Reporter: Iswara N Raditya | 26 Januari, 2018
Soeharto dan Moerdani. Foto/garudamiliter.blogspot
Terbelahnya ABRI menjadi dua kubu bermula dari pembentukan ICMI pada 1990
Sejak awal 1990-an, politik identitas di tubuh TNI menguat. Ada kubu hijau dan kubu merah-putih.
Soeharto berganti haluan lagi di perjalanan tahun 1990 itu. Dari yang tadinya sangat dekat dengan kalangan non-agamis—Soeharto bahkan sempat menyatakan dirinya memang (Islam) abangan—menjadi sosok yang lebih “Islami” dengan mendekatkan diri ke barisan sayap kanan.
Lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada 7 Desember 1990 di Malang disebut-sebut sebagai titik penting “kembalinya” Soeharto ke jalur hijau (kelompok santri/Islam) yang pernah dirangkulnya untuk mengganyang PKI pasca Gerakan 30 September 1965, sekaligus meruntuhkan kekuasaan Sukarno dan Orde Lama.
ICMI dan “Perpecahan” ABRI
Di belakang ICMI yang dimotori Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) B.J. Habibie, berdiri jajaran petinggi TNI/ABRI, termasuk Feisal Tanjung yang menjabat Komandan Seskoad (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat), R. Hartono selaku Pangdam Brawijaya Jawa Timur, tokoh militer kawakan Achmad Tirtosudiro, dan lainnya.
Dalam sebuah wawancara, R. Hartono pernah mengungkapkan bahwa ia sebenarnya mendapat perintah dari Panglima ABRI saat itu, Try Soetrisno, untuk mencegah pembentukan ICMI di Malang. Namun, ia tidak melaksanakan amanat itu dan justru mendukung pembentukan ICMI dengan alasan disuruh oleh presiden.
“Saya takut Presiden Soeharto akan memecat saya jika saya menolak perintahnya untuk membantu pembentukan ICMI,” dalih R. Hartono dalam buku Krisis Masa Kini dan Orde Baru (2003) suntingan Muhamad Hisyam (hlm. 168).
Berdirinya ICMI pada akhir 1990 itu memang sempat mendapat tentangan dari sejumlah petinggi ABRI, terutama Menteri Pertahanan dan Keamanan Benny Moerdani. Ia mencemaskan ancaman ICMI sebagai organisasi sektarian dan berulang kali mengingatkan Soeharto akan bahayanya.
Teddy Rusdy, perwira intelijen dari Angkatan Udara, seperti dikutip dari buku Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016) karya Salim Said, menyebut bahwa Benny Moerdani sadar betul terhadap kerawanan dan sense of survival minoritas vis a vis mayoritas. Moerdani berpandangan, jika ingin mencerdaskan umat Islam, cerdaskan seluruh rakyat Indonesia yang 80 persen lebih beragama Islam.
“Jadi, kehadiran ICMI dipandang Benny Moerdani lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Ini adalah sikap ABRI dan disuarakan juga oleh Jenderal Try Soetrisno dan Jenderal Edi Sudrajat yang beragama Islam,” sebut Teddy Rusdy (hlm. 109).
Namun, Soeharto tetap merestui lahirnya ICMI. Ia melihat, umat Islam berpotensi besar menjadi tambahan kekuatan untuk melanggengkan kekuasaan, sekaligus sebagai upaya islah atas berbagai kejadian sebelumnya yang menempatkan golongan santri dan ulama sebagai musuh negara, sebut saja Peristiwa Tanjung Priok, Tragedi Talangsari, dan lainnya.
Michael Vatikiotis dalam Indonesian Politics Under Suharto (1998) menilai, keputusan presiden mengizinkan ICMI amat mengejutkan. Namun, Soeharto memerlukan dukungan dari kelompok kanan untuk pemilihan presiden berikutnya. Vatikiotis menambahkan, kalangan Islam adalah satu-satunya kartu yang belum dicengkeram oleh Soeharto kala itu (hlm. 131).
Hal senada juga dikatakan Ginandjar Kartasasmita, salah satu menteri Orde Baru di era 1990-an. Seperti dikutip dalam buku Salim Said, ia megatakan, “Untuk hari ke depan kepentingan politiknya, Soeharto merasa harus berbaikan dengan kekuatan Islam yang sedang bangkit tersebut, meski untuk tujuan itu dia harus menyingkirkan (Benny) Moerdani,” (hlm. 109).
Soeharto memang mengakui itu, sebagaimana yang dikatakannya kepada Sarwono Kusumaatmadja. Menjawab kekhawatiran yang diungkapkan salah seorang petinggi Golkar sekaligus langganan menteri Orde Baru itu, Soeharto berkata, “Nggak usah khawatir. Itu (ICMI) ‘kan saya yang bikin. Maksudnya untuk mengandangi, termasuk yang (Islam) radikal, agar tahu mereka maunya apa dan lagi mengerjakan apa”.
“Untuk memastikan ICMI terkendali, saya pasang Habibie di situ [...] Mereka (kubu yang menentang pembentukan ICMI) itu konyol saja dan tidak tahu ICMI itu bikinan saya untuk mengerangkeng orang-orang itu,” lanjut Soeharto (hlm. 110).
Dalam sebuah wawancara, R. Hartono pernah mengungkapkan bahwa ia sebenarnya mendapat perintah dari Panglima ABRI saat itu, Try Soetrisno, untuk mencegah pembentukan ICMI di Malang. Namun, ia tidak melaksanakan amanat itu dan justru mendukung pembentukan ICMI dengan alasan disuruh oleh presiden.
“Saya takut Presiden Soeharto akan memecat saya jika saya menolak perintahnya untuk membantu pembentukan ICMI,” dalih R. Hartono dalam buku Krisis Masa Kini dan Orde Baru (2003) suntingan Muhamad Hisyam (hlm. 168).
Berdirinya ICMI pada akhir 1990 itu memang sempat mendapat tentangan dari sejumlah petinggi ABRI, terutama Menteri Pertahanan dan Keamanan Benny Moerdani. Ia mencemaskan ancaman ICMI sebagai organisasi sektarian dan berulang kali mengingatkan Soeharto akan bahayanya.
“Jadi, kehadiran ICMI dipandang Benny Moerdani lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Ini adalah sikap ABRI dan disuarakan juga oleh Jenderal Try Soetrisno dan Jenderal Edi Sudrajat yang beragama Islam,” sebut Teddy Rusdy (hlm. 109).
Namun, Soeharto tetap merestui lahirnya ICMI. Ia melihat, umat Islam berpotensi besar menjadi tambahan kekuatan untuk melanggengkan kekuasaan, sekaligus sebagai upaya islah atas berbagai kejadian sebelumnya yang menempatkan golongan santri dan ulama sebagai musuh negara, sebut saja Peristiwa Tanjung Priok, Tragedi Talangsari, dan lainnya.
Hal senada juga dikatakan Ginandjar Kartasasmita, salah satu menteri Orde Baru di era 1990-an. Seperti dikutip dalam buku Salim Said, ia megatakan, “Untuk hari ke depan kepentingan politiknya, Soeharto merasa harus berbaikan dengan kekuatan Islam yang sedang bangkit tersebut, meski untuk tujuan itu dia harus menyingkirkan (Benny) Moerdani,” (hlm. 109).
Soeharto memang mengakui itu, sebagaimana yang dikatakannya kepada Sarwono Kusumaatmadja. Menjawab kekhawatiran yang diungkapkan salah seorang petinggi Golkar sekaligus langganan menteri Orde Baru itu, Soeharto berkata, “Nggak usah khawatir. Itu (ICMI) ‘kan saya yang bikin. Maksudnya untuk mengandangi, termasuk yang (Islam) radikal, agar tahu mereka maunya apa dan lagi mengerjakan apa”.
“Untuk memastikan ICMI terkendali, saya pasang Habibie di situ [...] Mereka (kubu yang menentang pembentukan ICMI) itu konyol saja dan tidak tahu ICMI itu bikinan saya untuk mengerangkeng orang-orang itu,” lanjut Soeharto (hlm. 110).
Tentara Hijau vs Merah-Putih
Upaya Benny Moerdani dan kawan-kawan membujuk Soeharto agar mengurungkan niatnya mendukung ICMI tidak menemui hasil. Moerdani justru disingkirkan Soeharto setelah tidak lagi menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan sejak 17 Maret 1993.
Penentangan itu mulai surut setelah Soeharto mengindikasikan dukungannya terhadap ICMI. Bahkan, banyak tokoh militer yang kemudian bergabung. Meski demikian, seperti ditulis Robert W. Hefner dalam Islam, Pasar, Keadilan (2000), sebagian dari mereka masih tidak memercayai organisasi itu dan memandang rendah pemimpinnya, B.J. Habibie (hlm. 23).
Politik identitas di tubuh militer mulai mengemuka. Terciptalah sayap ABRI hijau, melawan sayap ABRI merah-putih. Hijau warna Islam, merah dan putih warna bendera nasional. Menurut Frans Husken & Huub de Jonge dalam Orde Zonder Order: Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965-1998 (2003), penggunaan simbol warna tersebut menunjukkan pandangan nasionalistis melawan pandangan yang lebih condong pada agama (hlm. 101).
Dikotomi tersebut kian kental lantaran maraknya pemberitaan yang menggolongkan tokoh militer seperti Feisal Tanjung, R. Hartono, hingga Syarwan Hamid—yang saat itu tengah menapaki karier cerah—sebagai kelompok hijau atau Islam (Edward Aspinall, Opposing Suharto, 2005:46). Sementara kubu Benny Moerdani bersama Try Soetrisno, Edi Sudrajat, dan lainnya, berada di kubu seberang alias golongan merah-putih.
Meski mulai mendekat ke golongan hijau, namun Soeharto tidak lantas membabat habis para perwira yang bersetia di kubu merah-putih. Kecuali Benny Moerdani yang disingkirkan karena dinilai punya pengaruh kuat, presiden masih mempertahankan bahkan menempatkan tokoh-tokoh militer dari kelompok merah-putih ke posisi yang cukup penting.
Try Sutrisno, misalnya, justru dipilih Soeharto untuk mendampinginya sebagai Wakil Presiden RI sejak 11 Maret 1993 hingga menjelang lengsernya. Edi Sudrajat, yang sempat menjadi Panglima ABRI selama tiga bulan, masuk kabinet sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan pengganti Benny Moerdani.
Untuk kubu sebelah, Soeharto juga memberikan posisi yang tak kalah penting. Karier militer Feisal Tanjung melesat naik dengan ditempatkan sebagai Panglima ABRI, mengalami peningkatan dari Komandan Seskoad dan kemudian sempat menjadi Kepala Staf Umum ABRI.
Begitupula dengan R. Hartono. Meskipun pernah bermasalah dengan Try Sutrisno lantaran menolak perintah untuk mencegah berdirinya ICMI pada 1990, namun Soeharto memberi jalan lapang bagi karier militernya (Hisyam, 2003:168).
Sama seperti Feisal Tanjung, karier R. Hartono melaju mulus dalam waktu singkat. Dari Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) pada 1994, kemudian Kepala Staf Sosial dan Politik (Kassospol) ABRI, hingga sebagai Kepala Staf TNI-AD pada 1995 yang merupakan puncak karier militernya.
Bahkan, Soeharto kemudian menunjuk R. Hartono untuk mengisi kabinetnya dengan menjabat sebagai Menteri Penerangan pada 1997, menggantikan Harmoko yang telah sangat lama menempati posisi itu, sejak 1983.
Penentangan itu mulai surut setelah Soeharto mengindikasikan dukungannya terhadap ICMI. Bahkan, banyak tokoh militer yang kemudian bergabung. Meski demikian, seperti ditulis Robert W. Hefner dalam Islam, Pasar, Keadilan (2000), sebagian dari mereka masih tidak memercayai organisasi itu dan memandang rendah pemimpinnya, B.J. Habibie (hlm. 23).
Politik identitas di tubuh militer mulai mengemuka. Terciptalah sayap ABRI hijau, melawan sayap ABRI merah-putih. Hijau warna Islam, merah dan putih warna bendera nasional. Menurut Frans Husken & Huub de Jonge dalam Orde Zonder Order: Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965-1998 (2003), penggunaan simbol warna tersebut menunjukkan pandangan nasionalistis melawan pandangan yang lebih condong pada agama (hlm. 101).
Dikotomi tersebut kian kental lantaran maraknya pemberitaan yang menggolongkan tokoh militer seperti Feisal Tanjung, R. Hartono, hingga Syarwan Hamid—yang saat itu tengah menapaki karier cerah—sebagai kelompok hijau atau Islam (Edward Aspinall, Opposing Suharto, 2005:46). Sementara kubu Benny Moerdani bersama Try Soetrisno, Edi Sudrajat, dan lainnya, berada di kubu seberang alias golongan merah-putih.
Try Sutrisno, misalnya, justru dipilih Soeharto untuk mendampinginya sebagai Wakil Presiden RI sejak 11 Maret 1993 hingga menjelang lengsernya. Edi Sudrajat, yang sempat menjadi Panglima ABRI selama tiga bulan, masuk kabinet sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan pengganti Benny Moerdani.
Untuk kubu sebelah, Soeharto juga memberikan posisi yang tak kalah penting. Karier militer Feisal Tanjung melesat naik dengan ditempatkan sebagai Panglima ABRI, mengalami peningkatan dari Komandan Seskoad dan kemudian sempat menjadi Kepala Staf Umum ABRI.
Begitupula dengan R. Hartono. Meskipun pernah bermasalah dengan Try Sutrisno lantaran menolak perintah untuk mencegah berdirinya ICMI pada 1990, namun Soeharto memberi jalan lapang bagi karier militernya (Hisyam, 2003:168).
Sama seperti Feisal Tanjung, karier R. Hartono melaju mulus dalam waktu singkat. Dari Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) pada 1994, kemudian Kepala Staf Sosial dan Politik (Kassospol) ABRI, hingga sebagai Kepala Staf TNI-AD pada 1995 yang merupakan puncak karier militernya.
Bahkan, Soeharto kemudian menunjuk R. Hartono untuk mengisi kabinetnya dengan menjabat sebagai Menteri Penerangan pada 1997, menggantikan Harmoko yang telah sangat lama menempati posisi itu, sejak 1983.
Melanggengkan Politik Identitas
Fenomena munculnya pemimpin militer dari kalangan Islam taat dan pembentukan ICMI serta keterlibatan Soeharto telah menimbulkan kehebohan, terutama di lingkungan ABRI (Harold Crouch, “ABRI and Islam”, dalam Tiras, 23 Februari 1995: 58). Lantas muncul istilah “penghijauan ABRI” atau “ABRI Ijo Royo-royo” untuk menggambarkan situasi panas yang terjadi pada awal dekade 1990-an tersebut.
Tapi, semua itu tak pernah lepas dari kontrol Soeharto. The Smiling General berada di balik dua kubu yang berseberangan itu, persis politik dua kaki yang sukses dimainkannya di masa lalu. Soeharto benar-benar berperan sebagai dalang yang dengan leluasa memainkan lakon sekehendak hatinya.
Hasnan Habib, petinggi militer Orde Lama yang “dibuang” Soeharto ke luar negeri untuk menjalani tugas diplomatik sejak 1982 hingga 1995, mengamininya.
“Hanya Soeharto yang punya kekuatan untuk menyelesaikan apapun di Indonesia. ABRI sangat lemah dan taat kepada Soeharto. Kami hanya menerapkan apa yang ia ingin kita lakukan,” ungkap Hasnan seperti dikutip Adam Schwarz dalam A Nation in Waiting, Indonesia in the 1990s (1994: 284).
Dikotomi hijau dan merah-putih di tubuh angkatan bersenjata seolah dilanggengkan karena masih ada hingga bertahun-tahun berikutnya, diwarnai dengan munculnya tokoh-tokoh baru, yang saling menebar intrik di pusaran atas kemiliteran, bahkan sampai detik-detik akhir menjelang tumbangnya Soeharto pada Mei 1998.
Setelah Orde Baru berakhir, dua kubu militer ini sebenarnya masih ada walau sempat sedikit senyap. Penggolongan hijau dan merah-putih mulai marak lagi setelah Pilpres 2014, yang memunculkan garis tebal antara pendukung dua calon presiden saat itu, Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Ini berlanjut pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
Beberapa manuver yang dilakukan Gatot Nurmantyo, yang dilantik sebagai Panglima TNI sejak 8 Juli 2015, semakin menunjukkan bahwa klasifikasi kubu hijau dan merah-putih ternyata masih terpelihara. Sebelum digantikan oleh Hadi Tjahjanto pada 8 Desember 2017, Gatot Nurmantyo berulangkali menunjukkan kedekatannya kepada golongan hijau.
Politik identitas, termasuk di kalangan militer, tampaknya masih akan menjadi barang jualan untuk gelaran politik berikutnya, baik Pilkada maupun Pilpres mendatang.
Sumber: Tirto.Id
Tapi, semua itu tak pernah lepas dari kontrol Soeharto. The Smiling General berada di balik dua kubu yang berseberangan itu, persis politik dua kaki yang sukses dimainkannya di masa lalu. Soeharto benar-benar berperan sebagai dalang yang dengan leluasa memainkan lakon sekehendak hatinya.
Hasnan Habib, petinggi militer Orde Lama yang “dibuang” Soeharto ke luar negeri untuk menjalani tugas diplomatik sejak 1982 hingga 1995, mengamininya.
“Hanya Soeharto yang punya kekuatan untuk menyelesaikan apapun di Indonesia. ABRI sangat lemah dan taat kepada Soeharto. Kami hanya menerapkan apa yang ia ingin kita lakukan,” ungkap Hasnan seperti dikutip Adam Schwarz dalam A Nation in Waiting, Indonesia in the 1990s (1994: 284).
Dikotomi hijau dan merah-putih di tubuh angkatan bersenjata seolah dilanggengkan karena masih ada hingga bertahun-tahun berikutnya, diwarnai dengan munculnya tokoh-tokoh baru, yang saling menebar intrik di pusaran atas kemiliteran, bahkan sampai detik-detik akhir menjelang tumbangnya Soeharto pada Mei 1998.
Setelah Orde Baru berakhir, dua kubu militer ini sebenarnya masih ada walau sempat sedikit senyap. Penggolongan hijau dan merah-putih mulai marak lagi setelah Pilpres 2014, yang memunculkan garis tebal antara pendukung dua calon presiden saat itu, Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Ini berlanjut pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
Politik identitas, termasuk di kalangan militer, tampaknya masih akan menjadi barang jualan untuk gelaran politik berikutnya, baik Pilkada maupun Pilpres mendatang.
0 komentar:
Posting Komentar