10.11.2018
| Anggun C Sasmi
Dalam sejarah bangsa Indonesia, sekian lama orang hanya
didoktrim bahwa komunisme menoreh episode hitam. Namun orang-orang tak pernah
dibiarkan untuk mengenal atau memahaminya. Simak opini Anggun C. Sasmi.
Saya anak ke 2 dari 5 bersaudara. Lahir bukan dari
keluarga yang berada atau bangsawan. Almarhum Bapak malah menyebut kami
keluarga "kere-wan”.
Bapak saya dulu bukan hanya penulis buku dan seorang
intelektual tetapi juga tukang guyon dan tokoh pemberontak di keluarganya
sendiri.
Waktu kami mulai masuk SD, Bapak berkeputusan untuk
menyekolahkan saya dan adik-adik di satu sekolah swasta Katolik sedangkan kami
keluarga Islam. Keputusan ini sempat membuat gempa kecil di keluarga.
Para pakde dan bude datang bergiliran untuk
"menasehati” Bapak dan membujuk kami untuk merubah pikirannya. Tetapi
tekanan dan intervensi dari mereka tidak berhasil. Bapak menginginkan
anak-anaknya mempunyai disiplin dan pandangan yang berbeda, terutama tentang
agama. Hingga hari ini saya sangat berterima kasih atas keputusan almarhum, dan
dari beliaulah saya belajar arti kata "tegar".
Saya termasuk anak yang suka belajar dan suka sekolah.
Atmosfer dan masa-masa itu adalah saat yang sangat menyenangkan.
Kecil-kecil
dipaksa nonton film horor
Hanya satu yang tidak saya sukai, setiap tanggal 30
September kami diharuskan menonton film G30S PKI. Bahkan sekolah saya sempat
menyewa 1 bioskop yang tidak jauh dari sekolah untuk supaya beberapa kelas bisa
menonton bersama. Murid yang absen hari itu diberi tahu untuk supaya tidak lupa
menonton film tersebut yang memang ditayangkan oleh TV nasional.
Itu adalah film horor pertama yang pernah saya lihat! Ada
banyak adegan penyiksaan dan pembunuhan yang sama sekali tidak wajar untuk
dilihat oleh anak-anak kecil. Entah mengapa badan sensor di Indonesia yang
tugasnya memberi etiket PG Ratings, film 17 tahun keatas, film dewasa dll,
memberi pengecualian yang istimewa terhadap film ini.
Yang saya pahami dari film tersebut adalah PKI itu
barbar, kejam, mereka harus diberantas. Itu saja yang saya tahu, selain itu
tidak ada lagi. Saya mencoba bertanya ke Bapak dan jawabannya adalah nanti akan
ada saatnya kita bicara tentang hal ini. Kala itu umur saya baru 8 tahun.
Sayapun mendengar kata "tabu” saat itu, tidak boleh
diomongkan, bahkan mungkin bisa bahaya.
Kesannya seperti Lord Voldemort dalam film Harry Potter
dengan julukan "He-Who-Must-Not-Be-Named”.
Masa pun berlalu dan pada akhir 1992, saya sudah menjadi
penyanyi dengan beberapa hit album. Akhir tahun itu saya sedang memproduksi
album terakhir di Indonesia yang saya beri judul "Anggun C. Sasmi… Lah!!!”.
Terus terang sekarang saya tak habis pikir kenapa bisa memberi judul album
seajaib itu?
Lagu-lagu sudah terekam, saya lalu harus membuat cover
album. Mulailah cari opsi beberapa fotografer dan grafis desainer. Saya dengar
dari teman-teman saya nama Dik Doank.
Setelah beberapa kali meeting dan melihat hasil
desain mas Dik, akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan bakatnya. Album saya
dirilis dengan dua desain berbeda untuk kaset dan CD.
Setahun kemudian ada masalah besar dengan mas Dik Doank.
Dia membuat cover dan booklet album mbak Atiek CB yang berjudul
"Magis”. Di salah satu gambar di booklet album, tampak
gambar Mbak Atiek yang sangat terkenal dengan ciri khas kaca mata hitam
dikelilingi guntingan foto dan gambar orang ada juga patung yang memakai kaca
mata hitam. Bagus sekali idenya.
Tapi ternyata ada kontroversi yang besar. Di salah satu
foto di booklet tersebut, ada satu orang yang memakai kalung
palu arit. Tiba-tiba hal ini menjadi sebuah kasus yang mengguncangkan
dunia musik di Indonesia. Hanya karena ada gambar palu arit yang kecil sekali
di booklet album.
Lord Voldemort…
Saya meninggalkan Indonesia menuju ke Inggris untuk
mencoba berkarier di luar negri pada akhir tahun 1994. Umur saya 20 tahun,
masih muda dan polos sekali. Semua yang saya tahu dan pelajari hanya semua yang
saya dapat di Indonesia.
Tahun 1995, saya meninggalkan Inggris untuk menetap di
Perancis. Saya tiba pada saat kampanye presidensial. Dari semua partai yang
mengkampanyekan kandidatnya, ada Partai Komunis! Terus terang bulu kuduk saya
langsung berdiri! Teringat adegan-adegan sadis di film G30S PKI yang sampai
sekarang tidak mungkin bisa saya lupakan.
Saya kaget kok bisa-bisanya satu negara membiarkan
komunisme berada? Tahukah pemerintah siapa sebenarnya mereka? Apa yang
telah mereka lakukan?
Kala itu tentu saja saya tidak mengetahui banyak hal
tentang komunisme, bagaimana mungkin bisa tahu wong selama di
Indonesia kita tidak mempunyai akses untuk mempelajari apapun tentang
komunisme. Tidak tahu siapa
Marx, siapa Trotsky.
Yang hanya kita dapati adalah kepastian bahwa komunisme
menoreh episode hitam di sejarah bangsa Indonesia. Titik.
Membuka tabir dan
meluruskan sejarah
Suami saya berasal dari Jerman. Seperti layaknya seorang
putra bangsa, dia diwajibkan untuk mengabdi kepada negaranya dan menjadi
prajurit. Saat berumur 19 tahun dia berada di Angkatan Udara Jerman. Tugasnya
kala itu adalah mempelajari semua jenis pesawat militer (Luftraumbeobachter)
sampai khatam, dan setelah itu ditugaskan untuk tinggal di hutan agar bisa
mengintai, memata-matai dan mengkonfirmasi ke stasiun radar, semua jenis
pesawat militer yang lewat dan dalam urutan yang jelas. Ini juga termasuk untuk
pesawat-pesawat musuh Jerman kala itu.
Walau hanya beberapa tahun menjadi prajurit tetapi untuk
kualitas tugasnya, suami saya diberi Medali Kehormatan, Ehrenmedaille der
Bundeswehr dari Menteri Pertahanan.
Saya mengenal suami sejak sembilan tahun lalu dan kami
memutuskan untuk menjadi pasangan hampir enam tahun ini. Salah satu yang saya
sukai dalam hubungan kami adalah komunikasi, suami seorang intelektual, kami
selalu ngobrol dan topiknya luas sekali, musik tentunya, kehidupan, budaya dan
terutama filosofi karena dulu dia belajar di universitas mengambil jurusan ini.
Dia pun menjelaskan saya tentang tragedi hitam di Jerman,
yaitu Nazisme. Bedanya semua orang Jerman sadar tentang sejarah mereka. Mereka
mempelajari tentang kejadian yang dampaknya masih bisa dirasakan hingga hari
ini di dunia. Pemerintah memberi mereka akses untuk menelaah fakta, memahami
juga mempelajari berbagai aspek dalam kejadian ini. Dipelajari agar tragedi
yang sama tidak terulang kembali. Ini membuat saya tergugah.
Komunisme adalah
ideologi politik yang telah terbukti tidak berhasil. Obsolete. Sebenarnya
hanya itu. Contoh konkretnya banyak di berbagai negara, Kuba, Cina, Jerman Timur
versi dulu dan juga Rusia atau Soviet.
Tetapi kejadian 30 September memberi pengertian yang lain
yang sampai sekarang telah mendarah daging di banyak sisi emosi orang di
Indonesia.
Ada kesalahpahaman karena tidak adanya penjelasan ataupun
pengertian. Hanya ada ketakutan. Ketakutan itu sampai ada di gambar palu arit
kecil dalam booklet album Atiek CB, juga ada di Festival buku di Ubud
yang terpaksa dibatalkan karena tadinya akan berdiskusi tentang peristiwa
tahun 1965.
Apakah isu sensitif tidak mungkin dibicarakan sama
sekali? Keterbukaan di Jerman memberi arti khusus yang berada di ingatan
kolektif orang-orang Jerman. Mereka akan selalu ingat sejarah mereka yang amat
sangat berat dan akan selalu menjadi bagian dari identas mereka, walaupun
mereka mau ataupun tidak. Tetapi satu yang jelas, mereka tidak lupa.
"All that is sacred and taboo in the world are
meaningless,” kata Anaïs Nin.
Sumber: DW.Com
0 komentar:
Posting Komentar