Catatan: Martin L
Sumber Foto: Wikipedia
Tanggal 31 Oktober 1948, Musso meninggal dalam sebuah
kontak tembak jarak dekat dengan tentara yang mengepungnya di desa Semanding,
Ponorogo. Mayatnya dibawa oleh tentara ke Ponorogo. Soe Hok Gie dalam “Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan,”
hlm. 259 menyebut, mayat Musso dibawa ke alun-alun kota dan dibakar di hadapan
penduduk.
Ada versi yang menyebutkan, mayat Muso dibakar supaya
tidak hidup kembali karena beredar anggapan Musso sebagai seorang warok yang sakti. Ada juga alasan lain,
mayat Musso dibakar supaya orang tidak mengetahui dimana dia dikuburkan, supaya
makamnya tidak dijadikan sebagai tempat ziarah para simpatisan PKI.
Dalam sejarah resmi disebutkan, Musso datang ke Indonesia membawa instruksi Moskou, mencetuskan pemberontakan PKI dan mendirikan negara model Sovyet di Madiun. Pemberontakan ini kemudian dibumbui cerita tentang banjir darah umat Islam di ladang-ladang dan lubang-lubang pembantaian milik PKI.
Musso datang ke Indonesia pada tanggal 9 Agustus 1948,
dengan menyamar sebagai Suparto, sekretaris Suripno yang menjabat kepala
perwakilan RI di Eropa Timur. Setelah melalui perjalanan estafet dari
Bukittinggi, pada tanggal 11 Agustus 1948 pesawat amphibi Catalina yang
ditumpangi oleh Musso mendarat di Pantai Popoh, Tulungagung. Tanggal 12 Agustus
1948, Musso tiba di Yogyakarta. Dia menginap di rumah Amir Sjarifuddin di
Kotabaru.
Petrik Matanasi dalam “Musso
Gagal Menertibkan Keadaan, Akibatnya: Madiun Affair 1948” menulis secara
sinis:
“Ia (Musso) tampaknya pulang hanya untuk mengantarkan nyawanya ke Jawa, …. Banyak orang lebih percaya, ketertiban gagal diciptakan Musso karena ulah dia sendiri.”
Musso pulang ke tanah air bukan untuk mengantarkan
nyawanya. Tapi untuk meluruskan jalannya Revolusi Indonesia. Dia mati bukan
karena ulahnya sendiri, melainkan karena ulah Mohammad Hatta, yang telah
berkomplot dengan neo imperialis AS dan imperialis Belanda untuk merealisasikan
Doktrin Truman; pembendungan golongan anti imperialis di muka bumi.
Musso datang ke Indonesia membawa gagasan Resolusi Jalan
Baru Untuk Republik Indonesia (Jalan Baru). Secara ringkas Jalan Baru
menekankan bahwa satu-satunya jalan meraih kemenangan melawan Belanda ialah
dengan membentuk Front Nasional yang didukung oleh semua rakyat progresif
anti-imperialis, yang dipimpin oleh klas buruh. (Jajasan Pembaruan, Djalan Baru Untuk Republik Indonesia, Tjetakan ke-7
thn. 1953).
Resolusi ini menuntut pembatalan Persetujuan Linggarjati
dan Renville dan menekankan bahwa perundingan dengan imperialis hanya akan
terjadi berdasarkan pengakuan kedaulatan terhadap RI. Jalan Baru adalah
pokok-pokok pikiran Musso yang dipertahankannya dalam perdebatan-perdebatan
dengan para pemimpin CPN dan PKUS pada pertengahan Mei 1948 di Praha. Bukan
garis Moskou, bukan pula instruksi Komintern.
Tanggal 13 Agustus 1948, Musso dan Bung Karno bertemu.
Pertemuan itu berlangsung dengan akrab, sebab kedua tokoh ini pernah tinggal
bersama-sama di rumah H.O.S Tjokroaminoto di Surabaya. Bung Karno meminta Musso
agar ikut membantu perjuangan dan meredakan ketegangan antar kelompok politik
di Indonesia. Musso menjawab permintaan Bung Karno dengan kata-kata:
“Itu sudah menjadi kewajiban saya. Ik kom hier om orde te scheppen/ saya datang kemari untuk meredakan ketegangan” (Majalah Revolusioner, 19 Agustus 1948, hlm. 14)
Amir Sjarifuddin memfasilitasi pertemuan antara Musso
dengan pemimpin-pemimpin nasional untuk membahas tentang perlunya pembentukan
Front Nasional diantara kekuatan revolusioner di Indonesia. Bung Karno termasuk
salah satu tokoh yang datang menemui Musso ke rumah Amir. Terkesan dengan
pemikiran-pemikiran politik Musso, Bung Karno mengajak Musso untuk berpidato
dalam Perayaan HUT RI yang ketiga. Amir turut diajak serta. Dalam pidato
peringatan HUT RI yang ketiga itu, Musso melancarkan kritik kepada Hatta dan Amir.
Musso mengkritik pemerintahan Hatta yang begitu mudah
diintervensi oleh Amerika Serikat dan mengkritik Amir yang memberikan konsesi
luas bagi Belanda dalam Perundingan Renville.
Amir menjawab kritik Musso dengan kata-kata:”Mulai sekarang, revolusi harus berada di tangan unsur-unsur revolusi", Bung Karno menjawab:”Mari kita bersama mempertahankan Republik ini sebagai milik bersama.” (Soerojo, Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai, hlm. 67)
Ada pendapat menyatakan, Musso menusuk dari belakang, merancang perang saudara
untuk melemahkan republik supaya Belanda mudah melaksanakan agresi militernya
terhadap Indonesia. Pendapat ini harus diluruskan. Musso bersama Amir
Sjarifuddin, Sakirman, Sudradjat, Supeno, dan Djokosujono justru sibuk
mempersiapkan pemindahan pasukan untuk mengorganisir rakyat melakukan
perlawanan di daerah pendudukan Belanda.
Tujuannya supaya daerah pendudukan tidak stabil, gencatan senjata lumpuh dan Persetujuan Renville terhapus. Harapannya, bila rakyat memegang inisiatif perang, pemerintah terdorong ikut melawan Belanda dan revolusi akan kembali ke jalannya.
Tak lama sesudahnya, sejumlah komandan pendukung PKI bergerak ke arah berbagai demarkasi. Pergerakan pasukan ini diikuti dengan konsolidasi antar pasukan untuk mewujudkan perlawanan di daerah pendudukan Belanda (S. Kromorahardjo, Yang Berlawan: Kumpulan Catatan Untuk Tambahan Bahan Studi, hlm. 195).
Tujuannya supaya daerah pendudukan tidak stabil, gencatan senjata lumpuh dan Persetujuan Renville terhapus. Harapannya, bila rakyat memegang inisiatif perang, pemerintah terdorong ikut melawan Belanda dan revolusi akan kembali ke jalannya.
Tak lama sesudahnya, sejumlah komandan pendukung PKI bergerak ke arah berbagai demarkasi. Pergerakan pasukan ini diikuti dengan konsolidasi antar pasukan untuk mewujudkan perlawanan di daerah pendudukan Belanda (S. Kromorahardjo, Yang Berlawan: Kumpulan Catatan Untuk Tambahan Bahan Studi, hlm. 195).
Bersamaan dengan kampanye Jalan Baru, Musso dkk
mengundang partai-partai politik mengadakan konferensi “persatuan nasional”
untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk dari pihak Belanda.
Partai-partai politik pendukung PM Hatta; Masyumi dan PNI menolak undangan
tersebut. Tanggal 10 September 1948, kedua partai ini mengadakan rapat umum di
alun-alun Yogyakarta, dengan slogan-slogan:"Berdiri di belakang pemerintah
Hatta" dan "Bung Hatta, tunjukkan tangan besimu!” (Berita Antara tanggal 11 September 1948).
Seperti yang dikehendaki oleh para pendukungnya, Hatta
menunjukkan tangan besinya. Provokasi yang dilancarkan oleh pasukan-pasukan
pendukung Hatta dan pengikut-pengikut Tan Malaka terhadap sayap kiri melahirkan
insiden bersenjata antara Brigade 29 yang pro PKI dengan pasukan pendukung
Hatta di Madiun pada dinihari 19 September 1948. Insiden yang sebenarnya bisa
dilerai dan diselesaikan secara damai ini kemudian dituduhkan Hatta sebagai
pemberontakan PKI dibawah pimpinan Musso, yang harus ditumpas secara tangan
besi melalui operasi militer.
Sumber: Martin L
Logis nggak, sih ... menuduh Musso menikam bangsa Indonesia dengan cara melakukan kudeta, merebut Madiun, mendirikan negara Sovyet Indonesia, mengganti ideologi pancasila menjadi komunis dan atheis, ... dan sederet daftar tuduhan berat tingkat "DEWA" (bukan tingkat warkop ato medsos!), padahal Musso ini baru sebulan tiba di Indonesia??!! Apa ya mungkkeeenn ?? Fikirkan jawabannya dengan logika! Jangan cuma berpegang pada retorika di panggung orasi! Ingatlah bahwa situasi Indonesia saat itu dalam keadaan super tegang akibat Agresi Sekutu, pertikaian antar kubu politik dalam negeri, pergolakan di tubuh angkatan bersenjata, masalah ekonomi, sosial dan keamanan, dsb. Fikirkan lagi dengan bijak dan tenang.
BalasHapusSetau saya dari sumber tertulis, pihak 'Madiun' telah berupaya meminta koordinasi dengan Pemerintah pusat lewat kurir. Gagal. Soemarsono, petinggi militer madiun, mengatakan bahwa Soeharto juga telah diantar berkeliling Madiun untuk meninjau situasi keamanan sesuai penugasan dari Soedirman. Surat sebagai bukti Madiun AMAN ditandatangani Soeharto, untuk disampaikan kepada pimpinan militer! Ditambah satu surat tambahan untuk pemerintah pusat.
Trus, kenapa Bung Karno, Bung Hatta, ribut soal kudeta?? Pasukan Siliwangi menyerbu disusul seruan jihad dari para kyai?? Tanpa peduli hukum, menangkap dan membunuh?
Berapa banyak Sila didobrak, berapa banyak pasal dilanggar oleh petugas negeri ini? Mana barang bukti? pembela? BAP, Surat dakwaan, para hakim? ((Masa-masa itu, ribuan 'Hakim Agung' magang dengan tugas langsung di lapangan, menetapkan hukuman puncak yang tak mungkin lagi dianulir oleh malaikat sekalipun... Silahkan hukum dengan sesuka hati, sesuai selera, karena latar pengetahuan dan integritas tak penting.
Renungkan saja dengan tabah...
astaghfirullahalazim
Hapus