Gelombang panas tumpah di jalan raya. Fajar terhempas.
Hiruk-pikuk melanda Jakarta pada 12 Januari 1966 itu. Ribuan mahasiswa turun ke jalan, menyerukan protes atas kondisi negara yang kian memprihatinkan. Protes ini bukan tanpa sebab. Tragedi berdarah Gerakan 30 September (G30S) 1965 menyisakan keguncangan yang tak kunjung reda lantaran pemerintahan Sukarno teramat lambat bertindak.
Para mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya yang tergabung dalam berbagai kesatuan aksi mengajukan tiga tuntutan: bubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta ormas-ormasnya, rombak Kabinet Dwikora, dan turunkan harga. Inilah tiga poin yang disuarakan para mahasiswa dan dikenal dengan nama Tritura atau Tri Tuntutan Rakyat.
Bung Karno Bimbang di Tengah Badai
Peristiwa G30S 1965 membuat Sukarno dalam posisi dilematis dan terjepit. Sang penyambung lidah rakyat Indonesia itu hanya bisa terdiam dalam kegamangan manakala aksi unjuk rasa datang bergelombang sebagai respons atas tragedi berdarah yang menyeret PKI sebagai salah satu tertuduh utama.
Bahkan, menjelang pergantian tahun, belum ada tindakan pemerintah yang berdampak positif. Presiden Sukarno tetap saja meragu dalam menentukan secara tegas apa yang mesti dilakukan untuk meredakan kemarahan sebagian rakyat terhadap PKI. Kekacauan yang berlarut-larut seperti ini efeknya sangat terasa, terutama di sektor ekonomi dan politik.
Sukarno tampaknya tidak punya solusi jitu untuk mengatasi masalah ini. Ditambah lagi, seperti diungkap Muhammad Umar Syadat Hasibuan dalam Revolusi Politik Kaum Muda (2008), keadaan sosial-ekonomi negara sedang terguncang akibat konfrontasi dengan Malaysia dan persoalan Irian Barat. Akibatnya, harga pangan dan sandang membumbung tinggi (hlm. 69).
Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI, yang terlibat langsung dalam situasi tersebut menggambarkan betapa kisruhnya keadaan pada masa itu. Dalam salah satu esainya yang dibukukan di bawah judul Zaman Peralihan(2005), ia menulis:
“Terjadi kepanikan yang hebat dalam masyarakat, terlebih kalau diingat pada waktu itu menjelang Lebaran, Natal, dan Tahun Baru Tionghoa. Harga membumbung beratus-ratus persen dalam waktu hanya seminggu. Para pemilik uang melemparkan uangnya sekaligus ke pasar, memborong barang-barang” (hlm. 4).
“Kekacauan ini,” lanjut Gie, “ditambah pula dengan politik menaikkan harga dari pemerintah. Tarif kendaraan umum rata-rata dinaikkan antara 500 persen sampai 1.000 persen. Tarif jasa-jasa lainnya juga ikut naik. Dan yang paling terpukul dari tindakan pemerintah adalah rakyat kecil, karena beras naik rata-rata 300 persen sampai 500 persen” (hlm. 4-5).
Ditambahkan pula oleh Gie, “Mahasiswa terpukul sekali, terutama dengan naiknya tarif angkutan umum. Harga bensin dalam waktu setengah bulan naik, dari 400 rupiah per liter menjadi 1.000 rupiah” (hlm. 5-6).
Gie menilai, pemerintah memang sengaja menciptakan situasi chaos seperti itu sebagai pengalihan isu. Masyarakat dikacaukan agar desakan mengganyang orang-orang PKI yang terlibat G30S 1965 teralihkan. “Dalam kepanikan umum ini, maka agen-agen gelap PKI akan semakin leluasa bergerak,” sebut Gie (hlm. 6).
Membubarkan PKI, apalagi mengganyang orang-orangnya, memang tidak mudah bagi Sukarno yang dikenal dekat dengan para petingginya. Situasi kali ini sungguh berbeda dengan Peristiwa Madiun tahun 1948. Kala itu, ia bisa dengan tegas mengatakan: “Pilih Musso atau pilih Bung Karno dan Bung Hatta?!”
Seperti ditulis Andreas A. Yewangoe dalam Dr. Johannes Leimena, Negarawan Sejati & Politisi Berhati Nurani (2007), sulitnya Bung Karno mengambil keputusan setelah tragedi 1965 bukan saja karena kesalahan PKI yang belum bisa dibuktikan, melainkan konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) yang digagasnya akan menjadi cacat (hlm. 211).
Keraguan-raguan Presiden Sukarno dalam menyikapi PKI serta kondisi perekonomian nasional yang kacau-balau membuat massa rakyat dan mahasiswa menuding Kabinet Dwikora tidak becus menjalankan kinerjanya. Karena itu, kabinet harus dirombak, bahkan kalau perlu dibubarkan.
Tiga tuntutan krusial pun terus-menerus diserukan. Dan kini, giliran azimat Tritura yang akan bekerja.
Tiga Tuntutan Rakyat
Gelombang aksi mahasiswa besar-besaran mencapai puncaknya pada 12 Januari 1966, tepat hari ini 52 tahun lampau. Ribuan mahasiswa bergerak ke Gedung Sekretariat Negara untuk memprotes kenaikan harga dan mendesak pemerintah agar meninjau kembali aturan baru terkait ekonomi yang justru menimbulkan dampak buruk bagi rakyat.
Beberapa elemen gerakan mahasiswa yang turut serta dalam demonstrasi itu antara lain Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), dan lainnya.
Bukannya diterima baik-baik, aksi unjuk rasa massal ini justru disambut panser dan bayonet aparat pemerintah. Tiga poin Tritura kian sering disuarakan dengan lantang kendati belum membuahkan respons positif dari yang berwenang.
Massa mahasiswa tetap bertahan di tengah pedihnya semburan gas air mata. Mereka terus menunggu jawaban dari pemerintah. Setidaknya, mereka ingin menemui Wakil Perdana Menteri (Waperdam) III, Chairul Saleh, yang saat itu tidak berada di tempat.
Cosmas Batubara, salah seorang pentolan unjuk rasa yang juga anggota Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), masih terkenang beratnya perjuangan mereka pada waktu itu. Pengalamannya dituangkan kembali dalam otobiografi yang berjudul Cosmas Batubara, Sebuah Otobiografi Politik (2007).
“Karena Waperdam III belum kembali, mahasiswa pun menunggu sambil duduk di jalan raya dan di halaman Sekretariat Negara. Sembahyang pun termasuk dilakukan di jalan raya itu sehingga lalu lintas macet total,” tutur Cosmas (hlm. 13).
Cosmas dan kawan-kawan tetap menanti kesediaan Waperdam III untuk menemui para pengunjuk rasa. Mereka menunggu hingga sore hari dalam keadaan haus dan lapar. Kebetulan, saat itu adalah bulan Ramadan dan sebagian besar mahasiswa berpuasa (hlm. 13).
Akhirnya, Waperdam III datang juga dan bersedia menerima para aktivis KAMI. Di depan Chairul Saleh, Cosmas—yang kelak menjadi menteri Orde Baru—membacakan Tritura sebelum disampaikan secara tertulis. Mendengar tuntutan tersebut, Waperdam III berjanji akan menyampaikannya kepada Presiden Sukarno.
Para mahasiswa sebenarnya mendesak agar Sukarno melaksanakan tiga tuntutan tersebut hari itu juga. Namun, tentunya presiden perlu waktu sebelum memberikan keputusan. Para pengunjuk rasa akhirnya bubar, tapi sesudah itu aksi tetap berlangsung hingga Tritura benar-benar dilaksanakan.
