1
Saduran adaptasi novel "The Old Man and the
Sea" karya Ernest Hemingway
Cahaya fajar merambat di antara celah kabut subuh yang
mulai transparan. Si Nelayan tua dengan nafas yang melenguh. Terus mendaki
ketinggian dataran di atas pantai berpasir yang melandai.
Di kejauhan tersandar perahunya, sehabis bertarung dengan
deru arung ombak yang berdebur berkesinambungan. Sejenak ia menatap jauh
kesana. Sampai kesebalik ujung batas garis cakrawala. Di atas permukaan laut
yang samar melangut.
Ia telah melampawi suatu fase dalam salah satu
pengalamannya. Selaku daya juang manusia yang tangguh.. Bukan hanya melalui
pertarungan yang keras dan sengit melawan alam. Dengan gelombang ombak yang
menerjang tanpa ampun. Tapi juga terutama bergulat menghadapi mahluk-2 buas
yang ganas merajai lautan.
Ketika, di tengah lautan hampir sepanjang hari. Umpan di
mata kailnya lama tak tersentuh. Tiba-2 tersambar dan direnggut dengan kencang
oleh seekor ikan Todak yang besar.
Nah, dari sanalah dimulai pertarungan di antara dua
mahluk yang berbeda. Sepercik darah muncrat dari mulut ikan tangkapan yang
terluka oleh mata kail. Telah mengundang sebagai pemicu. Segerombolan ikan hiu
ganas memburu sang korban dalam pesta pembantaian yang dahsyat. Di antara
mereka, selaku mahluk sejenis.
Mau tak mau si nelayan tua terpaksa turun tangan untuk
bergabung dalam pertarungan segi tiga. Dengan mengandalkan sebilah dayung yang
tergenggam di tangan kekarnya. Untuk menggempur ikan-2 hiu lapar yang semakin
lama kian mengganas memangsa sang korban.
Kini, setibanya di ketinggian pantai. Matahari terbit
yang berkelindan di antara arakan kabut subuh yang kian menipis. Nafas si
nelayan tua yang terengah berdengus perlahan. Sambil berjalan menghela tarikan
tali dibahunya. Yang terhubungkan kemoncong seekor ikan laut yang tinggal
kerangka.
Seiring dengan sinar matahari pagi yang memancar terang
benderang. Si Nelayan tua, bagaikan sosok manusia perkasa, berdiri di pantai.
Tegak menjulang menggapai langit cerah.
Hatinya jauh dari rasa kesal dan kecewa. Betapapun ikan
tangkapannya hanya tinggal kerangka tulang-belulang. Tak apa! Untuk santapan
menu sarapan pagi bersama keluarganya yang menunggu di rumah. Telah menjadi
masa lalu.
Ia kini tinggal sebatang kara. Karena ketika ia sedang
melaut, semua keluarga termasuk bini dan anak-2nya. Telah menjadi korban
tenggelam dalam lumpur dari peristiwa gempa dan tsunami di Palu dan Donggala.
Bahkan kini ia disebalik kebanggaan berpikirnya. Bahwa ia
sadar, manusia sebagai mahluk alam species terting gi yang telah ditakdirkan.
Mau tak mau senantiasa hidup diuji terus menerus secara simultan. Melawan berbagai
tantangan apapun, di manapun dan kapanpun.
Untuk menjadi mahluk pemenang yang tak terkalahkan....
Untuk menjadi mahluk pemenang yang tak terkalahkan....
2
Ia menitikkan air matanya sambil tersedu. Dihadapannya
duduk serombongan keluarga korban peristiwa jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 di
perairan Tanjung Karawang. Banyak di antara tamu lainnya ikut berkaca-kaca
sepasang matanya. Terbenam dalam suasana duka-cita yang lirih.
"Kami bertekad bulat terus mencari! Sedaya upaya dan
kemampuan kami yang ada terhadap korban tersisa lainnya", sambil menghapus
airmatanya, ia berkata terbata-bata. Para tamu yang banyak, membiarkan saja ia
terhenti berbicara. Lama terdiam. Bahkan sampai beranjak diri pergi
meninggalkan ruangan.
Dia adalah Kepala Basarnas Marsdya, Muhammad Syaugi.
Telah memimpin Tim Gabungan dalam pencarian para jenazah korban. Di antara
reruntuhan pesawat yang pecah berkeping-keping. Remuk tercerai berai di area
sekitar radius 500 meter. Di perairan laut Tanjung Karawang Jawa Barat.
Pesawat jatuh dalam keadaan kecepatan tinggi. Menukik tercebur
di atas permukaan laut. Sehingga menurut para pakar, kehancuran pesawat justru
pada saat itu. Ketika terbentur air laut yang menjadi keras. Jadi bukan karena
meledak diudara.
Dengan mengorbankan 189 nyawa manusia. Terdiri dari para
penumpang dan crew pesawat. Tanpa segelintir orangpun yang hidup selamat. Suatu
tragedi kecelakaan pesawat yang paling mengenaskan. Di antara sekian peristiwa
musibah semacam itu yang pernah terjadi sebelumnya di Indonesia.
Terasa di bawah pemerintahan Jokowi, perhatian dan
kepedulian atas musibah kecelakaan pesawat ini sedemikian besar. Medsos, media
cetak dan elektronik, seperti TV. Meliput dan menayangkan breking-news secara
reguler di waktu yang panjang. Di setiap hari selama berminggu'minggu.
Drama kemanusiaan yang krusial justru berkelindan
merasuki ranah lingkungan mereka yang masih hidup. Ketimbang dengan nasib para
korban 189 nyawa yang telah mati tersebut, bebannya menjadi nol total. Kecuali
pencarian identifikasi nama-2 mereka untuk diketahui dan didaftarkan bagi keluarganya.
Seperti yang menimpa dan mendera nasib seorang aparat
birokrasi pemerintahan bernama Syaugi. Yang menangis tersedu, ketika dibebani
tugas dan tanggung jawab memimpin tim SAR gabungan. Untuk mencari 189 jenazah
korban yang telah hancur terpencar dalam keadaan relatif tak utuh lagi. Berada
terpendam di bawah lumpur dikedalaman dasar laut sekitar 35 hingga 40 meter.
Selaku aparat negara dengan perangkat mekanisme yang
teratur secara reguler. Koordinasi tim pelaksanaan kerja yang terbantu oleh
tehnologi relatif berkwalitas tinggi dan canggih. Ia mungkin laksana mesin
robot yang dapat bergerak cepat secara dinamis tanpa banyak kendala. Dalam
menghadapi tantangan tehnis di lapangan. Betaoa rumitnya sekalipun.
Namun, sebagai pribadi manusia yang punya kepekaan
perasaan kemanusiaan. Iapun rentan meneteskan airmata tersentuh kesedihan.
Tentu perasaan pak Syaugi tak hanya terharu oleh para keluarga korban yang
berduka karena rasa kehilangan yang dalam. Namun terutama juga ketika beliau
menyaksikan dan mengkhayati secara langsung di saat-2 berada di lokasi
lapangan. Apa yang terjadi?
Bayangkan! Setiap hari di siang dan malam, mereka
menerjuni dan menyelam dikedalaman laut yang penuh misteri. Menelusuri dan
mengais sosok jenazah yang sudah terkeping-keping. Menjadi daging bangkai yang
terpotong-potong secara terpencar dan terpisah. Di antara timbunan lumpur dan
puing-2 serpihan rongsokan pesawat yang rusak dan hancur lebur.
Terpaksa mereka mengumpulkan potongan-2 tubuh manusia
yang terserak kedalam kantong-2 plastik. Untuk kemudian diidentifikasi melalui
prosesi secara khusus yang tentu saja lebih rumit.
Sehingga dengan demikian secara manusiawi adalah wajar.
Jika kandungan airmata Pak Syaugi juga digenangi oleh suatu rasa depresi
kelelahan psikis yang berat, tak terhindarkan. Bahwa rutinitas tanggungjawab
kerja memimpin tim SAR gabungan yang kompleks semacam itu. Ternyata bukan
berarti dapat menghilangkan rasa trauma kemanusiaan yang menyentuh.
Inilah yang mungkin dirasakan oleh seorang humanis
Syaugi. Yang kebetulan membidangi Tim SAR kelautan. Selaku pimpinan elit
birokrat pemerintahan demokratis Jokowi.
Pertanyaan akhir kita. Dimanakah berada rasa moral
kemanusiaan seperti yang dimiliki pak Syaugi. Terhadap para jenderal AD, di
bawah rezim otoriter Orde Baru. Ketika mereka terlibat dalam pembantaian massal
(genosida) di peristiwa '65 ?
Konteks latar belakang sikonnya memang berbeda. Tapi
dapat dipastikan. Jikapun ada jenderal yang berjiwa semacam pak Syaugi. Berada
di bawah naungan sistem kekuasaan rezim fasis yang reaksioner. Maka ia akan
menjadi jenderal yang tiarap, munafik, dipindah 4tugaskan atau menjadi korban
pemecatan tidak hormat. Itu sudah lazim diberlakukan. Tapi yang terjadi dalam
sejarah. Ada yang menonjol, malah adalah sebaliknya.....
Sumber: Misbach Tamrin
0 komentar:
Posting Komentar