Reporter: Petrik Matanasi | 11 Januari, 2018
Sekretaris Federal Buruh Pelaut Austrailia EV Elliot (kedua dari kiri) menyerahkan bendera republik Indonesia kepada Tukliwon (ketiga dari kiri). FOTO/Istimewa
- Para pelaut yang mendengar kabar Indonesia telah merdeka menari-nari kegirangan
Setelah mengabarkan kemerdekaan Indonesia di Australia, Tukliwon menggerakan buruh-buruh pelabuhan dan pelaut melakukan pemogokan.
Meski umurnya sudah 20, bagi orang Australia dia terlihat seperti remaja 16 tahun. Dia punya nama yang amat "pribumi", sekaligus terkesan ndeso di zaman ini: Tukliwon. Walaupun muda dan terlihat ndeso, Tukliwon bukan sembarang pemuda. Ketika Hindia Belanda runtuh, Tuk sudah jadi pelaut.
Seperti diungkap Rupert Lockwood dalam Armada Hitam (1983), kaum pelaut Indonesia di Australia berisikan orang-orang malang dengan gaji 3 dolar per bulan yang dikaryakan begitu rupa untuk kepentingan Belanda. Demi mengantar dan menyelamatkan nyawa pecundang-pecundang Ratu Wilhelmina yang ditekuk balatentara Jepang, pelaut-pelaut Indonesia itu harus bertahan tiga puasa tiga lebaran di Australia. Bahkan ketika datang ke Australia, mereka masih berpakaian sarung (hlm. 64-65).
Tuk dan pelaut lain tinggal di di Woolloomoolloo, pinggiran pantai Sidney. Rupert Lockwood menyebut Tuk belajar bahasa Inggris kepada Nyonya Gwyn William. “Teman-teman Australia telah mengusahakan kursus baginya di Kolese Teknik Sidney dan sesudah itu diberi pekerjaan sebagai montir perawatan di kapal-kapal tambangan Pelabuhan Sidney,” tulis Rupert (hlm. 91-92).
Pada suatu hari di bulan Agustus, Tuk mendengar berita radio yang menggembirakannya di kantor Serikat Pelaut Indonesia (Sarpelindo) di Woolloomoolloo. Berita penting pertama, Jepang sudah menyerah kalah. Dan yang kedua lebih penting lagi: proklamasi kemerdekaan Indonesia sudah dibacakan. Orang-orang Indonesia pelarian itulah, menurut Rupert, “yang mula-mula mendengar siaran dari Batavia mengenai proklamasi Republik pada 17 Agustus. Mereka menari-nari karena girang.”
Tuk begitu girang. Bahkan ketika dia mendatangi kelas Nyonya Gwyn William di Darlinghurst, dia tak sembunyikan kegirangannya. Tuk adalah Sekretaris Sarpelindo cabang Sidney. Dia punya kepentingan untuk menyebar berita-berita itu, tak hanya pada sesama orang Indonesia, tapi juga kawan-kawan Australianya.
“Pagi 18 Agustus 1945, dia pergi ke luar kantornya untuk menyebarkan berita gembira itu kepada mitra serikat kerja Australia,” tulis Hersri dalam artikelnya, "The exemplary life of Joris Ivens (1898-1989)", yang dimuat di Inside Indonesia No.22 (Maret 1990). Tuk segera dapat dukungan. Termasuk dari kawan-kawan pelaut dan buruh tepi air Australia.
“Bulan September 1945 Tukliwon didorong oleh Elliot dalam usahanya untuk mengatur boikot terhadap 25 kapal Belanda di Australia begitu mereka dipindah-tugaskan dari tugas perang ke tugas baru mengangkut barang-barang Belanda yang kembali Indonesia. Kedua orang ini lalu meminta dukungan dari Waterside Workers' Federation (Federasi Buruh Dok dan Pelabuhan) di Sydney,” tulis Martin O'Hare dan Anthony Reid dalam Australia dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (1995: 13).
Pemogokan menjalar. Para buruh yang mogok itu sadar bahwa kapal-kapal Belanda yang berangkat ke Indonesia nantinya akan menyiksa dan menjajah lagi Indonesia. Kapal-kapal itu juga dicurigai memuat senjata dan amunisi. Membiarkannya adalah dosa besar bagi para buruh itu.
Kapal-kapal Belanda pun tak kunjung berlayar ke Indonesia. Muatan-muatan tertahan. Gerakan pemogokan buruh-buruh Australia, yang mendukung kemerdekaan Indonesia itu, di kemudian haru dikenal sebagai Armada Hitam.
Film dokumenter karya Joris Ivens, Indonesia Calling (1946), menggambarkan pemogokan itu. Tak hanya kuli angkut, pekerja transportasi mematikan mesin truk mereka, begitu juga tukang cat kapal. Mereka ogah melayani kapal Belanda.
Tukliwon dan kawan-kawannya, termasuk Max Sekantu, memeriksa kapal-kapal yang tidak jadi berlayar. Di antara sekian kapal, sebuah kapal bernama Swarten yang diawaki orang-orang India sempat lepas jangkar. Namun, pelaut-pelaut India itu juga ikut mogok. Mereka merasa tertipu karena katanya akan ditempatkan di kapal sekutu tapi ternyata ditempatkan di kapal Belanda. Mereka bersimpati pada kemerdekaan Indonesia. “Perjuangan mereka adalah perjuangan kami. Kemenangan mereka adalah kemenangan kami,” kata salah satu pelaut India.
Tukliwon, seperti terekam di awal film Ivens, pulang ke Indonesia naik kapal Esperance Bay. Menurut catatan Muhammad Bondan dalam Memoar Seorang Eks-Digulis: Totalitas Sebuah Perjuangan (2011:90), kapal itu milik Inggris yang dijamin pemerintah Australia untuk mengangkut para pelaut Indonesia pada Oktober 1945. Mereka berjumlah sekitar 1400 orang dan dijamin tidak akan diturunkan di pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai Belanda. Demi memastikan hal itu, seorang pejabat Australia ikut serta dalam perjalanan.
Sebelum berlayar pada 13 Oktober 1945, E.V. Elliot ikut mengantar sebagai wakil buruh Australia yang jelas simpatinya pada orang-orang Indonesia. Elliot menyerahkan bendera besar setinggi leher Tukliwon. Hingga hanya sekitar kepala Tukliwon saja yang terlihat.
“Sebagai sekretaris Federal Perserikatan Buruh Pelaut, atas nama pergerakan buruh Australia, saya berikan bendera ini kepada Anda. Bawalah kembali ke Republik Anda yang baru, sebagai simbol dukungan para pekerja Australia dalam perjuangan kemerdekaan Anda,” kata Elliot. Selesai sambutan singkat itu, Tukliwon dan yang hadir bersorak: “Hip hip hore! Hip hore! Hip hore!”
Tukliwon pun memberikan sambutan yang juga singkat seperti Elliot. “Teman-teman, atas nama Republik Indonesia, saya mengucapkan terima kasih atas bendera ini. Kami tidak akan melupakan bantuan besar yang diberikan oleh buruh Australia pada awal Republik kami. Saat kami sangat membutuhkan pertolongan,” kata Tukliwon.
Tukliwon belum selesai. Sambil mengacungkan kepalan tangan naik-turun, dengan semangat penuh, Tukliwon berdoa: “Dan semoga Australia dan Indonesia bersatu selamanya!” Salah seorang hadirin berseru, “Indonesia Merdeka!” dan Tukliwon menirukannya, “Indonesia Merdeka!” Lalu mengulang-ulang lagi “Hip hore!”
Bertahun-tahun setelah peristiwa itu, Tukliwon sudah menjadi Tuk Subianto. Dia aktif dalam gerakan buruh. Tidak banyak catatan tentangnya. Jika tahun 1945 dia sudah 20 tahun, diperkirakan dia lahir pada 1925. Menurut catatan Oey Hay Djoen, Tukliwon tergolong “seseorang yang berbapak seorang Digulis.”
Ketika menjadi buruh di dermaga Tanjung Priok, menurut catatan Molly Bondan dalam Molly Bondan: Pengabdian pada Bangsa: Penuturan dalam Kata-katanya Sendiri (2008), dia terlibat dalam pengambilalihan kapal KPM yang berlabuh di Tanjung Priok (hlm. 127).
Sementara Pewarta Kemlu, Volume 4, Masalah 1-7 (1958:357) menyebut bahwa Tuk Subianto pernah menghadiri Konferensi Maritim ke-41 yang diselenggarakan organisasi buruh PBB (International Labour Organization, ILO) di Jenewa, Swiss, pada 29 April-16 Mei 1958. Ia berangkat ke sana dalam kapasitasnya sebagai Sekretaris Umum Serikat Buruh Pelayaran (hlm. 357).
