Oleh: Akhmad Muawal Hasan - 7 Januari 2018
Ilustrasi Presiden Sukarno. tirto.id/Gery
Menahan gondok.
Pucuk-pucuk amarah
mekar di New York.
Pucuk-pucuk amarah
mekar di New York.
Pada 7 Januari 1965, tepat hari ini 53 tahun yang lalu, Presiden Sukarno mendeklarasikan Republik Indonesia keluar dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Keputusan ini sebenarnya tidak pernah diterima secara resmi oleh PBB dan belum ada presedennya sejak organisasi internasional ini berdiri.
Keputusan Sukarno membuat Sekretaris Jenderal PBB U Thant kebingungan. Ia perlu membongkar peraturan organisasi untuk menjawab dua pertanyaan pokok:
(1) Apakah keputusan tersebut sah? (2) Bagaimana sikap yang harus diambil PBB?
Butuh waktu dua bulan bagi U Thant untuk meresponnya. Pasal 6 Piagam PBB menyatakan Majelis Umum memang diberi kekuatan untuk menendang keluar negara anggota yang tak patuh pada aturan. Namun tak ada keterangan jelas bagaimana sikap resmi PBB jika sebuah negara ingin keluar secara sukarela.
Setelah berkonsultasi dengan delegasi PBB dan staf resminya sendiri, U Thant akhirnya menyimpulkan bahwa tidak ada yang bisa dilakukannya untuk mencegah sebuah negara yang ingin keluar dari organisasi. Ia lalu mengirimkan surat kepada Menteri Luar Negeri RI saat itu, Dr. Soebandrio, bahwa ia menyesalkan keputusan Indonesia.
Thant tergolong hati-hati. Tujuannya agar Indonesia bisa kembali bergabung kapan saja. Di dalam pengantarnya untuk laporan tahunan PBB bulan September 1965, Thant menulis bahwa ia berharap keputusan Sukarno “hanyalah fase temporer”. Ia juga menambahkan, untuk jangka pajang, Indonesia “dapat dilayani dengan sebaik-baiknya dengan melanjutkan keanggotaan dan dengan berpartisipasi sepenuhnya dalam kegiatan organisasi yang konstruktif.”
Narasi di atas tertuang dalam Public Papers of the Secretaries General of the United Nations: Volume 7 U. Thant 1965-1967 (2010) yang disusun sejarawan PBB Andrew W. Cordier dan Max Harrelson. Keduanya menjelaskan akar persoalan berawal dari sikap keras Sukarno terkait pendirian Malaysia yang memicu Konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Keputusan Sukarno membuat Sekretaris Jenderal PBB U Thant kebingungan. Ia perlu membongkar peraturan organisasi untuk menjawab dua pertanyaan pokok:
(1) Apakah keputusan tersebut sah? (2) Bagaimana sikap yang harus diambil PBB?
Butuh waktu dua bulan bagi U Thant untuk meresponnya. Pasal 6 Piagam PBB menyatakan Majelis Umum memang diberi kekuatan untuk menendang keluar negara anggota yang tak patuh pada aturan. Namun tak ada keterangan jelas bagaimana sikap resmi PBB jika sebuah negara ingin keluar secara sukarela.
Setelah berkonsultasi dengan delegasi PBB dan staf resminya sendiri, U Thant akhirnya menyimpulkan bahwa tidak ada yang bisa dilakukannya untuk mencegah sebuah negara yang ingin keluar dari organisasi. Ia lalu mengirimkan surat kepada Menteri Luar Negeri RI saat itu, Dr. Soebandrio, bahwa ia menyesalkan keputusan Indonesia.
Thant tergolong hati-hati. Tujuannya agar Indonesia bisa kembali bergabung kapan saja. Di dalam pengantarnya untuk laporan tahunan PBB bulan September 1965, Thant menulis bahwa ia berharap keputusan Sukarno “hanyalah fase temporer”. Ia juga menambahkan, untuk jangka pajang, Indonesia “dapat dilayani dengan sebaik-baiknya dengan melanjutkan keanggotaan dan dengan berpartisipasi sepenuhnya dalam kegiatan organisasi yang konstruktif.”
Narasi di atas tertuang dalam Public Papers of the Secretaries General of the United Nations: Volume 7 U. Thant 1965-1967 (2010) yang disusun sejarawan PBB Andrew W. Cordier dan Max Harrelson. Keduanya menjelaskan akar persoalan berawal dari sikap keras Sukarno terkait pendirian Malaysia yang memicu Konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Bermula dari Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Embrionya adalah keinginan Federasi Malaya, yang dikenal dengan nama Persekutuan Tanah Melayu, untuk menggabungkan Borneo Utara, Sarawak, dan Singapura menjadi satu negara baru. Indonesia sudah mencurigainya sebagai intrik untuk memecah belah Asia Tenggara sejak 1961. Namun segala kecaman tak membuahkan hasil kongkrit. Justru pada September 1963 Malaysia lahir di bawah restu Inggris.Sukarno menilai pembentukan Malaysia adalah proyek kolonialisme Barat yang akan mengancam eksistensi Indonesia yang baru merdeka. Ia melabeli Malaysia sebagai boneka bentukan Inggris—negara yang sempat menjajah Hindia Belanda pada 1811-1816. Inggris dianggap akan menggunakan negara baru di Semenanjung Malaya untuk mengetatkan kontrol dan kekuasaan. Dengan kata lain, mereka hendak melanjutkan kolonialisme gaya baru.
Saat suasana di kawasan masih panas gara-gara konfrontasi, baik di ranah diplomatik hingga kontak senjata di Kalimantan Utara, muncul rencana Malaysia akan dimasukkan sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK) PBB. Sukarno tambah geram. Pada 1964, ia mengancam Indonesia akan keluar dari PBB jika rencana tersebut benar-benar diwujudkan.
Ketika pada awal 1965 Malaysia benar-benar diangkat sebagai anggota tidak tetap DK PBB, Sukarno hilang kesabaran. Menurut catatan Cordier dan Harrelson, U Thant secara personal menghubungi Sukarno. Sayangnya, keputusan sang Pemimpin Besar Revolusi sudah bulat. Pada 20 Januari 1965 atau dua minggu usai deklarasi keluar dari PBB, Soebandrio mengirimkan surat resmi yang berisi pengunduran diri Indonesia dari PBB.
Politik Luar Negeri yang Agresif ala Sukarno
Satu dekade usai proklamasi kemerdekaan, Sukarno mencuri perhatian dunia dengan kebijakan dan pendekatan politiknya yang agresif. Dasarnya adalah sikap anti-nekolim atau anti terhadap proyek neokolonialisme-imperialisme. Sikap ini menganggap proyek kolonialisme dan imperialisme asing bukan lagi dalam bentuk klasiknya, melainkan dalam bentuk baru yang laten dan hampir tak tampak secara fisik. Pendirian Malaysia berkat bantuan Inggris, menurut Sukarno, adalah salah satu contohnya.Sukarno mengidam-idamkan Indonesia sebagai negara yang mandiri dalam berbagai segi. Kemandirian ekonomi akan menghindarkan Indonesia dari ketergantungan akan bantuan ekonomi dari negara atau lembaga internasional. Sukarno mencipta konsep Berdikari atau "berdiri di atas kaki sendiri" untuk mencapainya. Segala kebijakan yang berbau nasionalisasi juga membuat pemodal asing, terutama dari Barat, kesulitan masuk Indonesia.
PBB sesungguhnya dipandang negatif oleh Sukarno karena dianggap sebagai perwakilan para kolonialis Barat, sehingga kebijakan-kebijakan yang dihasilkan juga mencerminkan sifat neokolonialisme-imperialisme. Kenetralan yang digembor-gemborkan PBB, bagi Sukarno, hanyalah omong kosong belaka.
Meski PBB tetap membuka pintu, ketegasan Sukarno membuat Indonesia memutus hubungan dengan lembaga-lembaga PBB seperti Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan lain-lain. Dana bantuan sosial dan pendidikan senilai $50 juta pun gagal mengalir ke Indonesia, demikian cataat Associated Press dan dilaporkan ulang Rappler.
“Kita bisa beroperasi tanpa lembaga-lembaga khusus PBB. Ini baik untuk bangsa kita, untuk bisa berdiri di atas kaki kita sendiri. Saya sudah serukan sebelumnya: Persetan dengan bantuanmu!” begitu sesumbar Sukarno, sembari mengingatkan agar rakyat, kementerian, dan militer Indonesia siap menghadapi segala konsekuensinya. Sebab, baginya, “hanya dengan mengatasi kesulitan kita bisa menjadi bangsa yang besar.”Rakyat Indonesia memang kerap dirundung kesulitan ekonomi di era Sukarno. Inflasi tahun 1957 mencapai 42,40 persen. Angkanya jadi lebih gila-gilaan di pertengahan 1960-an atau memasuki era Demokrasi Terpimpin. Beberapa orang mengkritik, manuver politik luar negeri Sukarno tak memperbaiki kondisi perekonomian Indonesia—justru malah memperparahnya. Ada pula yang menganggap konfrontasi dengan Malaysia adalah pengalih isu bobroknya perekonomian RI kala itu.
Associated Press mencatat ada beberapa negara yang meminta Sukarno untuk mempertimbangkan ulang keputusannya. Sukarno mengucapkan terima kasih atas perhatian yang diberikan, namun ia tetap bertahan. Dualisme reaksi kemudian muncul, bahkan di antara negara-negara komunis yang sejak lama menjadi “kamerad-kamerad” pendukung kebijakan luar negeri Sukarno.
RRC, misalnya, mendukung Sukarno dengan menyatakan bahwa langkahnya bijak, tegas, dan menjadi dorongan besar bagi masyarakat Asia, Afrika, dan Amerika Latin untuk melawan imperialisme. Sementara Uni Soviet, yang menyediakan modal perang selama konfrontasi Indonesia-Malaysia, mewanti-wanti Sukarno terkait dampak setelahnya. Keputusan Indonesia, bagi Soviet, tak biasa serta membuat situasi terasa abnormal di internal organisasi PBB.
Polarisasi Baru Bikinan Sukarno
Pada 1961, Sukarno menggagas pembagian dunia antara Oldefo dan Nefo. Oldefo, singkatan dari The Old Established Forces, adalah kekuatan lama dunia yang sudah mapan dan bersifat imperialis-kolonialis. Negara-negara Barat rata-rata dikategorikan sebagai Oldefo oleh Sukarno.Nefo adalah The New Emerging Forces, yaitu kelompok negara-negara progresif dan mewakili kekuatan baru di tengah bipolarisasi Blok Barat dan Blok Timur. Negara-negara Nefo tumbuh di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Mereka berusaha bebas dari neo-kolonialisme dan neo-imperialisme Oldefo sembari berupaya membangun tatanan dunia baru tanpa eksploitasi manusia atas manusia.
Sebagaimana Sukarno yang secara radikal mendeklarasikan berdirinya pesta olahraga tandingan untuk negara-negara Nefo melalui ajang Games of The New Emerging Forces (Ganefo), bersamaan dengan pengumuman keluarnya Indonesia dari PBB, Sukarno mendeklarasikan berdirinya Conference of the New Emerging Forces (CONEFO).
CONEFO, dalam bayangan Sukarno, adalah kekuatan blok baru yang beranggotakan negara-negara berkembang. Organisasi ini didirikan dengan tujuan menyaingi dua kekuatan blok yang sedang berseteru untuk memperebutkan pengaruh: Blok Uni Soviet (Timur) dan Blok Amerika Serikat (Barat). Anggotanya antara lain Indonesia, RRC, Korea Utara, Vietnam Utara. Sementara pengamatnya antara lain Uni Soviet, Kuba, Yugoslavia, Republik Arab Bersatu, dan Organisasi Pembebas Palestina (PLO).
CONEFO diproyeksikan Sukarno sebagai kekuatan alternatif PBB. Semangatnya serupa dengan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955, yakni untuk mewadahi negara-negara dunia ketiga dalam posisi netral selama Perang Dingin. Netral, namun punya daya tawar, dan pastinya anti-nekolim.
Pada pidato Pembukaan Sidang DPR-GR tanggal 16 Agustus 1966 yang tercatat dalam Revolusi Belum Selesai (2014), Sukarno mencoba meyakinkan peserta sidang bahwa pembangunan gedung CONEFO adalah keputusan yang tepat. Katanya, gedung CONEFO ini bisa menjadi gedung serba guna, baik untuk konferensi internasional maupun acara DPR dan MPRS lain. Namun yang terpenting bagi Sukarno bukan gedungnya.
“Gedungnya tidak selesai, tidak jadi apa, asal CONEFO berjalan terus. Sebab, CONEFO bagiku, saya harap juga Saudara-saudara mengerti, adalah salah satu hal yang vital, yang harus kita adakan di dalam dunia yang sekarang ini. Jikalau benar-benar kita hendak mendirikan satu new world tanpa exploitation de l'homme par l'home dan exploitation de nation par nation,” tegasnya.Peristiwa G30S, yang terjadi beberapa bulan usai Indonesia keluar dari PBB, ternyata menjadi bibit penggembosan kekuasaan Sukarno. Paul Lashmar dan James Oliver mencatat di bukunya, Britain's Secret Propaganda War 1948-77, bahwa Inggris juga punya peran besar dalam upaya tersebut. Tujuannya sederhana: penguasaan sumber daya alam Indonesia melalui jalur investasi asing—sesuatu yang amat susah direalisasikan selama Sukarno berkuasa.
Dua tahun usai tragedi pembantaian ratusan ribu (ada yang menyebut jutaan) anggota PKI dan yang tertuduh lain, cita-cita Inggris berhasil: MPRS mencabut status Sukarno dan Soeharto dilantik sebagai presiden RI yang baru.
Melalui sebuah pesan tertulis kepada Sekjen PBB tanggal 19 September 1966, Indonesia menyatakan keinginannya untuk kembali jadi anggota PBB. Keinginan ini disambut hangat sidang Majelis Umum PBB yang digelar pada 28 September 1966. Perwakilan Indonesia kembali aktif di markas PBB. Bantuan internasional kembali mengalir ke Indonesia—plus beragam investasi asing dari Inggris dan negara-negara “nekolim” lainnya.
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Ivan Aulia Ahsan
Setelah keluar, Indonesia menolak bantuan $50 juta dari PBB. Sukarno menyebutnya untuk latihan "berdikari".
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar