Ratko Mladic, mantan Jenderal Pasukan Serbia dinyatakan bersalah di Pengadilan Kejahatan Perang PBB di Den Haag. 100.000 orang warga muslim Bosnia dinyatakan tewas akibat peristiwa yang terjadi tahun 1992-1995 tersebut.
Sumber: DW.Com
WeBlog Dokumentatif Terkait Genosida 1965-66 Indonesia
“Sejak 1969 tentara Indonesia rutin menembaki demonstrasi damai, membakar pedesaan, dan menyiksa aktivis sipil,” demikian isi surat.
“Meski secara rutin dilarang dari provinsi tersebut, pengamat independen seperti Human Right Watch, Amnesty Internasional dan Tapol telah mendokumentasikan pelanggaran HAM yang parah dan endemik yang dilakukan pemerintah Indonesia di Papua Barat. Unit khusus dan pasukan kontra-terorisme seperti Kopassus dan Detasemen 88—dilatih oleh negara-negara Barat—terlibat dalam pemukulan, pembunuhan ekstra yudisial dan pembunuhan massal.”International Academics for West Papua mengajukan beberapa tuntutan. Antara lain mendorong pemerintah Indonesia untuk mendemiliterisasi Papua Barat—dimulai dengan penarikan pasukan dari wilayah tersebut, membebaskan tahanan politik, dan membuka akses bagi jurnalis internasional maupun pegiat kemanusiaan. Tak lupa, mereka juga mengajak komunitas internasional untuk turut peduli dengan apa yang terjadi di Papua Barat.
“Pertama, sejak invasi Indonesia pada bulan Desember 1975, Timor Timur telah menjadi saksi kekejaman terburuk di era modern—kekejaman yang semakin meningkat saat ini,” tegas Chomsky melalui kanal Mother Jones.
“Kedua, pemerintah AS telah memainkan peran yang menentukan dalam meningkatkan kekejaman ini dan dapat dengan mudah bertindak untuk mengurangi atau menghentikannya. Tidak perlu mengebom Jakarta atau menjatuhkan sanksi ekonomi. Cukup bagi Washington untuk menarik dukungan dan untuk menginformasikan kepada kliennya di Indonesia bahwa permainan telah berakhir. Ini tetap berlaku karena situasinya kini mencapai titik balik yang penting—inilah alasan ketiga.”Referendum dilaksanakan pada 30 Agustus 1999 karena Presiden B.J. Habibie menyanggupi permintaan Sekjen PBB Kofi Annan. Hampir 80 persen rakyat Timor Timur ingin merdeka. Chomsky turut merasa lega, namun setelahnya kembali prihatin karena hasil referendum tak bisa diterima dengan legowo oleh TNI, yang membalas kekalahan dengan menyerbu warga Timor Timur, menghancurkan banyak rumah dan bangunan hingga melahirkan gelombang pengungsi ke daerah sekitarnya.
“Seperti tersangka lain, ia ditangkap tanpa melalui prosedur hukum yang ada. Ia ditangkap begitu saja tanpa ada surat perintah penangkapan,” tulis Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan (2011).Saat Sri Kayati ditangkap, para petugas itu bilang: Ia akan dibebaskan setelah suaminya dapat ditangkap. Belakangan, Sri Kayati menghuni Kamp Plantungan, tahanan khusus perempuan untuk mereka yang dianggap PKI. Di situ ia mengaku menyaksikan penganiayaan yang tiada tara kejamnya.
Bersama sisa-sisa anggota PKI dan simpatisannya, mereka membangun basis di Blitar selatan—yang kala itu terisolir. “Tak ada lagi pilihan bagi mereka selain melawan atau ditangkap hidup-hidup atau mati,” tulis Amurwani.Di situ Rewang ikut jadi pemimpinnya. Di Blitar selatan, terdapat sungai bawah tanah yang potensial menjadi lokasi pelarian dan persembunyian orang-orang komunis yang dikejar aparat tentara. Beberapa tahun pertama gerilya sisa-sisa komunis tersebut, mereka agak sulit dihantam, karena lokasi persembunyian yang disediakan alam itu.
Berkat bantuan dari “mantan Dandim Pandeglang, Letnan Kolonel Pratomo, Rewang dan kawan-kawan, mendapat latihan militer bagi para anggotanya. Gerakan mereka dengan cepat memperoleh simpati masyarakat sekitar. Sebab Blitar Selatan merupakan daerah terpencil dengan taraf hidup rakyat yang sangat minim,” tulis Dasman Djamaluddin dalam Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar (2008).
Sementara dalam Tahun Yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65: Esai-esai Sejarah Lisan (2004), Rewang mengatakan, "bahkan anak sekolah dasar pun membantu memberitahu seandainya ada polisi yang datang." Menurutnya, "massa di Blitar selatan memberikan perlindungan tanpa paksaan, karena aktivis PKI tidak membawa [senjata] apa-apa.”
“Selama di Blitar Selatan saya tanpa sabun dan handuk. Pendeknya kita benar-benar meninggalkan pola hidup kota,” terang Rewang dalam memoar yang diterbitkan Ultimus, Saya Seorang Revolusioner (2017), yang disusun Joko Waskito. Bagi Rewang, “perlawanan itu dilakukan dalam situasi amat sulit, ketika sebagian rakyat masih berada dalam ketakutan akibat pembunuhan massal yang sangat kejam dan biadab.”
Lalu, sebelum Agustus 1965, menurut MR Siregar dalam Tragedi Manusia dan Kemanusiaan (2007), “Rewang adalah Sekretaris Pertama CDB (Comite Daerah Besar) PKI Jawa Tengah.”
“Awal Juli 1966 saya pindah ke Jakarta. Kepindahan saya ke Jakarta karena mendapat tugas baru sebagai Kepala Departemen Kebudayaan dan Sekretariat CC [PKI],” aku Rewang yang akhirnya jadi anggota politbiro partai.Perlawanan di Blitar Selatan itu, menurut Rewang, hanya bertahan satu setengah tahun dari 1966 hingga 1968. Rewang tertangkap pada 21 Juli 1968 dan ketika diadili ia sudah siap dieksekusi mati. Namun, majelis hakim akhirnya memvonis penjara seumur hidup. Dalam memoarnya, Rewang bercerita soal salah satu anggota majelis hakim yang menjatuhkan vonis padanya belakangan masuk penjara Cipinang gara-gara korupsi.