti dan pelapor di
pedesaan, misalnya, BTI menekankan prinsip yang dikenal sebagai “tiga
sama, empat jangan, empat harus” – sama kerja, sama makan, dan sama
tidur; jangan tinggal di rumah elit desa, menggurui, merugikan, dan mencatat di
hadapan kaum tani; dan harus sopan, siap membantu, menghormati adat istiadat
setempat, dan belajar dari kaum tani. Salah seorang scholar-activist mengakui
bahwa apa yang dilakukan BTI ini “dilakukan sebelum reflexive ethnography,
participatory action research, dan segala
jargon serta metode penelitian-penelitian yang menonjolkan aspek keterlibatan
peneliti menjadi nge-tren – dan terkadang dipelintir untuk
melancarkan pelaksanaan agenda-agenda developmentalis di pedesaan.”[18]
Selain itu, menurut Ben White—salah seorang pakar agraria
yang juga Indonesianis—, riset-riset BTI ini menyajikan gambaran detail akan
kondisi kehidupan petani di pedesaan, khususnya para petani gurem dan buruh
tani, mulai dari apa yang mereka miliki di rumah-rumah mereka, sampai rincian
neraca penerimaan dan pengeluaran rumah tangga petani kaya, menengah, dan
tunakisma. Gambaran ini yang hampir absen dalam riset-riset agraria sebelum
BTI, yang dalam pengumpulan datanya hanya menekankan penggunaan survei-kuesioner.
Selain itu, menurutnya, diskursus soal tujuh setan desa, alih-alih kategorisasi
kelas petani secara klasik, adalah satu tawaran dan modifikasi kreatif BTI
untuk menjabarkan betapa kompleksnya eksploitasi dan ekstraksi nilai-lebih yang
terjadi pada petani miskin di pedesaan.[19]
Namun, hasil-hasil riset BTI seakan tak berbekas setelah
pergantian rezim. Orde Baru yang menganggap kuatnya gerakan tani di masa
sebelumnya sebagai ancaman, berupaya melakukan depolitisasi atasnya, terutama
dengan melarang berdirinya serikat tani di luar yang dibentuk negara, yaitu
HKTI. Analisa kelas (yang akan dibahas lebih lanjut dalam bagian selanjutnya)
yang diproduksi BTI melalui riset-risetnya juga dibuang jauh-jauh dan
dihilangkan dalam wacana akademik Indonesia. Alih-alih, dengan selubung
Pancasila, Orde Baru selalu menekankan tatanan masyarakat yang harmonis,
nir-konflik, dan setiap perbedaan kepentingan dapat diselesaikan melalui
musyawarah, tanpa melihat ada hubungan yang eksploitatif di dalamnya.
Hasil-hasil riset BTI, terutama yang dimotori oleh Jagus,
soal peningkatan produktifitas pertanian juga mengalami nasib yang tak jauh
berbeda. Kebijakan Revolusi Hijau oleh Orde Baru, menyeragamkan hampir semua
input dan sarana produksi pertanian, mulai dari bibit, pupuk, hingga pestisida,
yang hampir semuanya berasal dari impor, yang mesti dibeli petani, hampir pasti
melalui mekanisme kredit. Tak berlebihan rasanya ketika seorang penulis
menyebut bahwa penghabisan BTI dan lembaga riset di dalamnya pada dasarnya tak
sekadar menghilangkan nyawa, tapi juga ide-ide, dan upaya membangun kedaulatan
pangan itu sendiri.[20]
Membawa Analisis Kelas ke Pedesaan
Sejak pertengahan 1980an, terdapat pergeseran dalam studi
dan penelitian agraria di Indonesia. Dari segi lokus, penelitian yang
sebelumnya banyak berfokus pada pedesaan Jawa, lalu mulai beralih ke
pulau-pulau luar Jawa. Selain itu, dari segi tema, riset-riset sejak 1980an
lebih banyak menyoroti proyek-proyek pembangunan yang dipromosikan oleh Orde
Baru, seiring berakhirnya masa oil boom dan penetrasi yang makin
masif dari lembaga keuangan global, seperti Bank Dunia dan IMF (International
Monetary Fund).
