ARIEL HERYANTO | 11 JANUARI 2018
“Dua salah paham tentang hoax: (1) Baru muncul di era medsos, (2) bisa diselesaikan dengan memberi informasi akurat.”
Hoax, atau berita bohong, sudah
dianggap meracuni kehidupan masyarakat. Gejala ini marak sejak pemilihan
presiden 2014 dan semakin gencar pada pemilihan gubernur Jakarta 2017. Tapi,
semua itu belum apa-apa. Berbagai pihak khawatir, badai kabar bohong lebih besar
akan melanda Indonesia dalam bulan-bulan mendatang, menjelang pemilihan
presiden 2019.
Yang
pertama bersiap-siap adalah Kemenkominfo. Oktober tahun lalu, kementerian ini
telah membeli mesin berharga Rp211 miliar yang selain untuk mengadang
pornografi di Internet, juga akan menyensor hoax membangun.
Hoax
menjadi alat ampuh untuk mengejar kepentingan politik. Penggunaannya sebagai
alat berpolitik jauh lebih berbahaya ketimbangan penggunaan narkoba. Politikus
yang menggemari hoax tidak peduli dengan bahaya tindakannya, seperti perusahaan
besar yang membuang limbah beracun ke sungai di tengah kota.
Bagaimana
mengatasi badai hoax? Sebagian besar pihak hanya memberikan reaksi dangkal,
sesaat, dan kasus demi kasus secara sepotong-sepotong. Belum menukik ke pokok
akar permasalahannya.
Sulit
berharap sebuah masalah akan diatasi dengan jitu jika hanya gejala sesaat yang
ditangani, sedangkan akar masalahnya diabaikan.
Sebagian
besar kabar bohong yang muncul belakangan ini boleh dianggap sebagai
hoax-turunan atau hoax-ikutan (dengan huruf kecil). Yang jauh lebih berbahaya
dari semua itu adalah Hoax-Induknya (huruf besar) yang memungkinkan suburnya
pertumbuhan berbagai hoax-ikutan.
Dalam
seluruh sejarah Repubik Indonesia, sulit menemukan kabar bohong, bualan, atau
hoax yang lebih dahsyat dan merusak ketimbang cerita tentang “G-30-S/PKI”. Dahsyat
tingkat kebohongannya, dahsyat skala atau lingkup korbannya hingga beberapa
keturunan. Inilah hoax yang diproduksi dan disebarkan besar-besaran selama
lebih dari tiga generasi oleh negara sejak 1966. Berbagai lembaga dan
organisasi swasta ikut membantu.
Ada
dua kesalahan pemahaman yang lazim diyakini masyarakat tentang hoax.
Pertama, tidak benar bila hoax dianggap
menjadi masalah dalam waktu belakangan saja, bersamaan dengan populernya
istilah “hoax” itu sendiri. Juga tidak benar anggapan bahwa berita bohong
menyebar karena meluasnya pengunaan media sosial. Sensor terhadap media sosial
ibarat menggosokkan balsam untuk mengobati sakit kanker.
Kedua, salah bila wabah hoax dianggap
bisa diatasi semata-mata dengan menyebarkan sanggahan dan informasi akurat
sebagai wacana tandingan, terlepas dari Hoax-Induknya.
Demi
jelasnya, berikut ini dua contohnya. Pertama yang dialami Jokowi. Kedua, yang
dialami aktivis Heri Budiawan (atau Budi Pego) Pengadilan Negeri Banyuwangi awal
tahun ini.
Pengalaman Jokowi
Sejak
tampil sebagai calon presiden dalam pemilhan presiden 2014, Jokowi menjadi
sasaran tembak hoax lawan politiknya. Misalnya, tuduhan bahwa ia memiliki latar
belakang keluarga dengan PKI, atau bersimpati pada PKI.
Secara
faktual, itu tuduhan sampah. Tidak sulit untuk mematahkannya berkeping-keping.
