Sabtu, 13 Jan 2018 | Aryono
Ratusan mahasiswa IPB dan UI dikeluarkan karena dituduh terlibat gerakan komunis.
PASCA Peristiwa
Gerakan 30 September 1965, Partai Komunis Indonesia (PKI) dinyatakan sebagai
partai terlarang hingga sekarang. Pembersihan pun dilakukan baik kepada anggota
maupun simpatisan PKI, termasuk mahasiswa.
Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu
Pengetahuan (PTIP) Syarif Thayeb mengeluarkan Surat Keputusan Menteri PTIP No.
01/dar Tahun 1965.
“Suasana politik
yang disebabkan G30S/PKI memang sangat tidak menentu. Untuk pengamanan
perguruan tinggi, yang oleh PKI justru dianggap sebagai benteng terakhir, maka
tindakan yang cepat harus saya ambil. Sebagai menteri PTIP, saya menerbitkan
serangkaian kebijakan,” kata Sjarif Thayeb, “Tegas, Konsisten, tetapi Luwes,”
termuat dalam Diantara
Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun.
Thayeb melakukan
tiga tindakan besar. Pertama,
membubarkan 14 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang diselenggarakan PKI atau
organisasi massa di bawahnya, yang terdiri dari empat universitas, satu
institut, dan sembilan akademi.
Ke-14 PTS
tersebut antara lain Universitas Res Publika, Universitas Rakyat Indonesia,
Universitas Rakyat, Universitas Pemerintah Kotapraja Surakarta, Institut
Pertanian EGOM, Akademi Ilmu Sosial Aliarcham (AISA), Akademi Ilmu Politik
Bachtaruddin, Akademi Teknik Ir. Anwari, Akademi Jurnalistik Dr. Rivai, Akademi
Musik W.R. Supratman, Akademi Jurnalistik dan Publisistik Taruna Patria,
Akademi Ilmu Ekonomi Dr. Sam Ratulangi, Akademi Sastra Multatuli, dan Akademi
Sejarah Ronggowarsito.
Kedua, membekukan dan melarang kegiatan-kegiatan Central Gerakan Mahasiswa
Indonesia (CGMI) dan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (Perhimi).
Ketiga, menginstruksikan kepada segenap pimpinan PTN dan PTS untuk mengamankan
kebijakan tersebut serta melanjutkan pembersihan.
“Khusus mengenai Universitas Res
Publica yang didirikan oleh Baperki (Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan
Indonesia), kemudian diganti dengan Universitas Trisakti sampai sekarang.
Rektornya saat itu Ny. Utami Suryadarma terpaksa saya berhentikan karena tidak
mampu menguasai dan mengendalikan kampus,” ujar Thayeb.
Toyib
Hadiwidjaya, rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) sejak 1 Oktober 1966,
melaksanakan kebijakan tersebut. Dia melakukan pembersihan kampusnya sampai
dijuluki “tukang sapu” dari IPB.
“Dalam usaha
rehabilitasi, saya bertindak drastis. Dari sejumlah 2.300 mahasiswa IPB,
sebanyak 600 saya pecat. Kemungkinan mereka terlibat dalam G30S/PKI, sebab
mereka tidak memenuhi panggilan untuk kembali ke kampus. Oleh karena itulah
saya mendapat predikat ‘tukang sapu’ dari IPB,” kata Toyib, “Penyuluh Pertanian
dan Peternakan yang Tiada
Bandingan,”
termuat dalam Diantara
Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun.
Selain IPB,
Universitas Indonesia (UI) juga membersihkan diri dari mahasiswa yang diduga
terlibat gerakan komunis. Sejak Juni 1966, UI mewajibkan setiap mahasiswa
mengisi formulir screening yang
disediakan masing-masing fakultas.
“Jika mereka
tidak mengindahkan aturan screening ini
maka konsekuensinya adalah keluar dari fakultas,” tulis Kompas, 7 Juni 1966.
Tiga bulan
kemudian, Agustus 1966, hasil screening keluar
dan dikuatkan dengan SK Rektor UI No. 18/SK/BR/66 tentang hasil screening terhadap mahasiswa
yang menentang aksi Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat).
“Berdasarkan
hasil screening, pihak
UI memecat 13 mahasiswa, 264 mahasiswa terkena larangan mengikuti kuliah hingga
awal tahun 1967, dan 760 mahasiswa terkena wajib lapor dan indoktrinasi,”
tulis Kompas, 4
Agustus 1966.
Sumber: Historia
0 komentar:
Posting Komentar