Selepas 1965, menurut catatan Rupert Lockwood, sosok Tukliwon alias Tuk Sutrisno tidak pernah muncul. Tak ada kabar sama sekali tentang dirinya.
Seperti diungkap Rupert Lockwood dalam Armada Hitam (1983), kaum pelaut Indonesia di Australia berisikan orang-orang malang dengan gaji 3 dolar per bulan yang dikaryakan begitu rupa untuk kepentingan Belanda. Demi mengantar dan menyelamatkan nyawa pecundang-pecundang Ratu Wilhelmina yang ditekuk balatentara Jepang, pelaut-pelaut Indonesia itu harus bertahan tiga puasa tiga lebaran di Australia. Bahkan ketika datang ke Australia, mereka masih berpakaian sarung (hlm. 64-65).
Tuk dan pelaut lain tinggal di di Woolloomoolloo, pinggiran pantai Sidney. Rupert Lockwood menyebut Tuk belajar bahasa Inggris kepada Nyonya Gwyn William. “Teman-teman Australia telah mengusahakan kursus baginya di Kolese Teknik Sidney dan sesudah itu diberi pekerjaan sebagai montir perawatan di kapal-kapal tambangan Pelabuhan Sidney,” tulis Rupert (hlm. 91-92).
Pada suatu hari di bulan Agustus, Tuk mendengar berita radio yang menggembirakannya di kantor Serikat Pelaut Indonesia (Sarpelindo) di Woolloomoolloo. Berita penting pertama, Jepang sudah menyerah kalah. Dan yang kedua lebih penting lagi: proklamasi kemerdekaan Indonesia sudah dibacakan. Orang-orang Indonesia pelarian itulah, menurut Rupert, “yang mula-mula mendengar siaran dari Batavia mengenai proklamasi Republik pada 17 Agustus. Mereka menari-nari karena girang.”
Tuk begitu girang. Bahkan ketika dia mendatangi kelas Nyonya Gwyn William di Darlinghurst, dia tak sembunyikan kegirangannya. Tuk adalah Sekretaris Sarpelindo cabang Sidney. Dia punya kepentingan untuk menyebar berita-berita itu, tak hanya pada sesama orang Indonesia, tapi juga kawan-kawan Australianya.
“Pagi 18 Agustus 1945, dia pergi ke luar kantornya untuk menyebarkan berita gembira itu kepada mitra serikat kerja Australia,” tulis Hersri dalam artikelnya, "The exemplary life of Joris Ivens (1898-1989)", yang dimuat di Inside Indonesia No.22 (Maret 1990). Tuk segera dapat dukungan. Termasuk dari kawan-kawan pelaut dan buruh tepi air Australia.
Menggerakkan Boikot dan Pemogokan
Seminggu setelah menyebar kabar gembira, Tuk berkabar lagi soal rencana otoritas Belanda di Australia yang hendak membawa pulang pelaut-pelaut Indonesia pulang ke negeri asal. Namun, pelaut-pelaut Indonesia menolak pekerjaan yang diberikan otoritas Belanda, yang terkait dengan Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA). Partai Komunis Australia yang bermarkas di Jalan George, Sidney, tak luput memberi dukungan kepada Tukliwon. E.V. Elliot dari Australian Seamen's Union (Serikat Buruh Laut Australia) salah satunya.“Bulan September 1945 Tukliwon didorong oleh Elliot dalam usahanya untuk mengatur boikot terhadap 25 kapal Belanda di Australia begitu mereka dipindah-tugaskan dari tugas perang ke tugas baru mengangkut barang-barang Belanda yang kembali Indonesia. Kedua orang ini lalu meminta dukungan dari Waterside Workers' Federation (Federasi Buruh Dok dan Pelabuhan) di Sydney,” tulis Martin O'Hare dan Anthony Reid dalam Australia dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (1995: 13).
Pemogokan menjalar. Para buruh yang mogok itu sadar bahwa kapal-kapal Belanda yang berangkat ke Indonesia nantinya akan menyiksa dan menjajah lagi Indonesia. Kapal-kapal itu juga dicurigai memuat senjata dan amunisi. Membiarkannya adalah dosa besar bagi para buruh itu.
Kapal-kapal Belanda pun tak kunjung berlayar ke Indonesia. Muatan-muatan tertahan. Gerakan pemogokan buruh-buruh Australia, yang mendukung kemerdekaan Indonesia itu, di kemudian haru dikenal sebagai Armada Hitam.
Film dokumenter karya Joris Ivens, Indonesia Calling (1946), menggambarkan pemogokan itu. Tak hanya kuli angkut, pekerja transportasi mematikan mesin truk mereka, begitu juga tukang cat kapal. Mereka ogah melayani kapal Belanda.
Tukliwon dan kawan-kawannya, termasuk Max Sekantu, memeriksa kapal-kapal yang tidak jadi berlayar. Di antara sekian kapal, sebuah kapal bernama Swarten yang diawaki orang-orang India sempat lepas jangkar. Namun, pelaut-pelaut India itu juga ikut mogok. Mereka merasa tertipu karena katanya akan ditempatkan di kapal sekutu tapi ternyata ditempatkan di kapal Belanda. Mereka bersimpati pada kemerdekaan Indonesia. “Perjuangan mereka adalah perjuangan kami. Kemenangan mereka adalah kemenangan kami,” kata salah satu pelaut India.
Tukliwon, seperti terekam di awal film Ivens, pulang ke Indonesia naik kapal Esperance Bay. Menurut catatan Muhammad Bondan dalam Memoar Seorang Eks-Digulis: Totalitas Sebuah Perjuangan (2011:90), kapal itu milik Inggris yang dijamin pemerintah Australia untuk mengangkut para pelaut Indonesia pada Oktober 1945. Mereka berjumlah sekitar 1400 orang dan dijamin tidak akan diturunkan di pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai Belanda. Demi memastikan hal itu, seorang pejabat Australia ikut serta dalam perjalanan.
Sebelum berlayar pada 13 Oktober 1945, E.V. Elliot ikut mengantar sebagai wakil buruh Australia yang jelas simpatinya pada orang-orang Indonesia. Elliot menyerahkan bendera besar setinggi leher Tukliwon. Hingga hanya sekitar kepala Tukliwon saja yang terlihat.
“Sebagai sekretaris Federal Perserikatan Buruh Pelaut, atas nama pergerakan buruh Australia, saya berikan bendera ini kepada Anda. Bawalah kembali ke Republik Anda yang baru, sebagai simbol dukungan para pekerja Australia dalam perjuangan kemerdekaan Anda,” kata Elliot. Selesai sambutan singkat itu, Tukliwon dan yang hadir bersorak: “Hip hip hore! Hip hore! Hip hore!”
Tukliwon pun memberikan sambutan yang juga singkat seperti Elliot. “Teman-teman, atas nama Republik Indonesia, saya mengucapkan terima kasih atas bendera ini. Kami tidak akan melupakan bantuan besar yang diberikan oleh buruh Australia pada awal Republik kami. Saat kami sangat membutuhkan pertolongan,” kata Tukliwon.
Tukliwon belum selesai. Sambil mengacungkan kepalan tangan naik-turun, dengan semangat penuh, Tukliwon berdoa: “Dan semoga Australia dan Indonesia bersatu selamanya!” Salah seorang hadirin berseru, “Indonesia Merdeka!” dan Tukliwon menirukannya, “Indonesia Merdeka!” Lalu mengulang-ulang lagi “Hip hore!”
Bertahun-tahun setelah peristiwa itu, Tukliwon sudah menjadi Tuk Subianto. Dia aktif dalam gerakan buruh. Tidak banyak catatan tentangnya. Jika tahun 1945 dia sudah 20 tahun, diperkirakan dia lahir pada 1925. Menurut catatan Oey Hay Djoen, Tukliwon tergolong “seseorang yang berbapak seorang Digulis.”
Ketika menjadi buruh di dermaga Tanjung Priok, menurut catatan Molly Bondan dalam Molly Bondan: Pengabdian pada Bangsa: Penuturan dalam Kata-katanya Sendiri (2008), dia terlibat dalam pengambilalihan kapal KPM yang berlabuh di Tanjung Priok (hlm. 127).
Sementara Pewarta Kemlu, Volume 4, Masalah 1-7 (1958:357) menyebut bahwa Tuk Subianto pernah menghadiri Konferensi Maritim ke-41 yang diselenggarakan organisasi buruh PBB (International Labour Organization, ILO) di Jenewa, Swiss, pada 29 April-16 Mei 1958. Ia berangkat ke sana dalam kapasitasnya sebagai Sekretaris Umum Serikat Buruh Pelayaran (hlm. 357).
Selepas 1965, menurut catatan Rupert Lockwood, sosok Tukliwon alias Tuk Sutrisno tidak pernah muncul. Tak ada kabar sama sekali tentang dirinya.
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar