Penulis: Ali Makhrus | Rabu,
21 Nopember 2018
Karl Marx [Foto: fashionhistory]
Nabi Muhammad SAW dan Karl
Marx adalah dua sosok manusia yang tidak dipertemukan dalam satu kurun waktu
yang sama. Namun ide-ide keduanya telah menembus batas ruang dan waktu sejak
mereka dilahirkan hingga sekarang. Karl Marx adalah sosok manusia yang
mengkritik habis agama.
Bagi Marx, agama hanyalah
instrumen superstruktur untuk mengeksploitasi manusia. Ekonomi dan akses
produksi hanya dikuasai oleh aristokrat/kaum feodal alias borjouis yang tidak
punya rasa puas mengeruk keuntungan dengan memperbudak manusia lainnya
(proletar) (Gill Branston; Roy Stafford, 2003: 117).
Karena waktu itu, agama
Kristen hanya dijadikan kedok memperoleh keuntungan oleh pihak gereja, dengan
menyelingkuhkan diri dengan pemilik modal melalui transaksi jual-beli
fatwa-fatwa kekristenan. Bukan lantas Mark anti-agama, melainkan dia apresiatif
dengan agama, yang juga dapat menjadi dasar-dasar revolusi. Itu adalah cara
Marx dalam melawan ketidakadilan.
Nabi Muhammad, dalam common
sense umat Islam dunia, merupakan sosok revolusioner sejati yang melawan
struktur ketidakadilan yang telah mapan di Makkah. Kebiasaan orang melihat
Muhammad SAW karena dia adalah seorang utusan yang mengemban amanah keilahian
bagi kebaikan kehidupan manusia.
Dogma agama Islam memang dominan dalam menggiring pandangan kaum Muslim menuju satu persepsi bahwa Muhammad adalah manusia yang sudah dari asalnya suci. Hal ini akan berbeda jika frame work Marx yang digunakan untuk melihat Nabi Muhammad SAW.
Kaum Marxian melihat Nabi
dalam konteks dialektika historis yang berhasil membentuk beliau
sebagai sosok dengan karakter revolusiner. Uraian tersebut dapat kita nikmati
dalam buku Syed Ameer Ali dalam The Spirit of Islam atau versi
terjemahan “Api Islam”. Kobaran perang ideologis di tanah Hijaz adalah lonceng
keruntuhan kekuasaan yang mendominasi dan menghegomoni orang-orang lemah (mustadh’afīn).
Sebab, kemenangan
orang-orang mustakbirin (borjouis) kala itu menyebabkan kelas
proletar meyakini apa yang sedang mereka alami adalah sesuatu yang nyata (obvius)
dan harus diterima tanpa protes (natural). Atas nama banyak tuhan, mereka terus
melegitimasi ide tersebut seraya mengatakan, the eart was made by god (apa
yang terjadi di bumi ini adalah ketentuan tuhan).
Pada konteks sejarah, maka
kita akan menikmati seni perang ideologi dan kekuasaan yang eksotis dicontohkan
Nabi. Paham politeisme bangsawan arab dihantam dengan ideologi monoteisme
rumusan Muhammad. Menurut Syed Ameer Ali, konsepsi ideologis tersebut tidak
serta-merta take for granted dari langit.
Akan tetapi, ia merupakan
satu kesatuan proses sejarah dan pergulatan ideologis-spiritual Nabi yang telah
dia peroleh sejak masa kanak-kanak hingga dia berhasil meletakkan dasar-dasar
kehidupan masyarakat tanpa kelas dan yang membedakan hanyalah ketakwaan.
Sekat-sekat qobilah telah
nabi hancurkan. Salah satunya dengan pernikahan silang antarqobilah. Tindakan
berani tersebut dilakukan nabi pasca tiba di Madinah. Hal tersebut merupakan
upaya-upaya negoisasi dan pembangunan kesadaran kultural sebagaimana seruan Gramsci
(1891-1937) dalam rangka menyebarkan ide-ide melalui sistem nilai (agama),
kelompok partikular sosial dan nilai-nilai budaya.
Artinya, pertentangan tidak hanya melulu soal ekonomi (produksi dan akses produksi) sebagai basis struktur, melainkan persoalan agama, budaya dan kelompok sosial kecil yang ingin berjuang.
Selain ide tauhid, Nabi
juga menyebarkan ide-ide sosial melalui instrument ISAs (Ideological State
Apparatus) meliputi institusi keluarga, media, organisasi, agama dan sistem
pendidikan. Hanya saja, pandangan penulis, Nabi tidak seacara total menggunakan
RSAs (Represive State Aparatus) dalam hal ini hukum, penjara dan kekuatan
tentara kecuali pilihan terakhir.
Pola-pola ini nabi
berlakukan setelah ideologisasi telah mencapai batas cukup, yakni ketika
deklarasi Negara Madinah berhasil serta fondasi negara terbentuk dengan
kehadiran “Piagam Madinah”. Itu pun, dengan catatan sebagaimana dalam yang
populer dikalangan ulama ushul fiqh, adra’ul hududa ma istatha’tum (hindarilah
eksekusi selama kalian mampu).
Dengan demikian, bagi
Marx, Nabi Muhammad adalah sosok representasi kelas tertindas yang mampu
membalikkan keadaan. Hal tersebut dapat ditelusuri dari dinamika kehidupan
beliau yang telah lama bergaul dengan berbagai kelas sosial baik sebagai
peminum susu Tsuwaibah Aslamiyah yang merupakan seorang budak Abu Lahab, hidup
di kampung Halimah yang miskin selama empat tahun lebih.
Kemudian ekspedisi dagang
nabi ke berbagai tempat dan Negara. Sebagaimana uraian Syed Ameer Ali, Nabi
sesak dada melihat penampakan sosial yang tidak bermoral dan arogan.
Selain itu, pengalaman
berpolitik Hizbul Fudhul, konflik kepentingan peletakan Hajar Aswad,
kesaksian nabi atas tindakan amoral di sekeliling Kakbah dan Pasar Ukaz,
kecurangan-kecurangan ekonomi, kesombongan kelas, dan masih bnayak fakta-fakta
sejarah lainya, dan itu adalah bagian tidak terpisahkan atas Nabi.
Selanjutnya, Nabi
berkesimpulan, ide tauhid adalah kunci perang semesta melawan ide politeistik
penyebab segala kejumudan dan ketimpangan sosial yang ada pada saat itu.
Selanjutnya, wasilah-wasilah ideologis nabi mapankan satu-persatu, meliputi
pendidikan, ekonomi, politik, sosial, hukum, budaya, moral dan seterusnya.
Terakhir, apa yang telah
dialalui Nabi di masa itu, merupakan contoh ideal sehingga Raden Mas Panji
Sosorokartono merefleksikan itu dalam rupa falsafah Jawa yang tidak asing di
telinga kita, yakni “Sugih tanpo bondo, digdoyo tanpo aji, ngulurug tanpo bolo,
menang tanpo ngasorake, trimah mawi pasrah, sepi pamrih tebih ajrih, langgeng
tanpo susah, tanpo seneng, antheng mantheng, sugeng jeneng”.
Allahumma Sholli wa Sallim
wa Barik Alaih. Wallahu A’lam bi al– Showab
Sumber: Alif.Id
0 komentar:
Posting Komentar