Dari Tritura ke Supersemar
Aksi demonstrasi digelar nyaris saban hari semenjak Tritura disuarakan pada 12 Januari 1966. Kinerja pemerintahan Sukarno terus dalam sorotan, termasuk terkait nasib PKI yang masih mengambang. Tuntutan pembubaran yang tidak segera dipenuhi ini lama-kelamaan bahkan berubah menjadi desakan agar Bung Karno turun takhta (Yewangoe, 2007: 211).
Dalam situasi macam itu, Sukarno selaku presiden mulai was-was dengan kemungkinan bahwa dirinya bisa saja dimakzulkan para demonstran. Ia kemudian mengundang delegasi mahasiswa untuk menghadiri Sidang Kabinet Dwikora pada 15 Januari 1966 di Istana Bogor.
Namun, yang diundang bukan hanya KAMI yang konsisten menuntut pembubaran PKI. Presiden mengundang pula Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) versi Partai Nasional Indonesia (PNI) pimpinan Ali Sastroamidjojo dan Surachman (dikenal dengan sebutan "PNI-Asu", akronim dari nama kedua pimpinannya), yang cenderung agak kiri dan dekat dengan Sukarno, serta beberapa elemen mahasiswa lainnya (Gie, 2005: 7).
Hasil rapat kabinet ternyata tidak memuaskan para mahasiswa. Presiden bahkan mengkritik cara-cara KAMI dan rombongannya dalam melancarkan unjuk rasa selama ini. Tak hanya itu, Sukarno juga tidak mau disalahkan atas melonjaknya harga yang sebenarnya merupakan dampak blunder kebijakan ekonomi pemerintah.
Reshuffle kabinet yang diumumkan Sukarno pada 21 Februari 1966 justru semakin memanaskan suasana. Ini terjadi lantaran masih ada beberapa tokoh berhaluan kiri yang dimasukkan dalam kabinet. Selain itu, dalam pidatonya, presiden masih membela PKI dengan mengatakan, justru PKI-lah yang pertamakali menuntut perombakan Kabinet Dwikora, lebih dulu ketimbang KAMI (Budi Setiyono & Bonnie Triyana, Revolusi Belum Selesai, 2014: 398).
Meledaklah unjuk rasa besar-besaran jilid kedua untuk merespons keputusan itu. Pada 24 Februari 1966, terjadi bentrokan antara demonstran melawan Resimen Cakrabiwara (Pasukan Pengawal Presiden) di depan Istana Negara. Dalam insiden ini, seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran UI bernama Arif Rahman Hakim tewas tertembak.
Sehari berselang, KAMI dibubarkan paksa oleh presiden sebagai konsekuensi atas kericuhan tersebut. Namun, gelora unjuk rasa anti-PKI tidak pernah padam. Sukarno yang kian terjepit akhirnya mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966(Supersemar).
Isi surat itu adalah perintah kepada Soeharto selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengendalikan keamanan dan ketertiban negara yang kacau serta mengamalkan ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno (Arvin Mahardika & Faza Nurul Ulya, UUD 1945 & Amandemen, 2016: 75).
Terlepas dari kontroversi yang terjadi kemudian, termasuk adanya beberapa versi Supersemar, Soeharto sangat jeli dalam menggunakan surat sakti tersebut. Supersemar menjadi legitimasi baginya untuk mengambil alih kekuasaan.
Pengaruh Bung Karno sebagai presiden semakin meluruh. Sebaliknya, pamor Soeharto kian menguat bak pahlawan penyelamat bangsa. Hingga akhirnya, Orde Lama benar-benar tamat dan digantikan Orde Baru pimpinan Soeharto. Kelak, kekuasaan Soeharto juga tumbang dengan cara yang nyaris sama: diguncang aksi mahasiswa.
Reporter: Iswara N Raditya Penulis: Iswara N Raditya Editor: Ivan Aulia Ahsan
0 komentar:
Posting Komentar