Minggu, 25 Nov 2018 14:18 WIB | May Rahmadi, Muthia Kusuma, Resky Novianto
Vonis hakim Mahkamah Agung yang memvonis Heri Budiawan
alias Budi Pego hukuman 4 tahun penjara dipertanyakan pelbagai pihak mulai dari
aktivis lingkungan, pakar hukum hingga Komnas HAM.
Ilustrasi: Aksi Warga Desa Sumberagung pada April 2017 menolak
tambang emas di kawasan Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi. (Foto: KBR/ Hermawan)
Jakarta - Pertimbangan hakim Mahkamah Agung(MA) memperberat
vonis Heri Budiawan alias Budi Pego menjadi empat tahun penjara, dipertanyakan
pelbagai pihak mulai dari aktivis lingkungan, pegiat HAM hingga komisioner
Komnas HAM.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pun mengaku
tengah menyusun peraturan untuk melindungi pejuang lingkungan.
Budi Pego, merupakan warga Desa Sumberagung yang menolak
tambang emas di Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur. Ia dijerat dengan
pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang kejahatan terhadap
keamanan negara. Budi dituduh mengibarkan spanduk berlogo palu arit saat aksi
menolak perusahaan tambang pada April 2017 lalu dan, karena itu pula ia
disangka menyebarkan komunisme.
Namun tuduhan tersebut menurut pengacara dan pakar hukum
yang mengamati persidangan, tak pernah bisa dibuktikan di pengadilan.
Meski begitu, pada Januari 2018 Majelis Hakim di
Pengadilan Negeri Banyuwangi memvonis Budi 10 bulan penjara karena dianggap
mengancam keamanan negara.
Tak terima, Budi mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi
Jawa Timur. Tapi yang didapat masih sama, hakim Pengadilan Tinggi malah
memperkuat pendapat bahwa Budi dianggap betul menyebarkan komunisme.
Budi dan kuasa hukum lantas berupaya melanjutkan proses
hukum kasasi ke MA. Namun proses ini justru membuat hukuman diperberat menjadi
4 tahun penjara.
Komisioner Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM ) Beka Ulung Hapsara menilai
keputusan hakim MA menambah hukuman aktivis lingkungan itu, tak tepat. Ia
curiga, keputusan hakim MA mengabaikan konteks perkara Budi Pego yang
memperjuangkan lingkungan.
Menurut Beka, para penegak hukum semestinya memahami
bahwa Budi tengah memperjuangkan hak-hak petani, hak lingkungan serta hak hidup
warga di sekitar Gunung Tumpang Pitu, bukan sedang menyebarkan ideologi
komunis.
Itu sebab Budi Pego, menurutnya tak bisa dijerat dengan
pasal kejahatan terhadap keamanan negara.
"Ini menjadi keprihatinan kami di Komnas HAM terkait putusan itu," kata Beka saat ditemui KBR di kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (23/11/2018).
"Sistem peradilan di Indonesia masih jauh dari keadilan. Karena mereka hanya berpikir positivistik, apa yang disangkakan kepolisian dan jaksa menjadi dasar keputusan MA. Kalau kemudian Budi Pego dituduh menyebarkan paham komunisme, saya kira tidak tepat," kata Beka lagi.
Celah Putusan
Senada, Peneliti dari Amnesty
Internasional Indonesia Papang Hidayat menilai pasal yang digunakan
untuk mempidanakan Budi itu tak relevan. Selain juga menurutnya, pasal menyoal
kejahatan terhadap keamanan negara tersebut rentan disalahgunakan.
"Pasal yang digunakan untuk mempidana sendiri itu sudah Amnesty tolak, pasal-pasal penyebaran ideologi segala macam. Kami ini menolak segala bentuk macam pelarangan ideologi apapun, termasuk komunisme," kata Papang saat dihubungi jurnalis KBR, Jumat (23/11/2018).
"Jadi memang seperti penodaan agama, itu kami tolak. Bukan hanya proses peradilannya saja, tetapi pasalnya juga kita tolak. Jadi siapapun yang dipidana lewat pasal itu, kami bilang itu merupakan pelanggaran HAM," sambungnya.
Sementara Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, Rere
Christianto menyebut langkah hakim MA memperberat hukuman Budi Pego merupakan
bentuk kriminalisasi pejuang lingkungan. Peradilan di tingkat MA ini ia anggap
lebih parah. Perkaranya, kejahatan yang dituduhkan kepada Budi ini tak bisa
dibuktikan ketika di pengadilan tingkat pertama.
Bukannya beroleh hasil pengujian keputusan, tapi malah
hukuman warga penolak tambang tersebut diperberat di tingkat kasasi.
Ia pun menganggap pemberatan vonis oleh hakim MA, tak
berdasar.
"Kriminalisasi terhadap pejuang-pejuang lingkungan di banyak tempat dan tentunya Banyuwangi ini, memang terbukti dari semakin diperberatnya hukuman diterima oleh Mas Budi Pego tanpa dasar apapun yang memadai. Kenapa kemudian hukuman 10 bulan yang menurut kami sudah salah, karena di pengadilan tidak berhasil dibuktikan semua dakwaan itu, malah kemudian diperberat di Mahkamah Agung," ungkap Rere kepada jurnalis KBR.
Pegiat lingkungan yang juga ikut mengawal kasus Budi Pego
tersebut curiga, isu komunisme sengaja digunakan untuk membungkam perlawanan
warga menolak tambang.
"Mas Budi dituduh menyebarkan komunisme, spanduknya saja tidak pernah ada secara fisik, tidak pernah ada hanya berbekal foto dan video. Kemudian menjadi itu saja kita melihat menjadi bukti yang memberatkan Mas Budi. Memang ada catatan sistematis untuk membungkam perlawanan warga melalui kriminalisasi."
Putusan Hakim MA
Disebut Berlawanan dengan Fakta Sidang
Hingga Jumat (23/11/2018), tim kuasa hukum belum menerima
salinan resmi dari Mahkamah Agung. Karena itu salah satu kuasa hukum Budi Pego
dari LBH Surabaya, Abdul Wahid mengatakan pihaknya pun belum mengetahui
pertimbangan Hakim MA memperberat hukuman kliennya.
"Jadi yang kami terima hanya amar putusan, tapi kami belum menerima putusan secara resmi, termasuk pertimbangan hakim agung dalam memperberat hukuman Budi Pego," kata Wahid ketika dihubungi jurnalis KBR.
"Meskipun secara hukum, harusnya karena itu kan yurisprudensi pertimbangan secara hukumnya tidak bisa menambah hukuman harusnya. Karena itu semua akan berkaitan dengan fakta, dan fakta itu sudah bertarung di tingkat pertama, dan bahwa faktanya memang seperti itu tapi justru MA malah memperberat," lanjut Wahid.
Menurut Wahid, fakta-fakta persidangan menunjukkan
kliennya tak terbukti membuat bendera berlologi palu arit. Sejumlah saksi pun
kata dia menyangkal pembuat logo palu arit adalah Budi Pego. Bendera dengan
gambar logo palu arit itu ditengarai menyusup di antara bendera-bendera
penolakan tambang yang dibikin warga.
Senada dengan Rere, Wahid pun menganggap pasal komunisme
digunakan untuk menghentikan penolakan tambang belaka. Sebab menurutnya, fakta
persidangan tak mampu membuktikan bahwa ada konten penyebaran komunisme dalam
aksi April setahun silam tersebut.
"Budi Pego tidak ada hubungan sekali dengan adanya spanduk yang di ruangan itu, bahkan spanduk bergambar palu arit itu tidak ada dan, tidak dihadirkan di persidangan," ungkap Wahid.
Kata dia, pihak MA menjanjikan bakal mengirimkan salinan
putusan paling lambat pekan depan. Tim kuasa hukum juga berencana mengajukan
Peninjauan Kembali, karena itu pihaknya bakal meminta Kejaksaan Negeri
Banyuwangi untuk menunda eksekusi.
Saat jurnalis KBR mengonfirmasi putusan tersebut,
alih-alih menjawab Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi malah meminta nomor
perkara untuk mengeceknya. Ia menjanjikan segera menginformasikan kasus ini
setelah menerima salinan putusan.
Perlindungan ke
Pejuang Lingkungan
Jerat hukum terhadap pejuang lingkungan tak hanya menimpa
Budi Pego. Hal serupa terjadi pada Joko Prianto, warga Rembang yang menolak tambang
dan pabrik semen di daerahnya. Hingga kini status tersangka masih melekat ke
Joko karena dituduh memalsukan dokumen terkait gugatan penolakan tambang dan
pabrik semen di Jawa Tengah.
Menteri LHK Siti Nurbaya mengungkapkan tengah memikirkan
yang bisa dilakukan kementeriannya untuk perkara Budi Pego. Ia bilang,
pemerintah jelas tak bisa mengintervensi proses hukum. Hanya saja menurut Siti,
kementeriannya tengah menyiapkan peraturan untuk melindungi para pejuang
lingkungan.
"Nanti saya lihat apa yang bisa kita lakukan. Kalau intervensi hukum, enggak memungkinkan. Yang pasti kita harus mengatur regulasinya tentang perlindungan aktivis itu," kata Siti Nurbaya saat ditemui di Gedung Kementerian LHK, Jakarta, Jumat (23/11/2018).
Peraturan untuk melindungi pejuang lingkungan tersebut
bakal berupa peraturan menteri. Kini draf Permen tersebut tengah dirampungkan
oleh tim KLHK. Namun begitu, Menteri Siti tak menjelaskan tenggat peraturan
tersebut bakal terbit.
Sumber: KBR.ID
0 komentar:
Posting Komentar