Para penstudi dan peneliti agraria lalu lebih banyak berfokus
dan mencurahkan perhatian pada bagaimana satu proyek pembangunan akan
menimbulkan konflik agraria, dampak sosial, dan dampak lingkungan di tengah
masyarakat.
[21] Tentu saja, dalam konteks rezim
fasistik yang tak segan menggusur dan meminggirkan rakyat demi kelancaran arus
modal, studi-studi semacam ini menjadi relevan. Namun, di sisi lain, riset-riset
dengan tema ini seringkali tidak memeriksa kondisi internal pedesaan dan
mengabaikan begitu saja adanya diferensiasi kelas di kalangan petani itu
sendiri. Studi-studi pedesaan dengan pendekatan kelas yang ada sebelumnya,
seperti yang dikerjakan oleh Frans Huskens dan Jonathan Pincus, lalu menjadi
tidak begitu populer lagi sejak masa ini.[22]
Hal yang sama juga berlaku pada serikat-serikat tani yang
bermunculan pasca-Reformasi. Jika kita baca hasil studi terkait organisasi tani
ini atau kebijakan pertanahan dan agraria yang menyasar basis serikat tani,
akan terlihat bagaimana perjuangan gerakan tani hari ini lebih terfokus pada
pengakuan hak atas tanah, tanpa melakukan penataan struktur agraria seperti
yang sebenarnya dimandatkan oleh program land reform di tahun 1960an.
Tak jarang, kebijakan yang mengatasnamakan “pembaruan agraria” atau “reforma
agraria” dan ditandai dengan “bagi-bagi sertifikat” ini justru mengukuhkan
ketimpangan penguasaan lahan yang ada. Bahkan, setelah pelaksanaan program
semacam itu, tak sedikit kasus di mana terjadi rekonsentrasi penguasaan lahan,
terutama di tangan elite-elite serikat tani itu sendiri.[23]
32 tahun represi Orde Baru dan upaya pengendalian petani
melalui organisasi tunggal HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) berhasil
menghapus ingatan dan memberangus analisis kelas dalam serikat-serikat tani
kita. Absennya diskursus kelas ini sebenarnya tak hanya terjadi di sektor
agraria, namun dalam ilmu sosial di Indonesia secara umum. Dan pangkalnya
memang tak bisa dilepaskan dari Orde Baru. Hilmar Farid, dalam satu tulisannya
menyebut,
“siapa saja yang mengamati sejarah Indonesia modern akan dengan cepat menghubungkan hilangnya konsep dan diskursus tentang kelas dari ilmu-ilmu sosial di Indonesia dengan bangkitnya Orde Baru. Ketika penghancuran kelas melancarkan jalan bagi ‘pembangunan’ (Farid, 2000), represi yang memberangus pemikiran di dunia akademik dibarengi dengan apa yang oleh salah seorang penulis sebut sebagai ‘dis-edukasi’ (Ward 1973: 75).”[24]
Berkait dengan kenyataan ini, menurut Ben White, terdapat
satu pandangan dominan di kalangan pembuat kebijakan, akademisi, teknokrat, dan
birokrat sejak Orde Baru, terkait gambaran masyarakat pedesaan sebagai
komunitas yang tersusun secara homogen, terdiri atas “petani” yang
mempraktikkan pertanian subsisten, dan proses interaksi di antara sesama mereka
diatur bukan oleh individualisme, melainkan oleh gotong royong, kekeluargaan,
dan kerukunan.[25] Mereka dianggap sebagai satu
kesatuan unit yang integral, di mana pembelahan antara elite dan massa bukan
timbul dari ketidaksetaraan dalam struktur sosial. Dalam kondisi normal, mereka
hidup dalam harmoni, terlepas dari pebedaan pendapatan, situasi hidup, dan etik
kerja. Seorang pakar agraria Indonesia lainnya, S.M.P. Tjondronegoro menulis,
“ada praduga kultural bahwa secara sosial dan politik, masyarakat Indonesia
sudah sangat egaliter”.
Konsep “kelas” lalu jelas berada di luar pandangan ini.
Setiap upaya menyuarakan perjuangan kelas atau analisis kelas secara ilmiah
sekalipun, akan rentan mendapat cap “PKI”. [26]
Berlawanan dari pandangan romantik semacam ini, BTI
dengan pendekatan ekonomi-politiknya sadar betul bahwa apa yang kita sebut
“petani” sesungguhnya terdiferenisasi dalam kelas-kelas dengan kepentingan yang
berbeda satu sama lain dan terhubung dalam relasi produksi yang eksploitatif.[27] Dengan mempertimbangkan adanya
kelas-kelas di antara petani itu sendiri, BTI memang dimaksudkan sebagai
organisasi yang memperjuangkan kepentingan petani kecil/miskin dan buruh tani.
Dalam satu kesempatan rapat antara pengurus BTI dan
Comite Central PKI, Ismail Bakri, ketua Comite Daerah Besar Jawa Barat
mengeluhkan “karena banyak kader di gerakan tani revolusioner masih terdiri
dari petani menengah, maka prinsip untuk menempatkan kepentingan petani kecil
dan buruh tani sebagai yang utama hanya berakhir sebagai kata-kata”. Oleh Asmu,
sang ketua BTI, kenyataan ini diakui. Ia bahkan menambahkan bahwa di dalam
kepengurusan pusat BTI sendiri masih terdapat kalangan tuan tanah dan petani
kaya. Namun upaya terus dilakukan “untuk mendorong dan menempatkan petani
miskin dan buruh tani, baik laki-laki maupun perempuan untuk duduk dalam
kepemimpinan BTI dan membersihkan BTI dari kelas-kelas yang mengeksploitasi”.[28]
Melalui serangkain penelitian di tahun 1959, BTI
merumuskan adanya tujuh kelompok yang mengeksploitasi petani kecil dan buruh
tani, yang lalu dikenal dengan “tujuh setan desa”. Mereka adalah “tuan-tanah
jahat, lintah darat, tukang-ijon, kapitalis birokrat, tengkulak jahat, bandit
desa, dan penguasa jahat”. Sebagian akademisi, seperti Ben White yang disinggng
sebelumnya, mengapresiasi modifikasi kategorisasi yang diajukan BTI ini. Namun
pencampur-adukan antara klasifikasi bedasar penguasaan lahan, pendapatan, dan
pendirian politik (political stands), juga memunculkan kritik oleh sebagian
kalangan lain.[29] Sebagai contoh, BTI membagi tuan
tanah menjadi “tuan tanah baik” dan “tuan tanah jahat” berdasar
keberpihakannya. Hal ini jelas berbeda dari kategori kelas-kelas agraria klasik
yang dirumuskan secara objektif oleh Lenin dalam The Development of
Capitalism in Russia, misalnya[30].
Bertolak dari kenyataan ini, Farid bahkan menyebut bahwa
“analisis PKI dan BTI lebih tampak sebagai analisis politik dengan menggunakan
jargon kelas, alih-alih analisis kelas pada satu situasi politik tertentu”.
Namun menurutnya, pilihan ini diambil oleh BTI dan PKI karena berdasarkan
pembacaan mereka, Indonesia ketika itu berada dalam tahap “semi-jajahan dan
semi-feodal”, sehingga nasionalisme radikal dianggap lebih mendesak kala itu
dibanding perjuangan kelas. Aidit dianggapnya menelan mentah-mentah doktrin Mao
Zedong yang menulis bahwa partai komunis tak bisa berjuang secara langsung
menuju sosialisme, tetapi terlebih dahulu harus melewati perjuangan
nasional-demokratik untuk membebaskan negara dari imperialisme dan
menghilangkan sisa-sisa feodalisme.[31]
Sementara John Roosa mengaitkan model analisis kelas di
atas dengan strategi PKI membangun sebuah “front persatuan nasional” yang
bersifat populis. Apa yang diperhitungkan sebagai subjek revolusioner adalah
“rakyat Indonesia” secara keseluruhan, dengan tujuan untuk mencapai apa yang
disebut “demokrasi rakyat” yang memberi cukup ruang bagi kelas “kapitalisme
nasional”. Persekutuan antara kelas buruh, tani, borjuis kecil, dan borjuasi
nasional coba dibangun guna melawan kaum imperialis, borjuasi yang bekerjasama
dengan mereka, dan tuan tanah feodal. Lebih jauh, pembacaan kelas ini
dikembangkan lebih lanjut menjadi satu teori yang disebut “teori dua aspek
kekuasaan negara”, di mana satu aspek “pro-rakyat” harus didukung untuk melawan
unsur-unsur “anti-rakyat” dalam pemerintahan.[32]
Di kemudian hari, terutama setelah peristiwa Gestok,
beberapa elemen dalam partai sendiri melakukan otokritik atas model analisa
ini. Namun, terlepas dari analisis kelas yang tidak jeli dan menjadi satu
kesalahan yang cukup fatal, BTI setidaknya telah berusaha membawa analisis
kelas ke lingkup pedesaan. Jika kita bandingkan dengan serikat-serikat tani
hari ini, misalnya, analisis kelas yang dimiliki BTI kala itu bisa dibilang
sudah selangkah lebih maju.
Mempromosikan Koperasi sebagai Ekonomi Bersama Kaum Tani
Dalam satu wawancara dengan penulis, seorang ketua
serikat petani di Garut, Jawa Barat, berulangkali mengungkapkan
kekhawatirannya, bahwa tanah-tanah garapan petani yang telah mendapat
sertifikat hak milik dari pemerintah justru akan berpindah tangan melalui
mekanisme gadai/agunan atau jual-beli. Beberapa kondisi yang mendorong fenomena
ini adalah sulitnya akses permodalan dan absennya lembaga pemberi kredit atau
simpan-pinjam untuk keperluan modal atau kebutuhan mendesak, di luar renternir,
pengijon, tengkulak, atau bank. Kenyataan ini cukup tipikal di mana-mana dan
sudah menjadi problem yang dihadapi petani dan serikat petani sejak dulu,
termasuk BTI.
Dalam upaya mengatasi persoalan keterbatasan modal dan
penyediaan akses simpan-pinjam bagi kebutuhan mendesak kaum tani ini, BTI
mengajukan bentuk koperasi. Dalam konferensi nasional petani pada April 1959,
BTI bersama PKI mengelaborasi kebijakannya mengenai koperasi, khususnya
koperasi kredit dan koperasi yang menampung dan memasarkan hasil produksi
pertanian. Selanjutnya, dalam kongres PKI keenam pada September tahun yang
sama, D.N. Aidit menyerukan kepada pemerintah untuk menyediakan perlindungan
dan fasilitas yang lebih besar bagi koperasi. Dengan adanya koperasi,
diharapkan petani miskin mempunyai “bantalan” (cushion) yang melindungi mereka
dari tekanan ekonomi.[34]
Menurut Aidit, ada dua segi positif yang perlu
dikembangkan dari koperasi. Pertama, bahwa ia dapat mempersatukan rakyat
pekerja yang lemah ekonominya dan menghambat proses diferensiasi produsen
kecil. Dengan persatuan dan kerjasama ini, kaum tani dapat mengurangi
eksploitasi tuan tanah, lintah darat, tukang ijon, tengkulak dan kelas pemodal.
Sebab, perjuangan membebaskan kaum tani dari penghisapan tuan tanah dan lintah
darat sebagai sisa-sisa feodalisme adalah bagian dari perjuangan revolusi untuk
Indonesia yang demokratis. Kedua, koperasi juga dapat digunakan untuk meningkatkan
produksi, sehingga dapat menambah pendapatan anggota-anggotanya.[35]
Sebagai wujud keseriusan untuk membangun koperasi petani
ini, pada 1963, BTI membentuk sebuah pusat sekolah koperasi petani untuk
sekitar 400 kader-kader BTI di tingkat provinsi. Di bawah itu, di tingkat
provinsi, ada sekolah-sekolah regional yang melatih kader di tingkat kabupaten,
dan seterusnya hingga ke tingkat kecamatan, yang di situ kursus kilat
diorganisir untuk mendidik kader di cabang lokal (ranting) dan para pemimpin
kelompok. Bahan-bahan pendidikan banyak disuplai oleh Akademi Ilmu Sosial
Aliarcham (AISA), di mana departemen Ekonomi Politik dalam institusi tersebut
memberi perhatian cukup besar tentang tema koperasi.[36]
Namun, yang penting untuk digarisbawahi, koperasi yang
dipromoikan BTI adalah koperasi yang didasari oleh analisa kelas. Dan bahwa
koperasi hanya satu jalan dan upaya dalam memperkuat ekonomi kaum
tani. Karenanya, Aidit, misalnya, dalam satu tulisannya dengan tegas menolak
pernyataan Moh. Hatta bahwa “koperasi adalah satu-satunya jalan untuk mencapai
kemakmuran bagi bangsa kita yang masih lemah”. Sebaliknya, dalam pandangan BTI
dan PKI, upaya pembangunan dan penguatan koperasi harus berjalan siring dengan
“perdjuangan Rakjat… melikwidasi kekuasaan kapitalis monopoli imperialis dan
sisa-sisa feodalisme di Indonesia”. Organisasi ini menyadari betul apa yang
disampaikan Soekarno dalam peringatan Hari Koperasi, 12 Juli 1962, bahwa “kita
punya tujuan bukan sekadar masyarakat kapitalis dengan koperasi, koperasi kaum
buruh atau kaum tani di dalamnya”.[37]
Karenanya, koperasi yang dibayangkan BTI bukanlah
koperasi yang diisi campur aduk antara kelas pemodal, petani kaya/besar, dan
petani gurem atau petani tunakisma penyakap (landless-tenants) dengan
kepentingan yang sesungguhnya berbeda satu sama lain. Alih-alih, koperasi kaum
tani idealnya dibangun secara swadaya, mandiri, dan berdaulat, tanpa campur
tangan pemodal yang hanya ingin menjadikannya sebagai ladang bisnis, dan dengan
subyek penerima yang jelas, yaitu kelas-kelas petani yang terdapat dalam lapisan-lapisan
paling bawah dalam stratifikasi sosial petani. Implikasinya, koperasi yang
dimaksud disini bukanlah koperasi yang sekadar menjadi ajang arisan “kelas
menengah” yang sedang gandrung dengan istilah dan konsep “koperasi”. Dan bahwa
mendirikan koperasi tanpa ditunjang analisa kelas sesungguhnya menjadi sebentuk
langkah melucuti “koperasi” dari elan dan potensi revolusionernya.[38]
Aidit, misalnya, dalam menyandingkan soal peran koperasi
dalam menggenapi program land reform menulis,
“Saudara-saudara tentu akan bertanya, di mana kedudukan
daripada koperasi dalam ekonomi nasional demokratis yang hendak kita bangun.
Koperasi memainkan peranan mengorganisasi pemilik-pemilik alat produksi kecil
seperti nelayan, tukang kerajinan tangan, dan terutama kaum-kaum tani yang
telah memiliki tanah-tanah garapan, baik yang dimiliki sebelum dilaksanakan landreform
yang radikal maupun sebagai hasil dari pembagian tanah yang disita dari tuan
tanah. Koperasi kaum tani, koperasi pertnaian akan merupakan organisasi ekonomi
yang membantu meningkatkan taraf hidup kaum tani dan mendorong peningkatan
produksi serta memajukan pertanian”.[39]
***
Tanpa perlu terjebak dalam glorifikasi dan romantisme,
rasanya memang perlu diakui bahwa BTI menjadi organisasi dan gerakan tani yang
pilih tanding sepanjang sejarah pertanian dan agraria di Indonesia. Tidak
berlebihan, sepertinya, apabila dinyatakan bahwa (sampai) hari ini, baik dari
segi kuantitas jumlah keanggotaan, maupun kualitas keorganisasian dan
signifikansi peran yang dimainkannya, belum ada organisasi petani yang mampu
menandingi BTI di Indonesia. Ben White, misalnya, menilai bahwa SPI (Serikat
Petani Indonesia) yang muncul segera setelah reformasi dan menjadi anggota
aktif La Via Campesina—satu organisasi “petani” trans-nasional terbesar
saat ini, masih jauh dari pencapaian BTI dengan tujuh juta anggotanya.[40]
Namun, bukan sekadar jumlah keanggotaan seperti yang
disoroti Ben White, yang juga penting untuk dilihat adalah relatif absennya
“warisan-warisan” BTI dalam serikat-serikat tani hari ini. Sejauh pengetahuan
saya, jarang kita temui organisasi tani yang juga memainkan peran sebagai
lembaga pendidikan, melakukan penelitian baik dalam kondisi sosial maupun
teknis pertanian, membangun koperasi-koperasi pertanian bagi kaum tani kecil,
dan terutama mempunyai analisis kelas yang solid dalam melihat dinamika dan
diferensiasi kelas petani di pedesaan.
SPI yang disinggung sebelumnya (dan hampir semua serikat
petani di Indonesia, sebenarnya), misalnya, masih mewakili tradisi neo-populis
yang juga dipegang oleh Via Campesina. Baik SPI maupun Campesina seperti
nampak enggan memproblematisir isu perbedaan struktural seiring dengan
penetrasi kapitalisme dalam sektor pertanian. Padahal, meskipun coba melindungi
“petani” dari ancaman-ancaman yang sifatnya eksternal, seperti perampasan lahan
atau monopoli korporasi benih dan agro-industri, tetapi tanpa memeriksa kondisi
internal pedesaan dan pertanian hari ini yang sudah ditandai oleh diferensiasi
kelas, maka organisasi dan gerakan tani terancam “barangkali bukan hanya akan
gagal menghancurkan kerangkeng eksploitasi bagi mereka yang begitu
mendambakannya, tapi bisa jadi justru turut melanggengkan posisi eksploitatif
itu sendiri”, seperti yang ditulis seorang pengkaji agraria.[41]
Dengan melihat kenyataan-kenyataan di atas, alih-alih
dimaksudkan sebatas mengenang kejayaan dan kebesaran organisasis petani
Indonesia di masa lampau, tulisan ini coba memberi sumbangsih dan tawaran,
bahwa banyak yang bisa dipelajari dan perlu diduplikasi dari gerakan dan
keorganisasian BTI terutama pada kurun 1950an dan 1960an oleh gerakan-gerakan
tani hari ini.
***
[1] Untuk kajian yang banyak menyinggung
soal Gerwani, misalnya, Saskia Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di
Indonesia (Jakarta: Kalyanamitra, 1999). Karya tentang Pesindo yang
menjadi cikal bakal Pemuda Rakyat seperti Norman Joshua Soelia, Pesindo:
Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1950 (Tangerang: Marjin Kiri, 2017).
Bandingkan dengan beberapa literatur soal Lekra seperti Muhidin M. Dahlan &
Rhoma Dwi Aria Yuliantri, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar
Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 (Yogyakarta: Merakesumba, 2008);
Alexander Supartono, Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia
1950-1965 (Yogyakarta: Wacana Sosialis); atau JJ Kusni, Di Tengah
Pergolakan: Turba Lekra di Klaten (Yogyakarta, Ombak, 2009).
[2] Sebelumnya memang sudah ada beberapa
kajian soal BTI, tetapi sifatnya lokal atau parsial hanya menyoroti isu
tertentu (semisal aksi sepihak), atau memang bertujuan untuk menggambarkan BTI
dengan citra yang buruk, sebagaimana dalam narasi Orde Baru. Lihat, misalnya
Octandi Bayu Pradana, Petani Klaten Bergerak: BTI, Aksi Sepihak, dan
Penghancurannya 1950-1965 (Yogyakarta: Kendi, 2016); atau Aminuddin
Kasdi, Kaum Merah Menjarah: Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur, 1950-1965 (Surabaya:
YKCB & CICS, 2001).
[3] Karl J. Pelzer, Sengketa Agraria:
Pengusaha Perkebunan Melawan Petani (Jakarta: Sinar Harapan, 1991), hlm
72. Tentu saja kita bisa meragukan angka-angka yang dikutip oleh Pelzer dari
publikasi-publikasi PKI atau BTI. Tetapi bahwa kenggotaan BTI memang besar dan
mengalami peningkatan pesat adalah kenyataan yang sulit ditepis.
[4] Padahal, jika mau adil, sebenarnya apa
yang disebut “aksi-aksi sepihak” dan pendudukan yang dilakukan oleh BTI bersama
Sarbupri (Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) di era sebelumnya
mempunyai peran besar dalam menasionalisasi aset-aset peninggalan Hindia
Belanda, khususnya perkebunan. Sebab, sebagai akibat dari perjanjian yang
disepakati dalam KMB (Konferensi Meja Bundar, pemerintah RIS yang dibentuk kala
itu harus mengembalikan aset-aset perkebunan kepada Belanda. Baca: Noer Fauzi
Rachman, Landreform dari Masa ke Masa (Yogyakarta: Tanah Air Beta,
2012), hlm 28 dan 51.
[5] Noer Fauzi Rachman, Petani dan
Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia(Yogyakarta: Insist,
KPA, dan Pustaka Pelajar, 1999), hlm 131.
[6] A. Nashih Luthfi dan Amien Thohari,
“Mochammad Tauchid: Tokoh Pendiri Bangsa, Gerakan Tani, dan Pendidikan Taman
Siswa” dalam Mochammad Tauchid, Masalah Pertanian Sebagai Masalah
Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia (Yogyakarta: STPN Press,
2009), hlm 644. Di kemudian hari, ketika organisasi ini semakin dekat dan
terafiliasi dengan PKI, yang menjadi ketuanya adalah Asmoe. Baca: Rex
Mortimer, Indonesia Communism Under Soekarno: Ideology and Politics
1959-1965 (Singapore: Equinox, 2006).
[7] Pelzer, Sengketa Agraria, hlm
72.
[8] Benedict R’O.G. Anderson, Java in
A Time of Revolution: Occupation and Resistance 1944-1966 (New York:
Cornell University, 1972), hlm 16-17.
[9] Mortimer, Indonesian Communism,
hlm 293. Ia mengutipkannya dalam Bahasa Inggris, dan penerjemahan ke Bahasa
Indonesia oleh penulis.
[10] Ruth McVey, Mengajarkan
Modernitas: PKI Sebagai Sebuah Lembaga Pendidikan (Jakarta, IndoProgress,
2016), hlm 29-30.
[11] Keterangan soal program PBH, SDS, dan
sekolah tani bersumber dari Ibid, hlm 39.
[12] Bandingkan, misalnya, dengan
pernyataan Taufik Ismail yang menganggap konsep “tujuh setan desa” sebagai jargon
semata. URL: https://radiobuku.com/2015/10/taufiq-ismail-di-pekan-raya-buku-frankfrut-komunis-gaya-baru-itu-ada/
[13] Tidak jelas benar, apakah lembaga ini
sama dengan Lembaga Keilmuan Jagus untuk Pertanian dan Pemilihan Benih yang
disebut oleh McVey. Namun, dengan melihat lokasi keduanya di Klaten, dan
keberadaan Jagus di dalamnya, ada kemungkinan (cukup besar) bahwa nama yang
berbeda ini merujuk pada lembaga yang sama, meskipun McVey menyatakan bahwa
Lembaga Keilmuan Jagus berdiri setelah Institut Pertanian Egom, artinya setelah
1963. Tentang sekelumit informasi soal JLPKPP, lihat Grace Leksana, “Jagus dan
Hilangnya Kedaulatan Pangan Kita” dalam Harian IndoProgress, 31 Oktober 2016,
URL: https://indoprogress.com/2016/10/jagus-dan-hilangnya-kedaulatan-pangan-kita/
[14] McVey, Mengajarkan
Modernitas, hlm 50. Persoalan produktifitas ini terasa semakin mendesak di
era kiwari, ketika lahan pertanian semakin menyempit, sementara pertumbuhan
penduduk dunia mengandaikan kebutuhan pangan yang terus meningkat. Hal ini juga
ditekankan oleh akademisi ekonomi-politik agraria Marxis, Henry Bernstein dalam
karyanya, Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria (Yogyakarta: insist
Press, 2015), khususnya pada Bab II.
[15] Leksana, “Jagus dan Hilangnya
Kedaulatan Pangan Kita”. Penulis berterima kasih kepada Kawan Wahyu Eka yang merekomendasikan
artikel ini.
[16] Ibid, hlm 52.
[17] Ibid, hlm 53.
[18] Iqra Anugrah, “Tiga Sama: Sebuah
Refleksi Etnografis” dalam Harian IndoProgress, 26 Juli 2016. URL: https://indoprogress.com/2016/07/tiga-sama-sebuah-refleksi-etnografis/
[19] Ben White, “Remembering The Indonesian
Peasants’ Front and Plantation Workers Union (1945-1966)” dalam Journal of
Peasant Studies 2015.
[20] Leksana, “Jagus dan Hilangnya
Kedaulatan Pangan Kita”.
[21] Nancy Peluso dan Gilian Hart,
“Revisiting ‘Rural’ Java: Agrarian Research in The Wake of Reformasi: A
Review Essay” dalam Jurnal Indonesia 80 (Oktober 2005).
[22] Bdk, misalnya Jonathan Pincus, Class,
Power, and Agrarian Change: Land and Labour in Rural West Java (London:
Palgrave Macmillan, 1996); Frans Husken, Masyarakat Desa dalam Perubahan
Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980 (Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 1998).
[23] Untuk kajian yang menyinggung soal
transaksi tanah setelah pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN)
di masa rezim Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, lihat Mohammad Shohibuddin,
Surya Saluang, dan Laksmi Safitri, Memahami dan Menemukan Jalan Keluar
dari Problem Agraria dan Krisis Sosial Ekologi (Bogor: Sains, 2010).
[24] Himar Farid, “The Class Question in
Indonesian Social Science” dalam Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae
(eds.), Social Science and Power in Indonesia (Singapore: Equinox
& ISEAS, 2005), hlm 167.
[25] Ben White, “UU nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa: Pertarungan Visi dan Wacana dalam Penelitian dan Kebijakan” dalam
Jurnal Wacana Nomor 36/Tahun XIX/2017.
[26] Farid, “The Class Question”, hlm 170,
190.
[27] Tegangan antara kedua pandangan ini
diulas lebih mendalam oleh Ben White dalam tulisan lain, “Marx and Chayanov at
The Margins: Understanding Agrarian Change in Java” dalam Journal of
Peasant Studies 2018.
[28] Mortimer, Indonesian Communism,
hlm 293-4.
[29] Kritik yang paling sistematis terhadap
kategorisasi ini, sejauh pengetahuan penulis, ditulis oleh Farid dalam “The
Class Qustion”; juga tulisannya yang lain “Sekilas Tentang Analisis Kelas dan
Relevansinya” dalam Harian IndoProgress, 7 dan 9 Januari 2008. URL: https://indoprogress.com/2008/01/sekilas-tentang-analisis-kelas-dan-relevansinya-bagian-1-dari-2-tulisan/; https://indoprogress.com/2008/01/sekilas-tentang-analisis-kelas-dan-relevansinya-bagian-2-habis/
[30] Lenin membagi kelas-kelas dalm sektor
agraria dalam kategori tuan tanah (big landowners/landlord), petani kaya (big/rich
peasants), petani menengah, petani kecil/miskin (small/poor peasants), petani
semi-proletar, dan buruh tani (agricultural labourers/proletariats). Baca:
Haroon Akram Lodhi dan Christobal Kay, “Surveying the agrarian question (part
1): unearthing foundations, exploring Diversity” dalam Journal of Peasant
Studies, Vol. 37, No. 1, Januari 2010.
[31] Farid, “The Class Question”, hlm 177.
[32] John Roosa, Dalih Pembunuhan
Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto(Jakarta: ISSI & Hasta
Mitra, 2008), hlm 235.
[34] Mortimer, Indonesian Communism,
hlm 261.
[35] D.N. Aidit, Peranan Koperasi
Dewasa Ini (Jakarta: Depagitprop CC PKI, 1963), hlm 14.
[36] McVey, Mengajarkan Modernitas,
hlm 38.
[37] Aidit, Peranan Koperasi Dewasa
Ini¸ hlm 13.
[38] Penulis berterima kasih kepada Kawan
Muhtar Habibi atas masukannya tentang poin analisa kelas dalam koperasi ini.
[39] Aidit, Peranan Koperasi Dewasa
Ini¸ hlm 11.
[40] White, “Remembering The Indonesian
Peasants’ Front”, hlm 13.
[41] Muhtar Habibi, “’Petani’ dalam
Lintasan Kapitalisme”, dalam Harian IndoProgress, 18 April 2018. URL: https://indoprogress.com/2018/04/petani-dalam-lintasan-kapitalisme/
Sumber: Islam Bergerak
0 komentar:
Posting Komentar