23/01/2018 | Fathiyah Wardah
Mahasiswa melihat patung bentrokan antara
polisi dan mahasiswa di Universitas Trisaksi. Pameran itu memperingati satu
tahun tewasnya empat mahasiswa Trisakti dalam demonstrasi anti-pemerintah yang
berujung mundurnya Presiden Suharto, Jakarta, Mei 1999 (Foto:dok)
Setahun lebih menjelang masa kepemimpinan Presiden
Joko Widodo berakhir, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
mengingatkan presiden untuk segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat
masa lalu.
Dalam pidato nawacita, presiden Joko Widodo berjanji
ingin menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Keenam kasus
pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum selesai, yaitu kasus 1965-1966,
penembakan misterius (1982-1985), Peristiwa Talangsari Lampung ( (1989),
penghilangan orang secara paksa (1997-1998), peristiwa kerusuhan Mei (1998) dan
kasus Trisakti-Semanggi I dan II (1998-1999).
Komisioner Komnas HAM Chairul Anam, Selasa (23/1),
mengatakan apabila kasus pelanggaran HAM berat masa lalu ini tidak dianggap
sebagai masalah negara yang serius maka hal ini tidak akan kunjung selesai.
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat ini, lanjut
Anam, sangat mudah, yaitu presiden harus memerintahkan Jaksa Agung untuk
membawa kasus-kasus tersebut ke pengadilan.
Komnas HAM telah melakukan penyelidikan atas keenam
kasus ini dan hasilnya telah diserahkan ke Kejaksaan Agung. Apabila Kejaksaan
menilai belum cukup bukti dalam menyelesaikan kasus itu, kata Anam, Kejaksaan
dapat mengajak Komnas HAM menjadi penyidiknya.
“Komnas HAM statusnya penyelidik. Jika Jaksa Agung merasa kesulitan dan sebagainya untuk mengungkap kasus yang itu di luar kewenangan Komnas HAM, Komnas HAM bisa diajak sebagai penyidik,dan itu di Undang-undang Nomor 26 juga diatur, sehingga tidak ada alasan lagi misalnya kurang buktilah, apalah, jadi kelar disitu,” kata Anam.
Chairul Anam menambahkan apabila kasus pelanggaran HAM
berat ini tidak diselsaikan, akan semakin sulit penyelesaiannya, mengingat
pelaku dan korban akan makin banyak yang tutup usia.
Selain untuk mengungkap kebenaran, penuntasan kasus
ini lanjutnya juga untuk memberikan keadilan kepada korban.Pemerintahan
Presiden Jokowi sempat berencana akan melakukan rekonsiliasi dalam
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Feri Kusuma menyatakan
rekonsiliasi tanpa proses hukum bukan solusi atas penyelesaian kasus
pelanggaran HAM berat masa lalu.
Rekonsiliasi yang sempat dikonsepkan oleh pemerintah,
lanjut Feri, tidak melibatkan proses penyebutan pelaku, dan penyebutan siapa
yang salah dan siapa yang benar sehingga, menurut dia, sama artinya dengan
melanggengkan impunitas.
“Apabila kasus pelanggaran HAM berat tidak diselesaikan, tidak diungkap siapa pelakunya potensi berulang peristiwa yang sama sangat besar. Nah, disitulah esensi kenapa kita tetap konsisten meminta negara dalam hal ini pemerintah untuk menyelesaikan proses hukum,” kata Feri.
Bejo Untung di
rumahnya di Tangerang, 12 Februari 2013. Untung mengatakan dia baru berusia 17
tahun ketika ditangkap tentara di desanya setelah peristiwa 1965.
Korban pelanggaran HAM berat masa lalu kasus 1965,
Bejo Untung, misalnya mengaku sangat kecewa. Pria yang dipenjara tanpa proses
hukum selama 9 tahun ini mengatakan keinginan pemerintah menyelesaikan kasus
pelanggaran HAM berat masa lalu secara non judicial sangat tidak tepat.
Staf Ahli Deputi V Bidang Politik, Hukum dan HAM
Kantor Staf Presiden, Ifdal Kasim menjelaskan proses menuju penuntasan kasus
pelanggaran HAM masih terus berjalan.
“Sekarang ini dicoba untuk dipecepat proses penyelesaiannya dengan memfasilitasi pertemuan antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung untuk mengidentifikasi kasus-kasus mana yang bisa diselesaikan terlebih dahulu. Selain dicari jalan yang sifatnya rekonsiliasi. Mudah-mudahan dalam kedepan ada lah yang bisa diselesaikan,” kata Ifdal Kasim.
Yang menjadi kendala penyelesaian kasus ini, antara
lain, masih diperlukan bukti tambahan dari hasil penyelidikan yang dilakukan
Komnas HAM. Selain itu, lanjut Ifdal, Kejaksaan Agung juga meminta pengadilan
Ham Ad Hoc dilaksanakan terlebih dahulu sebelum dilakukan penyidikan atas
kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu.
Sementara jika ingin membuat pengadilan HAM ad hoc,
kata Ifdal, harus ada terlebih dahulu rekomendasi dari DPR kepada presiden.
Meski demikian, tambah Ifdal, Presiden Jokowi berupaya menyelesaikan
kasus-kasus tersebut.
Sumber: VoA Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar