Rabu 7 November 2018
Yogyakarta – Kader Pandu Inklusi Nusantara (PINTAR)
mengunjungi kantor sekretariat Forum Pendidikan dan Perjuangan Hak Asasi
Manusia (Fopperham) di Keparakan, Kota Yogyakarta pada Rabu 7 November
2018. Kunjungan ini merupakan salah satu rangkaian acara dari kegiatan Temu
PINTAR yang diselenggarakan pada 6-8 November 2018. Melalui kunjungan ini,
kader PINTAR dari berbagai daerah di Indonesia dengan berbagai latar belakang
isu belajar dari pengalaman Fopperham yang bekerja untuk korban pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM).
PINTAR disambut oleh kelompok seni beranggotakan
perempuan penyintas pelanggaran HAM 1965 yang menyanyikan tembang Jawa ‘Gugur
Gunung’ dan ‘Kiper’. Setelah itu, pengurus Fopperham memaparkan program-program
yang telah dilakukan untuk mewujudkan inklusi sosial bagi penyintas pelanggaran
HAM 1965.
Salah satu inisiatif yang dilakukan adalah One Week
One Mother. Melalui program ini, sukarelawan Fopperham rutin mengunjungi
penyintas untuk menemani dan memastikan kesehatan mereka yang sudah uzur. Astri
Wulandari, staf Fopperham mengatakan program ini diinisiasi pada 2014 dengan
mahasiswa yang ikut berpartisipasi sebagai sukarelawan. Selain di Kota
Yogyakarta, Fopperham juga menjalankan program serupa di Kabupaten Gunung
Kidul. Program yang dinamakan ‘Selangkah Meraih
Berkah Ngurusi Simbah’ ini berhasil menarik 57 ibu muda dari desa
sekitar sebagai relawan.
Berbagai program yang dijalankan Fopperham tidak lantas
selalu berjalan lancar. Terdapat berbagai halangan yang muncul. Salah satunya
dialami Muntiati ketika menjadi relawan.
“Pertama kali saya di sana masih didiamkan,” katanya mengingat pengalaman pertamanya menjadi relawan.
“Namun, perlahan-lahan ketika kami dekati akhirnya beliau bisa menerima dan justru sering menanyakan kapan kami kembali,” pungkasnya.
Setelah pemaparan program yang dilakukan oleh para
pengurus dan penyintas Fopperham, selanjutnya adalah pemaparan isu-isu spesifik
yang dibawa oleh kader PINTAR. Pemaparan dimulai dari Pak Sanusi sebagai kader
dari Sekber 65. Dalam pemaparannya beliau menyampaikan
mengenai stigma atau pandangan masyarakat terhadap PKI (Partai
Komunis Indonesia) dan Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI). Menurut beliau,
sampai saat ini sebagian besar masyarakat memandang bahwa PKI merupakan partai
yang tidak beragama dan berisi orang-orang dengan label “pembunuh jendral,”
padahal secara substansial PKI tidak seburuk itu.
Stigma-stigma tersebut telah tertanam sejak dahulu
sehingga sangat sulit untuk melakukan perubahan terhadap pandangan negatif
tersebut, sekalipun menggunakan fakta sejarah. Hal tersebut dikarenakan saat
ini fakta sejarah mengenai tragedi 1965 banyak yang dibengkokkan, salah satunya
sejarah yang terdapat di Monumen Lubang Buaya, Jakarta. Ukiran-ukiran dalam
monument tersebut menunjukan adanya penculikan dan penyiksaan terhadap tujuh
jendral oleh PKI. Menurut Pak Sanusi, narasi tersebut terlalu dilebih-lebihkan
sehingga menimbulkan kesan bahwa PKI bertindak sangat kejam. Dalam fakta
sejarah yang terjadi, tidak ada penyiksaan apapun seperti yang digambarkan
dalam Monumen Lubang Buaya.
”Kenyataan tentang PKI dan kejadian 65 memang dari dulu sudah diselewengkan. Ya, semua itu dilakukan untuk kepentingan-kepentingan politik Pak Harto yang pas itu berkuasa. Tidak ada yang namanya PKI melakukan penyiksaan seperti dalam cerita-cerita sejarah saat ini wong waktu itu pas di visum juga tidak terbukti,” tuturnya.
Pembelokan-pembelokan fakta sejarah tersebut yang
menjadikan pandangan-pandangan negatif tentang PKI tumbuh subur di masyarakat
hingga saat ini. Permasalahan lain yang sampai saat ini belum terselesaikan
dengan baik adalah mengenai pemulihan nama baik bagi para korban tragedi 1965.
Hal tersebut menjadi sebuah permasalahan yang krusial karena berkaitan dengan bagaimana
kedudukan seseorang dalam akses publik. Sejauh ini, Pak Sanusi bersama
teman-teman Sekber 65 telah berupaya mengadvokasi para penyintas tragedi 1965,
salah satunya dengan menupayakan pengobatan gratis di setiap layanan kesehatan
dan akses kependudukan.
Pemaparan selanjutnya oleh kader PINTAR yang merupakan
perwakilan dari institusi pemerintah, yaitu Ibu Sumilir. Dalam pemaparannya,
isu yang beliau angkat terfokus pada isu lansia yang hingga saat ini belum
mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah. Menurut beliau, isu mengenai
lansia tidak bisa dianggap sebagai permasalahan yang remeh. Hal tersebut karena
kesejahteraan lansia menjadi salah satu faktor yang menentukan angka harapan
hidup. Selain itu, perlu adanya peraturan daerah yang mewakili kepentingan dan
hak-hak para lansia di Kota Surakarta.
Isu kesejahteraan lansia merupakan isu yang perlu
diangkat berkaitan dengan program inklusi. Isu inklusif lain yang bahas adalah
isu mengenai kedudukan transpuan atau waria dalam ranah publik yang
dipaparkan oleh Ayu. Menurutnya, kedudukan waria yang semakin termarginalkan
dalam publik saat ini menjadi salah satu isu yang perlu mendapat perhatian
lebih. Sama halnya dengan penyintas 1965, kedudukan mereka yang sering
dipandang sebelah mata menyebabkan mereka sulit dalam mendapatkan akses publik.
Tidak hanya berkaitan dengan aspek sosial, namun juga kesehatan hingga
pekerjaan.
Setelah sesi pemaparan berakhir, terdapat sesi tanya
jawab yang diperuntukan bagi seluruh audiens yang terlibat dari kunjungan
tersebut. Salah satu pertanyaan yang cukup menarik dalam diskusi tersebut
adalah bagaimana isu-isu tersebut di blow up atau digoreng,
mengingat saat ini sedang adanya pergolakan politik dan bagaimana tindakan
untuk mencegah hal-hal tersebut. Jawaban pertama kali dipaparkan oleh Ayu
sebagai kader dari transpuan atau waria. Ayu memaparkan bahwa
berkaitan dengan isu LGBT saat ini sudah mulai muncul di permukaan. Sebagai
contoh adalah kos-kosan waria di Jawa Barat yang di datangi oleh sekelompok
orang dan dihimbau untuk tidak lagi menempati tempat tersebut. Upaya untuk
menghindari hal-hal tersebut adalah pembatasan kegiatan-kegiatan di luar yang
melibatkan komunitas waria atau transpuan, baik dari segi tempat maupun
publikasi acara.
Sekber 65 menjelaskan bahwa terkait dengan kondisi
politik saat ini, biasanya mereka menjadi sasaran utama yang dipolitisasi oleh
oknum-oknum tertentu. Bentuk politisasi yang sering terjadi adalah berupa
pemberian iming-iming mengenai pemulihan nama baik dan penyelesaian kasus
pelanggaran HAM masa lalu dengan tujuan agar mereka mau bergabung dan mendukung
salah satu tokoh politik tertentu.
Sedangkan pemaparan dari Fopperham, isu mengenai PKI atau
tragedi 1965 biasanya muncul pada momen-momen tertentu, seperti bulan
September.
Pada bulan tersebut seringkali terjadi
intervensi-intervensi dari oknum tertentu misalnya seperti pemasangan spanduk
hingga kampanye terbuka melalui media sosial maupun secara langsung. Hal
tersebut tentu sangat berpengaruh terhadap para penyintas pelanggaran HAM 1965.
Menyikapi hal tersebut, para pengurus dari Fopperham mengambil tindakan dengan
menunda sementara kegiatan di bulan September dan mengalihkan di bulan lain.
Selain itu, dalam program tour sejarah yang ditujukan
untuk anak-anak muda atau mahasiswa, Fopperham merubah konsep dari yang dulu
mengajak seluruh penyintas dalam tour tersebut diganti dengan mengajak beberapa
penyintas terpilih agar tidak mencolok dan melibatkan beberapa warga sekitar
sebagai narasumber. Selain itu, strategi lain adalah pemilihan tempat yang
tidak terlalu mencolok untuk kegiatan tour sejarah. Upaya-upaya tersebut
dilakukan dengan tujuan menghindari adanya serangan atau anggapan mencurigakan
baik dari masyarakat maupun oknum tertentu. Dengan begitu, tujuan tour sejarah
sebagai sebuah wadah dalam memperkenalkan sejarah kepada anak-anak muda dapat
tercapai tanpa adanya intervensi dari pihak lain.
Pemaparan berbeda dijelaskan oleh Pak Muslam sebagai
kader dari kelompok penghayat kepercayaan bahwa adanya stigma negatif dan
pandangan bahwa mereka merupakan kelompok musyrik. Gejolak-gejolak
tersebut sering terjadi dan disikapi dengan bijaksana. Salah satunya dengan
edukasi yang diberikan pertama kali kepada para masyarakat sekitar mengenai
beberapa adat dan cara ibadah yang dilakukan para kelompok penghayat
kepercayaan. Upaya tersebut dilakukan dengan tujuan agar masyarakat
tidak salah kaprah dalam menyikapi perbedaan yang ada.
Kunjungan yang dilaksanakan di Sekretariat Fopperham
diakhiri dengan makan siang dan penyerahan kenang-kenangan kepada pengurus
Fopperham serta foto bersama. Tujuan yang ingin dicapai dari kunjungan ini
adalah adanya pengetahuan lebih dalam mengenai kondisi dari isu-isu yang telah
dipaparkan, terutama isu mengenai kelompok inklusi, sehingga dapat memberikan
gambaran mengenai apa saja program-program lebih lanjut yang akan dilaksanakan
oleh para kader dalam mengatasi isu-isu tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar