Kim Al Ghozali | Jan. 11, 2018
Ilustrasi: Ellena
Ekarahendy
Bukit Sempenan yang terletak sekitar dua puluh kilometer dari Kota
Probolinggo, Jawa Timur, itu adalah hiburan bagiku sewaktu masih kecil.
Aku lahir di Kampung Watuewuh, Desa Resongo yang terletak tak jauh dari
bukit itu. Kampungku diapit oleh dua bukit, di sebelah barat bernama Bukit
Perahu dan di timur bernama Bukit Sempenan, asal dari kata ‘simpanan’. Entah
apa yang disimpan oleh bukit tersebut, mungkin harta karun? Misteri? Atau
sepenggal tragedi? Sedangkan bagian selatan adalah gugusan gunung yang membiru
melindungi pegunungan Bromo-Tengger-Semeru (BTS).
Di kaki bukit itu, ada lapangan sepak bola. Di sanalah kami bermain pada
sore hari dan seperti biasanya berhenti ketika adzan magrib bergema, lalu kami
turun ke sungai yang ada di sisinya, membasuh diri.
Ketika kemarau tiba, daun-daun pepohonan berkurang sehingga bukit tersebut
terlihat dari rumah. Aku bisa menyaksikan truk-truk hilir mudik sedang
mengangkut batu-batu yang sudah dipalu-godam oleh kuli-kuli perkasa untuk
keperluan pembangunan di kota. Truk-truk itu terlihat sangat kecil dari
tempatku memandang, seperti truk mainan yang berjalan sangat pelan. Dan aku
senang menyaksikan itu, semacam hiburan untuk anak kampung sepertiku.
Tapi, bagi orang-orang tua saat itu, bukit itu menyimpan memori sendiri.
Seperti nenekku.
Pada malam-malam di musim kemarau, aku sering melihat cahaya bertebaran di
bukit tersebut. Aku bertanya pada nenek,
“Cahaya apa itu, Nek?”
“Itu senter orang-orang kafir yang sedang berburu Celeng,” jawab nenek.
Kafir?
Pada saat itu, aku hanya menduga-duga maksud “kafir” yang diucapkan
nenekku. Usut punya usut, ternyata kafir yang dimaksud adalah orang-orang non
muslim yang sedang berburu babi hutan (kami menyebutnya Celeng) yang pada masa
itu masih banyak berkeliaran. Biasanya mereka adalah orang-orang Tionghoa yang
bertempat tinggal di kota kecamatan.
Pada malam-malam itu, hanya Celeng yang menjadi buruan. Ya hanya Celeng. Hewan
rakus yang selalu merusak tanaman penduduk. Tentu lain halnya dengan puluhan
tahun sebelumnya di bukit tersebut, tak ada perburuan Celeng, yang ada adalah
perburuan manusia, manusia yang oleh pemburunya mungkin sudah dianggap Celeng.
Ada sebuah cerita yang melekat di ingatanku semenjak kecil, yaitu cerita
mengenai tahun-tahun merah 1965–1966 yang terjadi di Bukit Sempenan, ini
diceritakan oleh nenekku dan beberapa orang tua kampung.
Konon di bukit itu, lubang-lubang besar digali. Pada malam hari, truk-truk
yang memuat orang-orang ‘pilihan’ berdatangan. Tentu saja lubang-lubang
tersebut bukan tempat untuk menanam pohon atau ketela, tapi sebagai tempat
penguburan massal orang-orang ‘pilihan’ tersebut dari berbagai desa di
kecamatan kami.
Bukit itu menjadi kuburan orang-orang yang dibantai oleh algojo karena
dicap anggota maupun simpatisan partai merah (Partai Komunis Indonesia). Ini
sudah lama menjadi rahasia umum penduduk di kampungku.
Sayang lokasi kuburan massal itu sudah sangat sulit dilacak hari ini.
Beberapa tahun setelah Orde Baru mulai berkuasa — Bukit Sempenan sebagai tanah milik negara — ditanami Pohon Mahoni dan Jati oleh Perusahaan
Hutan Industri (Perhutani) milik negara. Kini, yang tersisa hanya kesunyian dan
sepenggal kisah samar-samar. Lereng-lereng bukitnya pun mulai banyak berubah
menjadi ladang yang dikerjakan penduduk.
Pembantaian juga terjadi terhadap orang Tionghoa waktu itu, hanya caranya
berbeda dan kejadiannya berada di bagian lain Bukit Sempenan, di ujung selatan,
di antara deretan pohonan Mahoni yang teduh dan sejuk dipandang, di samping
jalan raya kecamatan.
“Sebelas orang Cina laki dan perempuan diikat menjadi satu, lalu dibakar hidup-hidup. Apinya membumbung tinggi terlihat dari kejauhan,” begitu ucap nenek ketika aku masih kecil dan sedang lewat di daerah tersebut.
Tak ada catatan resmi mengenai korban, tapi cerita dari mulut ke mulut
masih terus hidup di antara orang-orang tua. Nenek biasanya juga bercerita
tentang seorang eks PKI yang tersisa ketika kami lewat dekat rumahnya di kota
kecamatan. Orang itu selamat dari pembantaian tapi bertahun-tahun mendekam dalam
penjara Orde Baru.
“Pak Harun namanya, matanya sedikit cacat akibat siksaan aparat,” katanya.
Sebenarnya kampungku bersih dari anasir-anasir merah pada masa itu, bahkan
menjadi basis pertahanan sekaligus menjadi sasaran ketika suasana politik
sedang memanas menjelang tahun 1965.
Konon, pada hari raya, setahun sebelum Gestok (gerakan satu Oktober), ada
huru-hara masjid di kampungku. Kabar menyeruak bahwa kampungku akan diserang
orang-orang desa tetangga, desa yang menjadi basis PKI.
Orang-orang di kampung pergi shalat dengan membawa senjata. Sebagian orang
ditugaskan khusus, tidak ikut shalat melainkan berjaga-jaga, mereka naik ke
atas pohon di Bukit Perahu di ujung barat kampung, karena desa yang diisukan
menyerang itu letaknya memang berada di barat laut kampungku.
Namun semua itu berakhir hanya menjadi isu. Tak ada penyerangan, tak
terjadi apa-apa. Mungkin hanya ulah provokator. Entah.
Tapi justru karena itu, kampungku akhirnya ikut menyumbang algojo. Kami
tahu para algojo itu dari cerita orang-orang tua, dan kini algojo-algojo sudah
ada yang meninggal tapi ada juga yang masih hidup namun sudah sangat tua dan
pikun.
Orang-orang tua kampung menyebut mereka adalah bajingan atau maling-maling
Sapi pada masa itu. Setelah peristiwa 1965 meletus, mereka direkrut oleh aparat
untuk menyisir desa-desa dan kecamatan tetangga, terutama desa yang menjadi
basis PKI. Mereka ‘mengambil’ orang-orang yang sudah masuk daftar, kemudian
digiring ke Bukit Sempenan, menemui lubang penghabisan.
Tentu, seperti yang jamak diketahui tentang peristiwa 65, yang hidupnya
berakhir di bukit itu tidak semua adalah anggota maupun simpatisan partai
terlarang, ada yang malah orang tidak tahu menahu tentang politik. Ia terpaksa
menjadi korban hanya karena dendam pribadi atau musuh penguasa setempat.
Dari cerita-cerita nenek (juga orang-orang tua kampung) inilah kemudian aku
tahu bahwa puluhan tahun silam sebelum aku lahir, ternyata ada sebuah peristiwa
besar, pembunuhan di mana-mana, tragedi berdarah yang baunya masih terasa anyir
sampai kini.
Mereka yang dibunuh dipercaya sebagai orang tidak beragama, suka
membunuh Kiai, senang merampas tanah.
Itulah gambaran yang aku tahu waktu itu tentang orang-orang yang berakhir
di Bukit Sempenan. Pantas jika mereka dibunuh, pikirku.
Kemudian ditambah lagi dengan penjelasan-penjelasan di sekolah mengenai PKI
melalui sejarah yang notabene-nya versi Orde Baru.
Semakin maklum aku saat itu terhadap apa yang terjadi di situ atau di
tempat-tempat lain yang kudengar secara samar-samar.
Namun beruntung pada hari kemudian, ketika aku sudah berumur belasan tahun,
aku mulai mengenal internet. Internetlah yang menjadi pintu masukku mengenal
banyak bacaan, khususnya bacaan kiri, menggandrungi Pramoedya Ananta Toer, Tan
Malaka, Bung Karno, dan lainnya.
Terlebih lagi banyak berkenalan dengan buku-buku sejarah mengenai peristiwa
65 yang umumnya diterbitkan pasca jatuhnya Suharto. Apa yang tidak aku dapatkan
di sekolah (melalui pelajaran sejarahnya) dan apa yang tak kutemui dalam
masyarakat dari cerita-ceritanya, akhirnya aku temukan dari sana.
Perlahan tapi pasti sesuatu yang dulu dibangun Orde Baru dalam kepalaku
melalui doktrin-doktrinnya lewat lembaga dan budaya ataupun cerita-cerita
sepihak yang hitam putih lambat laun mulai mencair, gambaran Komunis maupun
perjuangannya yang selalu ditutupi terutama perlawanannya terhadap pemerintah
kolonial kemudian aku tahu juga, sehingga akhirnya bisa menimbang sejarah
dengan lebih adil.
Bukit Sempenan kini masih berdiri tegak, tapi sudah tak semisterius dan
semerah dulu.
Sumber: Medium.Com_Ingat65
0 komentar:
Posting Komentar