Wahyu Eka Setyawan | Kamis, 11 Januari 2018
Isu komunisme sering digunakan berbagai persoalan, baik
itu politik praktis maupun konflik agraria hingga perburuhan. Isu tersebut
bagai hantu yang menakut-nakuti mayoritas masyarakat. Terkadang sengaja
dihembuskan untuk memukul gerakan warga. Sebagai contoh petani di Banyumas
pernah mengalami tuduhan dianggap komunis, lalu ada buruh PT. Yakita Mulia di
Medan juga pernah dicap sebagai komunis.
Kemudian pada 5 April 2017 aksi warga
Sumberagung, Pesanggaran, Banyuwangi yang melakukan demonstrasi tolak tambang
emas Tumpang Pitu, dengan serta merta dianggap sebagai komunis. Tuduhan
tersebut disematkan ke warga tolak tambang emas, karena spanduk yang dibawa
oleh warga dalam aksi tersebut terdapat simbol yang menyerupai logo palu arit.
Menurut keterangan warga asal usul dari spanduk yang
bergambar logo menyerupai palu arit tersebut, tidak jelas dan fakta
dipersidangan juga tidak menunjukan satupun barang bukti yang sesuai dengan
tuduhan. Perlu diketahui sumber pelaporan warga yang dituduh komunis,
berdasarkan video dan foto yang sempat viral di media sosial dan grup whatsapp.
Isu ini kemudian dihembuskan oleh mereka yang diduga ada
relasi dengan tambang, seperti beberapa media yang secara tendensius mewartakan
persoalan tersebut. Konten dalam warta yang disampaikan cenderung
menjustifikasi warga sebagai komunis, dengan cara mengasosiasikan gerakan
mereka sebagai komunis.
Secara simplistis apa yang dilakukan oleh media yang
tidak objektif tersebut, sebagai bagian dari suatu pola untuk memukul mundur
gerakan warga. Khususnya dalam mendukung upaya sabotase gerakan perlawanan,
baik mengaitkan segala sesuatu dengan komunisme, hingga menyusupi gerakan
kemudian secara tiba-tiba ada sesuatu yang menyerupai simbol-simbol komunis.
Gerakan warga yang melakukan penolakan memang rentan,
terkadang niat baik mereka dalam memperjuangkan haknya, selalu dianggap
tindakan yang berbahaya bagi investasi dan keberlangsungan kekuasaan oligarki
politik lokal. Bahkan aksi-aksi petani reclaiming lahan hutan
karena land grabbing oleh salah satu korporasi milik negara, hingga
aksi buruh pemogokan buruh dalam penuntutan upah, dengan mudah dilabeli dengan
cap komunis.
Argumentasi tersebut, sebenarnya hanya narasi-narasi
ahistoris yang acap kali didengungkan oleh mereka yang berkepentingan. Padahal
isu yang mereka gelorakan, sangat kontradiktif jika merujuk dalam literatur
ilmiah. Hingga sekarang tidak ada sekalipun kajian yang secara eksplisit dan
berbasis validitas across researcher, menyajikan hasil penelitian utuh
yang menyatakan komunis-marxis, otomatis menganut pemikiran atheis.
Bahkan dalam karya Marx yang kata-katanya sering dikutip
sebagai anti tuhan, “agama adalah candu.” Secara mendalam malah lebih membahas
tentang kepada kritik untuk agama, khususnya secara kelembagaan dalam kaitan
berbagai persoalan ekonomi, sosial dan politik. Kritik yang ditulis oleh Marx
didasarkan pada realitas kala itu khususnya Jerman, ini dapat dijumpai dalam
buku yang dialih bahasakan ke Inggris, dengan judul A Contribution to the
Critique of Hegel’s Philosophy of Right yang ditulis Marx pada 1843.
Bukan hanya Marx, seorang filsuf bernama Baruch Spinoza,
Freud dan Nietzsche juga mengkritik hal yang berkaitan dengan Agama dan Tuhan.
Jika kita merujuk essai Lenin yang berjudul Sosialisme dan Agama, dia
menjelaskan bahwasanya memeluk suatu agama adalah hak individu, namun dalam urusan
negara tidak ada sangkut pautnya. Sudah jelas tidak ada narasi yang benar-benar
deterministik untuk mengarahkan seorang marxis itu atheis, atau paling tidak
menegakkan tuduhan cacat mengenai marxis itu atheis atau atheis itu komunis.
Kebebalan seperti itu merupakan sebuah dampak dari
warisan hegemoni Orde Baru, melalui sebuah kekerasan budaya yang secara masif
dilembagakan menjadi sebuah ketakutan. Jika kita merujuk pada argumentasi dari
Wijaya Herlambang dalam bukunya, bahwa ada upaya melakukan represivitas melalui
budaya “cuci otak,” hingga menyusun sebuah pola-pola untuk mendiskreditkan
suatu pemikiran politik.
Hal itu juga didasari oleh pengetahuan-pengetahuan yang
disampaikan dalam ruang belajar, yang hanya bersumber pada satu pijakan, bahkan
memiliki kecenderungan manipulatif. Semua relasional dengan kepentingan kuasa,
guna melanggengkan kekuasaan oligarki Orde Baru. Sehingga secara budaya, mereka
masuk lalu menyelaraskan pola-pola tersebut menjadi suatu kesatuan yang
melembaga hingga saat ini.
Kemudian penciptaan narasi anti Pancasila yang ahistoris,
diperkuat dengan adanya Tap MPRS nomor 25 tahun 1966 yang dijadikan dalih dalam
merepresi warga, ketika mereka dituduh menyebarkan dan mengajarkan marxisme dan
komunisme. Aturan tersebut sejatinya menjadi pangkal dari “pengkomunisan”
warga, maka oleh sebab itu di era KH. Abdurrahman Wahid pernah ingin
dihapuskan, karena bertentangan dengan konstitusi dan realitas sejarah.
Salah satu fakta historis yang tersaji yaitu Sukarno di
koran pemandangan (1941), mengakui jika marhaenisme adalah marxisme yang
dimodifikasi, sesuai dengan budaya serta analisis faktual yang kompeten di
Indonesia.
Bahkan Hatta dalam buku Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia maupun Pengantar
Kejalan Ekonomi Sosiologi dan Fasal Ekonomi, semua berangkat dari
analisis pemikiran Marx dan Engels. Kemudian ada Tjokroaminoto juga menerapkan
ide-ide Marxis dalam pemikirannya, yang dapat kita baca di Sosialisme dan
Islam. Lantas apakah mereka yang mempelajari dan mengimplementasikan pemikiran
Marx sebagai anti Tuhan?
Peristiwa 65 memang menjadi luka sejarah yang selalu
disuarakan secara kontinum, dikaitkan dengan hal-hal yang kontradiktif,
menjadikan sebuah paranoia akan komunisme semakin menjadi-jadi. Hal inilah yang
selalu dijadikan dalih dalam merepresi gerakan warga. Mereka diidentikan dengan
komunis hanya karena ingin mempertahankan diri dan lingkungan mereka.
Mengutip apa yang disampaikan oleh ahli sosiologi, DR.
Sunito Satyawan yang juga seorang peneliti dan dosen. Mengatakan jika komunisme
tanpa sebuah infrastruktur hanyalah sebuah tuduhan yang tak berdasar.
Seseorang atau kelompok yang dikatakan komunis harus
memenuhi kriteria, baik secara gerakan, pengetahuan dan gerakan yang persisten.
Hal tersebut sudah menjadi suatu konsensus ilmiah, bahwasanya mendaku diri
sebagai komunis atau marxis tak semudah berucap. Ada kriteria-kriteria yang
cukup berat.
Jadi sangat janggal dan terlihat kurang pengetahuan umum,
jika menuduh gerakan tani atau buruh sebagai komunis, tanpa tahu basis
infrastruktur dan suprastruktur suatu ideologi politik. Sehingga tuduhan
tersebut memiliki determinasi dalam upaya merepresi gerakan.
Menakut-nakuti warga yang berjuang atas haknya, merupakan
bentuk dari usaha untuk melanggengkan perampasan hak warga. Sehingga
narasi-narasi komunisme yang berhembus, akan selalu dijadikan dalih dalam
mengalienasikan warga negara dari hak dasarnya. Lalu masih bertanya, apakah
benar mereka yang menolak adanya pertambangan atau sedang memperjuangkan
haknya, benar-benar seorang komunis ?
Sumber: Geotimes
0 komentar:
Posting Komentar