27 JANUARI 2018 | 12:51
Saya iseng bertanya ke mesin pencari Google: Siapa Walikota Perempuan Pertama di Indonesia? Sejumlah nama pun muncul. Ada nama Agustine Magdalena Waworuntu. Ia menjabat Walikota Manado, Sulawesi Utara, dari 30 September 1950 hingga 29 Maret 1951.
Kemudian ada nama HJ Rohani Darus Danil, yang memimpin kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara, pada tahun 1990-an. Setelah itu, hampir semua Walikota perempuan di Indonesia muncul pasca Orde Baru, seperti Tri Rismaharini (Surabaya/2010), Airin Rachmi Diany (Tangerang Selatan/2011), dan Sylviana Murni (Jakarta Pusat/2008).
Saya sontak kaget. Ah, sependek dan sesempit itukah ingatan sejarah kita. Maklum, dari berbagai literatur sejarah, saya sudah mengantongi sebuah nama. Nama itu adalah Salawati Daud. Dia adalah pejuang perempuan dari Sulawesi Selatan.
Salawati Daud merupakan perempuan Indonesia pertama yang menempati posisi Walikota. Ia menjadi Walikota di Makassar, Sulawesi Selatan, tahun 1949. Tak hanya itu, ia juga tercatat sebagai Walikota Makassar yang pertama di bawah pemerintahan Republik Indonesia.
Maklum, pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, Makassar langsung dicaplok Sekutu/NICA. Sejumlah pemimpin Republik, termasuk Gubernur Sulawesi jaman itu, Sam Ratulangi, ditangkap oleh Belanda. Gagal-lah upaya membentuk pemerintahan RI di Makassar. Republik Indonesia baru berhasil membentuk pemerintahan sendiri di Makassar tahun 1949. Saat itulah Salawati ditunjuk sebagai Walikota Makassar.
Yang menarik, di tahun 1940-an hingga 1950-an, Sulawesi Selatan memang punya banyak pejuang perempuan. Ada dua yang cukup terkenal, yakni Emmy Saelan dan Salawati Daud. Emmy sendiri gugur dalam pertempuran melawan pasukan Belanda tahun 1947. Sementara Salawati Daud ditangkap dan dipenjara oleh rezim Orba karena peristiwa Gestok 1965.
Salawati Daud adalah pejuang kemerdekaan. Ia aktif dalam pergerakan anti-kolonial di Sulsel sejak 1930-an hingga 1950-an. Sayang, hampir tidak ada dokumen sejarah yang menulis tentang dirinya. Dan, saya kira, inilah salah satu sukses terbesar Orde Baru, yakni menghapus pejuang berpaham kiri dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Nama aslinya: Charlotte Salawati. Mulanya ia tercatat sebagai anggota Partai Kedaulatan Rakyat. Sayang, saya juga tidak punya catatan dan pengetahuan tentang partai ini. Namun, dari Arsip ANTARA diketahui, partai ini sangat pro-Republik dan memperjuangkan hak-hak kaum perempuan.
Pada tahun 1945, Salawati menerbitkan majalah Wanita di Makassar. Majalah tersebut terbit dua kali sebulan. Jumlah oplah-nya berjumlah ribuan tiap terbit. Selain majalah Wanita, ia juga memimpin majalah Bersatu, yang oplahnya mencapai 2000-an.
Usai Proklamasi 17 Agustus 1945, Makassar langsung diduduki Sekutu—yang diboncengi NICA. Sam Ratulangi, tokoh yang ditunjuk Bung Karno sebagai Gubernur Sulawesi, ditangkap. Banyak tokoh pemuda yang memprotes penangkapan ini.
Rakyat Sulawesi Selatan marah. Sejak September 1945, bentrokan antara rakyat dan pelajar melawan NICA sudah terjadi. Salah satunya adalah aksi pelajar perguruan islam Datu Museng, yang mengibarkan Merah-Putih di sekolahnya.
Saat itu pemuda dan pelajar membentuk Pusat Pemuda National Indonesia (PPNI). Organisasi ini diketuai oleh Manai Sophiaan. Tak lama kemudian, Manai Sophiaan ditangkap oleh NICA. Ia disekap di markas NICA di Empress Hotel. Kejadian inilah yang memicu kemarahan pelajar Makassar. 29 Oktober 1945, pelajar menyerbu Empress Hotel dan mengibarkan Merah-Putih di sana.
Salawati Daud sudah aktif dalam gerakan itu. Ia bersama kawan-kawannya di Partai Kedaulatan Rakyat mendirikan “Tim Penerangan” untuk mengkampanyekan penolakan terhadap kehadiran kolonialis Belanda di Sulawesi. Dalam gerakan ini, Salawati berkeliling Sulsel untuk memassalkan gerakan ini.
Tetapi Salawati tak hanya berkampanye, ia juga turut memanggul senjata melawan tentara NICA. Sejumlah sumber menyebutkan, Ia bersama Emmy Saelan bertempur melawan Belanda. Salah satu pertempuran yang terkenal penyerbuan tangsi polisi di Masamba. Aksi penyerbuan ini dipimpin oleh Salawati Daud. Belanda menyebut peristiwa “Masamba Affaire”.
Saat itu, 29 Oktober 1949, Salawati memimpin penyerbuan tangsi militer Belanda. Tak hanya berhasil merebut puluhan pucuk senjata, penyerbuan itu juga berhasil membebaskan sejumlah pejuang.
Mungkin karena pertimbangan itulah, ia ditunjuk sebagai Walikota pertama di Makassar. Karena pengaruh politiknya pula, ia dipercaya mengatasi sejumlah kekacauan di Sulsel. Salah satunya adalah pemberontakan Kahar Muzakkar.
Beberapa literatur menyebutkan, Salawati Daud-lah yang membawa pengaruh kiri ke Kahar Muzakkar. Tak heran, ketika Kahar mau memberontak terhadap Republik, Salawati berjuang mati-matian untuk membujuknya agar tetap di pangkuan Republik. Sayang, usaha itu menemui kegagalan.
Tahun 1950, Salawati Daud turut terlibat dalam pembentukan organisasi perempuan nasional bernama Gerakan Wanita Sedar (Gerwis). Ia menjadi salah pengurus di Gerwis ini. Kelak, Gerwis inilah yang berubah menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).
Tahun 1950-an, Salawati Daud makin dikenal sebagai tokoh kiri. Bahkan, ia disebut-sebut sebagai salah satu pembawa pemikiran kiri di Sulawesi Selatan. Pada pemilu 1955, ia masuk daftar calon DPR dari Partai Komunis Indonesia Partai Komunis Indonesia (PKI). Memang, seperti dicatat Saskia E Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan: politik Seksual Di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI, ada 6 anggota Gerwani yang masuk list daftar calon DPR PKI, yakni Suharti Suwarto, Ny Mudigdio, Salawati Daud, Suwardiningsih, Maemunah, dan Umi Sardjono.
Konon, karena pengaruh politik Salawati Daud, PKI mendapat suara besar di Tana Toraja. Itu terjadi pada pemilu 1955. itu pula yang mengantarkan Salawati Daud menjadi anggota DPR tahun 1955.
Sejak itu, ia bermukim di Jakarta. Selain aktif sebagai anggota DPR, ia juga menjadi pengurus DPP Gerwani. Ia menempati posisi sebagai Wakil Ketua. Di DPR, Salawati aktif memperjuangkan hak-hak perempuan.
Dan, tahun 1965 meletus peristiwa G.30/S. PKI dan ormas-ormasnya segera dituding mendalangi peristiwa tersebut. Saat itu, usai bersidang di Parlemen, Salawati Daud bersama empat kawannya, yakni Umi Sardjono, Ny.Mudigdo, Siti Aminah, dan Dahliar, ditangkap oleh tentara.
Ia kemudian digelandang ke markas Kostrad, diintergorasi berhari-hari di sana, lalu kemudian dijebloskan ke penjara Bukit Duri. Di dalam penjara pun ia tak menyerah. Ia aktif membela nasib sesama tahanan yang diperlakukan tidak sewenang-wenang.
Untuk mengenang kiprahnya dalam perjuangan kemerdekaan, masyarakat Luwu Utara kini mengabadikan nama Salawati Daud sebagai nama jalan di Masamba, tempatnya bergerilya dulu.
Rudi Hartono, Pimred berdikarionline.com
Sumber: BerdikariOnline
0 komentar:
Posting Komentar