Tetapi, sebagai serangan politik berbobot takhayul kelas berat, tuduhan itu
tidak bisa diabaikan. Tidak bisa dilumpuhkan dengan fakta-fakta seakurat apa
pun. Ia harus dihadapi sebagai takhayul politik.
Tidak
hanya sekali Jokowi menyanggah tuduhan terhadapnya. Tapi, sanggahan apa pun
tidak akan membendung takhayul yang sudah meresap dalam masyarakat lebih dari
tiga generasi ini. Pada langkah berikutnya, Jokowi mencoba strategi lain.
Bukannya menyanggah tuduhan, dalam dua kesempatan berbeda ia menyatakan akan
“menggebuk” jika PKI bangkit kembali.
Mungkin
ia ingin tampil seakan-akan tegas dan perkasa. Namun, di hadapan siapa pun yang
paham duduk persoalan, dengan membuat pernyataan itu Jokowi tampak takluk pada
takhayul yang justru ingin dilawannya. Bersama lawan politiknya, Jokowi ikut
mereproduksi takhayul tentang “bahaya PKI” yang merupakan turunan dari
Hoax-Induk berjudul “G-30-S/PKI”.
Tidak
ada wacana, tuduhan, umpatan, atau pujian yang secara alamiah atau tiba-tiba,
punya bobot mengangkat atau membanting martabat seseorang. Bobot itu harus
disusun dan dipasarkan dengan modal besar dan kerja keras sebelum diterima atau
ditolak masyarakat. Ini berlaku untuk semua kisah: dari kisah mukjizat kencing
Onta sampai kisah bahaya PKI.
Pada
awalnya Hoax-Induk “G-30-S/PKI” bisa menyebar leluasa berkat kawalan ketat
aparat berbekal senapan dan pasukan preman yang dididik tentara. Hoax itu
merebak dalam masyarakat dan bergaya sebagai “berita” ketimbang sebagai hoax.
Secara
formal dan faktual, Hoax-Induk “G-30-S/PKI” tersebut rapuh. Mudah dikuliti,
ditelanjangi, dan ditertawakan. Tapi, selama tiga dekade, hal itu sulit
dilaksanakan di depan umum. Tindakan demikian terlarang secara hukum dan
subversif secara politik. Menggugat atau menertawakan Hoax-Induk “G-30-S/PKI”
bisa diancam hukuman berat lewat pengadilan, atau mendapat balasan yang lebih
mengerikan di luar pengadilan.
Setelah
beranak pinak lebih dari satu generasi, Hoax-Induk “G-30-S/PKI” telanjur mapan
dan berkeliaran santai dalam fantasi dan bahasa gaul sehari-hari. Tidak lagi
dibutuhkan senapan atau preman untuk menjaganya 24 jam sehari dari ancaman
wacana tandingan.
Lama-kelamaan
Hoax-Induk itu hadir seakan-akan sebuah fakta. Seakan-akan PKI itu ancaman
terhadap bangsa-negara. Seakan-akan Komunisme identik dengan ateisme dan
merupakan musuh agama. Seakan-akan tahun 1965 PKI pernah memberontak kepada
negara. Seakan-akan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang dekat dengan PKI
pernah menari-nari telanjang di Lubang Buaya dan menyayat bagian tubuh para
jendral yang diculik pada 1965.
Di
atas lahan Hoax-Induk yang sudah mapan itu dikembangbiakkan berbagai ilalang
hoax-ikutan yang bukan-bukan. Tuduhan “PKI” hanya punya bobot dan belum
kedaluwarsa sebagai alat berpolitik selama Hoax-Induk “G-30-S/PKI” masih
dianggap benar secara faktual dan anggapan itu tidak dipertanyakan publik.
Melempar tuduhan PKI tidak perlu repot disertai penjelasan atau fakta di mana
jahatnya PKI.
Di
situ hoax punya status yang sederajat dengan takhayul. Ditakuti, tanpa
dipahami, dan tidak bisa dilawan dengan fakta. Selama Hoax-Induk “G-30-S/PKI”
berstatus sebagai takhayul, tuduhan PKI dengan mudah bisa dilemparkan siapa
saja, terhadap siapa saja.
Maka,
tuduhan “PKI!” mirip dengan tuduhan “Cina!” di masa Orde Baru dan pasca-Orde
Baru. Tidak perlu ada penjelasan di mana salahnya atau nistanya ke-Cina-an,
karena sudah dianggap jelas. Sama juga dengan umpatan “Jawa!” di sebagian
wilayah di luar Jawa kepada mereka yang kurang dihargai atau dihormati. Tidak
berbeda dari tuduhan “Islam!” di sebagian warga di Amerika, Eropa atau
Australia setelah serangan 9/11 di AS.
Bandingkan
juga dengan tuduhan “Perempuan!” di kalangan pria terhadap sesamanya yang
dianggap kurang maskulin. Sejak masa kebangkitan hingga kejatuhan rezim Orde
Baru, aktivis mahasiswa macho mengejek penguasa yang dianggap takut dengan
kiriman gincu atau kutang.
Pengalaman Budi Pego di
Banyuwangi
Minggu
pertama Januari lalu, aktivis Heri Budiawan alias Budi Pego dituntut 7 tahun
penjara oleh jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Banyuwangi. Ia dituduh
menyebarkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Ini
kasus paling belakangan dari ribuan, atau puluhan ribu, kasus serupa di negeri
ini. Sangat mungkin ini bukan yang terakhir selama masalahnya tidak
ditelanjangi sampai ke akarnya, yakni si Hoax-Induk.
Dakwaan
terhadap Heri Budiawan didasarkan pada dugaan adanya spanduk bergambar palu
arit saat unjuk rasa menolak pertambangan emas di Gunung Tumpangpitu,
Banyuwangi, April 2017. Tapi, dalam persidangan, pihak jaksa tidak berhasil
menghadirkan barang bukti berupa spanduk yang konon bergambar palu arit dan
konon dibuat di rumah tedakwa. Beberapa pihak sudah mengecam kesalahan teknis
pada dakwaan itu. Tetapi, salah besar jika dakwaan itu hanya dikecam karena
alasan legal-teknis sesepele itu.
Yang
lebih layak dipertanyakan, kalaupun spanduk seperti itu memang ada, lalu apa
salahnya? Menyimpulkan pembuatan atau peragaan spanduk bergambar palu-arit di
depan umum sebagai penyebaran ajaran Komunisme sama konyolnya dengan
menyimpulkan korupsi akan berkurang jika ada lebih banyak spanduk anti-korupsi
di depan umum.
Tapi,
kita juga masih tidak bisa berhenti di situ. Apa salahnya sebuah ajaran,
termasuk Komunisme atau Marxisme-Leninisme, jika dikaji secara kritis dan
terbuka? Apakah dengan sendirinya orang yang belajar akan menjadi komunis atau
marxis? Kalau begitu, semestinya ilmu kedokteran tidak boleh mempelajari
berbagai penyakit, supaya tidak sakit! Kalaupun orang yang belajar Komunisme
ingin menjadi komunis, apa salahnya?
Yang
layak dipertanyakan bukan apakah Jokowi, Heri Budiawan, atau
siapa
saja bersimpati komunisme. Yang layak dipertanyakan: apa salahnya Komunisme
atau Marxisme? Yang layak dipertanyakan: apa yang sesungguhnya terjadi pada
tahun 1965? Takhayul macam apa yang selama ini diproduksi negara dan dijadikan
menu rutin oleh tiga generasi bangsa Indonesia? Apa tujuannya dan apa biaya
sosial yang harus dibayar bangsa ini?
Kini,
sudah saatnya kita bertanya: apa bedanya minum kencing onta dan mendengar kisah
tentang bahaya kebangkitan PKI di abad ke-21?
Sumber: Mojok.Co
0 komentar:
Posting Komentar